Você está na página 1de 14

Adab Mengkritik

Oleh:

Yasir Abdul Rahman

Seorang mukmin adalah cermin saudaranya yang beriman lainnya. (Abu Daud)

Kegiatan mengkritik adalah kegiatan yang paling menyenangkan bagi semua orang. Mengapa? Karena mengkritik (sering) hanya dimaknai sebagai kegiatan untuk menunjukkan kesalahan orang lain.

Ketika anda mengkritisi atau memberi saran kepada orang lain niatkan sebagai ibadah dalam rangka amal maruf nahi munkar. Pahami dan kuasai terlebih dahulu permasalahan yang akan kita kritisi tersebut . Cara Anda Mengkritik. Gunakanlah cara yang santun dan baik, selain itu jangan sampai anda menyampaikan kritik secara emosional serta gunakanlah bahasa yang baik dan tidak ambigu agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

Lengkapi dengan argumentasi yang logis dan Menyesuaikan dengan Sikon. Jika akan mengkritik seseorang untuk lihat situasi dan kondisi dan mood/ suasana hati orang tersebut. Dan jangan sekali-kali anda menyampaikan kritik yang pedas di hadapan orang lain apalagi orang banyak. Jika orang yang dikritisi mau melakukan apa yang kita sarankan, jangan merasa berjasa atau memiliki andil atas perubahan tersebut. Selain menimbulkan rasa ujub/ takabur, hal tersebut juga menunjukan secara tidak langsung bahwa diri andalah yang sesungguhnya harus dikritik.

Disampaikan dengan cara simpatik. Tidak Menghakimi Tidak tendesius untuk menjatuhkan. Jangan menggurui atau sok tahu. Tidak merendahkan harga diri orang lain Solusi tentu bersifat penawaran. Tidak memaksa orang lain agar melakukan tindakan seperti isi kritikan. Namun, kita sudah bertugas untuk mengingatkannya. Bukankah kita diperintahkan untuk saling menasihati? Berikanlah solusi ketika kita mengkritik orang lain. Ia sudah menyadari kekurangannya. Dan kita harus menjadi kawan baiknya.

Jangan mengedepankan prasangka. Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka, karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang kejelekan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563). Perhatikan firman Allah SWT berikut ini: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (QS. Al Hujuraat [49] : 12)

Jangan mengkritik dengan gayab Ghibah. Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini: Tahukah kalian apa itu ghibah? Jawab para sahabat : Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Maka kata Nabi saw: engkau membicarakan saudaramu tentang apa yang tidak disukainya. Kata para sahabat: Bagaimana jika pada diri saudara kami itu benar ada hal yang dibicarakan itu? Jawab Nabi SAW: Jika apa yang kamu bicarakan benarbenar ada padanya maka kamu telah mengghibah-nya, dan jika apa yang kamu bicarakan tidak ada padanya maka kamu telah membuat kedustaan atasnya.(HR Muslim/2589, Abu Daud 4874, Tirmidzi 1935) Abdullah bin Umar ra menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, suatu hari Rasulullah SAW naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi :Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari cari aurot mereka. Karena orang yang suka mencari cari aurot saudaranya sesama muslim, Allah akan mencari cari aurotnya. dan siapa yang dicari cari aurotnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya (HR. At Tirmidzi no. 2032, HR. Ahmad 4/420. 421, 424 dan Abu Dawud no. 4880. hadits shahih)

Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Riba itu ada tujuh puluh dua tingkatan. Tingkatan yang terendah adalah seperti seorang lakilaki menzinahi ibunya. Dan tingkatan yang tertinggi adalah seseorang yang merusak kehormatan saudaranya. (Lihat as silsilatush shahihah, no. 1871) Ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: ... barangsiapa yang mencritakan seorang mukmin tentang sesuatu yang tidak ada pada dirinya, maka Allah akan menempatkannya dalam lumpur nanah yang keluar dari tubuh penduduk neraka sampai ia meninggalkan apa yang dia katakan, sedangkan dia tidak dapat meninggalkannya. (HR. Ahmad II: 70, Hakim II: 27, Daud II: 117, dan berkata sanadnya shahih, dan disepakati oleh adz Dzahabi. Lihat as silsilatush shahihah, no. 437; irwaul ghalil, no. 2318) Abdurahmna bin Ghanam menyatakan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Sebaik-baik hamba Allah adalah orang yang apabila dipandang, maka dapat mengingatkan kepada Allah. Dan seburuk-buruk hamba Allah adalah orang yang senang mengadu domba, merusak jalinan cinta kasih (di antara hamba-hamba Allah), dan senantiasa membuat kesempitan (kesulitan) terhadap orang yang tidak bersalah. (HR. Ahmad, IV: 227) Ibnu Umar radhiyallahu anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda: Wahai orang-orang yang telah berislam pada lisannya, namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, jangan mencela mereka, dan jangan membuka aurat mereka. Barangsiapa membuka aurat saudara se-Islam, maka Allah akan membuka pula auratnya. Dan barangsiapa yang Allah buka auratnya, niscaya Allah akan mengungkapnya walaupun di dalam rumahnya. (HR. Tirmidzi, no. 2032; shahih menurut Al Bani, lihat Shahih Sunan at Tirmidzi, II: 200; lihat pula al musnad, IV: 421-424)

Kisah AlMakmun dan Pengkritiknya


Al-Makmun, seorang khalifah dari suatu khilafah islamiah, adalah salah seorang khalifah yang kurang disukai oleh rakyatnya. Banyak ulama dan orang salih yang memusuhinya. Bahkan sejarah mencatat beberapa nodahitam dalam masa pemerintahannya. Acap kali mimbar-mimbar agama dimanfaatkan oleh para mubalig untuk menyerukan masyarakat agar lebih bersungguh-sungguh melawan kemungkaran dan kezaliman para penguasa. Namun sejauh itu, tidak ada yang berani menunjuk hidung dan dengan terang-terangan mencacinya. Pada suatu hari Jumaat, Khalifah Al-Makmun mengunjungi Bashrah. Ia ikut sholat di masjid agung kota kelahiran Imam Hasan Al-Bashri itu. Tiba-tiba sang khatib dalam khutbahnya menyebut namanya dengan nada tidak sopan dan membongkar serta menuduh keculasan-keculasan secara kasar. Khalifah mengelus dada. Siapa tahu khatib itu cuma terbawa emosi akibat hawa panas yang sedang menyengat seluruh negeri? Kali yang lain, ketika Khalifah menjalankan sholat berjemaah di mesjid yang berbeda, kebetulan khatibnya sama, seperti pada waktu ia bersembahyang di masjid agung Bashrah. Dan khatib itu mengulangi kembali makian serta kutukankutukannya kepada Al-makmun. Di antaranya sang khatib berdoa, Mudahmudahan Khalifah yang sewenang-wenang ini dilaknat oleh Allah s.w.t. Maka habislah kesabaran Al-Makmun. Khatib itu diperintahkan untuk datang menghadap ke istana. Setengah dipaksa, khatib tersebut akhirnya mahu juga mengunjungi Khalifah.

Kepada khatib yang keras itu Al-Makmun betanya, Kira-kira, manakah yang lebih baik, Tuan atau Nabi Musa? Tanpa berfikir lagi, sang khatib yang galak itu menjawab, Sudah tentu Nabi Musa lebih baik daripada saya. Tuan pun tahu bukan? Ya,ya. Saya fikir begitu, sahut Al-Makmun. lalu, siapakah menurut pendapat Tuan yang lebih jahat, saya atau Firaun? Disini sang khatib terperangah. Ia sudah boleh menduga kemana tujuna pertanyaan itu. Namun ia harus menjawab sejujurnya. Maka ia lantas berkata, Pada hemat saya, Firaun masih lebih jahat daripada Tuan. Al-Makmun kemudian menegur, Maaf, Tuan. Seingat saya, bagaimana pun jahatnya Firaun, sampai ia mengaku tuhan, dan bertindak kejam kepada umat Nabi Musa, malah telah menebus hidup-hidup dayangdayang putrinya yang bernama Masyitah beserta susuannya, pun Nabi Musa diperintahkan Allah untuk berkata dengan lemah lembut kepada si zalim itu. Tolong dapatkah Tuan membacakan buat saya perintah Allah yang dimuat dalam Al-Quran tersebut? Tergagap-gagap sang khatib membacakan surah Thoha ayat 44 yang artinya: Berikanlah, hai Musa dan Harun, kepada Firaun nasihat-nasihat yang baik dengan bahasa yang halus, mudah-mudahan ia mahu ingat dan menjadi takut kepada Allah.

