Você está na página 1de 21

AMENOREA 1.

Definisi Amenorea
1. Tidak mengalami menstruasi hingga usia 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan dan perkembangan tanda kelamin sekunder. 2. Tidak mengalami menstruasi hingga usia 16 tahun meskipun terdapat pertumbuhan dan perkembangan normal dengan adanya tanda kelamin sekunder. 3. Pada seorang wanita yang telah mengalami menstruasi, namun tidak mengalami menstruasi selama suatu rentang waktu selama paling tidak 3 interval siklus sebelumnya atau amenorrhea selama 6 bulan.

2. Evaluasi Amenorrhea Langkah 1 Langkah awal dimulai dengan pengukuran kadar TSH, kadar prolaktin, dan tes progesteron. Pada pasien galakthorrhea meliputi pengukuran TSH dan pencitraan sella tursica. Hanya pada beberapa pasien dengan amenorrhea dan/atau galaktorrhea akan disertai pula dengan hipothyroidisme yang tidak secara klinis nampak nyata. Meskipun tampaknya terlalu berlebihan untuk memeriksa kadar TSH pada sejumlah besar pasien untuk informasi balik yang sangat kecil, namun karena terapi untuk hipothyroidisme sangatlah sederhana dan dapat dengan cepat mengembalikan siklus ovulatorik, serta jika memang terdapat galaktorrhea tanpa sekresi ASI yang nyata , maka hal tersebut mengakibatkan pemeriksaan TSH merupakan hal yang penting dilakukan. Untuk langkah pertama bisa dilakukan tes progesteron untuk menilai estrogen endogen dan kompetensi organ pengeluaran darah haid. Bila dalam jangka waktu 2-7 hari setelah pemberian preparat progesteron terjadi haid berarti diagnosis anovulasi telah dapat ditegakkan dan membuktikan traktus outflow yang fungsional serta uterus dengan lapisan endometrium yang secara adekuat dan kecukupan estrogen endogen telah behasil dikonfirmasi. Terapi dilanjutkan dengan pemberian preparat prolaktin ditambah

progesteron bulanan. Program yang dapat dengan mudah diingat oleh pasien adalah pemberian 5 mg medroxyprogesterone acetat per hari selama 2 minggu pertama tiap bulannya. Jika penting untuk didapatkan kontrasepsi mantap, maka pemberian pil kontrasepsi oral dosis rendah dengan siklus seperti biasa merupakan hal yang tepat. Tes progesteron terkadang akan memacu terjadinya ovulasi pada pasien anovulatorik. Jika kadar prolaktin meningkat, evaluasi radiologis terhadap sella tursica merupakan hal yang penting. Respon withdrawal bleeding yang positif terhadap medikasi progestasional, tidak adanya galaktorrhea, dan kadar prolaktin yang normal, secara efektif akan menyingkirkan dugaan adanya tumor hipofise yang bermakna. Produksi prolaktin secara ektopik jarang sekali dijumpai , bisa oleh jaringan hipofise pada faring, karsinoma bronkogenik, karsinoma sel renal, gonadoblastoma, dan wanita dengan amenorrhea dan hiperprolaktinemia karena prolaktinoma pada dinding kista dermoid ataupun teratoma. Langkah 2 Bila negatif diberi EP. Pemberian estrogen untuk menstimulasi proliferasi endometrial supaya terjadi withdrawal bleeding untuk menunjukkan bahwa pasien memiliki uterus yang reaktif dan saluran yang paten. Diberikan E selama 21 hari : - 1,25 mg conjugated estrogen - 2 mg estradiol 5 hari terakhir diberikan preparat progesteron aktif per oral (medroxyprogesterone acetat 10 mg per hari ). Dengan cara ini kapasitas Kompartemen I diuji dengan menggunakan estrogen eksogen. Permasalahan pada saluran outflow meliputi destruksi endometrium, pada umumnya akibat dari kuretase yang terlalu dalam atau akibat dari infeksi, ataupun amenorrhea primer akibat dari adanya diskontinuitas atau gangguan pada tuba mulleri.

Langkah 3 Langkah 3 didesain untuk menentukan manakah diantara komponen penting ini (gonadotropin ataukah aktivitas folikuler) yang mengalami gangguan fungsi. Langkah ini melibatkan pemeriksaan kadar gonadotropin pasien. Langkah 3 didesain untuk menentukan apakah kekurangan estrogen terjadi karena gangguan pada folikel (Kompartemen II) atau pada poros SSP-hipofise (Kompartemen III dan IV).

Kadar Gonadotropin Tinggi Peningkatan kadar gonadotropin dapat dikarenakan adanya adenoma hipofise yang mensekresi gonadotropin. Tumor ini biasanya dapat terdiagnosis karena adanya hormon pertumbuhan yang mengakibatkan keluhan nyeri kepala dan gangguan visual karena hipersekresi gonadotropin biasanya tidak menghasilkan gejala ataupun kumpulan gejala yang spesifik. Satu gambaran klinis yang mengindikasikan keberadaan tumor hipofise yang mensekresi FSH merupakan kombinasi dari anovulasi, hiperstimulasi ovarium secara spontan (kista ovarium multipel berukuran besar), dan adenoma hipofise yang diketahui dari hasil pemeriksaan radiologis. 3. Amenorrhea Hypothalamus Pasien dengan amenorrhea hipotalamus (hipogonadisme hipogonadotropik) mengalami defisiensi sekresi pulsatil GnRH. Sering terdapat pada keadaan stress berat dan wanita underweight. Derajat supresi GnRH menentukan tentang bagaimana pasien ini terlihat secara klinis. Supresi ringan dapat berhubungan dengan efek marginal reproduksi, secara spesifik berupa fase luteal yang tidak adekuat. Supresi moderat sekresi GnRH dapat mengakibatkan anovulasi dengan ketidakteraturan menstruasi, serta supresi lanjut dapat bermanifestasi pada amenorrhea hipotalamus. Pasien dengan amenorrhea hipotalamus dikelompokkan ke dalam kadar gonadotropin rendah atau normal, kadar prolaktin normal, pemeriksaan imaging sella turcica normal, dan kegagalan untuk memperlihatkan withdrawal bleeding. Amenorrhea yang berhubungan dengan stress psikologis atau hilangnya berat badan bisa mengalami sembuh

