Você está na página 1de 15

(OS-3106)

OSEANOGRAFI LINGKUNGAN
Overfishing-Overhunting Tangkapan Ikan di Perairan Indonesia

Oleh :

Prathama Ikhsan FH 12108016

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011/2012
PENGELOLAAN SUMBERDAYA KELAUTAN BERKELANJUTAN UNTUK MENCEGAH OVER FISHING-OVER HUNTING DI PERALIRAN LAUT INDONESIA Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini

(sebagai sumber protein yang sehat dan murah) bisa terancam kelestariannya. Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO) memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995. Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan. Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya. Sejak pertengahan tahun 1990-an, sebagian ahli perikanan dunia memang telah melihat adanya kecenderungan hasil tangkapan perikanan global yang telah mencapai titik puncak. Bahkan di beberapa wilayah dunia, produksi perikanan telah menunjukkan gejala tangkap lebih (overfishing). Kondisi overfishing di beberapa bagian dunia dapat dibuktikan dengan membuat analisis rantai makanan (trophic level) terhadap ikan-ikan yang tertangkap. Hasil yang ada menunjukkan bahwa aktivitas perikanan oleh manusia menurunkan populasi ikan-ikan jenis predator utama, seperti tuna, marlin, cucut (Myers dan Worm, 2003). Dengan jumlah alat tangkap yang dimiliki armada perikanan dunia saat ini serta dibarengi kemajuan teknologi yang ada, nelayan modern tidak perlu lagi mencari-cari daerah penangkapan terlalu lama seperti yang dilakukan generasi terdahulu, di mana mereka harus berlayar berhari-hari untuk mencapai fishing ground atau daerah penangkapan ikan.Akibat dari berkurangnya populasi ikan pada trophic level tinggi, tingkat eksploitasi terhadap jenis ikan yang berada pada tingkat trophic level yang lebih rendah, seperti ikan-ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, akan meningkat. Kecenderungan demikian disebut Fishing Down Marine Food Web, yang pertama kali diperkenalkan Pauly et al, 2002. Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur dan plankton. Over Fishing-Over Hunting Secara harfiah over fishing adalah penangkapan ikan secara besar-besaran baik ikan besar maupun kecil, sehingga ikan-ikan tersebut tidak sempat berkembang biak dan akhirnya menjadi langka. Begitu pula dengan kondisi perairan dunia yang kian hari kian mengkhawatirkan. Banyak penelitian dilakukan untuk mengetahui secara pasti apa yang terus terjadi di lautan yang hasilnya sungguh mencengangkan.Selama beberapa tahun terakhir, jumlah ikan yang ada di dasar lautan dunia, terlebih di Indonesia terus mengalami menyusut. Hal ini diakibatkan oleh banyak faktor, seperti pencemaran limbah yang tidak terkontrol, pemanasan global yang menaikkan suhu di dasar air, hingga penangkapan ikan secara besar-besaran tanpa memerhatikan jenis dan ukuran ikan yang ditangkap. Jika kondisinya seperti demikian,bukan hal yang tidak mungkin kelak jumlah tangkapan ikan di Perairan Indonesia akan berkurang. Salah satu contoh tanda-tanda over fishing adalah proses penangkapan ikan tuna di atas kapal rawai tuna, mengarungi perairan wilayah timur Indonesia dan hasilnya ternyata nihil.Ikan tuna yang menjadi tujuan dan harapan mereka entah dimana keberadaannya. Padahal sepuluh tahun silam, di lokasi yang sama cukup mudah menemukan dan menangkap ikan tuna.Itu adalah satu gambaran nyata betapa kondisi Perairan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan dan mengenaskan. Apalagi lokasi perairan wilayah timur Indonesia selama ini dikenal sebagai fishing ground-nya berbagai jenis ikan terutama jenis predator. Jika wilayah timur saja kondisinya sudah seperti demikian parah, bagaimana dengan perairan di wilayah tengah dan barat yang nota bene merupakan wilayah perairan yang telah lama

dieksploitasi oleh para nelayan?Kasus ini tidak hanya keprihatinan bangsa Indonesia saja sebenarnya. Dari ujung utara Laut Greenland hingga Lingkaran Antartika, manusia sedang menguras ikan dari lautnya. Bahkan sejak tahun 1900, banyak spesies berpotensi berkurang jumlahnya hingga 90 persen, dan keadaan ini menjadi semakin memperparah keadaan. Jaringjaring merusak terumbu karang. Negara-negara menyalahi hukum dan kapal-kapal raksasa penangkap ikan yang menyedot habis udang.(baca boks : melarang kapal penghela jala)Kondisi ini memang tidak terjadi begitu saja. Teknik penangkapan berlebihan yang dilakukan para nelayan, diperparah dengan tangkapan sampingnya yang begitu tinggi dan memiliki andil yang tidak sedikit dalam menciptakan kondisi tersebut. Di samping itu, kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan sangat kurang. Kita seperti tidak peduli akan pencemaran lingkungan yang terus terjadi setiap saat. Tumpukan sampah dan limbah industri membuat laut tak lagi bisa ditinggali makhluk hidup. Berbagai bom dan jaring merusak terumbu karang yang ada di dasar lautan lepas. Catch & Release bagi mania Meski prosentasenya tidak terlalu banyak, namun kehadiran mania mancing yang mengangkat ikan dari jenis dan ukuran apapun, sedikit banyak punya andil tersendiri. Bayangkan saja jika dalam satu minggu ada dua ratus pemancing dengan tangkapan rata-rata 10 ekor, maka dalam seminggu saja sudah ada 2000 ekor yang tidak lagi menghuni lautan. Itu artinya dalam sebulan sebanyak 8000 ekor hilang dari lautan. over fishing tak hanya dilakukan para nelayan dan agen-agen pengimpor ikan bernilai jual tinggi yang kini banyak tumbuh, tapi juga para pemancing. Bayangkan jika peristiwa ini terus berlangsung selama beberapa tahun ke depan. Berapa ikan yang punah belum lagi aktifitas nelayan yang setiap harinya mengangkat lebih banyak lagi ikan. Inilah mungkin saat yang tepat bagi kita sebagai mania mancing, turut peduli terhadap kondisi perairan kita untuk tetap menjaga keberadaan ikan di lautan lepas agar aktifitas memancing tetap bisa dilakukan untuk jangka waktu yang lama ke depannya. Cara yang paling sederhana dan mudah kita lakukan adalah dengan melakukan catch & release menangkap dan melepas- terhadap ikan yang telah berhasil dipancing. Kegiatan ini sebenarnya telah dilakukan oleh beberapa mania mancing tanah air sebelumnya. Di Kepulauan Seribu,antara pemancing dan nelayan saling berebut ikan sejak dulu. Benar saja, ikan-ikan target besar yang diburu, tak satu pun menyangkut di kail, hanya ikan-ikan kecil tergaet. Permasalahan overfishing terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap karakteristik sumber daya ikan. Sumber daya ikan (SDI) merupakan sumber daya yang bersifat renewable. Namun, kalau tidak dikelola secara baik dan benar, sumber daya tersebut dapat mengalami kepunahan. Artinya bahwa apabila dieksploitasi terus-menerus, sumber daya ikan dapat berkurang bahkan punah sehingga generasi mendatang tidak dapat menikmati sumber daya ikan seperti halnya kita sekarang. Permintaan ikan dan produk perikanan dunia pada tahun-tahun ke depan diproyeksikan mengalami peningkatan. Data FAO (2004) menunjukkan bahwa total permintaan ikan dan produk perikanan dunia diproyeksikan meningkat hampir 50 juta ton, dari 133 juta ton tahun 1999/2001 menjadi 183 juta ton pada tahun 2015. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai strategi dalam melakukan pembangunan sumber daya ikan secara bertanggung jawab. Dalam pada itu, sepuluh tahun terakhir dilaporkan bahwa produksi ikan tangkap di dunia cenderung menurun. Di beberapa kawasan, keadaan overfishing tersebut telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya kebijakan pengurangan jumlah armada tangkap, misalnya yang terjadi di kawasan Perairan Uni