Khalifah Al-Makmun tersenyum sebelum dengan tegas bertitah,kerana itu, pantas bukan kalau saya meminta Tuan untuk menegur saya dengan bahasa yang lebih sopan dan sikap yang lebih bertata krama? Lantaran Tuan tidak sebaik Nabi Musa dan saya tidak sejahat Firaun? Ataukah barangkali Tuan mempunya AlQuran lain yang memuat ayat 44 surat Thaha itu? Khatib tersebut tidak boleh menjawab sepatah pun. Hatinya tidak puas, rasanya masih ingin mengutuk Al-Makmun dengan kalimat yang lebih garang dan keras. Akan tetapi, bagaimanapun pahitnya, perintah Allah harus dipatuhi, ayat Al-Quran harus dipegang. Kerananya, sejak saat itu ia berkhutbah dengan nada yang berubah dan isi yang lebih menyentuh. Terbukti, dengan cara itu, makin banyak masyarakat yang terpikat dengan pengajaranpengajarannya, lalu berbalik langkah dari dunia hitam yang penuh maksiat, untuk bertaubat melaksanakan ibadah yang lebih taat. Melalui mimbar-mimbarnya, ia sudah berani lantang mengutip surah An-Nahl ayat 125 yang berbunyi : Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, dengan nasihat yang baik, dan berhujahlah kepada mereka dengan landasan yang lebih mendalam.

Dan janganlah kamu merugika manusia terhadap hak-hak mereka. (Hud: 85) Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Maidah 8)

Tidak ada seorang pun yang selamat dari kesalahan, dan tidaklah sepatutnya (kita) melenyapkan kebaikankebaika seseorang karena suatu kesalahan. Sebagaimana halnya air, apabila telah mencapai dua kulah, maka air itu tidaklah mengandung kotoran. (ini lafazh riwayat hadits Ad Darimi, 737-738; ad Daruquthni, I21-22. Ibnul Qayyim telah menjelaskan dalam studinya terhadap Sunan Abu Daud, Lihat Aunul Mabud, I: 105-125dan Irwaul Ghalil, I: 60) Setiap anak Adam tidak terlepas dari kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang-orang yang bertaubat. (HR. Ahmad, III: 198, Tirmidzi, IV: 659, Ibnu Majah, II: 1402, Lihat Shahihul Jami, no. 4515)

Tentang Abdul Warits bin Said, Adz Dzahabi berkata, dia termasuk seorang yang alim, dermawan, ahli din dan wara. Hanya saja, dia itu termasuk seorang qadari da pelaku bidah. (Siyar Alamin Nubala, VIII: 301) Tentang al Hakim bin Hisyam, Adz Dzahabi menyatakan, Dia adalah raja yang diktator, fasik dan lalim. Dia termasuk pahlawan yang berani, namun licik dan sombong. Dia telah berkuasa sejak umur dua puluh tujuh tahun. (Siyar Alamin Nubaa, VIII: 254) Tentang Al Waqidi, Adz Dzahabi menyatakan, Meskipun tidak ada yang memperselisihkan tentang kelemahan Al Waqidi (dalam meriwayatkan hadits), naum ia adalah orang yang lisannya benar dan potensinya besar. (Siyar Alamin Nubala, VII: 142) Tentang Al Mamun yang memunculkan fitnah, yaitu ketika ia berkata bahwa Al Quran adalah makhluk, lalu ia memaksakan pendapatnya kepada para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Adz Dzahabi berkata, Dia termasuk tokoh Bani Abbas dalam hal tekad, akal, wibawa, dan kesabaran. Secara umum kebaikannya banyak. (Siyar Alamin Nubala, X: 273)

Você também pode gostar