Você está na página 1de 14

Artikel 2010 Pemberitaan Tahun 2010 Niat Buruk di Balik RUUK DIY HL | 16 December 2010 | 07:00 doc.kompas.

com Seakan menutup telinga membutakan mata, hari ini (15/12/2010) Amanat Presiden (Ampres) draft RUUK DIY akan disampaikan ke DPR, tidaklah berprasangka buruk, bahwa RUUK DIY ini akan disetujui oleh DPR, itu artinya Gubernur DIY akan dipilih oleh DPRD bukan Penetapan, tapi tidak juga berprasangka baik, bahwa DPR akan menolak draft RUUK DIY, karena rasanya sangatlah mustahil DPR akan melakukan itu. Pemerintah dengan caranya menjalankan kebijakannya, rakyat jogja juga dengan caranya pula menolak kebijakan tersebut, lantas siapa yang bisa mencarikan jalan tengah dari semua kemelut ini, kuat dugaan semua orang, bahwa persoalan ini hanya berawal dari persoalan personalnya SBY dengan Sri Sultan, lantas kenapa harus menjadi kisruh yang berkepanjangan, apakah ada indikasi motivasi kepentingan politik didalam persoalan ini ? Kalau mau dikatakan tidak ada kepentingan Politik jelas tidak mungkin, pasti ada. Pemerintah sangat berkepentingan mengatur Pemilihan Kepala Daerah di wiliyah Negara Kesatuan Republik Indonesia, tapi tidak semua wilayah punya aturan yang sama, seperti yang telah diatur dalam UUD 1945, khusus Daerah Istimewa Jogjakarta, tapi kenapa lantas pemerintah membuat undang-undang baru untuk DIY ? Adakah Niat Buruk Pemerintah dalam membuat RUUK DIY ? kalau jelas-jelas niat buruk mungkin saja tidak ada, masak iya sih pemerintah berniat buruk pada daerahnya sendiri, bisa jadi RUUK DIY adalah bentuk Pelemahan Kekuasaan Sultan secara tidak lansung, kalau Gubernur DIY bukanlah seorang Sultan lagi, tetntunya pemerintah pusat bisa dengan sangat mudah mencampuri urusan pemerintahan DIY, tapi selama sultan yang berkuasa, bagaimanapun pemerintah pusat tidak bisa bersikap demikian. Sikap Politik hampir semua fraksi di DPRD DIY mendukung penetapan, tapi pemerintah menganggap sikap politik DPRD DIY itu tidaklah kuat, karena sikap pemerintah tetap pada Gubernur itu dipilih oleh DPRD, semua pemerintah daerah ikut pada aturan pemerintah pusat bukan Peraturan Daerah (Perda). Kalau pemerintah tetap bersikeras mau menerapkan RUUK DIY tersebut, itu artinya pemerintah sendiri tidak menegakkan demokrasi dan pemerintah tidak mengerti bagaimana ber- Demokrasi, dalam demokrasi itu ada kearifan dan kebijaksaan yang ditegakkan bukanlah pemaksaan kehendak

pemerintah sendiri, kearifan untuk mendengarkan hati nurani dan aspirasi rakyat, kenapa pemerintah yang selalu menganjurkan demokrasi tapi malah melacurkan demokrasi itu sendiri, apakah pemerintah sudah kehilangan hati nurani hanya untuk sebuah tirani. Budayawan, Radar Panca Dahana menilai persoalan yang saat ini muncul di Daerah Istimewa Yogyakarta mengindikasikan pemerintah pusat tak memahami arti demokrasi. Nggak ada itu soal permainan politik. Ini cuma soal bagaimana pemerintah pusat tidak bisa memahami bahwa dibalik demokrasi itu ada kearifan kebijakan. Jangan melihat demokrasi dari formalismenya saja, Kenapa pemerintah meng-obrak-abrik demokrasi dijogja, yang dianggap banyak orang sudah sangat demokratis, apa kepentingan pemerintah, adakah ini terkait dengan kepentingan pelaksanaan Pemilu 2014 ? Kecurigaan seperti ini sangatlah beralasan, setiap partai yang berkuasa, jelas akan selalu mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara, itu akan menjadi wajar kalau dilakukan dengan cara-cara yang benar dan tidak mempergunakan kekuasaan, tapi apa bila itu dilakukan dengan mencipatakn intrik politik dan menebarkan polemik, maka itu akan menjadi bumerang yang akan mengancam kekuasaan itu sendiri. Kekejaman tidak menjadi sifat jeleknya yang biasa..tetapi keserakahannya yang picik barangkali lebih banyak merusakdaripada kekejamannya.Bahkan kekuasaan Nerohanya mencelakakan sedikit orang yang berdekatan dengan dia, kesejahteraan provinsi-provinsi tidak diganggu-ganggunya, tapi suatu pemerintahan yang jelek peraturannyaadalah suatu bencana umu (Dan Prof Veth : ahli etnologi dan bahasa indonesia) Sumber tulisan : http://nasional.kompas.com/read/2010/12/15/1844228/Pemerintah.Tak.Paham.Demokr asi http://nasional.kompas.com/read/2010/12/15/2221315/Besok..Ampres.RUUK.Yogyakart a.ke.DPR