Eropa. Pada tahun 2003 Komisi Uni Eropa menerbitkan kebijakan yang menghentikan pengoperasian 7.680 unit (50%) kapal ikan berkapasitas minimal 300 GT di kawasan tersebut. Kebijakan tersebut dikeluarkan sebagai upaya pemulihan kondisi sumber daya ikan. Pada akhir 2005, Komisi Uni Eropa kembali mengeluarkan kebijakan pengurangan jumlah tangkap yang diperbolehkan (Total Allowable Catches/TACs) untuk tahun 2006 sebesar 15 persen dari TACs tahun 2005. Kondisi di Indonesia Kondisi overfishing di Perairan Indonesia relatif sama dengan kondisi sumber daya ikan di perairan dunia. Data menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan di dua Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), yaitu WPP I (Selat Malaka) dan WPP III (Laut Jawa) lebih dari 100%. Pemerintah telah melihat kondisi tersebut sebagai ancaman bagi keberlanjutan sumber daya ikan saat ini dan masa yang akan datang. Wujud dari keprihatinan pemerintah dibuktikan dengan penerbitan kebijakan untuk mengatasi hal tersebut. Namun, implementasi kebijakan pemerintah belum menunjukkan hasil yang optimal. Secara de facto penyebab overfishing adalah rezim open access yang berlaku di semua armada penangkapan ikan. Di mana pengelolaan sumber daya ikan tidak mengenal hak milik (rel nullius). Setiap individu memiliki hak istimewa dan hak yang berkenaan dengan penggunaan dan pemeliharaan sumber daya. Hal ini adalah suatu situasi dari perlakuan khusus timbal balik; tidak ada pengguna mempunyai hak untuk menghalangi penggunaan yang lain. Ketika stok ikan mengalami overfishing, pekerjaan menangkap ikan yang tersisa menjadi lebih sukar. Setelah persediaan ikan menyusut, kesukaran menemukan ikan sisa berfungsi sebagai penangkal untuk mencegah kepunahan ikan. Tetapi di sini harus dijelaskan bahwa penangkal ini tidak terjamin sama sekali.Kalau permintaan atas hasil tangkapan meningkat, dan konsumen mau membayar harga yang lebih tinggi, nelayan akan mendapat dorongan untuk meningkatkan upayanya dan akan terjadi tambahan tekanan pada persediaan sumber daya ikan. Bisa juga bahwa alat-alat penangkap ikan yang lebih efisien akan berkembang, dan dengan demikian biaya penangkapan ikan akan menurun. Ini juga akan mendorong upaya yang akan berperan menyusutkan populasi ikan lebih jauh lagi. Dalam upaya mengatasi masalah overfishing di perairan Indonesia, pengelolaan sumber daya ikan laut ke depan harus memiliki strategi yang matang dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya ikan dan perekonomian sumber daya ikan. Hasil studi Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan Lautan (PKSPL, 2005) menyatakan bahwa salah satu cara untuk mengatasi rezim open access adalah melalui Revitalisasi Tata Kelola Perikanan, yaitu melalui perubahan Rejim Perikanan dari Quasi Open Access ke Limited Entry. Pembatasan Akses Rejim pemanfaatan sumber daya laut dikenal sebagai rejim open acces di mana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumber daya perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles (2001), paling tidak ada dua makna dalam rejim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumber daya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh

hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumber daya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang. Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles (2001) seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia. Salah satu titik awal dari revitalisasi tata kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rejim quasi open acces menjadi limited entry atau paling tidak open acces yang terkendali. Rejim ini menitikberatkan pada pengelolaan sumber daya ikan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rezim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budi daya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah mapan harus ambruk karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan itu harus mempertimbangkan kepada siapa hak tersebut diberikan. Penangkapan ikan secara besar-besaran atau lebih dikenal dengan nama over fishing terus saja terjadi beberapa tahun belakangan ini. Tak ada yang melarang dan memang tak ada larangan atau Undang-undangnya, siapa pun Anda baik itu pemancing atau bukan pemancing (nelayan) dengan bebas bisa menangkap sesuka hati. Lingkungan Laut Lingkungan laut Indonesia meliputi wilayah perikanan seluas 3,1 juta km2, dengan garis pantai sepanjang 82.000 km. Dtambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luasnya mencapai 2,7 juta km2, luas perairan laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2 (Suprapti, 1999: 83; Atmadja, 1993). Perikanan di daerah ini niemainkan peranan penting, tidak saja sebagai sumber devisa, sumber utama protein hewani, tetapi juga penyedia lapangan pekerjaan dan pendapatan untuk lebih dan 3 juta nelayan dan petani nelayan (Bailey, Dwiponggo, dan Marahudin, 1987). Menurut sejarahnya, perkembangan usaha penangkapan ikan Indonesia pada tahap-tahap awal terjadi hanya di wilayah Indonesia bagian barat, terutama di perairan pantai timur Sumatera, Kepulauan Riau, dan Jawa. Tetapi, sejak tahun 1950-an, terjadi perkembangan penting, yakni pergeseran usaha penangkapan ikan ke perairan Indonesia bagian Timur. Sebab utama terjadinya pergeseran tersebut adalah terjadinya penangkapan lebih (over-fishing) di perairan Indonesia bagian barat. Sementara, perairan Indonesia bagian timur belum banyak deksploitasi (Cominiti dan Hardjolukito, 1983;46; MC. Elroy, 1989; Atmadja, 1993 : 65). Masalahnya adalah apa yang

