Você está na página 1de 13

Analisis Kebijakan Publik Dalam Pembangunan Daerah I.

Pendahuluan Sebagai mana halnya dengan pengertian pembangunan pada umumnya, pembangunan daerah juga merupakan persoalan yang multi-dimensi. Banyak aspek yang terkait, banyak pihak yang terlibat, dan karena itu banyak kepentingan, kekuasaan dan kecenderungan dari masing-masing pihak yang berpengaruh dan mesti dipertimbangkan dalam pembahasan pembangunan daerah. Yang perlu dicatat, bahwa yang dimaksudkan dengan daerah disini adalah wilayah dalam lingkup sebuah negara, seperti Provinsi Jawa Barat, Daerah Istimewa Jogyakarta, Daerah Otomi Khusus NAD dan sebagainya, bukan wilayah (regional) dalam lingkup internasional, seperti ASEAN, AFTA, NAFTA dan lain-lain. Catatan ini diperlukan, karena ada perbedaan yang harus diindahkan berkaitan dengan kewenangan dalam pengaturan dan pendekatan yang dipakai antara daerah dalam lingkup sebuah negara dan wilayah dalam lingkup internasional dimaksud. Karena berada dalam yurisdiksi administrasi satu negara, batas satu daerah dengan daerah lain tidak terlihat secara nyata.Maksudnya, meskipun batas administratif antara satu daerah dengan daerah lain itu ada, namun tidak boleh ada hambatan dalamperjalanan orang dan perpindahan barang antar daerah dalam satu negara. Baik itu batasan dalam bentuk kuota ataupun pengenaan pajak bea masuk dalam perdagangan. Ketentuan ini merupakan konsekwensi dari adanya kesatuan sistem administrasi dan fiscal dalam sebuah negara (kecuali ada ketentuan lain !). Sudah merupakan hal yang lumrah dan dipandang alamiah, bahwa tingkat pembangunan dan perkembangan ekonomi satu daerah berbeda dengan daerah lain. Perbedaan ini antara lain karena adanya perbedaan topographi, sumberdaya alam, kegiatan ekonomi serta jumlah penduduk. Perbedaan yang demikian juga dapat terjadi sebagai akibat dari perbedaan sejarah sesuatu daerah dalam prosespembentukan negara yang menentukan keberadaan sesuatu daerah dalam negara tersebut. Daerah-daerah itu dalam pasal 18 UUD 45 disebut sebagai daerah daerah yang bersifat otonom, yang diatur dengan perlakuan khusus dalam bidan

administrasi yang ditetapkan dengan undang-undang (UUD 45 pasal 18). Perbedaan tingkat pembangunan antar daerah ini selanjutnya mengalam perubahan-perubahan sebagai akibat dari sesuatu kebijakan publik atau karena pengaruh eksternal yang tak dapat dikendalikan, sehingga menimbulkan kecenderungan perubahan-perubahan baru. Perubahan itu boleh jadi mengarah pada pemerataan, atau sebaliknya mengarah pada diskripansi yang makin melebar. Dalam kajian perencanaan pembangunan daerah (regional planning kecenderungan diskripansi pembangunan antar daerah (regional disparities) ini dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting (urgent). Alasannya, tanpa adanya sesuatu kebijakan yang bersahaja untuk mencegahnya, proses pembangunan yang berlangsung sering mengakibatkan diskripansi atau ketimpangan ini cenderung makin lebar. Keterbukaan hubungan antar daerah dalam satu negara menyebabkan adanya interdependensi antar daerah, baik diantara sesama daerah miskin maupun antar daerah kaya dengan daerah miskin. Hubungan antara daerah kaya dengan daerah miskin ini biasanya membawa akibat yang tidak menguntungkan bagi daerah daerah miskin. Masalahnya terletak pada perbedaan kemampuan dan daya tarik yang lebih besar dari daerah kaya. Daerah kaya mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Akibatnya mereka mempunyai kemampuan berkembang yang lebih besar. Bersamaan dengan itu, modal dan tenaga ahli terampil yang memangnya langka dari daerah-daerah miskin pindah kedaerah kaya, yang relatif tersedia lebih banyak. banyak negara untuk mencegah kecenderungan diskripansi yang makin melebar guna mewujudkan pemerataan. Negara-negara sosialis dan beberapa negara berkembang yang mengikutinya, mulai menerapkan sistem perencanaan pembangunan itu sejak sesudah Perang dunia II. Pelaksanaan perencanaan itu dilakukan dibawah koordinasi sebuah badan perencanaan pembangunan nasional. Sementara negara-negara lain yang menganut sistem pasar, melakukannya melalui sistem pasar bebas dengan pengarahan dan intervensi pemerintah melalui kebijakan-kebijakan fiscal, moneter dan lain-lain. II. Masalah: Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah Ketimpangan ini dapat ditunjukkan dengan berbagai indikator, seperti perbedaan tingkat pendapatan antar daerah (regional income disparities), indeks kualitas hidup phisik (PQLI), Indeks Pembangunan Manusia (IPM), jumlah dan