RUUK DIY dan Kesatuan Nasional OPINI | 16 December 2010 | 09:45 Terlalu lama diacuhkan, masalah RUUK Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak hentihentinya menjadi head line perbincangan massa. Terlebih menyusul polemik seputar keistimewaan DIY, yang berhembus dari pernyataan SBY tentang tidak mungkinnya sistem monarki (Kesultanan Yogyakarta) kedalam demokrasi (Indonesia). Seperti apapun maksud atau makna monarki menurut pandangan Presiden kita, yang jelas, pernyataan tersebut telah memberikan segores luka bagi masyarakat DIY. Polemik Keistimewaan Yogyakarta Dalam polemik yang terus merumit, berbicara keistimewaan Yogyakarta tentu tidak hanya terbatas pada mempersoal keistimewaan belaka. Melainkan (pun) membincang soal bagaimana integrasi sistem Daerah khusus/istimewa kedalam Undang-Undang demokrasi, sebagaimana integrasi monarki kesultanan Yogyakarta kedalam Kesatuan Nasional Negara Republik Indonesia pada masa awal kemerdekan RI. Dengan kata lain, polemik tentang keistimewaan Yogyakarta memiliki mata rantai persoalan yang sensitiv akan nilai-nilai sejarah, kebudayaan, kearifan lokal, dan sebagainya -sejauh menyangkut masalah ke-daerah-an. Monarki yang dimaksud dalam tulisan ini adalah seperti tercermin dalam amanat 5 september 1945, dimana Sri Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan sebutan amanat 5 September 1945, kemudian disusul oleh dikeluarkannya teks amanah yang sama oleh Sri Paduka PA VIII. Dekrit tersebut mengamanatkan integrasi monarki Yogyakarta kedalam Republik Indonesia. Kewewenangan Sultan HB X dan Sri Paduka PA VIII tidak terlepas dari sejarah DIY itu sendiri yang merupakan warisan kerajaan dari zaman pra kemerdekaan. Dan pada akhirnya berkonsekuensikan hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (negaranya) sendiri -di bawah pengawasan pemerintah penjajahan. Artinya, ke-monarkian Yogyakarta hanya sejarah masa lampau. Tidak relevan bila dalam konteks saat ini eksistensi dan kedudukan Kesultanan bersama Pakualaman disebut sebagai monarki. Karna kedudukan keduanya, merupakan kehendak demokratis -dalam pemaknaan kontekstual- masyarakat DIY. Secara subyektif, jelas penulis menyesali statemen yang dikeluarkan oleh presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) beberapa waktu lalu yang menuai banyak konroversi (baca; pernyataan SBY tentang Monarki Yogyakarta). Sebagai pemimpin negara, harusnya SBY mampu menghindari hal-hal yang dapat memunculkan kontroversi. Mungkin, SBY memiliki interpretasi sendiri tentang makna monarki yang

