Você está na página 1de 4

Angkringan=Jogja Gerobak beratap terpal ini ada di tiap sudut kota Jogja, siang maupun malam.

Ada banyak orang mengerubunginya. Beberapa duduk di bangku panjang yang berputar mengelilingi gerobak. Beberapa orang lebih suka duduk santai lesehan di tikar yang sering digelar di dekat gerobak. Semua orang tahu gerobak itu adalah gerobak angkringan. Karena ini adalah Jogja, dan angkringan adalah trademark-nya. Tempat banyak orang menggantungkan hidupnya pada eksistensi si gerobak. Karena angkringan itu egaliter. Semua orang boleh duduk di bangkunya, lalu bebas memilih minuman apa yang akan dinikmati diantara minuman konvensional seperti es teh dan es jeruk. Atau minuman yang lebih eksotis seperti kopi joss yang dalam gelasnya dimasukkan sebongkah arang hitam panas. Seolah-olah derajat dan strata sosial lenyap di bangku angkringan. Baik mereka yang berkendara roda empat maupun yang sekadar mengayuh sepeda onthel butut boleh duduk bersama sebangku. Bangku angkringan memang dirancang untuk duduk bersama, tidak memberikan kesan ekslusif persis bangku restoran fastfood yang menyediakan bangku perorangan sehingga tiap orang yang datang mampu menikmati janji manis gaya hidup metropolitan sendirian, tanpa harus berbagi bersama orang lain. Namun adakalanya angkringan justru menjadi hiperrealitas belaka. Andai Jean Baudrillard sempat berkunjung ke Jogja dan menganalisa angkringan, ia akan melihat terkadang angkringan adalah penegasan strata sosial yang baru. Eksotisme adalah senjata rahasia baru para pemuja makna metropolis untuk dipamerkan pada sesama. Maka menjadi umum apabila kita melihat beberapa angkringan menjadi semacam caf baru namun dengan rasa eksotisme njawani. Obrolan mereka yang duduk di lesehannya jauh dari kesan proletar dan kerasnya hidup. Mereka lebih sibuk ngerasani apa yang sepanjang hidupnya mereka yakini sebagai kebenaran hidup orang modern. Walau faktanya kebenaran itu dibuat oleh gemerlap televisi dan janji manis modernisasi. Di angkringan hiperrealitas ini jamak kita melihat pengunjungnya duduk manis bersama beberapa teman. Namun alih-alih menikmati suasana angkringan dengan obrolan hangat bersama temannya, pengunjung ini justru sibuk memencet tuts Blackberry atau mencolek-colek layar iPhone nya. Lalu eksotisme angkringan ini tiba-tiba diabadikan dalam sebentuk foto yang akan diunggah ke Instagram, atau menjadi cerita 140 karakter yang dibagikan pada dunia. Hiperrealitas yang terjadi adalah: Bagaimana mungkin pengunjung angkringan ini lebih memilih ngobrol 140 karakter bersama banyak orang yang belum tentu dikenalnya secara personal dan berada entah dimana, ketimbang ngobrol hangat dengan rekannya yang duduk di sebelahnya. Akhirnya angkringan menjadi hiperrealitas. Fungsi duduk disana bukan sekadar makan nasi kucing murahnya untuk menyambung hidup, atau mempererat relasional antar sesama. Yang dikonsumsi adalah makna, makna eksotisme angkringan. Dan mengkonsumsi juga berarti menghadirkan makna, maka eksotisme angkringan harus dihadirkan pula dalam sebentuk foto cantik Instagram atau status BBM berbunyi @angkringan kopi joss, menikmati suasana malam. Persetan dengan teman yang duduk di sebelah, karena ia sendiri barangkali juga tengah sibuk chatting melalui BBM, sama-sama mengacuhkan teman duduknya. Tapi angkringan yang buka di siang hari memang berbeda dengan yang buka di malam hari. Meski sama-sama menyajikan makanan siap saji aneka rupa. Bila angkringan malam lebih santai dimana pengunjungnya betah berlama-lama duduk mengelilingi gerobaknya. Maka angkringan siang

