Você está na página 1de 10

A.

PENDAHULUAN

a.

Latar Belakang Tanah merupakan faktor penting bagi manusia yang mendukung segala

kegiatan dan aktivitas kesehariaannya. Selain sebagai faktor penentu ketersediaan air dan unsur hara bagi pertumbuhan tanaman, tanah juga berperan dalam pemberian ruang yang cukup bagi penyebaran akar. Setelah mengalami penelitian yang lama, ternyata tanah merupakan suatu bagian muka bumi yang mempunyai sifat kompleks, baik mengenai sifat (fisika, kimia, biologi) maupun bentukannya. Sifat yang berbeda tersebut mengakibatkan potensi dari masing-masing tanah berbeda. Sehingga suatu usaha yang mengacu pada efisiensi kerja sangat memerlukan ciri atau sifat tanah yang mengacu pada potensi tanah tersebut. Tanah sebagai medium pertumbuhan tanaman berfungsi pula sebagai penyedia unsur hara. Unsur hara disini mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal peningkatan kesuburan tanah sehingga produktivitas tanaman maksimal. Fungsi hara tanaman tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Kesuburan tanah sangat ditentukan oleh keadaan fisika, kimia dan biologi tanah. Keadaan fisika tanah meliputi kedalaman efektif, tekstur, struktur, kelembaban, konsistensi, kapasitas infiltrasi, perkolasi, permeabilitas, aerasi, drainase dan lain-lain. Keadaan kimia tanah meliputi reaksi tanah (pH tanah), KTK, kejenuhan basa, bahan organik, banyaknya unsur hara, cadangan unsur hara dan ketersediaan terhadap pertumbuhan tanaman. Sedangkan biologi tanah antara lain meliputi aktivitas mikrobia perombak bahan organik dalam proses humifikasi dan pengikatan nitrogen udara. Pengelolaan tanah yang dilakukan oleh manusia dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang paling baik bagi pertumbuhan tanaman. Pengelolaan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman ini ada banyak cara antara lain dengan pemupukan. Pemupukan adalah menambah unsur hara dalam tanah yang diperlukan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Selain itu dengan pengelolaan

tanah juga dapat dilakukan dalam upaya pengelolaan tanah ini supaya tanah menjadi lebih gembur. b. Tujuan Mengetahui karakter kelengasan tanah pada pengelolaan tanah yang berbeda (penggunaan fine kompos dengan dosis tertentu). c. Waktu dan Tempat

B. TINJAUAN PUSTAKA

a. Pengelolaan Tanah Pengolahan tanah menghancurkan lapisan kerak di permukaan tanah, mengemburkan tanah yang memungkinkan air lebih banyak meresap ke dalam tanah. Tetapi hendaknya pengolahan tanah dilakukan seperlunya saja agar masih terdapat kekasaran tanah yang baik bagi seedling establishment. Salah satu cara pengolahan tanah yaitu pembuatan draenasi. Draenasi yang baik memungkinkan difusi oksigen ke CO2 dari akar tanaman. Tujuan utama draenasi di lahan pertanian adalah menurunkan muka air tanah untuk meningkatkan kedalaman dan effektivitas daerah perakaran. Dengan hilangnya kelebihan air dalam tanah karena draenasi untuk manaikkan suhu tanah (Hakim et al., 1980). Pada umumnya tanaman menghendaki tanah dengan struktur yang gembur atau remah. Pada kondisi ini tanah memiliki ruang-ruang pori yang cukup untuk menyimpan air dan udara yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan akar tanaman. Untuk mengatasi masalah struktur tanah yang tidak menguntungkan tersebut dapat dilakukan dengan pemupukan organik secara rutin. Pengolahan lahan yang insentif dibarengi dengan pemupukan akan mengubah tanah yang berstruktur gumpal menjadi lahan yang siap digunakan dan sebaliknya (Marsono dan Paulus, 2002). b. Kompos Pupuk kandang merupakan pupuk yang penting di Indonesia. Selain jumlah ternak di Indonesia cukup banyak dan volume kotoran ternak cukup besar, pupuk kandang secara kualitatif relatif lebih kaya hara dan mikrobia dibandingkan limbah pertanian. Yang dimaksud pupuk kandang adalah campuran kotoran hewan/ternak dan urine. Pupuk kandang dibagi menjadi 2 macam yaitu pupuk kandang padat dan cair. Susunan hara pupuk kandang sangat bervariasi tergantung pada macam dan jenis hewan ternak (Rosmarkam dan Nasih, 2002).

Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses aerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S.(Anonim, 2009). Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Sampah terdiri dari dua bagian, yaitu bagian organik dan anorganik. Rata-rata persentase bahan organik sampah mencapai 80%, sehingga pengomposan merupakan alternatif penanganan yang sesuai (Wikipedia, 2009).
c. Kapasitas Penyimpan Air (Water Holding Capacity)

Evaporasi tanah (Es) adalah penguapan air langsung dari tanah mineral. Nilai Es kecil dibawah tegakan hutan karena serasah dan tumbuhan menghalangi radiasi matahari mencapai permukaan tanah mineral hutan dan mencegah gerakan udara di atasnya. Es bertambah besar dengan makin berkurangnya tumbuhan dan jenis penutup tanah lainnya. Melalui proses transpirasi, vegetasi mengendalikan suhu agar sesuai dengan yang diperlukan tanaman untuk hidup. Pada tingkat yang paling praktis, perhitungan pemakaian air oleh vegetasi dapat dimanfaatkan sebagai masukan untuk memilih jenis

tanaman (pertanian) yang dapat tumbuh dengan baik di bawah kondisi curah hujan yang tidak menentu. Perhitungan keperluan air irigasi untuk suatu tanaman juga didasarkan pada besarnya evaportanspirasi vegetasi yang akan ditanam (Zainudin L, 2009). Menurut Atmadja dkk. (1996), pada perairan Indonesia ditemukan 555 jenis rumput laut, dari jumlah tersebut 21 jenis diantaranya dapat menghasilkan agar-agar. Jenis-jenis ini antara lain : Gracilaria sp, Gelidium sp, Gelidellia sp dan Gelidiopsis sp. Jenis Gracilaria yang sering dijumpai di Indonesia adalah G. lichenoides, G. gigas dan G. verrucosa.
d. Kadar Lengas Kapasitas Lapang (Field Capacity)

e. Kadar Lengas Titik layu Permanen (Permanent Wilting Point)

Dalam irigasi terdapat dua sifat penting berkaitan dengan air tersedia bagi tanaman, yaitu kapasitas lapang dan titik layu permanen. Tebu merupakan tanaman yang membutuhkan air dalam jumlah relatif banyak pada di awal pertumbuhan, tetapi menghendaki jumlah air yang relatif sangat sedikit menjelang akhir pertumbuhan atau saat memasuki panen. Pengertian kebutuhan air yang banyak bukan berarti menghendaki ketersediaan air pada volume tanah yang berlebihan karena sesungguhnya tanaman ini menghendaki kondisi tanah beraerasi dan berdrainase baik. Oleh karena itu, yang paling penting dalam ukuran kebutuhan air bagi tanaman tebu adalah lebih mudah diartikan dalam istilah air yang tersedia. Air tersedia bagi tanaman dihitung sebagai nilai selisih antara kelembaban tanah pada kondisi kapasitas lapang dan pada kelembaban titik layu pemanen (Anonim, 2009). Titik layu permanen merupakan nilai lengas tanah pada keadaan tanaman mulai layu. Pada kondisi nilai lengas dibawah titik layu permanen, air tidak dapat diserap oleh akar tanaman dengan cepat sehingga tidak mampu mengimbangi laju transpirasi. Pemberian air irigasi harus dilakukan sebelum mencapai titik layu permanen. Tanaman jangan dibiarkan berada pada kondisi air pada titik layu permanen. Hal ini disebabkan, meskipun dilakukan

pemberian air pada tanaman tersebut maka recovery pertumbuhan tanaman selanjutnya tidak akan pernah lagi mencapai produktivitas maksimal (Anonim, 2009).

C. ALAT, BAHAN DAN CARA KERJA a. Alat


1. Pengayak/ saringan tanah 2 mm

2. Timbangan analitik 3. Botol semprong 4. Botol timbang 5. Oven 6. Eksikator 7. Penjepit 8. Kain kassa b. Bahan
1. Ctka 2 mm

2. Fine compos c. Cara Kerja 1. Penyiapan tanah


1.1 Mengeringkan tanah (kering udara) selama sekitar 1 minggu 1.2 Menghancurkan dan menyaring dengan ayakan tanah 2 mm

1.3

Tanah yang telah disaring kemudian dibagi menjadi 4, masingmasing diberikan campuran pupuk fine kompos dengan dosis berikut : 0 % (control), 5 %, 10 % dan 15 %.