dimaksud. Akan tetapi tidak seharusnya ia membiarkan masyarakat DIY -dan Indonesia secara umum- justru tambah bergejolak dengan tidak adanya klarifikasi lebih lanjut pada pernyataan sikapnya yang kedua (kamis, 2/11) Ia justru berbicara lebih pada perihal subtansi RUUK, bahwa dirancangnya Undang-Undang keistimewaan Yogyakarta merupakan upaya untuk mengatur dan menaungi keistimewaan itu sendiri. RUUK DIY atau Perpecahan? Bertolak dari polemik diatas, Kita tahu bahwa RUU DIY sebenarnya telah lama menjadi wacana. Pada tahun 2002 pemerintah Propinsi DIY pernah mengajukan usul UU keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu Undang-Undang. Namun, usulan-usulan tersebut tidak lebih dari sebatas angin lalu belaka. Tidak ada tanggapan positif dari pemerintah untuk serius menanganinya. Alhasil, tentang kedudukan pemerintahan eksekutif di DIY hingga kini masih belum ada Undang-Undangnya. Berbeda nasib dengan daerah-daerah istimewa lain seperti Propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dan Propinsi Papua (dulu Irian Jaya/Irian Barat). Kedua Propinsi tersebut telah menerima otonomi khusus dari pemerintah. Di Daerah Istimewa Aceh telah diberlakukan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Sedangkan di Propinsi Papua dengan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151). Jauh sebelum kedua daerah ini diberi UU khusus, kita bisa melihat bagaimana gejolakgejolak yang timbul pada waktu itu. Tidak hanya pada tatanan kontroversi opini, melainkan gejolak fisik dengan pemerintah RI. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa dilihat sebagai contoh paling populer. Dari sini dapat kita ambil pelajaran bagaimana kekuatan daerah -yang bersumber pada sejarah, kultur, kearifan lokal dan sifat kedaerah-an lain- sempat memberikan gertakan dan ancaman bagi kesatuan nasional. Terlepas hal tersebut mendapat dukungan dan intervensi internasional ataupun tidak. Dalam konteks polemik keistimewaan yang kini bergejolak di DIY, nampaknya pemerintah harus memikirkan lebih dari sekedar soal finishing dan pengesahan RUU yang telah lama dinginkan oleh masyarakat DIY. Melainkan harus (pula) memikirkan hal-hal yang sifatnya subtansi dan sensitif ke-DIY-an. Yang perlu diingat bahwa Indonesia dilahirkan dan dibesarkan oleh sejarah. Dan DIY merupakan salah satu bagian dari sejarah itu. Kita tentu tidak menginginkan gara-gara DIY merasa dianak tirikan oleh sebab RUU yang belum rampung, masih ditambah dengan penetapan pasal-pasal yang sebenarnya tidak penting. Karna demikian itu akan melukai bagian

sejarah bangsa, dan terlukanya bagian sejarah bangsa dapat berkibat fatal pada bergejolaknya bangsa. Kesatuan nasional merupakan hal yang paling subtansi untuk difikir. Bagaimana sebaiknya RUU tentang keistmewaan Yogyakarta dikonsep, dibuat serta kemudian disahkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan (demi) terwujudnya kesatuan nasional NKRI. Bukan sebaliknya. Kita berharap para DPR benar-benar mempertimbangkan segala aspeknya. Semoga! Versi Pemerintah: Draft RUUK DIY OPINI | 17 December 2010 | 15:51 Draf RUUK DIY yang telah diserahkan ke DPR, tetap pada konsep gubernur dipilih melalui DPRD. Adapun Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam ditempatkan sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama. Dalam draf tersebut, tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur diatur dalam Bab VI. Sumber calon Pasal 17 1. Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dapat berasal dari : a. Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertakhta; b. Kerabat Kesultanan dan kerabat Pakualaman, c. Masyarakat umum. 2. Dalam hal calon Gubernur diikuti oleh Sri Sultan Hamengku Buwono, Sri Sultan Hamengku Buwono berpasangan dengan Sri Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 Huruf a. 3. Pasangan calon Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagaimana dimaksud pada Ayat 2, otomatis didaftar sebagai calon Gubernur/Wakil Gubernur melalui mekanisme perseorangan khusus. 4. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono ikut mencalonkan diri sebagai Gubernur, kerabat Kesultanan dan kerabat Pakualaman tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. 5. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono tidak sebagai calon, pemilihan hanya dilakukan untuk memilih Gubernur. 6. Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono tidak mencalonkan diri sebagai Gubernur, Sri Paku Alam tidak dapat mencalonkan diri sebagai Gubernur.