akan terjadi seandainya pada masa-masa mendatang di perairan Indonesia bagian timur mengalami over-fishing pula? Apakah ada alternatif lain, sementara tidak lagi tersedia daerah penangkapan ikan Indonesia yang belum dieksploitasi? Pertanyaan-pertanyaan ini menyodorkan masalah penting, yakni memanfaatkan sumberdaya laut yang berkesinambungan. Apakah selama ini telah dilakukan dengan sungguh sungguh pengelolaan yang dapat menghindarkan terjadnya over-fish juga. Baru-baru ini, Menteri Kelautan mencanangkan untuk menngkatkan pendapatan pemerintan dan sektor perikanan dan $ 3 milyar menjadi $ 5 milyar per tahun, Hal ini berarti bahwa eksploitasi terhadap sumberdaya perikanan di masa-masa mendatang akan rneningkat. Sementara kebutuhan nutrisi tampaknya akan meningkat pula, sejalan dengan terus meningkatnya konsumsi ikan per kapita dan meningkatnya jumlah penduduk. Dengan demikian, beban yang dipikul sektor perikanan akan semakin berat. Tanpa pengelolaan yang tepat maka bencana over-fishing di wilayah penangkapan ikan di seluruh perairan Indonesia sulit dihindarkan. Bagaimana manajemen pengelolaan sumberdaya perikanan yang ditetapkan oleh Pemerintah selama ini.? Melihat hal tersebut dan perspektif waktu barangkali akan diketahui kekurangan-kekurangan yang ada dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, dan lebih lanjut dapat diketemukan alternatif kebijakan lain yang lebih sesuai. Lingkungan Laut dan Sumberdaya Perikanan Berdasarkan topografi dasar lautnya, perairan Indonesia secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga lingkungan perairan, yakni perairan dangkal Paparan Sunda, Laut dalam Indonesia Timur, dan perairan dangkal Paparan Sahul (Soegiarto dan S. Birowo, 1975 : 5). Paparan Sunda meliputi perairan yang menghubungkan pulau-pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dengan daratan Asia, yakni yang meliputi laut Cina bagian Selatan, Selat Malaka, Laut Jawa dan Teluk Thailand.Perairan laut dalam Indonesia Timur meliputi wilayah perairan yang terletak antara Paparan Sunda (di sebelah barat), Paparan Sahul (di sebe1ah timur), Pulau Mindanau (di sebelah utara), dan Samudera Indonesia (di sebelah selatan). Wilayah perairan ini meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, Laut Banda, Laut Sawu, dan Laut Timor. Sedangkan Paparan Sahul, yang terletak di sebelah timur perairan laut dalam Indonesia timur, adalah perairan yang menghubungkan daratan Irian dan daratan Australia, Paparan ini meliputi juga sebagian Laut Arafura. Pada umumnya, laut di Paparan Sunda berpantai landai, topografi dasar laut yang rata, berlumpur, dan dangkal. Laut Cina bagian selatan misalnya mempunyai dasar yang rata, dengan kedalaman 40 m di sebelah pinggir dan menjadi kira-kira 1oo m di bagian tengah. Ke arah teluk Thailand kcdalaman laut mencapai 70 m scdangkan ke arah selatan di antara Sumatera dan Kalimantan menjadi dangkal, yaitu kira-kira 40 m. Selat Sunda yang menghubungkan Laut Jawa dan Samudera Indonesia mempunyai topografi yang tidak teratur, dan kedalaman sedikit melebihi kedalaman Laut Jawa (lebih dan 60 m). Paparan Sahul juga memiliki kedangkalan yang mirip dengan Paparan Sunda, berkisar antara 30 m 90 m. Beberapa bagian bahkan mempunyai kedalaman sekitar 12 m (Soegiarto dan S. Birowo, 1975 : 6). Berbeda dengan Paparan Sunda, paparan ini lebih merupakan daerah berkarang, dan airnya cukup jernih. Sangat berlainan dengan Paparan Sahul adalah perairan dalam Indonesia Timur. Perairan tersebut merupakan bagian terdalam da perairan Indonesia. Selat Makassar misalnya rata-rata mencapai kedalaman sampai 2.000 m, laut Flores mencapai 5.121 m. Sebagian besar laut Sulawesi mencapai