spontan setelah 6 tahun pada 75% wanita. Pada sebuah penelitian 83% pasien mengalami mens kembali jika penyebab amenorrhea (stress atau kehilangan berat badan) dihilangkan. Pada stres dengan amenore akan terjadi peningkatan pada aktivitas hipotalamushipofise-adrenalnya, dimana corticotropin-releasing hormone (CRH) akan menghambat sekresi gonadotropin, kemungkinan dengan augmentasi sekresi opioid endogen. Wanita dengan amenorrhea hipotalamus idiopatik mengalami penurunan sekresi FSH, LH, dan prolaktin, tetapi mengalami peningkatan sekresi cortisol. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien dengan amenorrhea hipotalamus mengalami inhibisi dopaminergik frekuensi pulsasi GnRH. Supresi sekresi pulsasi GnRH dapat merupakan hasil dari peningkatan opioid endogen dan dopamin. Kembalinya hipercortisolisme yang diinduksi CRH menjadi normal mendahului kembalinya fungsi ovarium normal, dengan menggarisbawahi fungsi primer peningkatan sekresi CRH pada keadaan stres. 4. Evaluasi Kromosom Klinisi dan pasien harus mempertimbangkan apakah sebanding untuk melakukan pemeriksaan karyotipe yang mahal untuk mengidentifikasi abnormalitas kromosomal yang memiliki implikasi klinis pada anggota keluarga mereka, tanpa mempertimbangkan usia saat diagnosis. sebaiknya dilakukan pada semua wanita dengan pola familial kagagalan ovarium dini. 5. Kegagalan Ovarium Dini Sekitar 1% wanita akan mengalami kegagalan ovarium sebelum usia 40 tahun, dan pada wanita dengan amenorrhea primer, besarnya prevalensi berkisar antara 10% - 28%. Etiologi kegagalan ovarium dini tidak diketahui pada sebagian besar kasus. Adalah penting untuk menjelaskan kepada pasien bahwa hal ini kemungkinan merupakan kelainan genetik yang mengakibatkan terjadinya peningkatan kecepatan hilangnya folikel. Sering kali, dapat diidentifikasi anomali pada kromosom seks spesifik. Abnormalitas yang paling sering dijumpai adalah 45,X dan 47,XXY, diikuti dengan mosaicisme dan abnormalitas struktural spesifik pada kromosom seks. Pemeriksaan mosaicisme 45,X/46,XX menggunakan fluorescence in situ hybridization, persentase sel yang mengandung kromosom X tunggal akan lebih tinggi pada wanita dengan kegagalan ovarium dini.

Mekanisme kegagalan ovarium yang paling mungkin adalah terjadi akselerasi atresia folikel karena bahkan pasien 45,X (Sindroma Turner) diawali dengan komplemen sel germinal yang penuh. Keluarga yang memiliki sindroma fragile-X, penyebab kelainan perkembangan yang relatif sering, di mana hal ini menunjukkan bahwa adalah penting untuk melakukan penapisan terhadap sindroma fragile-X jika teridentifikasi adanya kegagalan ovarim dini yang sifatnya familial. Kelainan yang sifatnya autosomal dominan yaitu sindroma blepharophimosis/ ptosis/epicanthus inversus, ditengarai terkait dengan abnormalitas kelopak mata dan kegagalan ovarium dini, kelainan ini disebabkan oleh mutasi pada proses transkripsi faktor gen (FOXL2) pada kromosom 3. autoimun destruksi folikel karena terjadinya infeksi, seperti misalnya mumps oophoritis, ataupun trauma fisik, seperti radiasi atau kemoterapi. Permasalaan ini dapat muncul pada berbagai usia, bergantung pada jumlah folikel yang tersisa. Jika penurunan jumlah folikel terjadi dengan sangat cepat, maka amenorrhea primer dan terhambatnya perkembangan seksual akan muncul. Jika penurunan jumlah folikel terjadi setelah pubertas, maka perjalanan perkembangan fenotip dewasa dan kapan saat terjadinya amenorrhea sekunder, akan sangat bervariasi. Laparotomi dan biopsi ovarium full-thickness tidaklah diperlukan, pemeriksaan penyakit autoimun (mengenali bahwa tidak ada metode klinis praktis yang dapat secara akurat menegakkan diagnosis kegagalan ovarium autoimun) dan pemeriksaan aktivitas ovariumhipofise, adalah cukup. Seperti halnya pada pasien gonadal lainnya, direkomendasikan pemberian terapi hormon. Namun, karena terdapat ovulasi spontan, maka kontrasepsi estrogen-progestin merupakan pilihan regimen terapi yang lebih baik jika memang tidak menginginkan terjadinya kehamilan. Prospek terbaik untuk kehamilan dengan donasi oosit; namun harus diingat bahwa tingkat keberhasilan kehamilan akan berkurang jika menggunakan oosit dari saudara sekandung. Terapi kegagalan ovarium dini idiopatik dengan pemberian kortikosteroidosis farmakologis tidak berguna, karena tidak tercapai responsivitas terhadap pemberian gonadotropin. Penjelasan Molekuler Mengenai Kegagalan Ovarium

Mutasi spesifik pada gen reseptor FSH sangat jarang menyebabkan kegagalan ovarium. Sebagai contoh, satu kasus amenorrhea primer hipergonadotropik dilaporkan oleh karena terjadinya titik mutasi pada gen reseptor LH; FSH dan LH hanya sedikit mengalami peningkatan dan dijumpai folikel ovarium multipel disertai dengan perkembangan dan steroidogenesis hingga stadium antral awal. 6.Gonadotropin Normal Kadar gonadotroph yang mendekati normal mungkin disebabkan inhibisi oleh inhibin, karena sekresi inhibin oleh sel granulosa bergantung pada FSH dan tidak dipengaruhi oleh LH. translokasi antar region pada kromosom X dan Y, yang berbagai sekuens homolog, telah dilaporkan pada pasien dengan amenorrhea sekunder dan kegagalan ovarium. Sekuens pada lengan panjang kromosom X (Xq27-28) homolog dengan sekuens pada lengan panjang kromosom Y (Yq11.22), sehingga mengakibatkan terjadinya kesalahan pada proses crossing-over. mutasi yang tidak sempurna (dikenal juga sebagai premutasi) pada area yang mentransmisikan sindrom fragile-X dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang lebih besar pada wanita dengan kegagalan ovarium dini. Delesi pada kromosom X jarang dijumpai pada amenorrhea sekunder, namun terkadang delesi dapat dideteksi pada wanita yang memiliki riwayat kegagalan ovarium dini. Efek Radiasi dan Kemoterapi Efek radiasi bergantung pada usia dan dosis radiasi yang diberikan. Kadar steroid mulai mengalami penurunan dan gonadotropin akan meningkat dalam 2 minggu setelah radiasi ovarium. Semakin banyaknya jumlah oosit pada usia yang lebih muda, menjadi dasar resistensi terhadap kastrasi total pada wanita muda yang terpapar radiasi yang intens. Fungsi dapat kembali setelah bertahun-tahun amenorrhea. Di sisi lain, jika terjadi kerusakan bisa jadi tidak tampak hingga nantinya, dalam bentuk kegagalan ovarium dini. Jika memang terjadi kehamilan, resiko terjadinya abnormalitas kongenital tidaklah lebih besar dibanding normal. Jika lapangan radiasi tidak melibatkan pelvis, maka tidak ada