Mekanisme Pencalonan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam Pasal 18 sebagai berikut: 1. Penyelenggara pemilihan kepala daerah Provinsi menanyakan kesediaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. 2. Kesediaan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, dituangkan dalam surat pernyataan kesediaan. 3. Surat pernyataan, sebagaimana dimaksud pada Ayat 2, harus diserahkan kepada Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Provinsi selambat-lambatnya sebelum masa pendaftaran berakhir. Draf RUUK versi pemerintah juga mengatur mekanisme pencalonan kerabat Kesultanan dan kerabat Pakualaman serta masyarakat umum. Calon yang berasal dari kerabat Kesultanan dan kerabat Pakualaman serta masyarakat umum diajukan melalui partai politik atau gabungan partai politik. Seluruh calon gubernur yang mendaftarkan diri melalui penyelenggaran pemilihan kepala daerah provinsi akan diserahkan kepada DPRD provinsi. Pasal 20 Ayat (2) mengatur, DPRD provinsi melakukan pemilihan terhadap calon gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah provinsi. Calon terpilih akan diajukan ke Presiden untuk disahkan sebagai gubernur (Pasal 20 Ayat 5). Ketentuan lain yang diatur dalam draf RUUK DIY versi pemerintah adalah Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX yang menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat ini ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY untuk waktu paling lama dua tahun sejak diundangkannya UU. Selesai.

Pramono Anung: Surat RUUK DIY Bernomor Istimewa '99' Inggried Dwi Wedhaswary | Glori K. Wadrianto | Kamis, 16 Desember 2010 | 10:34 WIB JAKARTA, KOMPAS.com Surat presiden mengenai draf RUU Keistimewaan DIY versi pemerintah akan dibacakan dalam Sidang Paripurna, Kamis (16/12/2010). Surat ini adalah surat yang ditunggu-tunggu setelah kontroversi yang berkepanjangan mengenai beberapa substansi dalam RUU tersebut. Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengatakan, surat itu memiliki nomor yang istimewa. Berapa nomor surat tersebut? "Kami sudah menerima tiga surat dari Presiden. Salah satunya bernomor keramat, istimewa, R99, yaitu mengenai Keistimewaan DIY," kata Pramono sambil tertawa kecil di Gedung DPR, Jakarta, sesaat sebelum memimpin Sidang Paripurna. Seperti diketahui, angka "9" sering kali dianggap angka favorit Presiden SBY. "Saya juga enggak tahu kok bisa pas nomornya R99," ujar Pramono singkat. Dengan masuknya surat ini, Pramono berharap bisa mengurangi polemik yang berkepanjangan terkait RUUK DIY. Setelah masuknya surat ini, ia mengungkapkan, domain sepenuhnya mengenai pembahasan RUU ini dimiliki oleh DPR. "Seperti apa selanjutnya, nanti akan dibahas di Komisi II oleh fraksi-fraksi," kata Pramono. Pembahasan RUUK DIY akan menjadi prioritas pada masa sidang berikutnya. Ini karena DPR akan memasuki masa reses per 20 Desember mendatang. DPR akan kembali bersidang pada 10 Januari 2011. Surat itu pun resmi dibacakan pada Sidang Paripurna bersama dua surat lainnya, yaitu surat R98 perihal RUU tentang Tanah untuk Pembangunan dan surat R100 perihal RUU tentang Pelayaran. RUUK DIY Akhirnya, DPR Terima Draf RUUK DIY Inggried Dwi Wedhaswary | Heru Margianto | Kamis, 16 Desember 2010 | 10:13 WIB TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALIWarga DI Yogyakarta dari berbagai elemen mengikuti Sidang Rakyat di DPRD Provinsi Yogyakarta, Senin (13/12/2010). Ribuan warga mengikuti Sidang Rakyat untuk menuntut penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sedang dibahas oleh DPRD Provinsi DI Yogyakarta. JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menerima draf RUU Keistimewaan DIY, Kamis (16/12/2010). Kepastian mengenai telah dikirimnya draf versi pemerintah itu disampaikan Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, saat dikonfirmasi Kompas.com, pagi ini. "Sudah. Sudah diterima hari ini," kata Pramono. Ia mengatakan