kedalarnan 5.000 m, laut Banda sekitar 4.000 m di sebagian besar Laut Sawu mencapai kedalarnan sekitar 3.000 m (C. Braak, 1927 : 9). Persoalannya adalah apakah perairan Paparan Sunda lebih kaya akan ikan dibandingkan dengan perairan laut dalam Indonesia bagian timur, atau sebaliknya? Setidak-tidaknya ada empat (4) metode yang digunakan untuk mengukur kepadatan ikan dan suatu perairan tertentu (Widodo, 1995 : 26-29). Pertama adalah apa yang disebut Length Based Methods. Dengan metode ini, dilakukan penelitian terhadap sejumlah ikan jenis tertentu. Sebagai contoh, penelitian dilakukan terhadap ikan palagis di perairan Laut Jawa, seperti ikan layang (Decapterus russeJli dan D. macrosoma) ikan banjar, ikan lemuru (Sardinella lemuru di Selat Bali (Widodo, 1988; Merta, 1992). Analisis yang dilakukan terhadap berbagai jenis ikan yang dimaksud memberi kesimpulan bahwa terhadap ketiga jenis ikan tersebut telah dilakukan eksploitas secara intensif sampai tingkat mendekati kapasitas maksinium. Oleh karenanya diperlukan manajemen yang dapat menjaga eksploitasi penangkapan pada tingkat yang sama. Kedua adalah Surplus Production Methods. Metede ini pada dasarnya metode yang bcrtolak dan konsep perolehan maksirnum yang aman (Maximum Sustainable Yie1dIMSY). Dengan metode ini, telah dilakukan pengukuran terhadap spesies ikan terpenting perairan Indonesia, baik ikan palagis maupun ikan demersal (Bailey at.al, 1987), sedang terhadap ikan lemuru di Sciat Bali, dan ikan layang di laut Flores (Sujastani dan Nurhakim, 1982; Widodo, 1987; 1990). Hash dan pengukuran ini menunjukkan bahwa stok ikan-kan tersebut di Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Bali, perairan Sulawesi Selatan, telah dieksploitasi secara maksimal, sementara di perairan selebihnya masih pada tingkat moderat. Ketiga adalah Semi-Quantitative Methode. Me tode pengukuran ini Merupakan metode penjelasan dan perhitungan yang memungkinkan kita dapat mengetahui (obtain) p erkiraan-p erkiraan awal (first approximations) tentang potensi atau tingkat kesediaan sumber perikanan. Keempat adalah Indirect Methods. Terdapat berbagai pendekatan yang dapat dikelompokkan dalam metode ini. Antara lain adaiah estimasi produksi ikan dan keberadaan zooplankton, telur, dan larva ikan. Barangkali secara hipotesis dapat dikatakan bahwa makin kaya suatu perairan dengan berbagai jenis biota tersebut, maka perairan itu akan semakin kaya ikan. Meskipun informasi dasar tentang biota laut tersedia untuk sebagian besar wilayah perairan di Indonesia, perkiraan-perkiraan yang dihasiLkan dan metode ini masih bersifat kasar. Suatu perbandingan dengan perairan lain akan bermanfaat untuk estimasi awal tentang kepadatan ikan di suatu perairan. Dan berbagai metode dan basil pengukuran di atas tampak bahwa ketersedaan sumberdaya ikan di lingkungan laut Indonesia berbeda antara satu perairan dengan perairan lainnya. Bisa dikatakan bahwa perairan di Selat Malaka, Laut Jawa, Selat Bali, perairan Sulawesi Selatan telah dieksploitasi secara maksimal. Sementara di perairan-perairan selebihnya, seperti pantai barat Sumatera, pantai selatan Jawa, perairan Indonesia bagian Timur, dan perairan ZEE, eksploitasi penangkapan ikan masih berada pada tingkat netral. Artinya, stok atau persediaan ikan di perairan-perairan tersebut masih cukup kaya, dan masih memberikan prospek yang menjanjikan untuk pengembangan usaba penangkapan ikan. Bisa dimengerti apabila terjadi pergeseran pusat penangkapan ikan dan perairan Indonesia bagian barat ke perairan Indonesia bagian timur. Sumberdaya ikan yang berpotensi untuk mendukung ekspansi usaha penangkapan ikan di perairan barat Sumatera dan perairan selatan Jawa, dan yang dapat memenuhi pcrmintaan pasar antera lain adalah ikan-ikan pelagis kecil seperti tongkol, tdngiri, ikan layang, ikan tuna, dan jenis ikan demersal. Sumberdaya ikan di perairan Indonesia bagian timur meliputi ikan pelagis kecil, ikan layang, tuna, ikan dernersal, dan ikan karang. Sementara sumberdaya ikan di perairan ZEE

terutama adalah ikan tuna. Sedangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal untuk peralatan ZEE tampaknya belum pernah dilakukan. Pengelolaan dan pemanfaatan secara baik sumber-sumber daya perikanan ini akan memberi manfaat yang lebih besar dan berkesinambungan untuk kesejahteraan. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa produksi potensial dan sumberdaya perikanan perairan laut Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam Tabel I diperkirakan mencapai 5,8 juta ton per tahun (lihat tabel).
Tabel I. Estimasi Produksi Potensial Sumber Daya Penkanan Laut Indonesia

Wilayah Penangkapan Perairan Teritorial

Jenis Ikan Ikan demersal Udang Ikan karang Ikan palagis kecil Ikan laying Tuna Sea weed Sub total Ikan palagis kecil Ikan laying Tuna Sub total

Produksi Potensial (Ton/tahun) 1.033.700 100.700 52.224 2.500.000 196.215 94.392 115.950 4.173.721 1.462.000 98.760 83.436 1.644.196 5.517.196

Perairan ZEE

Total

Estimasi ini sedikit berada di bawah estimasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan. Menurut estimasi tersebut terakhir, produksi potcnsial sumber daya perikanan laut Indonesia mencapai 6,6 juta ton per tahun. Perbedaan estimasi seperti ini adalah mungkin. Data-data berbagai jenis ikan yang dikeinukakan dalam tabel sendiri misalnya belum mencakup berbagai jenis ikan yang ada. Ikan dan perairan ZEE misalnya belum meliputi jenis jenis ikan dernersal yang ada. Sementara itu, produksi perikanan laut Indonesia pada tahun 1997 mcncapai 3.612.961 ton (Statistik Perikanan Indonesia, 1999). Apabila estimasi produksi potensial perairan Indonesia sebesar 5,8 juta ton per tahun dipakai patokan, maka produksi ikan Indonesia scbesar 3,6 juta ton tersebut masih berada di bawah perolehan maksimum yang aman (MSY). Kesimpulan ini dengan sendirinya akan tidak valid lagi apabila fenomena pencurian ikan oleb nelayan asing atau pendaratan ikan oleh nelayan tradisional yang tidak semua tercatat dperhitungkan. Sebanyak 3,6 ton tersebut baru merupakan produksi domestik. Semeutara pencurian ikan olch kapal asing tahun 1998 misaLnya mcncapai diatas USS 4 milyar (Suara Pembaharuan, 25 September 1999, 7). Apabila saja harga per kg ikan yang dicuri tersebut sebesar USS 1-, maka sebanyak 4 juta ton per tahun ikan Indonesia yang dicuri tidak terdeteksi. Dengan demikian, estimasi produksi potensi perairan Indonesia sebesar 5,8 juta ton per tahun tersebut telah jauh terlampaui. Dengan kata lain over-fIshing telah terjadi di perairan Indonesia. Seruan Menteri Kelautan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah dan sektor perikanan karenanya perlu penanganan yang Iebih hati-hati. Persoalan akan muncul apabila usaha