resiko terjadinya kegagalan ovarium dini. Untuk alasan inilah, transposisi elektif ovarium keluar dari pelvis dengan menggunakan prosedur laparoskopi sebelum tindakan radiasi, memberikan prospek yang bagus untuk fertilitas di masa mendatang. Gonad tidak terancam di dapur; panjang gelombang pada penggunaan oven microwave dengan daya penetrasi jaringan rendah. Agen alkylating memiliki sifat yang sangat toksik terhadap gonad. Seperti halnya dengan radiasi, terdapat hubungan berbanding terbalik antara dosis yang dibutuhkan untuk mengakibatkan terjadinya kegagalan ovarium, dengan usia saat dimulainya terapi. Agen kemoterapi lain memiliki potensi kerusakan ovarium, namun agen-agen ini kurang diteliti. Efek kombinasi kemoterapi serupa dengan gen alkylating. Diperkirakan sekitar 2/3 wanita premenopausal dengan kanker payudara dan mendapat terapi cyclophosphamide, methrothrexate, dan fluorouracil mengalami hilangnya fungsi ovarium. Dapat terjadi kembalinya menstruasi dan kehamilan, namun tidak ada cara untuk memprediksi apakah pasien akan kembali mendapatkan fungsi ovulatorik. Seperti halnya dengan radioterapi, kerusakan dapat muncul belakangan, dalam bentuk kegagalan ovarium. Apakah mungkin mempertahankan folikel ovarium dalam status dorman dengan mensupresi sekresi FSH dapat mencegah kegagalan ovarium? Pada penelitian terhadap hewan coba monyet, supresi gonadotroph dengan pemberian etrapi agonis GnRH selama radiasi tidak mampu melindungi rusaknya folikel ovarium. Berbeda dengan hal tersebut, terapi agonis GnRH pada monyet memang menunjukkan efek melindungi dari kerusakan folikel ovarium oleh cyclophosphamide. Keterbatasan pengalaman dengan kemoterapidan terapi agonis GnRH telah mengalami peningkatan. Pengambilan oosit yang lalu diikuti dengan penyimpanan cryo sebelum prosedur radiasi dan/atau kemoterapi, menurut pendapat kami, akan terbukti sebagai metode terbaik untuk mempertahankan fertilitas pada pasien ini. Kemungkinan lain adalah dengan transplantsi jaringan ovarium ke area periferal, metode ini berhasil mencapai kehamilan pada hewan coba monyet. Jika kadar FSH tidak lebih tinggi dibanding LH (rasio FSH/LH kurang dari 1,0) dan jika estradiol lebih dari 50 pg/mL, maka dapat dipertimbangkan untuk dilakukan induksi ovulasi. 7.Gonadotropin Rendah

Jika hasil pemeriksaan gonadotropin ternyata rendah, atau berada dalam kisaran normal, maka diperlukan satu lokalisasi akhir untuk membedakan antara hipofise (Kompartemen III) ataupun SSP-hipothalamik (Kompartemen IV), sebagai penyebab amenorrhea. Hal ini dapat dicapai dengan melakukan pemeriksaan radiologis terhadap sella tursica untuk mencari tanda terjadinya perubahan yang abnormal. 8. Sella Tursica Keberadaan permasalahan visual dan/atau nyeri kepala membutuhkan evaluasi MRI cepat. Nyeri kepala tentunya memiliki korelasi dengan adanya adenoma hipofose. Meskipun biasanya terletak bifrontal, retro-orbital, ataupun bitemporal, namun tidak terdapat lokasi atau gambaran yang secara spesifik menunjukkan tumor hipofise. Kadar prolaktin 100 ng/mL telah dipilih secara empiris untuk menentukan pendekatan yang lebih agresif. Massa yang besar, dengan kadar prolaktin kurang dari 100 ng/mL lebih mungkin merupakan suatu tumor dibanding suatu adenoma yang mensekresi prolaktin, menyebabkan penekanan tangkai hipofise dan gangguan pada regulasi dopamin normal dalam sekresi prolaktin. Tumor ini akan disertai dengan menstruasi yang tidak normal, nyeri kepala, ataupun gangguan visual. Hipofise Incidentaloma Persentase adanya adenoma yang tidak dicurigai sebelumnya dan semua mikroadenoma pada kelenjar hipofise berkisar 9% - 27%, pada penelitian autopsi. Untuk itu, sejumlah individu, kemungkinan sebesar 10%, memiliki massa hipofise asimptomatik yang secara endokrin tidak aktif dan tidak memiliki dampak buruk dalam kehidupannya. Lesi ini dijumpai secara kebetulan karena adanya peningkatan penggunaan pencitraan yang sensitif. Perjalanan yang sifatnya jinak ini mendebat intervensi segera terhadap pasien tanpa bukti adanya gangguan hormonal; pengawasan jangka panjang lebih tepat dilakukan. Pemeriksaan radiologis ulang terhadap mikroadenoma sebaiknya dilakukan dalam 1, 2, dan 5 tahun; jika memang tidak didapatkan adanya perubahan maka dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut lagi. Sedangkan untuk makroadenoma, pemeriksaan radiologis ulang sebaiknya dilakukan pada 0,5, 1, 2, dan 5 tahun. Bila dijumpai adanya pertumbuhan, tentu saja hal ini membutuhkan terapi. Pencitraan MRI perlu untuk diperiksa secara cermat untuk menyingkirkan craniopharyngioma (tumor solid dengan kalsifikasi) ataupun suatu kista intrahipofise.