surat mengenai draf yang dikirimkan oleh Sekretariat Negara akan dibacakan dalam Sidang Paripurna yang dijadwalkan pukul 10.00. Proses penyusunan RUUK DIY menjadi kontroversi dalam sebulan terakhir, terutama terkait mekanisme penetapan Gubernur DIY. Versi pemerintah, diusulkan bahwa pemilihan Gubernur DIY melalui DPRD. Namun, belum diperoleh kepastian apakah konsep ini tetap diusulkan dalam draf final versi pemerintah. Kontroversi RUUK DIY Pemerintah Didesak Segera Kirim RUUK DIY Inggried Dwi Wedhaswary | Hertanto Soebijoto | Rabu, 15 Desember 2010 | 14:06 WIB TRIBUN JOGJA/HASAN SAKRI GHOZALIWarga DI Yogyakarta dari berbagai elemen mengikuti Sidang Rakyat di DPRD Provinsi Yogyakarta, Senin (13/12/2010). Ribuan warga mengikuti Sidang Rakyat untuk menuntut penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sedang dibahas oleh DPRD Provinsi DI Yogyakarta. JAKARTA, KOMPAS.com Polemik Rancangan Undang-Undang Keistimewaan atau RUUK DIY masih terus berlanjut. Kontroversi masih seputar proses penetapan Gubernur DIY. Anggota Komisi II DPR, Ganjar Pranowo, mengatakan, polemik ini akan lebih produktif jika pembahasan RUUK DIY sudah berlangsung di DPR. Karena itu, dia mendesak pemerintah segera mengirimkan draf RUU tersebut ke Senayan. "Sebaiknya pemerintah juga mengambil satu sikap yang pasti dan segera kirim ke Senayan, dan Komisi II akan bisa melakukan diseminasi ke Jogja sehingga dialog bisa dibuka secara lebih rasional," kata Ganjar dalam diskusi "RUUK DIY" di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/12/2010). Menurut dia, berbagai isu yang dilontarkan pemerintah terkait mekanisme pemilihan Gubernur DIY bukanlah "barang baru" dalam perdebatan RUUK DIY. Sejak tahun 2009, menurutnya, mayoritas fraksi di DPR periode 2004-2009 mendukung penetapan. "Sembilan dari sepuluh fraksi mengatakan penetapan. Itu kalau melihat keputusan di 2009. Apa yang didiskusikan kepada publik, satu pun tidak ada yang baru. Parahnya, yang tidak disetujui diajukan dengan konsep baru, yaitu gubernur utama. Sayangnya, masyarakat Jogja cukup cerdas menangkap itu," ujar politisi PDI Perjuangan ini. Beberapa hari lalu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan, draf RUUK DIY sudah final dan telah dikirim ke Sekretariat Negara. Draf tersebut akan segera dilayangkan ke DPR dalam waktu dekat. Mendagri: Pilgub DIY Bukan Diatur Perda | I Made Asdhiana | Selasa, 14 Desember 2010 | 18:46 WIB