peningkatan produksi tersebut justru terjadi di daerah-daerah yang telab benar-benar mengalami over-fishing, Kebijakan yang terarah dan peraturan yang ketat pengembangan industri penangkapan ikan terutama diarahkan untuk perairan-perairan yang belum mengalami eksploitasi lebih, seperti per airan Samudera Indonesia atau perairan Indonesia bagian timur, merupakan kebutuhan yang mutlak. Pengelohan Sumberdaya Perikanan : Aspek Teoritis Setidak-tidaknya ada dua bentuk regulasi dalam pengelolaan surnberdaya perikanan. Pertama adalah apa yang disebut open access. Aplikasi dan konsepsi ini hampir selalu berlandaskan teori sumberdaya umum (public property resource theory). Menurut teori ini, dalam kondisi open access, orang menjadi sangat logis, menangkap ikan kapan saja, dimana saja, berapapun jumlalinya, dan dengan alat tangkap apa saja. Orang akan beranggapan waj ar mcngeksploitasi sumberdaya semaksimal mungkin tanpa memperhatikan akibat negatif dan tindakannya. Hal ini di antaranya didorong oleh logika bahwa lut adalah sumberdaya milik umum atau milik semua orang. dan jika tidak berarti bukan milik siapa-siapa. Hal ini pada akhimya menciptakan apa yang oleh Hardin (1968) disebut sebagai tragedy of the comnzois, yakni kehancuran kondisi biologis, ekologis, ekonomi dan sumber Daya alam, danjuga konflik-konflik yang terjadi di antara para nelayan. Dengan argurmen bahwa konsep pemilihkan bersama merupakan faktor penentu atas terjadinya berbagai niasalah pada sumberdaya milik umum, solusi yang dianjurkan adalah pemilikan pribadi (Gordon, 1954), pemilikan tunggal (Scott, 1955), dan agreement yang disepakati orang banyak dan yang dapat memaksa (Hardin, 1968). Keseluruhan. alternatif ini, terutama Hardin, menempatkan negara (state) sebagai lembaga sentral dan manajemen sumberdaya laut. Negara mendapat legitimasi sebagai penegak hak tunggal untuk menguasai atau mendistribusikan wilayah dan sumberdaya laut, termasuk mengembangkan berbagai kebijakan dan strategi manajemen. Berdasarkan argumen ini, terumuskanlah bentuk regulasi yang kedua, yakni apa yang disebut Controlled Access Regulation. Setidak-tidaknya ada dua kategori yang dapat dikclompokkan ke dalam bentuk regulasi ini. Pertama adalah kontrol berdasarkan pembatasan input (input restriction), yakni berupa pembatasan terhadap jumLah perahu, jumlab dan jenis kapal, jenis alat tangkap. Kedua, adalah pembatasan berdasarkan output (output restriction), yakni berupa pembatasan terhadap jumlah tangkapan bagi setiap perahu berdasarkan kuota. Selama ini, pembatasan input merupakan instrumen kebijakan yang masih sering digunakan negara-negara Asia dan negara-negara berkembang lainnya. Salah satu formulasi dan pembatasan input itu adalah territorial used right, yang menekankan pada penggunaan fishing right dalam suatu wilayah tertentu dengan batas yuridiksi yang jelas. Dalam sistem ini, hanya pemegang fishing right yang berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu daerah. Selain diatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga diatur kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. Bentuk regulasi ini dianggap penting guna menjaga kepentingan kelestarian sumberdaya kelautan. Salah satu negara yang secara konservatif menerapkan territorial used right melalui sistem fishing right adalah Jepang. Bermula dan banyaknya konflik antara nelayan lokal dengan nelayan luar karena terbatasnya wilayah pcnangkapan, regulasi ini dikeluarkan, dan yang pertama kali diterapkan oleh Pemenntah Jepang pada masa rezim era feodal tahun 1743. Dan kebijakan ini, pemerintah memberikan hak kepada nelayan lokal yang kemudian dikenal dengan istilah Soyu (Communal ownership) dan masyarakat desa nelayan (Satnia, 2001). Kebijakan ini

berakibat positif. Pertama, konflik antar nelayan makin berkurang. Kedua, pendapatan nelayan meningkat, karena mendapat jaminan wilayah usaha. Ketiga, nelayan lebih bertanggung jawab terhadap masa depan wilayah perairannya, dan mereka tidak akan sembarangan menggunakan alat tangkap yang merusak lingkungan. Keempat, berkembangnya pengelolaan sumherdaya perikanan berbasis pada masyarakat. Nelayan lokal dalam hal ini benar-benar sebagai subyek, baik dalam perencanaan, implementasi, maupun dalam pengawasan pengelolaan sumberdaya perikanan. Jepang menerapkan fishing right makin ketat sekitar awal abad ke-20.Penerapan undang-undang subsidi oleh pemerintah Jepang tahun 1897 berakibat meningkatnya jumlah armada nelayan secara tajam. Jumlah kapal nelayan Jepang yang dibangun dengan subsidi ini misalnya, sampai tahun 1920 telah mencapai 50.000 buah. Urituk mencegah terjadinya over-fishing, maka pembatasan atau pengaturan secara lebih ketat diterapkan (Baesly, 1963: 142). Selain Jepang, Cina dan Uni Soviet juga menterapkan territorial used right, dan menetapkan fishing right nelayan lokaL untuk melakukan penangkapan ikan di pera iran tertentu, Penerapan fishing right oleh kedua negara ini dimaksudkan untuk melindungi wilayah penangkapan ikan nelayan setempat da jarahan nelayan-nelayan Jepang (Masyhuri, 1996 :25 1). Di Malaysia, peraturan berkaitan clengan fishing right belum pernah dikeluarkan sampai pengaturan usaba penkanan dikeluarkan dan diberlakukan pada tahun 1967. Berdasarkan peraturan ini tidak ada pembatasan terhadap hash tangkapan, tidak ada musim yang terlarang untuk melakukan pcnangkapan ikan, dan tidak ada wilayah tertentu yang tertutup untuk usaha penangkapan ikan atau penggunaan alat tangkap tertentu. Pembatasan tersebut terutama diperuntukkan penangkapan ikan dengan jaring trawl, yakni daerah yang boleh penangkapan ikan dengan trawl dilakukan. Artinya hanya nelayan jaring trawl, yang berhak melakukan penangkapan ikan di wilayah tertentu yang ditetapkan. Pengaturan tersebut juga meliputi pembatasan lebar mata jaring, dan pembatasan waktu penangkapan (Ooi Jin Bic, 1998 : 37). Pengalaman Jepang dan negara-negara lainnya dalam menerapkan regulasi pengelolaan sumberdaya perikanan tampaknya penting sebagai masukan dalam rnengernbangkan manajemen pengelolaan sumberdaya kelautan Indonesia yang berkelanjutan. Apabila di Jepang, penerapan sistem tersebut mengakar secara dalain path hak-hak ulayat, yang kemudian difomalkan, maka apakah hat tersebut clapat diterapkan di Indonesia? Hak rakyat sebenarnya dikenal juga di kalangan nelayan Indonesia, meski terbatas. Di beberapa wilayah di daerah Maluku misalnya, hak rakyat tersebut telah dikenal sejak lama, yakni apa yang discbut sasi (Nikijuhiw,1995; Adhuri, 1993; Adhui, 1998). Sekali lagi, apakah maanajemen pengelolaan sumberdaya kelautan dengan menterapkan sistem fishing right dapat dikembangkan di kalangan nelayan Indonesia? Pengelolaan Sumberdaya Perikanan : Pengalaman Indonesia Sektor perikanan laut Indonesia merupakan sektor yang sangat penting, dan dapat menempatkan negara ini menjadi salah satu eksportir ikan terpenting di dunia. Hanya saja industri perikanan Indonesia belum berkembang secara baik. Bahkan, sulit untuk mensejajarkan usaha penangkapan Indonesia dengan usaha tersebut di negara-negara seperti Thailand atau Philippina. Kcdua negara tersebut terakhir telah mencapai tingkat perkembangan yang lebih lanjut di sektor penangkapan ikan, dan lebih berkembang dalam hal penangkapan ikan lepas pantai dibandingkan Indonesia (Atniadja, 1993). Selama periode pemerintahan kolonial Belanda sampai decade pertama setelah kemerdekaan Indonesia, kebijakan pengelolaan perikanan laut lebih berkaitan dengan perikanan pantai dan nelayan-nelayan tradisional. Hal ini dapat dimengerti mengingat hampir-hampir tidak adanya

