Você está na página 1de 5

FEODALISME BIROKRASI, AKUNTABILITAS DAN PEMBANGUNAN DI DUNIA KETIGA: STUDI KASUS TANZANIA (CASPAR K.

MUNISHI)
PENDAHULUAN Bab ini mengeksplorasi akuntabilitas pelayanan publik dalam hubungannya dengan manajemen dari ekonomi Tanzania. Juga akan ditunjukkan kurangnya akuntabilitas yang mempengaruhi proses manajemen pembangunan di sejumlah instutusi di Tanzania. Bab ini juga berusaha mencari tahu penyebab kurangnya akuntabilitas dari sistem politik sampai kepada basis operasional di sektor publik yang mengarah kepada feodalisme birokrasi. MEKANISME KONTROL BAGI AKUNTABILITAS Mekanisme kontrol bagi akuntabilitas di Tanzania termasuk pengelolaan struktural di departemen dan agensi pemerintah, aturan dan regulasi yang mempengaruhi operasi mereka, proses indoktrinasi dan pendidikan bagi pemenuhan dan etika sosial dan professional yang dilakukan diantara pegawai publik dan klien mereka. Mekanisme kontrol internal ini telah terbukti tidak efektif dalam konteks Tanzania sampai ke titik dimana kesalahan manajemen sumber daya yang langka mengancam pembangunan negara. Apalagi mekanisme kontrol eksternal termasuk konstitusi, sistem partai politik, proses pemilihan, ombudsman negara dan sikap etis dan moral telah goyah hingga ke tingkat yang luas. Hal ini menimbulkan munculnya kekuatan kelompok-kelompok yang mengontrol pembuatan keputusan dan proses distribusi bagi tujuan personal mereka sendiri. AKUNTABILITAS DAN ORGANISASI SOSIAL Ide demokrasi dari organisasi sosial, termasuk negara, tidak selalu terpenuhi dalam praktek prinsip demokrasi yang memberikan akuntabilitas kontrol baik internal maupun eksternal. Variasi dan deviasi terjadi ketika pemimpin menjadi profesional dan hebat dan tertarik pada posisi kekuasaan, dimana mereka bisa membangun kekuatan personal dengan mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Dalam teori organisasi pembangunan ini disebut hukum besi oligarki. Literatur manajemen menyatakan bahwa dalam negara sosialis sekalipun, dimana diasumsikan bahwa korporasi publik diatur untuk kepentingan negara proletarian dan

masyarakat, pengelola cenderung memberikan hak istimewa dan bagian yang besar dalam usaha kolektif manajemen publik pada birokrat di bidang ekonomi. Ini disebut kolektivisme birokrasi. Dinegara-negara kapitalis, proses produksi menjadi sangat kompleks dimana pemilik modal tidak bisa lagi mengontrol tren, tapi mereka terikat pada pengelola professional. Dimasa lalu pemilik yang memegang kontrol, tapi dengan peningkatan kompleksitas operasi bisnis, pengelola menjadi sangat dibutuhkan. Situasi ini disebut revolusi manajerial. Dalam negara yang menganut sistem kapitalis dan sosialis, pengelola bertanggung jawab ke tingkat yang lebih luas. Di negara berkembang seperti Tanzania, hal yang berdasar pada pengelola tidak hanya pada aturan permainan yang dikembangkan secara formal seperti pelatihan profesional, senioritas, kompleksitas proses produksi dan sebagainya. Pengelola birokrasi di dunia ketiga memiliki koneksi jaringan informal yang kompleks dimana pusat kekuatan ada dalam sistem politik. Di Tanzania, sentimen keturunan dan etnik, koneksi politik dan yang lainnya memainkan peranan yang lebih signifikan daripada aturan dan regulasi formal. Ini berarti bahwa kekuasaan tidak harus berupa fungsi posisi yang ada dalam hirarki organisasi, tapi lebih pada koneksi informal kekuasaan yang berbasis didalam dan diluar organisasi publik. JENIS-JENIS AKUNTABILITAS Seseorang bisa membicarakan akuntabilitas politik dalam asumsi situasi demokrasi dan pemimpin politik bisa ditarik lagi melalui mekanisme popular. Lebih lanjut pengelola dan administrator publik harus responsif terhadap tekanan yang diberikan kepada mereka oleh wakil masyarakat. Anggota parlemen, kelompok penekan, kelompok aksi politik lokal, hukum, kepentingan konsumen atau klien dan sebagainya bisa menekan manajemen untuk merespon tuntutan dan ekspektasi yang ada. Tipe akuntabilitas kedua adalah akuntabilitas legal. Ini berarti bahwa organisasi dipaksa merespon sejumlah aturan dan regulasi konstitusi secara legal. Pertanyaan yang muncul dalam situasi di dunia ketiga adalah apakah tingkat responsivitas lebih berupa fungsi badan-badan yang diberi kuasa secara formal daripada koneksi feodalistik informal dalam sistem politik. Ketiga adalah akuntabilitas hirarki dalam jalur komando. Otoritas dan fungsionaris junior menghormati dan mematuhi tuntutan pejabat diatasnya, yang akan menginterpretasi