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGMenteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat jam tangannya. PADANG, KOMPAS.com - Meski mendapat penolakan dari masyarakat Yogyakarta, pemerintah pusat tetap melanjutkan rencana pemilihan kepala daerah di Yogyakarta. Orang pada ribut tentang pemilihan saja, padahal banyak hak Sri Sultan yang diberi keistimewaan. -- Gamawan Fauzi "Unjuk rasa masyarakat Yogyakarta itu kemauan mereka untuk menyampaikan aspirasi. Namun ini (pemilihan gubernur) diatur oleh UU bukan oleh perda. Jika perda, mungkin masyarakat bisa berikan suara. Dengan UU, ya tanya pada rakyat Indonesia. Terjemahan dengan UU, berarti semua suara itu berasal dari Indonesia," kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi seusai menjadi keynote speaker pada International Conference on Governance and Development, Selasa (14/12/2010) di Padang. Gamawan mengatakan, hal itu dilakukan untuk mengantisipasi Sri Sultan masih belum cukup umur atau terlalu lanjut usianya. "Beliau tak ingin jadi gubernur, tapi masyarakat ingin (Sultan) jadi gubernur. Jadi ini kesempatan masyarakat umum jadi gubernur dalam pemilihan di Yogyakarta," ucapnya. Meski demikian, katanya, Sri Sultan tetap punya keistimewaan. Misal, tentang tanah, tradisi, keuangan dan hak lainnya tetap dilindungi. "Orang pada ribut tentang pemilihan saja, padahal banyak hak Sri Sultan yang diberi keistimewaan," ungkap Gamawan. Pemerintah, katanya, juga telah melakukan hal itu sebelumnya. Misal, setelah Soeharto selama 32 tahun berkuasa, lalu dibuat UU. "Kita batasi dua periode dengan semangat demokrasi. Kita juga pernah mengkiritk Bung Karno yang ingin jadi presiden seumur hidup. Sekarang, kita minta Sri Sultan untuk jadi gubernur lewat pemilihan. Jika tidak, bagaimana kalau Sri Sultan jadi gubernur sudah tua, atau terlalu muda. Atau jika Sri Sultan salah, siapa yang mau tanggung jawab. Mau nggak Sri Sultan diperiksa jaksa," kata Gamawan. Sikap DPRD Provinsi Yogyakarta yang ingin Sri Sultan dipilih langsung, katanya, adalah sebagai aspirasi. "Masukan itu ditujukan ke DPR karena Kemendagri sudah komit untuk memilih gubernur di Yogyakarta lewat pemilihan kepala daerah," tegas Gamawan. (Tribunnews/Harismanto) Keistimewaan DIY Pemerintah "Keukeuh" Gubernur Dipilih DPRD Inggried Dwi Wedhaswary | Marcus Suprihadi | Senin, 13 Desember 2010 | 16:13 WIB

KOMPAS/YUNIADHI AGUNGMenteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi melihat jam tangannya. JAKARTA, KOMPAS.com Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menjelaskan secara garis besar konsep yang ditawarkan pemerintah dalam draf RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terkait mekanisme pemilihan Gubernur DIY. Kalau DPRD tidak ada calon, dan hanya Sultan satu-satunya calon, kukuhkan saja. Ini konsepnya. -- Gamawan Fauzi Menurut Mendagri, pengaturan mengenai mekanisme pemilihan menjadi polemik karena usul pemerintah berbeda dengan mekanisme yang sudah berjalan selama ini, yaitu Sultan sebagai Raja Yogyakarta ditetapkan sebagai gubernur. "Konsep kita dipilih DPRD," kata Gamawan di sela-sela rapat kerja dengan Komisi II di Gedung DPR, Jakarta, Senin (13/12/2010). Menurutnya, jika memang masyarakat Yogyakarta berpandangan tak ada calon selain Sultan, sebenarnya konsep yang ditawarkan pemerintah hanya menggeser kewenangan penetapan dari pemerintah pusat ke DPRD. "Kalau Sultan calon sendiri (tunggal) seperti diceritakan bahwa Sultan satu-satunya calon, ini kan hanya menggeser kewenangan saja yang selama ini seolah-olah ditetapkan Jakarta, sekarang digeser ke daerah. Kalau DPRD tidak ada calon, dan hanya Sultan satu-satunya calon, kukuhkan saja. Ini konsepnya," papar dia. Mengenai wacana gubernur utama yang sempat dilontarkan pemerintah, tetap akan diusulkan. Sebelumnya, pemerintah mengusulkan Sultan sebagai gubernur utama dan ada gubernur yang dipilih secara demokratis. "Dalam konsep pemerintah, Sultan sementara ini namanya gubernur utama. Besok kalau di DPRD ditetapkan Sultan juga (sebagai gubernur), ya tidak apa-apa. Tapi, kewenangannya jelas. Kalau Sultan mau mencalonkan diri jadi gubernur, ada dua jabatannya. Sultan iya, Gubernur iya. Silakan," kata Gamawan. Konsep ini, lanjutnya, akan menguji apa yang selama ini didengungkan bahwa Sultan satu-satunya calon yang dipandang layak memimpin Yogyakarta. "Kalau Sultan satu-satunya calon, tidak ada calon lain, ya diuji di situ. Kukuhkan saja. Itu yang kita usulkan," ujarnya. RUUK DIY Inilah Sikap Fraksi-fraksi soal RUUK DIY | Marcus Suprihadi | Sabtu, 11 Desember 2010 | 15:30 WIB

KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYORakyat Yogya, Rabu (1/12/2010), berunjuk rasa mendukung penetapan Sultan sebagai Gubernur DIY. JAKARTA, KOMPAS.com- Pemerintah tetap keukeuh mengusulkan agar Gubernur DI Yogyakarta dipilih melalui pemilihan di DPRD seperti halnya gubernur di daerah lain. Lalu bagaimana sikap fraksi-fraksi di DPR? 1. Partai Golkar: Kami akan bersungguh-sungguh mempertahankan keistimewaan Yogyakarta (Priyo Budi Santoso, Ketua DPP Golkar) 2. PDI Perjuangan: Keistimewaan Yogyakarta menyatu dengan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Untuk itu, kami mendukung penetapan. Namun, Sultan HB X juga harus memosisikan dirinya sebagai gubernur dan sultan untuk semua masyarakat Yogyakarta, tidak menjadi milik partai politik tertentu (Tjahjo Kumolo, Sekjen PDI Perjuangan) 3. PKS: PKS menyeseuaikan diri dengan keinginan masyarakat Yogyakarta. Kami pernah survei, dan umumnya warga Yogya pilih penetapan (Mahfudz Siddiq, Wakil Sekjen PKS) 4. PAN: Sebelum menentukan sikap, kami akan menimbang kelebihan dan kekurangan naskah RUU usulan pemerintah (Teguh Juwarno, Sekretaris Fraksi PAN DPR) 5. PPP: Perkembangan historis, sosial, dan politik membuat kami memutuskan mendukung penetapan. Persoalan jika sultan dinilai terlalu tua atau masih kanak-kanak bisa diatasi dengan membuat aturan perwalian (M Romahurmuzly, Sekretaris FPPP DPR) 6. PKB: Kami belum bisa menentukan sikap karena belum menerima draft RUU dari pemerintah (Marwan Jafar, Ketua Fraksi PKB DPR) 7. Partai Gerindra: Kami mendukung Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Yogyakarta. Namun, Sultan harus meninggalkan posisinya di partai politik, karena dia milik semua golongan (Ahmad Muzani, Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR) 8. Partai Hanura: Kami tetap menginginkan penetapan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta. Sikap ini untuk menghormati keistimewaan Yogyakarta, penghargaan kepada sejarah daerah itu, dan untuk memenuhi aspirasi masyarakat Yogya (Sarifuddin Sudding, Wakil Ketua Fraksi Hanura DPR) Polemik RUUK DIY

Prabu Mundur, Tunjukkan Keraton Solid Inggried Dwi Wedhaswary | Heru Margianto | Kamis, 9 Desember 2010 | 17:42 WIB KOMPAS/CHANDRA ADHIE NUGROHO Ilustrasi. JAKARTA, KOMPAS.com Politisi senior PDI Perjuangan, Pramono Anung, menilai, keputusan mundur adik Sri Sultan HB X, Gusti Haryo Prabukusumo, dari Partai Demokrat merupakan pesan kultur yang disampaikan oleh keluarga Keraton Yogyakarta. Tak hanya itu, sikap Prabu juga menunjukkan bahwa Keraton memiliki satu sikap. Demikian dikatakan Wakil Ketua DPR ini di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (9/12/2010). "Mengenai pengunduran diri, saya enggak berkeinginan untuk mencampuri. Tapi kan kelihatan betul keluarga Keraton satu dalam menghadapi persoalan ini," kata Pramono. Pembahasan RUU Keistimewaan DIY berlarut-larut karena masih terjadi kontroversi mengenai proses pemilihan Gubernur DIY. Pemerintah berpandangan, proses pemilihan kepala daerah Provinsi Yogyakarta harus sama seperti daerah lainnya, yaitu melalui proses pemilihan langsung oleh rakyat, bukan penetapan seperti yang terjadi selama ini. "Persoalan yang ada di Yogyakarta harus bisa diselesaikan dengan mengedepankan proses kultur. Adik Sultan mengundurkan diri dari Partai Demokrat. Saya melihat ini upaya untuk memberikan strong message bahwa mereka bersatu untuk urusan yang menyangkut penetapan Sultan," ujar Pramono. RUUK DIY Prabukusumo: Saya Membela Martabat Bapak Erwin Edhi Prasetyo | Erlangga Djumena | Rabu, 8 Desember 2010 | 15:54 WIB

wieke soemantri Amanat Sultan HB IX tentang bergabungnya Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Negara Republik Indonesia

