Você está na página 1de 3

SISTEM PERFILMAN INDONESIA

A. Karakteristik Film Film Indonesia sebagai karya seni budaya yang merupakan wahana social dan sebagai media komunikasi massa yang bersifat audio visual menemukan sistemnya melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1964 Tentang Pembinaan Perfilman (UU Perfilman1964). Kemudian UU Perfilman 1964 itu diganti dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Perfilman (UU Perfilman 1992) tanggal 30 Maret 1992, yang meletakkan film sebagai subjek dan objek pembangunan nasional. UU perfilman 1992 itu kemudian diganti lagi dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU Perfilman 2009) pada tanggal 8 Oktober 2009. Film yang dimaksudkan dalam undang-undang tersebut diatas adalah film cerita dan film noncerita. Film cerita adalah semua jenis film yang mengandung cerita termasuk film eksperimental dan film animasi yang pada umumnya bersifat fiksi (rekaan). Sedangkan film noncerita disini adalah film yang berisi penyampaian informasi, seperti film iklan, film seni, film pendidikan, dan film dokumenter (nyata). Dalam Undang-Undang Perfilman 2009 disebutkan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukan. Berdasarkan hal diatas, film mengandung tiga makna, yaitu : 1. Film Sebagai Karya Seni Budaya Film merupakan karya seni budaya yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi yang berbentuk gambar yang bergerak, bersuara atau tidak bersuara. Dalam artian ini film merupakan kelanjutan dari tradisi sandiwara atau teater yang pada awalnya dikenal dengan sebutan seni panggung. Sejarah pertunjukan film dimulai dengan film bisu yang masih sangat pendek (18951903), yang pada umumnya dipertunjukan dipanggung teater sebagai pelengkap pertunjukan sandiwara. Pada awalnya film bisu ini sangat menarik dan menakjubkan bagi penonton, namun kemudian menimbulkan kebosanan.

Perkembangan film sebagai karya seni budaya mencapai puncaknya setelah Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai bagian penting dari kemajuan ilmu dan teknologi melalui proses yang cukup panjang. Film cerita bisu sebagai kelanjutan film bisu yang pendek berkembang menjadi film cerita bersuara hitam putih. Kemudian Rouben Mamoulian menyelesaikan Becky Sharp, sebuah film yang seluruhnya telah berwarna dengan system Technicolor. Lahirnya film cerita berwarna ini mengakhiri masa film cerita hitam putih bersuara, dan membawa kemajuan pesat bagi film baik, baik sebagai karya seni budaya maupun media komunikasi. Hingga kini film telah berkembang dengan dukungan teknologi yang semakin canggih, termasuk teknologi digital. Sebagai karya seni budaya, film Indonesia merupakan fenomena kebudayaan yang diharapkan dapat mengembangkan peradaban manusia, yang menjamin terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai pancaran dari Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Film Sebagai Pranata Sosial Film juga merupakan pranata sosial yang memilliki sifat sifat kelembagaan. Film memiliki karakter, yaitu seperangkat nilai atau gagasan vital, visi, dan misi yang memancar dalam bentuk pesan. Hal ini menentukan mutu, kelayakan, dan karakteristiknya sebagai hasil karya sineas yang cerdas, terampil, dan kompeten dengan dukungan organisasi, menagemen, dan teknologi serta sumber daya dan fasilitas lain yang memadai. Film juga mendistribusikan gagasan, visi, dan misinya dengan teratur secara melembaga. Informasi yang disalurkan dan dan disebarluaskan oleh film kepada khalayak yang bersifat heterogen dan anonim itu diolah dalam sebuah organisasi yang dapat melibatkan pembiayaan yang besar. (wright, 1985:6 dan 27)film kemudian berkembang sebagai industri kebudayaan yang bersifat otonom, rasional, dan profesional serta dapat mendatangkan keuntungan finansial. Sistem indonesia merupakan pencerminan dari sistem politik dan sistem ekonomi indonesia yang berkaitan dengan ideologi indonesia sebagai sebuah negara-bangsa, dan peraturan perundang undangan serta norma norma yang ada dalam masyarakat indonesia. Berdasarkan teori sistem atau teori fungsionalisme struktural, hubungan antara film sebagai institusi dengan pemerintah dan masyarakat selalu berada dalam keadaan saling ketergantungan. Film sebagai media publik memiliki kekuatan dalam mendorong perubahan

sistem sosial yaitu perubahan struktur dan nilai-nilai masyarakat. Karakteristik film sebagai media publik yang bersifat audio visual lahir, sejak lahirnya (1895) senantiasa menonjolkan fungsi hiburan yang berisi informasi.

3. Film Sebagai Media Komunikasi Massa Film sebagai media massa atau public menunjuk kepada kapasitas film dalam menyalurkan gagasan atau pesan kepada penonton atau khalayaknya, dengan atau tanpa menggunakan media lain. Sejak kelahirannya pada 1895 karakterisitk film sebagai media public yang bersifat audio visual senantiasa menonjolkan fungsi hiburan yang berisi informasi. Dalam perkembangannya film sebagai media hiburan berisi juga pesan yang bersifat edukatif atau sebaliknya nonedukatif yang menonjolkan seks dan kekerasan yang dapat merusak moral masyarakat terutama generasi muda. Film sebagai media public yang bersifat audio visual memiliki kekuatan yang besar dalam mempengaruhi khalayaknya. Hal tersebut dapat dipahami karena kekuatan besar film dalam mempengaruhi public terutama generasi muda terletak pada emosi khalayak. Visualisasi yang dipadukan dengan suara secara apik dalam film bioskop sangat menyentuh emosi seperti dapat dilihat dalam berbagai adegan dengan aktrisnya yang cantik, anggun dan ayu, dalam suasana yang romantic, bahagia, dan melankolis atau aktornya yang seram, jahat, dan pemarah dalam suasana yang genting dan menyeramkan. Sebagai media massa atau public, film layar lebar juga memiliki beberapa kelemahan terutama karena besarnya hambatan geografis, sebab film harus ditonton atau dilihat disebuah tempat tertentu sehingga khalayaknya harus menyediakan waktu tersendiri untuk pergi ketempat yang disediakan.

Você também pode gostar