Evaluasi Sella Tursica Abnormal dan/atau Kadar Prolaktin yang Tinggi Ekspektasi terhadap penggunaan uji endokrin untuk membedakan antara gangguan yang terjadi di hipothalamus dan pada hipofise anterior belum direalisasikan. Manuver endokrin ini meliputi stimulasi GnRH, stimulasi TRH, dan langkah lain untuk mengubah sekresi prolaktin, GH, dan ACTH. Stimulasi TRH terhadap respon prolaktin merupakan respon abnormal yang paling konsisten (respon prolaktin yang lebih tumpul), namun beberapa pasien dengan tumor memberikan respon yang normal. Variabilitas respon terhadap keseluruhan manuver adalah kuncinya. Kelainan Spesifik Dalam Kompartemen Sindroma Sella Kosong (Empty Sella Syndrome) Pada kondisi ini, terdapat ketidaklengkapan kongenital diafragma sellar yang memungkinkan perluasan spasium subarakhnoid ke dalam fossa hipofise. Glandula hipofise dipisahkan dari hipotalamus dan menjadi mendatar. Sindroma sella kosong juga dapat terjadi sekunder akibat pembedahan, radioterapi, atau infark tumor hipofise. Galaktorrhea dan peningkatan kadar prolaktin dapat ditemukan pada sella kosong, dan kemungkinan di sana terdapat juga adenoma yang mensekresi prolaktin. Hal ini menunjukkan bahwa sella kosong pada pasien ini dapat terjadi karena adanya infark tumor. Kondisi ini bersifat jinak; tidak berkembang menjadi gagal hipofise. Gangguan utama yang dirasakan pasien adalah terapi yang tidak terencana untuk tumor hipofise. Karena kemungkinan juga ditemukan adenoma, pasien dengan peningkatan kadar prolaktin atau galaktorrhea dan sella kosong harus melalui observasi tahunan (pemeriksaan dan imaging prolaktin) selama beberapa tahun untuk deteksi pertumbuhan tumor. Tawaran terapi hormon atau induksi ovulasi merupakan hal yang aman dan sesuai untuk dilakukan.

9. Sindroma Asherman Kondisi ini pada umumnya diakibatkan oleh tindakan kuretase post partum yang terlalu dalam sehingga menyebabkan terjadinya pembentukan jaringan sikatrik intrauterin. Pola yang khas adalah sinekia multipel yang tampak pada histerogram. Penegakan diagnosis dengan menggunakan histeroskopi adalah lebih akurat, karena dapat mendeteksi adhesi

minimal yang tidak tampak dengan histerogram. Adhesi yang terjadi dapat menyebabkan sumbatan kavum endometrial, ostium uteri internum, kanalis servikalis, ataupun kombinasi area-area tersebut, baik sebagian ataupun seluruhnya. Meskipun terdapat stenosis ataupun atresia ostium uteri internum, namun pasti terjadi hematometra. Endometrium akan menjadi refrakter, hal ini mungkin terjadi sebagai respon terhadap peningkatan tekanan, dan cukup dilakukan dilatasi serviks. Sindroma Ashermans ini juga dapat terjadi setelah dilakukan tindakan operasi uterus, meliputi seksio sesaria, miomektomi, ataupun metroplasty. Adhesi yang sangat berat dijumpai setlah kuretase postpartum dan hipogonadisme postpartum; misalnya pada sindroma Sheehans. Pasien dengan sindroma Ashermans dapat disertai dengan permasalahan lain selain amenorrhea, yaitu meliputi abortus, dismenorrhea, ataupun hipomenorrhea. Penderita juga dapat mengalami menstruasi normal. Infertilitas dapat terjadi dengan adanya adhesi minimal. Pasien dengan riwayat abortus berulang, infertilitas, ataupun pregnancy wastage sebaiknya menjalani pemeriksaan kavum endometrial dengan menggunakan histerogram ataupun histeroskopi. Pengelolaan Sindroma Asherman Dilatasi dan kuretase untuk melepaskan perlengketan, dan bila perlu dapat dilakukan histerogram on-the-table untuk memastikan kavum uterus telah dibebaskan. Histeroskopi dengan lisis adhesi secara langsung dilakukan dengan pemotongan, kaueterisasi, ataupun laser memberikan hasil yang lebih bagus dibanding dilatasi dan kuretase yang dilakukan secara blind Setelah operasi, digunakan suatu metode untuk mencegah terjadinya perlengketan kembali. Pada mulanya digunakan IUD untuk tujuan ini; namun kateter Foley untuk anak merupakan pilihan yang lebih baik. Bola kateter diisi dengan 3 mL cairan, dan kateter diambil setelah 7 hari. Pemberian antibiotik spektrum luas diberikan pre-operatif dan dipertahankan hingga hari ke-10. Dapat diberikan inhibitor sintesis prostaglandin jika terjadi kram uterus.

Pasien mendapat terapi stimulasi estrogen dosis tinggi selama 2 bulan (misalnya estrogen konjugasi 2,5 mg per hari selama 3 dari 4 minggu; dengan medroxyprogesterone acetat 10 mg per hari diberikan pada minggu ke-3).

10. Adenoma Hipofise yang Mensekresi Prolaktin Adenoma yang mensekresi prolaktin merupakan jenis tumor hipofise yang paling sering dijumpai, dan merupakan 50% dari seluruh adenoma hipofise yang teridentifikasi saat otopsi. Kadar prolaktin yang tinggi dijumpai pada sekitar 1/3 wanita tanpa penyebab jelas amenorrhea. Hanya 1/3 wanita dengan kadar prolaktin yang tinggi mengalami galaktorrhea, kemungkinan karena kadar lingkungan estrogen yang rendah yang berkaitan dengan amenorrhea akan menghambat respon normal terhadap prolaktin. Penjelasan lain yang mungkin, menitikberatkan pada heterogenitas hormon peptida. Prolaktin bersirkulasi dalam berbagai bentuk dengan modifikasi struktural, yang merupakan akibat dari glikosilasi, fosforilasi, delesi, dan addisi. Berbagai bentuk tersebut dikatkan dengan berbagai bioaktivitas (dengan manifestasi galaktorrhea) dan immunoreaktivitas (dikenal dengan immunoassay). Varian yang dominan adalah prolaktin kecil (80-85%), yang juga memiliki aktivitas biologis yang lebih besar dibanding varian yang lebih besar. Kadar prolaktin yang sangat tinggi (lebih dari 1.000 ng/mL) dikaitkan dengan tumor invasif. Tumor ini merupakan kasus yang jarang dan tidak menunjukkan hasil yang bagus dengan pembedahan, namun, tumor ini biasanya dapat dikontrol dan diterapi dengan agonis dopamin. Amenorrhea dikaitkan dengan peningkatan kadar prolaktin karena adanya inhibisi prolaktin terhadap sekresi pulsatil GnRH. Kelenjar hipofise pada pasien ini memberikan respon normal terhadap GnRH, atau pada pendekatan ter-augmentasi (mungkin karena peningkatan jumlah simpanan gonadotropin), sehingga mengindikasikan bahwa mekanisme amenorrhea adalah penurunan GnRH. Pemberian antagonis opioid jangka pendek menunjukkan bahwa inhibisi ini dimediasi oleh peningkatan aktivitas opioid. Meskipun demikian, pemberian naltrex-one (antagonis opioid kerja panjang) jangka panjang tidak mengembalikan fungsi menstrual. Dan lagi, terapi untuk menurunkan kadar prolaktin dalam sirkulasi akan mengembalikan responsivitas ovarium dan fungsi menstrual. Hal ini dapat dicapai baik apakah terapi ini mencakup pengangkatan tumor yang mensekresi prolaktin ataukah supresi sekresi prolaktin.