YOGYAKARTA, KOMPAS.com Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DI Yogyakarta Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabukusumo, yang juga putra Sultan Hamengku Buwono IX, menegaskan akan ikut memperjuangkan penetapan gubernur/wakil gubernur DIY dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY. Ia minta perjuangannya mendukung penetapan tersebut tidak diragukan. "Saya memperjuangkan penetapan karena saya membela harga diri dan martabat Bapak (Sultan Hamengku Buwono IX)," ungkap Prabukusumo saat bertemu dengan para seniman tradisional DI Yogyakarta di rumahnya, di Jalan Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta, Rabu (8/12/2010). Para seniman tradisional itu meminta Partai Demokrat sebagai partai yang berkuasa untuk turut mendukung penetapan. Saat menjelaskan hal itu, Prabukusumo sempat menangis, suaranya terbata-bata, dan matanya berkacakaca. Prabukusumo menyatakan, Sri Sultan HB IX dengan penuh kesadaran mengorbankan harga dirinya sebagai Raja Keraton Yogyakarta yang berdaulat penuh untuk bergabung dengan NKRI. Karena keputusannya itu, berarti Sultan HB IX rela menyerahkan kekuasaan Keraton Yogyakarta dibatasi oleh undang-undang, peraturan pemerintah, dan lainnya. Prabukusumo mengatakan, dalam maklumat 5 September 1945 sudah sangat jelas, meski bergabung dengan NKRI, tetapi Sultan HB IX menyatakan sebagai kepala daerah yang memegang segala kekuasaan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat. Prabukusumo mengatakan, posisinya sebagai Ketua DPD Partai Demokrat DIY membuatnya terjepit. Meski demikian, ia tetap tidak ragu untuk berjuang mempertahankan keistimewaan DIY dengan substansi penetapan gubernur/wakil gubernur DIY. "Dalam memperjuangkan penetapan itu, kita tetap harus cerdas dan santun," katanya. Sumber : dikutip dari www.kompas.com pukul 19:48 (Rabu, 25-04-2012) DPD Bakal Kawal Terus Proses Pembahasan RUUK DIY Selasa, 28 Desember 2010, 03:12 WIB REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA--Dewan Perwakilan Daerah berkomitmen mengawal proses pembahasan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengusung opsi penetapan. "Meskipun tidak memiliki hak suara di DPR, hasil legislasi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) itu akan dijadikan masukan," kata Wakil Ketua DPD, GKR Hemas, usai menghadiri puncak peringatan Hari Kesatuan Gerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Ke-38 Tingkat DIY di Yogyakarta, Senin (27/12).

Menurut dia, DPD akan mengawal hasil yang sudah diplenokan. Selanjutnya rancangan undang-undang mengenai hal itu akan dibawa ke DP dan DPD akan ikut mengawal, karena hasil pleno itu jelas pada penetapan, bukan pemilihan. "Proses pengawalan opsi penetapan pada perjalanan pembahasan RUUK DIY itu akan dilakukan bersama dengan aspirasi yang telah dihasilkan DPRD DIY. Dalam hal ini, DPD akan melakukan pematangan konsep untuk disampaikan ke DPR," katanya. Jadi, DPD akan menguatkan kembali konsep bersama dengan DPRD DIY yang hampir semuanya sepakat pada penetapan. Hal itu yang akan dimantapkan kembali bersama dengan DPRD DIY dan akan terus dikawal. Ditanya tentang seberapa besar pengaruh aspirasi DPD terhadap keputusan yang akan dihasilkan di pusat, ia mengatakan, suara politik DPD memang tidak ada, tetapi dirinya optimistis jika dalam mengambil keputusan, DPR akan mempertimbangkan hasil legislasi di DPD. "Jika mau hitung-hitungan ya jelas tanggung jawab kami hanya mengawal. Jadi mengawal itu tidak ikut main dalam area politiknya, meskipun DPD tidak punya hak suara, tetapi harus memasukkan hasil legislasinya ke DPR. Dalam hal ini DPR harus mempertimbangkan masukan DPD," katanya. Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari Sumber: Ant

Você também pode gostar