sedikit berbeda, efisiensi adalah kata kunci disini. Gerobak kecil beratap terpal kini biasa mangkal di depan pertokoan atau kawasan bisnis Jogja. Melayani para karyawan dan pegawai kelas menengah kebawah yang butuh makan siang murah dan cepat. Para karyawan ini tidak punya waktu lama, barangkali waktu istirahat siang mereka cuma 30 menit. Waktu pendek itu harus disiasati dengan makan cepat 2 bungkus nasi kucing, menyomot tahu, tempe, atau sate usus dan sate keong sebagai lauk. Menyesap es teh manis untuk menyegarkan diri. Lalu menghisap sebatang rokok yang disediakan ketengan di angkringan, seraya ngobrol bersama rekan kerja yang berangkat makan bersama. Angkringan siang hari seperti yang mangkal di Jl. Sudirman ini menegaskan ramalan kuno Marx bahwa kaum pekerja pada akhirnya dipaksa membuat produk yang akan dijual demi memberi untung pada pemilik alat produksi, namun pekerja tersebut tak punya kesempatan mengkonsumsi atau memiliki produk yang dibuatnya. Beberapa mas-mas dan mbak-mbak berseragam yang bekerja di restoran fastfood ala Amerika yang setiap hari berkutat membuat pizza, burger, atau ayam goreng tepung ini bergaji kecil. Mereka tak mampu membeli makanan yang setiap hari mereka buat. Gaji kecil itu harus bersisa sedikit agar barangkali bisa digunakan mencicil bulanan motor atau tabungan masa depan untuk biaya menikah. Karena itu makanan sehari-hari mereka harus murah, angkringan solusinya. Tempat dimana kelas pekerja menengah kebawah dapat makan dengan cepat, lalu harus kembali bekerja mengabdi, memberikan sumbangsihnya demi keuntungan pemodal yang mungkin belum pernah menginjakkan kakinya di restoran miliknya itu. Ternyata tak hanya Baudrillard, Karl Marx sekalipun harus ikut duduk ngangkring. Angkringan, benteng pertahanan terakhir kelas pekerja yang mempertahankan hidup di tengah kerasnya nurani pemodal. Sesungguhnya angkringan siang hari ini lebih berasa fastfood daripada restoran fastfood ala Amerika yang menjamur di Indonesia. Bayangkan, restoran fastfood lahir di Amerika untuk menyiasati gaya hidup penduduknya yang terus bergerak cepat mengejar efisiensi. Burger adalah solusi bagi pekerja yang harus bergerak cepat namun membutuhkan makan. Maka jaranglah warga Amerika berlama-lama di restoran cepat saji. Sementara di Indonesia, makan di restoran cepat saji itu ekslusif. Karena harganya memang tak ramah untuk jadi konsumsi setiap hari, makan di sana adalah semacam rekreasi yang dilakukan seminggu sekali bersama teman atau keluarga. Wajar jika kesempatan langka ini dinikmati lama-lama. Sementara di angkringan siang hari, para pekerja kelas menengah bawah menikmati makanan ala fastfood ini dimana mereka harus makan cepat agar dapat segera kembali bekerja. Fastfood Njawani, bedanya yang digigit bukan burger dan Frenc fries, melainkan tempe mendoan dan pisang molen. Berbicara angkringan tentu tak lepas dari pedagang pemilik gerobak itu. Bapak atau mas atau terkadang Ibu, yang berdiri di balik eksistensi restoran cepat saji ala Jawa ini. Dengan sigap melayani pembeli, mengaduk gula dan kopi dalam gelas yang sebelumnya sudah diisi air panas yang dituang dari ceret besar. Pedagang ini juga dengan cepat akan melayani pembeli yang barangkali ingin lauk pauknya dibakar diatas arang agar sedikit bau asap. Jika berbicara kapasitas dan kapabilitas dalam bekerja, pedagang angkringan ini adalah juara. Mereka mampu menjadi koki, pelayan, merangkap kasir yang menghitung transaksi. Sekaligus menjadi konsultan gratis, tempat dimana para pengunjung mampu bercerita dan berbagi beban hidup sehari-hari. Persis seperti konsultan profesional yang dibayar, konsultasi ala pedagang angkringan ini bersifat sama: Terkadang mampu memberikan solusi jitu mengatasi masalah, terkadang sang konsultan cukup jadi pendengar yang baik tanpa solusi.