Pembedahan Bedah saraf transsphenoidal mencapai resolusi hiperprolaktinemia secara cepat dengan kembalinya siklus menstruasi pada sekitar 30% pasien dengan makroadenoma dan 70% pasien dengan mikroadenoma. Selain ketidakmampuan untuk mencapai penyembuhan total, pembedahan dapat diikuti dengan rekurensi tumor (tingkat kesembuhan jangka penjang adalah sekitar 50% dari keseluruhan, berkisar hingga tertinggi 70% untuk mikroadenoma dan mencapai terendah 10% untuk makroadenoma) , bergantung pada keahlian dan pengalaman ahli bedah dan ukuran tumor, serta persentase perkembangan panhipopituarisme yang signifikan, namun belum diketahui secara pasti (mungkin sebanyak 10-30% setelah pembedahan makroadenoma). Komplikasi lain pembedahan meliputi kebocoran LCS, kadang terjadi meningitis, dan sering terjadi komplikasi diabetes insipidus post-operatif. Diabetes insipidus biasanya merupakan permasalahan sementara, jarang berlangsung hingga 6 bulan, namun mungkin juga permanen. Tingkat mortalitas kurang dari 1%. Semakin tinggi kadar prolaktin post-operatif maka akan semakin rendah tingkat kesembuhan. Secara umum, sekitar 50% mikro dan makroadenoma dapat disembuhkan dengan pembedahan. Tidak didapatkan adanya kasus kematian, namun terkadang diperlukan terapi sulih hormon (hipopituarisme) pada pasien. Hal penting dalam penelitian ini, kehamilan tidak mengakibatkan terjadinya eksaserbasi ataupun rekurensi pada seorang pasien. Terdapat 3 penjelasan yang mengkin dalam rekurensi atau persistensi hiperprolaktinemia setelah pembedahan. 1. Tumor yang menghasilkan prolaktin tampak seperti hipofise normal di sekitarnya, dan sulit untuk direseksi secara total. 2. Tumor multifokal. 3. Terdapat abnormalitas yang berlanjut pada hipothalamus, mengakibatkan stimulasi kronik laktotroph. Direkomendasikan penatalaksanaan berikut untuk pasien yang telah menjalani operasi: 1. Jika siklus menstruasi kembali; dilakukan evaluasi periodik mengenai permasalahan anovulasi. 2. Jika amenorrhea atau oligomenorrhea dan hiperprolaktinemia menetap atau rekuren: diperiksa kadar prolaktin setiap 6 bulan dan pemeriksaan radiologis setiap

tahun selama 2 tahun, dan kemudian pemeriksaan radiologis setiap beberapa tahun. Jika dijumpai bukti terjadinya pertumbuhan tumor, maka diberikan terapi agonis dopamin untuk mengkontrol pertumbuhan. Selain itu, agonis dopamin dapat digunakan untuk menginduksi ovulasi jika memang menginginkan kehamilan Hasil Radiasi Hasil terapi radiasi kurang memuaskan dibanding pembedahan. Selain itu, respon yang muncul sangat lambat; konsentrasi prolaktin mungkin baru akan turun setelah beberapa tahun. Setelah radiasi, panhipopituitarisme dapat terjadi hingga rentang 10 tahun setelah terapi dan lebih dari setengah pasien yang menjalani radiasi mengalami endokrinopati multipel. Pasien yang mendapat terapi radiasi harus dipantau untuk jangka waktu yang lama, dan gejala apapun yang menunjukkan kecurigaan terjadinya kegagalan hipofise membutuhkan pemeriksaan. Radiasi hanya dilakukan sebagai terapi adjuvan untuk mengkontrol persistensi ataupun pertumbuhan kembali tumor berukuran besar setelah dilakukan pembedahan, serta mengecilkan ukuran tumor besar yang tidak responsif terhadap terapi medikamentosa. Pada umumnya, sejumlah kecil wanita yang menjalani terapi radiasi akan kembali ke fungsi hormonal yang normal. Efikasi radiasi yang terfokus (radioterapi pisau gamma) belum diketahui. Terapi Adenoma Hipofise yang Mensekresi Prolaktin Makroadenoma Terapi agonis dopamin merupakan terapi pilihan untuk makroadenoma, dengan menggunakan dosis serendah mungkin. Setelah terjadi pengecilan massa tumor, maka dosis yang diberikan dikurangi secara progresif hingga dicapai dosis rumatan yang terendah. Kadar prolaktin serum dapat digunakan sebagai marker, dilakukan pemeriksaan kadarnya secara berkala tiap 3 bulan hingga stabil. Pemeriksaan MRI sebaiknya diulang dalam 1 tahun untuk menegakkan reduksi ukuran tumor. Beberapa pasien lebih memilih pembedahan dibanding dengan terapi medikamentosa jangka panjang, dan hal itu tentunya merupakan pilihan yang rasional. Untuk mencari hasil yang lebih baik, pilihan ini sebaiknya disampaikan pada pasien. Pembedahan transsphenoidal direkomendasikan jika terdapat perluasan suprasellar ataupun gangguan visual yang menetap setelah pemberian terapi agonis dopamin untuk makroadenoma. Karena tingginya angka rekurensi setelah pembedahan, maka harus dipertimbangkan prosedur radioterapi. Semua pasien yang

