Você está na página 1de 2

JAKARTA (IFT) PT Astra International Tbk (ASII) memperluas bisnis inti, tidak hanya otomotif untuk mendorong kinerja

a perusahaan. Astra akan memperkuat kinerja bisnis non otomotif, seperti di sektor alat berat dan pertambangan serta agribisnis. Yulian Warman, General Manager Head of Public Relations Division Astra, mengatakan Astra sudah tidak lagi memisahkan antara bisnis inti dan non-inti. Namun, kebijakan itu bukan berarti Astra melakukan diversifikasi bisnis dari bisnis inti di otomotif ke sektor lainnya. Sekarang buat kami sudah tidak ada lagi mana bisnis inti dan non-inti, karena semua divisi kami andalkan sebagai sumber pendapatan, ujarnya kepada IFT, Jumat. Saat ini Astra memiliki enam divisi usaha, yakni otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan, agribisnis, teknologi informasi, serta infrastruktur dan logistik. Pendapatan divisi otomotif masih menjadi kontributor terbesar bagi Astra, yakni 53,2% dari total pendapatan di 2010 sebesar Rp 130 triliun. Sisanya, berasal dari kontribusi divisi alat berat dan pertambangan sebesar 28,7% dan jasa keuangan 7,5%. Pada 2010 pendapatan bersih Astra naik dari Rp 98,5 triliun menjadi Rp 130 triliun dengan mencatat pertumbuhan yang tinggi di bidang usaha otomotif, jasa keuangan, dan alat berat. Menurut Departemen Riset IFT, hingga saat ini hampir seluruh perusahaan Astra ditujukan untuk mendukung bisnis intinya, yaitu otomotif. Di divisi ini, hanya PT Astra Honda Motor satu-satunya perusahaan Astra yang memiliki proses pabrikasi, sementara yang lainnya merupakan proses perakitan. Sebesar 80% dari komponen yang digunakan adalah komponen impor untuk proses perakitan. Untuk pabrikasi, 80% adalah komponen lokal, tapi 20% komponen yang impor adalah komponen utama yang sangat vital bagi mesin. Sebagai perusahaan, Astra memang memiliki pilihan strategi sebagai distributor atau manufaktur. Kedua pilihan itu tidak ada yang salah dari sisi pengambilan keputusan perusahaan. Astra kini sedang mengembangkan usahanya ke bidang-bidang non-otomotif yang tidak tergantung kepada prinsipal tapi memiliki potensi industri yang besar, seperti sektor agribisnis yang dimasuki oleh PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Penjualan Astra Agro baru sampai tahap pengolahan crude palm oil (CPO) yang kemudian dijual ke Wilmar International Limited yang mengolah CPO menjadi minyak goreng siap makan bermerek sendiri. Padahal, Astra memiliki modal dan kompetensi untuk membangun pabrik minyak goreng atau olahan CPO lainnya sebelum dijual. Demikian pula di divisi alat berat dan pertambangan. Produksi batu bara dari anak usahanya, seluruhnya di jual ke Singapura. Padahal, batu bara tersebut bisa dijadikan energi untuk pembangkit listrik.

Tergantung Jepang Ketergantungan Astra terhadap Jepang cukup besar, khususnya di divisi otomotif. Hal ini bisa dilihat dari kinerja penjualan mobil Astra yang diperkirakan akan turun di kuartal II 2011, karena dari keterbatasan pasokan komponen dari Jepang akibat tsunami di awal 2011. Selain divisi otomotif, ketergantungan kepada Jepang paling besar terjadi pada sektor alat berat dan pertambangan serta sektor teknologi informasi, terutama dari sisi pembelian. Di ketiga sektor ini, pembelian kepada pihak yang melebihi 10% dari beban pokok penjualan (COGS) merupakan pembelian kepada Jepang atau pihak terkait dengan Jepang. Pembelian kepada PT Toyota Astra Motor yang dimiliki 5% oleh Astra menyumbang 25,90% dari seluruh COGS dari Astra International. Sementara PT Komatsu Indonesia yang merupakan assembling dan fabrication dari alat berat merek Komatsu menyumbang 16,5% dari COGS United Tractors. Di Astra Graphia, pembelian kepada Fuji Xerox Asia Pacific Pte Ltd menyumbang 19,92% dari COGS. Dari sisi teknis, pembelian komponen yang tergantung dari suatu pihak menjadi kritis karena suatu mesin tidak dapat berjalan apabila komponen utama dari mesin tidak dapat diperoleh. Untuk mengurangi exposure kepada Jepang maka transaksi finansial seperti utang dilakukan dalam rupiah (mayoritas) dan dolar Amerika Serikat. Yen hanya sedikit. Demikian juga dengan balance sheet, mayoritas menggunakan rupiah walaupun untuk aset berdenominasi asing mayoritasnya adalah yen Jepang, terutama kas, pinjaman jangka pendek, dan utang usaha. Untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang Jepang maka Astra International masuk ke produk-produk derivatif, yaitu cross currency swap dan kontrak berjangka valuta asing. Published : Senin, 6 Juni 2011 (Indonesia Finance Today : Astra International Perluas Bisnis Inti )

Você também pode gostar