perahu-perahu nelayan bermotor yang dapat digunakan untuk penangkapan ikan lepas pantai. Sampai tahun 1960-an misalnya hanya 30% nelayan Indonesia yang menangkap kan dengan menggunakan perahu bermotor tempel, selebihnya adalah perahu layar (Bailey, 1988 : 31-32). Peraturan wilayah pantai yang diterapkan oleh pcmerintah Hindia Belanda tahun 1916 berkaitan dengan eksploitasi pengumpulan kerang. kerang mutiara dan penangkapan ikan karang. Pada tahun 1920, peraturan baru dikeluarkan berupa pelarangan penggunaan racun dan bahan peledak untuk menangkap ikan atau untuk mengumpulkan kerang. Pada tahun 1927, undang-undang tentang perikanan perairan dekat pantai disahkan, yang menetapkan bahwa semua pcrikanan laut diperuntukkan terutama untuk warga atau penduduk sctempat, dan aktivitas penangkapan ikan bagi orang asing dilarang, kecuali dcngan izin khusus dan Menteri Pertanian. Peraturan teritorial perairan dan lingkungan perikanan dirumuskan kembah dan ditetapkan di tahun 1939. Hal ini berarti bahwa eksploitasi terhadap perikanan laut hanya dapat dilakukan oleh penduduk asli Indonesia. Imigran Cina dan timur asing Iainnya tidak dibenarkan untuk melakukan usaha penangkapan ikan. Selain peraturan-peraturan formal tersebut, dalam tahun 1912, dan bcrlanjut sampai tahun 1942, Pemerintah Kolonial mendirikan Pusat Penelitian Perikanan (Vlcscherj Station) di Jakarta, dan melakukan percobaan-percobaan dengan kapal trawl modern, mendirikan pusat-pusat penjualan ikan di sepanjang pantai utara Jawa, sekaligus mencoba mengembangkan sistem lelang, Perhatian utama dan pusat penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan tradisionaL Masalah modernisasi usaba penangkapan ikan merupakan aspek sckunder. Berbagai fasilitas untuk prosesing, penyediaan es dan aula-aula untuk pelelangan dibangun untuk mendukung sistem pemasaran ikan (Cominiti and Hardjolukito, 1983). Kemudian. setelah Indonesia merdeka, UUD meletakkan dasar secara legal (Pasal 33 ayat 3 UU) kontrol pemerintah terhadap tanah, air, dan sumber-sumber mincral di dalamnya untuk kesejahteraan masyarakat. Sumberdaya perikanan dengan sendirinya termasuk di dalamnya. Tercatat sejak tahun 1963, Pemerintah Indonesia berusaha untuk mendorong pertumbuhan sektor perikanan dengan cara memperbesar produk ikan yang bernilai ekonomi tinggi untuk pasar internasional. Hal ini ditempuh melalui pengembangan atau pembentukan perusahaan-perusahaan domestik, dan juga pemisahaan negara. Sejalan dengan ini penduduk Indonesia yang mengembangkan usaha di sektor perikanan meningkat. Kurang jelas sebabnya, tetapi setidak-tidaknya hal ini berkaitan juga dengan makin bertambah dan padatnya penduduk daerah pesisir Indonesia. Sebagai akibatnya, sektor perikanan Indonesia mengalami pertumbuhan nyata. Antara tahun 1951 sanipai tahun 1967. tampak bahwa produksi ikan, juinlah perahu dan nelayan. serta konsumsi ikan meningkat cukup berarti. Produksi ikan misalnya meningkat dan 324.000 ton menjadi 638.000 ton atau meningkat 4,3% per tahun. Jumlah nelayan dan perahu nelayan juga meningkat, yang masing-masing bertambah dan 315.000 orang menjadi 836.000 orang (6,3% per tahun). dan dan 80.400 buah perahu menjadi 245.200 perahu (7,3% per tahun). Jumlah konsumsi ikan per kepala penduduk Indonesia juga mengalami peningkatan. yakni dan 8,4 kg per tahun per orang tahun 1951 menjadi 11,4 kg pada tahun 1966 (Cominiti and Hardjolukito, 1973; Atmadja, 1993). Namun demikian, tampaknya, usaha-usaha yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan produksi sektor perikanan Indonesia tidak secara serta merta diikuti dengan pengelolaan pengendahan lingkungan yang memadai. Hal ini dapat dilihat dengan realitas yang ada, bahwa nelayan dapat membuat sendiri perahuperahu dan jaring-jaring yang diinginkan. Nelayan dapat melaut kapan saja, dan dimana saja yang mereka inginkan. Nelayan juga dapat menangkap ikan berapa saja mereka mampu, dan dapat mendaratkannya dimana saja. Pengaturan terhadap semua aktivitas tcrsebut juga belum memadai.