mendapat radioterapi membutuhkan pemantauan berkelanjutan terhadap berkembangnya hipopituitarisme. Terapi operatif seharusnya dipertimbangkan sebagai prosedur debulking untuk tumor berukuran besar, dengan atau tanpa adanya invasi sebelum terapi agonis jangka panjang. Mikroadenoma Terapi mikroadenoma ditujukan untuk mengatasi 1 dari 2 permasalahan; infertilitas atau ketidaknyamanan payudara. Terapi dengan agonis dopamin merupakan metode pilihan. Pasien dengan amenorrhea hipoestrogenik dimotivasi untuk menjalani program terapi estrogen dengan tujuan untuk mempertahankan kesehatan tulang dan sistem vaskular. Kontrasepsi estrogen-progestin dosis rendah direkomendasikan bagi pasien yang membutuhkan kontrasepsi. Pemantauan Jangka Panjang Karena tumor ini dapat tumbuh secara lambat, maka sebaiknya meskipun tidak terdapat gejala, dilakukan evaluasi pada pasien dengan mikroadenoma setiap tahun selama 2 tahun. Evaluasi terdiri atas pengukuran kadar prolaktin dan pemeriksaan radiologis pada sella tursica. Jika perjalanan penyakit tidak berubah, maka evaluasi tahunan bisa dibatasi pada pemeriksaan kadar prolaktin. Pemantauan pada pasien makroadenoma pada awalnya dilakukan dalam periode setiap 6 bulan dalam tahun pertama, dan jika adenoma secara klinis tampak stabil, kadar prolaktin diperiksa tiap tahun. MRI direncanakan jika dicurigai terjadi ekspansi tumor. Pasien yang telah menjalani terapi agonis dopamin selama 2-5 tahun dengan keberhasilan reduksi ukuran tumor, dapat mengalami reduksi secara bertahap, dan kemudian menghentikan terapi, diikuti dengan pemantauan kadar prolaktin tiap 3 bulan. Jika kadar prolaktin normal dapat dipertahankan, direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan radiologis satu tahun kemudian. 12. Kehilangan Berat Badan, Anoreksia, Bulimia Obesitas dapat berhubungan dengan amenorrhea, tetapi amenorrhea pada pasien obesitas seringkali disebabkan karena anovulasi, dan sebuah keadaan hipogonadotropik tidak terjadi kecuali pasien mengalami gangguan emosional berat. Kebalikannya, kehilangan berat badan akut, melalui jalur yang belum diketahui, dapat mengakibatkan keadaan hipogonadotropik. Karena angka mortalitas berhubungan dengan sindroma ini signifikan,

perlu dilakukan pengamatan yang cermat. Angka mortalitas diperkirakan sekitar 6%. Beberapa penelitian menemukan bahwa sebagian besar pasien sembuh dan tidak ada peningkatan pada mortalitas. Diagnosis Anoreksia Nervosa 1. Onset pada usia 10 hingga 30 tahun 2. Kehilangan berat badan 25% atau berat badan 15% di bawah usia atau tinggi normal 3. Sikap khusus i. Penyangkalan ii. Gambaran tubuh yang tidak jelas iii. Penyimpanan atau memegang makanan yang tidak biasa 4. Paling tidak terdapat satu dari hal berikut: i. Lanugo ii. Bradikardia iii. Overaktivitas iv. Episode makan berlebih (bulimia) v. Muntah yang biasanya dipicu oleh diri sendiri 5. Amenorrhea 6. Tidak adanya penyakit medis 7. Tidak ada gangguan psikiatrik lainnya 8. Karakteristik lainnya: i. Konstipasi ii. Tekanan darah rendah iii. Hiperkeratonemia iv. Diabetes insipidus Hipotensi, hipotermia, kulit kasar dan kering, rambut lanugo halus pada punggung dan bokong, bradikardia, dan edema merupakan tanda-tanda yang sering muncul. Penggunaan berlebihan diuretik dan laksansia dapat mengakibatkan adanya hipokalemia. Hipokalemia alkalosis dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Bulimia adalah sebuah sindroma yang ditandai dengan episode dan makan berlebih sekretif diikuti dengan muntah yang diinduksi sendiri, puasa, atau penggunaan laksansia dan diuretik, bahkan enema. Pasien dengan anoreksia nervosa dapat dibagi menjadi anoreksia

bulimik dan mereka yang berpuasa dan berolahraga berlebihan. Anoreksia bulimik berusia lebih tua, lebih depresi, dan kurang terisolasi secara sosial, dan memiliki insidensi masalah keluarga yang lebih tinggi. Berat badan pada bulimia murni berfluktuasi, tetapi tidak jatuh pada tingkat yang rendah seperti pada yang anoreksia. Pasien yang mengatasi masalahnya dengan bulimia memiliki fertilitas normal. Penelitian endokrin dapat diringkas sebagai berikut: kadar FSH dan LH rendah, peningkatan kadar kortisol, kadar prolaktin normal, kadar TSH dan thyroxine (T4) normal, tetapi kadar 3,5,3-triiodothyronine (T3) rendah, dan kadar reverse T3 tinggi. 13.Hipotiroid Sebenarnya, banyak gejala yang muncul dapat dijelaskan oleh hipotiroidisme relatif (konstipasi, intoleransi terhadap udara dingin, bradikardia, hipotensi, kulit kering, tingkat metabolisme rendah, hiperkarotenemia). Terdapat kompensasi terhadap keadaan kurang gizi, dengan pengubahan bentuk T3 aktif menjadi metabolit tak aktif, reverse T3. Dengan peningkatan berat badan, semua perubahan metabolik kembali ke normal. Pasien dengan anoreksia nervosa mengalami kadar gonadotropin rendah yang persisten yang sama dengan anak prepubertas. Dengan peningkatan berat badan, episode sekresi LH yang berhubungan dengan tidur muncul, sama dengan anak pada usia awal pubertas. Dengan kesembuhan penuh, pola 24 jam sama dengan yang ada pada dewasa, ditandai dengan adanya fluktuasi puncak. Tahapan perubahan ini dengan peningkatan dan penurunan berat badan dijelaskan dengan peningkatan dan penurunan sekresi pulsatil GnRH. Perlu untuk memantau pasien secara teratur dan terlibat dalam program perhitungan kalori harian (intake kalori harian minimal 2,600 kalori) dengan tujuan menghilangkan kebiasaan makan pasien yang sudah terbentuk. Jika perkembangannya lambat, terapi hormon harus dimulai. Pada dewasa dengan berat kurang dari 100 pon, kehilangan berat badan yang terus berlanjut membutuhkan konsultasi psikiatri. 14. Sindroma Turner Sindroma Turner (abnormalitas dalam atau tidak adanya salah satu kromosom X) telah sangat dikenal dan dipelajari secara menyeluruh. Karakteristik sindroma ini adalah perawakan pendek, leher pendek/webbed neck, dada rata/shield chest, dan peningkatan carrying angle pada siku, dikombinasikan dengan amenorrhea hipergonadotropik hipoestrogenik, hal-hal tersebut membuat diagnosis dapat ditegakkan dari evaluasi