apa yang dibutuhkan oleh staf dan pejabat dibawahnya. Kesuksesan dan penguatan akuntabilitas pada dasarnya akan bergantung pada hubungan langsung dan formal antara superior dan bawahannya. Terakhir adalah akuntabilitas professional, dimana staf dan pejabat individu terikat kepada tingkah laku professional. Organisasi yang dikelola oleh amatir seperti di Tanzania, akuntabilitas profesionalnya akan dipalsukan. Pejabat publik dan pengambil keputusan diminta menghormati dan bersandar pada keahlian personil yang menjunjung tinggi integritas professional mereka. Di kebanyakan negara seperti Tanzania, penunjukan didasarkan pada pengaruh koneksi feodalistik birokrasi daripada kualifikasi melalui pelatihan dan pengalaman. Keempat jenis akuntabilitas tersebut dipisahkan secara mendetail, meski pada prakteknya saling tumpang tindih. Berikutnya akan dijelaskan kerangka teoritis dalam konteks politik dunia ketiga dan terutama Tanzania sebagai contohnya. KERANGKA TEORITIS BAGI FEODALISME MANAJERIAL/BIROKRASI Feodalisme manajerial atau birokrasi sebagai sebuah konsep telah dijelaskan dalam konteks sosial umum. Namun, konteks tersebut berhubungan dengan kekuasaan, beroperasi dalam hal pengaturan politik dan kekuatan institusi publik. Kebanyakan fungsi sosial dan ekonomi di Tanzania diatur oleh kementrian pemerintah atau korporasi publik yang bertindak sebagai badan independen dibawah kontrol pemerintah. Dalam istilah akuntabilitas, tiga jalur paralel mempengaruhi ketaatan dan akuntabilitas. Pertama adalah jalur formal (disebut hubungan jalur C). ini adalah ketaatan normal terhadap aturan permainan dalam organisasi. Jalur A adalah jaringan informal yang dikembangkan oleh pengelola pada level berbeda untuk tujuan intelijen dan kontraintelijen, dan untuk mengkonsolidasikan kekuatan. Koneksi jalur B juga informal, tapi inti kekuasaan berada diluar organisasi individual. Mereka memainkan peran jalur A tapi dapat memainkan fungsi kontra-intelijen untuk mengkonsolidasikan kekuatan individu didalam dan diluar organisasi. Akuntabilitas Politik Perkembangan akuntabilitas politik dapat dipahami dengan lebih baik dalam konteks pertumbuhan kekuatan negara dan kontrol struktur. Tanzania berunding untuk mendapatkan kekuasaan politiknya dari Inggris tahun 1961. Hukum fundamental seperti konstitusi independen sebagian besar adalah replika model demokrasi parlementer

Westminster, yang menyediakan check and balances dalam sistem politiknya. Elemen konstitusional bertujuan untuk memastikan akuntabilitas dan pemerintahan umum akan memasukkan provisi bagi kompetisi politik dalam sistem multi partai dan pemilihan umum serta asosiasi kebebasan. Akuntabilitas adalah hasil yang diharapkan saat masyarakat bisa menyuarakan aspirasinya pada kantor publik yang bertanggung jawab memenuhi komitmen mereka. Untuk menentukan apakah akuntabilitas politik memiliki relevansi maka ada tiga pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Pertama, alat/cara untuk membuat pengambil kebijakan waspada terhadap apa yang diinginkan masyarakatnya. Kedua, apa masyarakat memiliki alat untuk mengetahui apa yang dilakukan administrator di wilayah pembangunan sosio-ekonomi. Ketiga, apa masyarakat memiliki kekuatan untuk mempengaruhi standar kinerja pengelola dan administrator dalam institusi publik atau swasta yang menangani masalah publik. Akuntabilitas Administratif Administrasi di Tanzania tidak secara legal dan langsung akuntabel terhadap instrumen kontrol popular seperti parlemen. Dengan menggunakan contoh korporasi publik dan aspek legal kontrol mereka, antara tahun 1962 dan 1969 parlemen adalah instrumen yang secara konstitusional membangun, mengorganisasi ulang dan membubarkan korporasi publik. Antara tahun 1967 dan 1969, parlemen meluluskan sejumlah undang-undang untuk membangun dan mengorganisasi ulang korporasi publik, termasuk menasionalisasi bank dan perusahaan insuransi. Jumlah korporasi publik di Tanzania lebih dari 400. Kekuatan seorang menteri di Tanzania sering diukur dari jumlah korporasi yang ada dibawah tanggungannya. Semakin besar jumlah korporasi, semakin besar pula dana yang dimiliki kementrian tersebut. Pembabatan kekuatan parlemen sebagai lawan korporasi publik dimulai tahun 1969 saat parlemen meluluskan keputusan memberi kuasa pada presiden untuk mengorganisasi ulang korporasi publik. Karena itu kepala akuntan korporasi sekarang bertanggung jawab terhadap presiden dan bukan pada parlemen. Namun masyarakat di Tanzania tidak dilindungi secara baik oleh presiden. Proteksi seperti ini dikompromikan dan dihapuskan oleh feodalisme birokrasi politik. Korporasi menjadi kehilangan akuntabilitasnya dalam hal kejelasan rantai komando.

Ada beberapa aspek yang diperlukan untuk menguji isu akuntabilitas profesional. Etika profesional ialah sebuah fungsi pelatihan dan indoktrinasi etis. Di Tanzania, kebanyakan pengelola dan administrator diwariskan baik dari pemerintahan kolonial (kapitalis) atau dilatih di institusi kapitalis Barat. Integritas profesional juga sering disalahgunakan oleh bawahan dan pemimpin politik yang menyebabkan kecurigaan dan sikap acuh bagi profesional.

Você também pode gostar