Meningkatnya jumlah produksi ikan, jumlah perahu penangkapan ikan, dan jumlah nelayan berarti juga semakin meningkatnya eksploitasi penangkapan ikan. Hal ini tidak akan berakibat negatif terhadap stok ikan perairan Indonesia sejauh tingkal penianfaatan sumberdaya perikanan masih berada di bawah tingkat surplus produksi sctiap tahunnya (Maximum Sustainable Yield). Sampai sejauh ini, belum ada pembatasan-pembatasan dalam pcmanfaatan sumberdaya perikanan. Strategi dan kebijakan untuk pembangunan sektor perikanan baru diterapkan dalam era Pelita I. Kebijakan ini dirancang untuk pengembangan peran ekonomi sektor penangkapan ikan, dan manajemen pemasaran ikan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produksi ikan gunapemenuhan konsumsi domestik, dan untuk meningkatkan pendapatan nasional melalui peningkatan devisa sektor perikanan. Hal ini berarti ekspor produk sumberdaya perikanan ditingkatkan. Selain itu kebijakan baru jugadirancang untuk meningkatkan dan pemerataan pendapatan di kalangan nelayan. dan juga untuk meningkatkan kesempatan kerja bagi nelayan. Pada masa ini, pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menjaga potensi maksinum sektor perikanan mulai dipromosikan.Walaupun begitu, tindakan nyata berupa pengaturan dan pembatasan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan belum tampak. Persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan makin meningkat di antara kelompok kelompok nelayan. khususnya nelayan kecil yang menggunakan alat tangkap sederhana dan dengan kelompok nelayan jaring trawl dan purse seine. Nelayan-nelayan kecil mulai merasakan pengaruh negative dari meningkatnya penggunaan kedua jaring tersebut. Kekesalan muncul di kalangan nelayan. Konflik terbuka sering terjadi antar mereka, dan berkenaan dengan hal ini keluarlah SK Menhankam No. 5 Tahun 1974, yang menegaskan semua pelanggaran di laut supaya diselesaikan melalui kesatuan keamanan laut (Kamla) atau Unit Kamla. Satu tahun kemudian, pemerintah baru mengeluarkan peraturan yang tertuang dalam SK Menteri Pertanian No. 123 Tahun 1975, tentang ketentuan lebar mata jaring purse seine. Dengan ketentuan ini, diharapkan ikan-ikan palagis seperti kembung, layang, lemuru, tidak akan tertangkap sampai benar-benar cukup umur. Selain itu, untuk meredakan konflik yang terus menguat, pada tahun 1976, dikeluarkan lagi SK Menteri Pertanian No. 607, tentang pembagian jalur-jalur penangkapan ikan. Berdasarkan peraturan inilah dikenal kemudian apa yang disebut jalur 1, jalur 2, jalur 3, dan seterusnya. Kebijakan pembagian jalur-jalur pcnangkapan ikan tersebut pada dasarnya diberlakukan atas prinsip territorial used right. Artinya, berdasarkan pcraturan ini, kelompok nelayan tertentu dengan alat tertentu hanya diizinkan melakukan penangkapan ikan di perairaan jalur tertentu pula. Sebagai contoh, nelayan kecil dengan peralatan yang sederhana memperoleh hak utama untuk memanfaatkan sumberdaya penkanan pada jalur 1 dan jalur 2. Sementara nelayan trawl dan purse seine hanya dibenarkan melakukan penangkapan ikan di jalur 3, 4, dan seterusnya. Penerapan peraturan ini diharapkan dapat melindungi dan membantu meningkatkan pendapatan nelayan skala kecil, seperti nelayan perahu jukung, nelayan perahu motor out board berukuran kurang dan 10 GT, nelayan dengan pukat pantai, trammel net, dan sebagainya. Di wilayah-wilayah penangkapan yang kurang begitu luas, sering diberlakukan peraturan khusus tersendiri yang dibuat dan disepakati oleh kelompok-kelonipok nelayan setempat. Sebagai contoh adalah kesepakatan kesepakatan di antara kelompok nelayan Panarukan tentang wilayah penangkapan di Selat Madura, yang mcnetapkan perairan-perairan tertentu untuk nelayan dengan alat khusus terlentu, seperti wilayah opcrasi nelayan jaring payang, gill net, dan nelayan pancing (Sawit, 1988). Peraturan pembagian wilayah penangkapan tampaknya kurang efektif. Pelanggaran terjadi di mana-mana, terutama pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan yang mempunyai kemampuan

eksploitasi yang cukup besar. Pelanggaran terhadap wilayah penangkapan berdasarkan kesepakatan nelayan sendiri. seperti kesepakatan antar kclompok nelayan Panarukan, bila terjadi, biasanya dapat diselesaikan secara adat di antara sesama nelayan setempat. Pelanggaran yang sering berakibat fatal terjadi terutama adalah pelanggaran jalur penangkapan ikan oleb nelayannelayan yang bermodal besar. Nelayan kecil yang merasa dirugikan sering bertindak brutal dan melakukan pembakaran terhadap sarana penangkapan ikan milik kelompok nelayan kuat yang melakukan pelanggaran Pembakaran terhadap armada nelayan di Cilacap dan Belawan baru-baru ini dapat difahami dan ditempatkan dalam kontek konflik seperti ini. Susah ditolak bahwa meluasnya penggunaan jaring trawl dan purse seine meningkatkann produksi ikan Indonesia. khususnya pads periode akhir tahun 1970-an. Namun susah ditoLak pula penggunaan jaring trawl yang merugikan nelayan kecil Pada saat-saat ini pula, keadaan muncul makin kuat tentang pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan untuk generasi mendatang Nelayan tradisional (kecil) di mana-mana juga bangkit memprotes dan menentang penggunaan jaring trawl yang merugikan. Penggunaan jarring trawl tersebui diyakini mempunyai pengaruh buruk terhadap kelangsungan sumberdaya ikan Menguatnya kesadaran untuk pelestarian sumberdaya laut dan protes-protes yang meluas di kalangan masyarakat nelayan terhadap penggunaan jaring trawl, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Keppres No 39 Tahun 1980. yang isinya melarang penggunaan jaring trawl untuk penangkapan ikan di perairan Indonesia. Sebenarnya,penggunaan jaring trawl di perairan Indonesia telah meluas sejak tahun 1966, yakni sebagai sub teknologi jaringan trawl yang Dikembangkan oleh Pemerintah Malaysia Di tempat ini, jaringan trawl telah di kenal sejak tahun 1965 (Munro dan Choc Kim Loy, 1978 13). Teknologi penangkapan ikan dengan jaring trawl diadopsi oleh sejumlah nelayan Sumatera, dan melalui mereka teknologi ini menyebar ke berbagai tempat Lainnya di Indonesia (Masyhuri, 1996 : 286-287). Hal itu berarti bahwa pelarangan penggunaan jaring trawl dikeluarkan setelah penggunaan jaring tersebut berlangsung kurang lebih sekitar 15 tahun. Berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia telah mengeluarkan pembetasan-pembatasan yang ketat untuk mengurangi akibat buruk penggunaan jaring trawl sejak fase-fase awal penggunaan jaring tersebut Peraturan untuk pengawasan dan pengendalian pcnggunaan jaring trawl kemudian diformalkan di tahun 1967, yang memuat tidak saja pembatasan jumlah jaring yang dioperasikan. wilayah atau perairan yang diperbolehkan untuk jaring tersebut, tetapi juga ketentuan tcntang ukuran lebar mata jarring dan waktu penggunaannya (Ooi Jin Bee, 1990 : 37). Dengan ketentuan-ketentuan ini, kelestarian pemanfaatan sumberdaya ikan dan sumberdaya habitatnya itu sendiri dapat dilindungi. Pada tahun 1980-an porkembangan baru terjadi. Perusahaan perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi dengan bermitra perusahaan asing atau joint venture semakin dipromosikan. lnvestasi asing dan joint venture diberi kesempatan luas untuk masuk di sektor perikanan. Pemerintah Indonesia sendiri kurang mempunyai cukup dana utnuk mcngembangkan secara penuh ekonomi perikanan. Sampai tahun 1986, telah terdapat 51 perusahaan joint venture penangkapan ikan yang aktif di Indonesia, Perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi terutama di perairan ZEE di perairan Laut Arafura, Samudra Pasifik, Samudra Indonesia, Laut Cina Selatan, Laut Sulawesi dan Selat Malaka (Atmadja, 1993). Kebijakan ini terus berlanjut pada masa-masa sesudahnya. Sampai tahun 1996, jumlah kapal-kapal perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi telah mencapai 4.396 unit. Jumlah ini merupakan peningkatan sebesar 134% bila dibandingkan dengan jumlah kapal yang ada pada tahun 1992, yang pada tahun ini jumlahnya baru 1878 unit (Direktur Jenderal Perikanan, 1997).