superfisial. Karena adanya kekurangan folikel ovarium, maka tidak terdapat produksi hormon seksual saat pubertas, sehingga pasien mengalami amenorrhea primer. Namun, harus diberikan perhatian khusus pada variasi lebih jarang sindroma ini. Kelainan autoimun, abnormalitas kardiovaskular, dan berbagai anomali renal harus dapat disingkirkan. Karyotipe seharusnya diperiksa pada seluruh pasien dengan peningkatan gonadotropin, meskipun terdapat gambaran tipikal sindroma Turner. Keberadaan sindroma yang murni, 45,X kromosom lapisan sel tunggal, haruslah dikonfirmasi. Tes yang mahal ini tidak dapat diperiksa hanya sebagai sebuah langkah menuju kesempurnaan akademik. 40% individu yang tampaknya menunjukkan gambaran sindroma Turner, memiliki kelainan struktural ataupun mosaik pada kromosom X atau Y. Mosaicisme Keberadaan mosaicisme (lapisan sel multipel dengan komposisi berbagai kromosom seks) harus dapat disingkirkan untuk alasan yang sangat penting. Adanya kromosom Y dalam karyotipe membutuhkan eksisi pada area gonad, karena adanya komponen meduler (testikuler) dalam gonad merupakan faktor predisposisi terjadinya pembentukan tumor dan pada perkembangan heteroseksual (virilisasi). Hanya pada pasien dengan bentuk total insensitivitas androgen dapat menunda tindakan laparotomi hingga setelah pubertas, oleh karena individu ini resisten terhadap androgen dan tumor gonadal dapat terajdi belakangan. Pada semua pasien lain dengan kromosom Y, gonadektomi harus dilakukan sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari virilisasi dan pembentukan tumor awal. Harus diingat bahwa sekitar 30% pasien dengan kromosom Y tidak akan mengalami perkembangan virilisasi. Sehingga, bahkan pasien dewasa yang tampaknya normal sekalipun, di mana disertai dengan peningakatan kadar gonadotropin serum, harus dilakukan pemeriksaan karyotipe untuk mendeteksi kromosom Y silent, sehingga dapat dilakukan gonadektomi profilaksis sebelum terjadi perubahan neoplasia. Karyotipe yang sepenuhnya diwarna dan di-band merupakan metode terbaik untuk mendeteksi keberadaan jaringan testikuler ataupun kombinasi mosaik lainnya. Sekitar 5% pasien dengan diagnosis sindroma Turner memiliki material kromosom Y dalam karyotipe-nya. Analisis lebih lanjut dengan menggunakan probe DNA Y-spesifik dapat menemukan 5% lagi dengan material kromosom Y. Namun, perkembangan gonadoblastoma pada pasien dengan sindroma Turner adalah rendah (5-10%), dan

tampaknya hanya terbatas pada kasus di mana material Y tampak pada pemeriksaan karyotipe rutin. Pemeriksaan untuk mencari material kromosom Y diindikasikan jika terjadi virilisasi, meskipun tidak terdapat Y yang nyata pada karyotipe dan jika dijumpai fragmen kromosomal yang tidak jelas asalnya. Dampak mosaicisme, bahkan tanpa adanya lapisan sel yang mengandung Y, relatif signifikan (misalnya XX/XO), jaringan kortikal (ovarium) yang fungsional dapat ditemukan dalam gonad, mengakibatkan terjadinya berbagai respon, meliputi berbagai derajat perkembangan wanita, dan terkadang, bahkan menstruasi dan reproduksi. Individu ini mungkin tampak normal, mencapai perawakan normal, sebelum terjadi menopause prematur. Lebih seringnya, pasien ini memiliki ukuran tubuh pendek. Sebagian besar pasien dengan hilangnya material kromosom seks memiliki tinggi badan kurang dari 63 inchi (160 cm). Menopause akan terjadi awal karena fungsi folikel mengalami peningkatan kecepatan atresia. Serangkaian pemeriksaan variasi disgnesis gonad, dari tipikal bentuk murni hingga perawakan dan fungsi wanita normal dengan menopause dini, merupakan akibat dari berbagai mosaicisme, yang mengakibatkan campuran kompleks jaringan gonad kortikal dan meduler. Kepentingan klinis informasi ini menegaskan perlunya pemeriksaan karyotipe pada wanita yang mengalami peningkatan gonadotropin dengan usia di bawah 30 tahun. Meskipun lebih jarang dijumpai, bahkan abnormalitas autosomal dapat disertai dengan kegagalan ovarium hipergonadotropik; misalnya seorang wanita 28 tahun dengan amenorrhea sekunder dan peningkatan kadar gonadotropin dilaporkan mengalami mosaicisme trisomi 18. 15. Sindroma Ovarium Resisten Meskipun jarang, terdapat sejumlah pasien dengan amenorrhea dan tumbuh-kembang normal yang mengalami peningkatan kadar gonadotropin meskipun terdapat folikel ovarium yang tidak terstimulasi, dan tidak terdapat bukti terjadinya penyakit autoimun. Laparotomi dibutuhkan untuk dapat mencapai diagnosis yang tepat, melalui pemeriksaan histologis terhadap ovarium. Hal ini tidak hanya dapat menunjukkan adanya folikel namun juga tidak terdapatnya infiltrasi limfositik yang dijumpai pada penyakit autoimun. Karena insidensnya yang jarang dan rendahnya kemungkinan untuk hamil, walaupun dengan pemberian terapi gonadotropin eksogen, kami tidak setuju bahwa tindakan