1.4 Melembabkan masing-masing tanah dengan perlakuan tersebut di

atas dengan jumlah air yang sama.

1.5 Mendiamkan Tanah kembali selama sekitar satu minggu.

2. Penyiapan media penjenuhan dan penjenuhan tanah


2.1 Menyiiapkan 4 buah semprong kaca 2.2 Menyiapkan wadah ersegi 4 yang agak tinggi, isi dengan

ketinggian sekitar 2-3 cm


2.3 Melipat kain kasa menjadi sekitar 4 lapis dan diikat dengan kuat

pada bagian dasar semprong (jangan sampai ikatan terlepas saat sample tanah dimasukkan)
2.4 Menimbang berat masing-masing semprong ( 3 kali ulangan) 2.5 Memasukkan tanah dengan masing-masing perlakuan di atas ke

dalam semprong dengan ketinggian yang sama


2.6 Menimbang masing-masing semprong yang telah diisi tanah

tersebut (3 kali ulangan), catat sebagai WTA.


2.7 Memasukkan semprong yang telah diisi tanah tersebut kemudian

ke dalam wadah berisi pasir pelan-pelan


2.8 Secara perlahan-lahan,

memasukkan air kedalam wadah berisi

pasir tersebut (jangan sampai semprong terjatuh) sampai wadah hamper penuh berisi air.
2.9 Mendiamkan selama sekitar 3 hari 3. Pengamatan Kadar lengas tanah pada kapasitas lapang (field

capacity) 3.1 3.2 Menyiapkan saringan/kawat untuk meletakkan semprong. Menyiapkan 12 (jika memungkinkan) atau 4 buah botol menimbang, menandai, dan menimbang beratnya masing-masing.

3.3 Tanah yang telah didiamkan selama sekitar 3 hari tersebut di atas

diperkirakan telah mencapai titik jenuh (saturated)


3.4 Mengangkat semprong yang berisi tanah dalam kondisi jenuh

kemudian meletakkan di atas kawat sedemikian, sehingga dapat teramati air yang menetes di bawahnya (gravitation water)
3.5 Mengukur waktu yang diperlukan sampai air benar-benar berhenti

menetes dari dasar semprong sebagai Ts-fc. 3.6 Setelah air benar-benar berhenti menetes, mengeluarkan tanah dari dalam semprong dan mengaduk rata dengan cepat, kemudian dengan cepat (meminimalisasi evaporasi) memasukkan ke dalam timbangan sampai sekitar dari volume botol timbangan.
3.7 Menimbang beratnya sebagai Wfc 3.8 Memasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 24 jam

(sampai berat konstan) kemudian menimbang sebagai Wdl.


3.9 Menghitung kadar lengasnya dengan rumus WCfc = (Wfc-Wdl)/Wdl

x 100 %
4. Pengamatan kadar lengas tanah pada titik layu permanen

(permanent wilting point)


4.1 Menyiapkan selembar papan, ukuran 1m x 1m.

4.2

Menyiapkan tanah yang telah diaduk menebarkannya ke atas papan dengan membentuk gunung (bagian tengan tebal, semakin ke pinggir tanah semakin menipis)

4.3 Mengamati kelembabannya, semakin lama tanah yang bagian

pinggir akan semakin mongering, dan terus bergerak kea rah tengah, ditandai dengan perubahan warna

4.4

Menyiapkan 12 buah (jika memungkinkan) atau 4 buah botol timbang.

4.5

Saat perubahan warna tanah kering dan lembab terlihat mencapai posisi di tengah, mengambil masing-masing 1-2 cm tanah yang lembab dan kering tepat di garis batas berubah warna tersebut.

4.6 Memasukkan ke dalam botol timbang, menimbang beratnya sebagi

Wpwp
4.7 Memasukkan ke dalam oven 105oC selama 24 jam (sampai

beratnya konstan), mencatat sebagai Wd2


4.8 Menghitung kadar kelengasannya dengan rumus WCpwp + (Wpwp-

Wd2)/Wdl x 100 %

Você também pode gostar