Akibat kebijakan pembangunan sektor perikanan yang menekankan pada peningkatan produksi melalui pengembangan teknologi baru yang padat modal dengan asistensi agen-agen pembangunan eksternal antara lain adalah terbentuknya struktur industri sektor perikanan yang bersifat dualistic (Bailey, 1988 : 26). Sektor penangkapan ikan yang modern dengan kemampuan eksploitasi yang besar tenis mengalami perkembangan, di lain pihak sektor penangkapan ikan tradisional yng serba terbatas kemampuannya mengalami kemandekan. Untuk mengatasi kemandekan usaha rakyat di sektor penangkapan ikan, pemerintah menetapkan kebijakan diversifikasi alat tangkap. Namun demikian, kebijakan ini dalam batas-batas tertentu berdampak ncgatif pada sumberdaya perikanan. Dasar argumentasi tentang kebijakan tersebut memang mudah dimengerti. Dengan alat tangkap yang berbeda-beda, nelayan dapat menangkap spesies ikan yang beragam pula, dan dengan demikian pendapatan nelayan diharapkan dapat meningkat, akumulasi modal dapat terjadi, dan lebih lanjut dapat diinvestasikan untuk pengembangan usaha. Hanya saja, data-data empiris menunjukkan bahwa diversifikasi alat tangkap justru lebih banyak diketemukan di daerah-daerah yang wilayah tangkapnya mengalami over-fishing. Di perairanperairan yang belum mengalami over-fishing, diversifikasi alat tangkap kurang tampak. Di Prigi misalnya, alat tangkap ikan yang dioperasikan oleh nelayan hampir-hampir seragam, yakn jaring purse seine. Ikan yang ditangkap pun hampir seragam, yakni ikan palagis jenis tongkol dan ikan layang (Masyhuri, 2001 : 78-79). Tampaknya, dcngan menangkap spesies ikan tertentu dan dengan alat tangkap tertentu pula, pendapatan nelayan cukup memadai, dan dengan sendirinya nelayan tidak terdorong untuk menggunakan berbagai jenis alat tangkap untuk menangkap berbagai spesies ikan yang ada. Apakah ini tidak berarti bahwa kebijakan diversifikasi alat tangkap dibutuhkan terutama oleh nelayan-nelayan di daerah-daerah dengan perairan yang telah mengalami over-fishing. Dengan pertanyaan lain, bukankah kebijakan pengembangan diversifikasi alat tangkap akan berakibat makin buruknya wilayah penangkapan kan yang memang sudah buruk? Dengan diversifikasi alat tangkap. nelayan mempunyai kemungkinan untuk rnenangkap segala spesies ikan yang mash tersedia, dan ini berarti tidak ada sama spesies ikan pun yang tidak mengalami eksploitasi. Di tempat tempat pendaratan ikan di pantai utara Jawa sebagai ilustrasi, berbagal jenis ikan, besar-kecil, tua-muda.didaratkan. Dan berbagai jenis ikan yangdidaratkan tersebut terbayang bahwa tidak ada satu spesies ikan pun yang tidak dieksploitasi. Melalui proses ini, semua spesies ikan akan terkuras habis.Singkatnya, dengan kebijakan diversifikasi alat tangkap, daerah daerah penangkapan ikan yang telah mengalami over-fishing akan semakin tereksploitasi. Tanpa manajemen yang tepat, kebijakan diversifikasi alat tangkap akan menganggu pengelolaan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan. meskipun kebijakan tersebut dalam jangka pendek dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Kebijakan tersebut akan lebih bermanfaat apabila diikuti dengan ketentuan-ketentuan yang memadai, misalnya kapan nelayan hams menggunakan alat tangkap tertentu, di perairan mana jenis alat tangkap diizinkan dioperasikan, atau penggunaan alat tangkap yang betul-betul mengikuti siklus alamiah pembiakan berbagai spesies sasaran tangkap, dan sebagainya. Perubahan yang sangat penting terjadi di era reformasi. Pada masa pemerintahan Presiden Habibi dihasilkan Undang-Undang No. 22 dan No. 25 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, dan UU ini mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2001. Belum tampak adanya perubahan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut setelah diterapkannya undang-undang tersebut. Namun demikian, diduga keras kedua undang-undang tersebut ada berpengaruh besar terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan.

Sebagai ilustrasi, UU No.22/1999 Pasal 3, misalnya, berbuny Wilayah Daerah Propinsi tcrdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut diukur dari garis pantai ke laut lepas .... Pada Pasal 10 ayat (3) UU tersebut disebutkan Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dan batas laut daerah propinsi. Ketentuanketentuan ini akan berakibat adanya pengelolaan yang berbeda antara daerah kabupaten, dan bukannya tidak mungkin terjadi perbenturan kepentingan antara satu kabupaten atau kota dengan kabupaten/kota lainnya yang mempunyai wilayah laut. Keinginan untuk memperbesar pendapatan ash daerah (PAD) masing-masing Kabupaten, dengan adanya undang-undang otonomi tersebut bias mendorong terjadinya eksploitasi sumberdaya perikanan laut yang tidak terkendali. Di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Eksploitasi Kelautan dan Perikanan didirikan, dan ini merupakan indikator kesungguhan pemerintah dalam usaha pembangunan dan pengelolaan sektor perikanan. Departemen baru ini, yang untuk pertama kali dipimpin oleh Menteri Ir. Kusuma Atmadja, tidak hanya mengutarakan pengembangan atau peningkatan produksi sektor perikanan, tetapi juga pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap sumber-sumber kelautan Indonesia. Kebijakan baru ini tentunya tidak saja mengutamakan peningkatan produksi penangkapan, tetapi juga suatu kebijakan yang dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tersedia.

Você também pode gostar