Meski tidak sekolah marketing maupun ekonomi, pedagang angkringan adalah ahli pemasaran yang cerdas. Beberapa mungkin sadar bahwa dagangan mereka tak hanya mampu menawarkan makanan dan minuman sebagai dagangan. Namun eksotisme angkringan juga dapat dijual. Tanpa perlu membaca teori rumit Roland Barthez atau Saussure, mereka sudah menerapkan semiotika dalam bisnis angkringan. Pedagang angkringan menerapkan ilmu tanda ini dengan menjadikan eksotisme sebagai tanda yang bermakna. Umum kita temui nama angkringan yang bertengger di depan gerobak adalah nama-nama eksotis semacam angkringan pak Joko atau angkringan bu Suwito. karena eksotisme angkringan Lek Man akan hilang apabila pedagangnya dengan sembrono mengubah nama warungnya dengan nama angkringan Papa Bear atau Cat Rice Restaurant. Kehilangan eksotisme artinya mengundang pailit datang, karena pembeli yang ingin datang mengkonsumi eksotisme praktis langsung pergi. Strategi pemasaran beberapa pedagang angkringan malah tergolong unik. Mereka memanfaatkan reputasi daerah Bayat Klaten agar dagangan angkringan laris. Mungkin cerita ini perlu mendapat verifikasi melalui riset yang lebih mendalam. Namun sudah sejak lama beredar cerita bahwa asal muasal angkringan adalah dari daerah Bayat Klaten. Dari wilayah itulah gerobak angkringan pertama berangkat. Sejak dulu sampai sekarang, sebagian besar penduduk Bayat bekerja sebagai pedagang angkringan dan wedangan. Kaum lelaki ini merantau ke kota lain (termasuk Jogja sebagai kota terdekat), menjual makanan dan minuman di gerobak. Lalu satu atau dua minggu sekali pulang kampung ke Bayat untuk bertemu keluarganya. Reputasi dibangun secara perlahan. Banyaknya penduduk Bayat yang merantau mendirikan angkringan lama-kelamaan menyematkan reputasi pada Bayat, bahwa angkringan yang enak adalah yang pedagangnya berasal dari wilayah Bayat. Bukankah kita memang selalu suka yang reputasinya legendaris? Akhirnya banyak pedagang angkringan, saat ngobrol dengan pembeli dan ditanya asalnya darimana mas? akan menjawab berasal dari Bayat Klaten, meski asal daerah sebenarnya dari Wonosari. Dengan mengaku berasal dari Bayat, pedagang ini tengah membangun reputasi bagi gerobak angkringannya. Agar pembeli terpuaskan, lalu dari mulut kemulut menceritakan ada angkringan yang makanannya enak dan pedagangnya berasal dari Bayat. Kemudian di hari esok sang pembeli kembali makan di angkringannya. Perkara suatu saat ketahuan karena tukang parkir keceplosan bilang pedagang angkringan ini berasal dari Wonosari, tidak menjadi masalah. Paling tidak strategi tadi sudah meluaskan pangsa pasar ke teman-teman pembeli. Dan gerobaknya terlanjur laris manis. Lalu dapatkah kita menyimpulkan angkringan=Jogja? Angkringan adalah Jogja, Jogja adalah angkringan. Barangkali. Tak dapat dipungkiri mereka yang hidup di Jogja memang mengantungkan hidup pada kebulan arang hitamnya. Angkringan menjadi melting pot. Tempat berbagai manusia berkumpul berbagi cerita, tempat para karyawan yang tengah makan siang ngerasani dan mempergunjingkan supervisornya yang setiap jam kerja meradang dengan muka seram. Tempat dimana para mahasiswa menjadi 2 kubu: yang satu kubu mahasiswa yang makan di angkringan karena kiriman orang tua cekak dan mereka harus cerdas membagi uang itu untuk makan sebulan. Sedangkan kubu satunya adalah mahasiswa yang kiriman uang dari orang tuanya mengalir deras hingga mampu menghayati gaya hidup metropolis yang mewah di Jogja, namun terkadang bosan dengan elegannya caf yang banyak bertebaran di seputar kampusnya lalu memutuskan sekali-kali bolehlah duduk manis mengecap eksotisme angkringan.

Namun meski berbeda pandangan dalam segi keuangan dan tujuan mengkonsumsi di angkringan, kedua kubu mahasiswa ini sebagian besar sepakat dan sepaham dalam satu hal: mahasiswa yang duduk di angkringan ini segan dan ogah mempergunjingkan pemerintah dan politik. Bagi mereka politik itu tidak personal, dan yang personal yang harus dibicarakan di ruang publik seperti angkringan. Pembicaraan seputar hasil skor pertandingan piala Champions, atau ramainya konser band ini itu yang dihadiri sebelum bertandang ke angkringan jamak dijumpai. Angkringan memang tidak akan (atau belum akan) menjadi seperti kedai kopi di Inggris abad pertengahan, tempat dimana warga Inggris ngerasani pemerintahnya, hal yang membuat mereka belajar kritis dan akhirnya membuat Negara asal klub bola Manchester United itu maju seperti sekarang. Sementara kita di angkringan ogah ngerasani Pemerintah kita yang gagal, kita lebih memilih ngerasani Manchester United, klub bola asal Negara belahan Eropa sana.

Você também pode gostar