laparotomi dengan tujuan untuk biopsi ovarium, bernilai untuk dilakukan pada semua kasus pasien dengan amenorrhea, tingginya kadar gonadotropin, dan karyotipe yang normal. Pasien ini merupakan kandidat yang baik untuk tindakan donasi oosit. Namun belum tentu juga pasien-pasien ini menunjukkan sindroma yang terpisah, atau apakah harus dikategorikan dalam kegagalan ovarium dini, di mana kasus folikel ovarium yang tidak responsif mirip dengan yang dijumpai pada usia menopause. 16.Olahraga dan Amenorrhea Terlihatnya dua pengaruh besar: sebuah level kritis lemak tubuh dan efek terhadap stres itu sendiri. Wanita muda dengan berat kurang dari 115 pon dan kehilangan lebih dari 10 pon ketika berolahraga merupakan wanita yang cenderung akan mengalami masalah, sebuah hubungan yang mendukung konsep berat badan kritis dari Frisch. Hipotesis berat badan kritis menyatakan bahwa onset dan keteraturan fungsi menstruasi membutuhkan penjagaan berat badan di atas tingkat kritis, dan, oleh karena itu, di atas sejumlah kritis lemak tubuh. Dalam berhubungan dengan pasien, nomogram yang dibuat Frisch sangatlah membantu, yang mana didasarkan pada kalkulasi jumlah total cairan tubuh sebagai persentase berat badan. Hal ini berhubungan dengan persentase lemak tubuh, dan oleh karena itu merupakan sebuah indeks kegemukan. Persentil ke-10 pada usia 16 tahun ekuivalen dengan 22% lemak tubuh, berat badan minimal terhadap tinggi perlu untuk mempertahankan menstruasi, dan persentil ke-10 pada usia 13 tahun ekuivalen dengan 17% lemak tubuh, minimal untuk inisiasi menarche. Kehilangan berat badan dalam rentang 1015% berat normal berdasarkan tinggi badan mewakili kehilangan sekitar sepertiga lemak tubuh, yang mana menghasilkan penurunan 22% di bawah garis dan dapat berakibat pada fungsi menstruasi yang abnormal. Lemak berbicara dengan otak melalui leptin, dan sistem leptin mempengaruhi reproduksi. Kadar leptin bahkan lebih rendah pada olahraga, individu amenorrhea (bahkan lebih rendah dari yang diharapkan karena lebih rendahnya lemak tubuh). Kadar leptin yang lebih rendah menekan fungsi reproduksi dan tiroid sementara terjadi peningkatan aktivitas adrenal otak yang dapat dipicu oleh baik penurunan lemak tubuh dan peningkatan balans energi negatif. Gangguan menstruasi ini sama dengan disfungsi hipotalamus yang lebih bermakna pada kasus klasik anoreksia nervosa. Olahraga akut menurunkan gonadotropin dan meningkatkan prolaktin, growth hormone, testosterone, ACTH, steroid adrenal, dan

endorphin sebagai hasil dari baik peningkatan sekresi dan pengurangan klirens. Peningkatan prolaktin berlawanan dengan tidak adanya perubahan prolaktin pada wanita yang kurang gizi. Peningkatan prolaktin bervariasi, dalam amplitudo kecil, dan dengan durasi yang sangat pendek. Maka, cenderung peningkatan prolaktin tidak bertanggung jawab pada supresi siklus menstruasi. Diperkirakan bahwa jumlah lemak tubuh suboptimal secara buruk mempengaruhi metabolisme estrogen, secara spesifik mendorong peningkatan konversi estrogen aktif biologis menjadi catecholestrogen inaktif. Konversi estradiol pada catecholestrogen secara cepat memisahkan 2-hydroxyestrone dan 4-hydroxyestrone, metabolit yang relatif inaktif yang dimetabolisme lebih jauh dengan metilasi menjadi 2-methoxyestrogen dan 4methoxyestrogen. Maka produk ini melalui jalur metabolisme tersebut, meningkat pada kegiatan fisik. Hal ini dapat merupakan sebuah mekanisme yang dapat mempengaruhi umpan balik yang penting dan peranan lokal untuk estradiol pada interaksi hipofiseovarium. Corticotropin releasing hormone (CRH) secara langsung menghambat sekresi GnRH hipotalamus, kemungkinan dengan mengaugmentasi sekresi opioid endogen. Wanita dengan amenorrhea hipotalamus (termasuk olahraga dan wanita dengan gangguan makan) menunjukkan hiperkortisolisme (akibat peningkatan CRH dan ACTH), yang menjadi perkiraan bahwa jalur ini merupakan jalan untuk stres menghentikan fungsi reproduksi. Sebenarnya atlet amenorrhea yang kadar kortisolnya kembali ke rentang normal akan kembali memperoleh fungsi menstruasinya dalam 6 bulan, berlawanan dengan atlet yang mempertahankan kadar kortisol tinggi dan tetap mengalami amenorrhea. Atlet yang amenorrhea berada dalam keadaan balans energi negatif, lebih jauh diidentifikasi mengalami peningkatan insulin-like growth factor binding protein-1 (IGFBP-1), peningkatan sensitivitas insulin, penurunan kadar insulin, defisiensi IGF1, dan peningkatan kadar growth hormone. Peningkatan IGFBP-1 dapat membatasi aktivitas IGF di hipotalamus yang merupakan mekanisme lain dalam supresi sekresi GnRH. Sebuah gabungan hipotesis yang memfokuskan diri pada balans energi. Karena tingginya kadar leptin yang terdapat pada orang-orang overweight, tujuan fungsi leptin kemungkinan dibatasi hingga pada efek dalam kadar rendah. Kadar leptin dalam sirkulasi yang rendah kemungkinan bekerja sebagai sinyal bahwa cadangan lemak tidak

sesuai untuk pertumbuhan dan reproduksi. Maka kadar yang rendah tersebut biasanya akan menstimulasi hiperfagia, mengurangi pemakaian energi, dan supresi sekresi gonadotropin dan reproduksi. Tingginya kadar leptin dan adanya resistensi terhadap kerja leptin berhubungan dengan berlebihannya lemak berat badan dan lemak tubuh yang merefleksikan bukan resistensi, tapi kurangnya efek fisiologis. Terdapat beberapa perbedaan penting antara reaksi anoreksi dan anoreksia nervosa vera. Secara psikologis, pasien dengan anoreksia nervosa vera mengalami persepsi yang salah terhadap realitas dan kurangnya insight pada penyakit dan masalahnya. Dia tidak menganggap dirinya underweight dan memperlihatkan adanya kesan kurangnya perhatian terhadap kondisi dan penampilan fisiknya yang menyedihkan. 17. Amenorrhea Postpill Oleh karena itu, amenorrhea yang mengikuti penggunaan steroid untuk kontrasepsi membutuhkan pemeriksaan sebagaimana telah digambarkan sebelumnya untuk mencegah adanya kehilangan pada problem yang signifikan. Penelitian ini harus didorong jika seorang pasien mengalami amenorrhea selama 6 bulan setelah penghentian kontrasepsi oral atau 12 bulan setelah injeksi Depo-Provera terakhir.

Você também pode gostar