persentase penduduk miskin, persentase tingkat pertumbuhan ekonomi, harapan hidup rata-rata, tingkat kepadatan penduduk dan lain-lain. Dasar dari penggunaan indikator-indikator ini bermula dari pertimbangan untuk melengkapi penggunaan indikator pendapatan per kapita dalam mengukur tingkat perkembangan pembangunan daerah. Seperti diketahui, perhitungan berdasarkan pendapatan per kapita mengandung beberapa kelemahan, antara lain, pertama, cenderung menggunakan pengukuran atas dasar nilai tukar US $. Padahal daya belisuatu mata uang suatu negara disesuatu tempat tidak selalu sebanding dengan daya beli dollar di Amerika Serikat. Sebab itu, dalam perhitungan pendapatan per kapita itu sendiri sekarang dilakukan dengan penyamaan daya beli (par value) dari mata uang setempat pada waktu tertentu terhadap nilai dollar. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita cenderung bersifat komersial. Artinya, yang dihitung adalah barang atau jasa yang mempunyai nilai pasar. Jasa atau barang-barang yang tidak mempunyai nilai pasar tidak termasuk dalam perthitungan tersebut. Jasa seorang ibu rumah tangga tidak diperhitungkan, sementara jasa pembantu rumah tanga termasuk dalam perhitungan pendapatan per kapita.Ketimpangan-ketimpangan yang ditunjukkan oleh indikator-indikator tersebut menunjukkan derajat permasalahan pembangunan daerah dalam suatu negara. Ketimpangan antar daerah ini tidak selalu sama sepanjang waktu, tetapi berubah mengikuti suatu trend yang dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pembangunan nasional dan daerah dalam suatu negara 1. Ketimpangan pendapatan internal antar golongan dalam masyarakat Seperti disinggung diatas, perbedaan tingkat pembangunan dan kondisi ekonomi antar daerah merupakan hal yang biasa. Sebab itu yang menjadi persoalan bukanlah perbedaan itu sendiri, tetapi kecenderungan melebarnya perbedaan tersebut sebagai akibat adanya kebijakan-kebijakan pembangunan. Di Indonesia, misalnya, telah lama terdapat perbedaan tingkat pembangunan antara pulau Jawa dengan pulau-pulau lain yang terjadi sebagai akibat pembangunan di pulau Jawa berlangsung lebih awal dibandingkan dengan apa yang terjadi di pulaupulau lain.Perbedaan ini dianggap sebagai kondisi awal yang normal. Pulau Jawa mempunyai sarana dan prasarana yang lebih maju. Tambahan lagi, dengan penduduk yang jauh lebih banyak, pulau ini menyimpan daya beli atau pasar yang lebih luas. Sayangnya, karena Belanda yang menjajah Indonesia

dahulu bukan negara industri, daya beli potensial yang ada di pulau Jawa itu tidak dimanfaatkan. Jumlah penduduk yang banyak itu hanya dipergunakan sebagai tenaga kerja paksa diperkebunan-perkebunan milik kolonial atau pengusaha kolonial. Berbeda dengan Inggeris sebagai negara industri, Belanda tidak pernah berupaya untuk meningkatkan daya beli dalam negeri melalui peningkatan pendapatan masyarakat. Demikian juga halnya dalam bidang administrasi pemerintahan. Belanda menjalankan pemerintahan melalui pemerintahan anak negeri zaman lampau, tanpa berupaya untuk mengembangkan sistem administrasi modern. Sebab itu sampai sekarang sistem admninistrasi modern di Indonesia tidak dipandang sebagai suatu profesi yang mesti dipergunakan dalam menjalankan pemerintahan. Administrasi modern masih dipandang sebagai commonsense yang tak perlu didalami. Kecenderungan strategi pembangunan dari kolonial Belanda untuk memanfaatkan sumber alam dari luar pulau Jawa dengan menggunakan tenaga kerja dari Pulau Jawa untuk dieksport keluar negeri nampaknya juga tetap menjadi pegangan pemerintah Indonesia dalam bentuk yang sedikit berbeda selama masa Orde Baru.Pembangunandanpenyelenggaraan pemerintahan berlangsung dengan orintasi yang lebih mengutamakan pasar luar negeri, ketimbang memanfaatkan daya beli potensial yang ada di dalam negeri. Berbagai fasilitas disediakan untuk industri-industri penghasil barang eksport. Dengan harapan mendapatkan devisa yang lebih banyak. Fasilitas atau kemudahan itu antara lain meliputi bea masuk barang modal, bahan baku, pelayanan investasi dengan kemudahan dalam mendapatkan lokasi usaha, fasilitas perkreditan dan upah buruh murah. Agar buruh yang upahnya murah itu dapat hidup, harga bahan makanan hasil pertanian dijaga pada tingkat harga yang relatif sangat murah. Ini berarti pendapatan petani dalam negeri menjadi rendah. Jika terdapat kecenderungan harga naik, karena permintaan yang meningkat lebih tinggi dari jumlah penawaran yang ada, diupayakan untuk mengganjalnya dengan mengimport barang tersebut dari luar negeri dengan harga yang tentu saja lebih tinggi untuk kemudian dijual pada tingkat harga yang rendah. Dengan cara demikian, secara tidak langsung pemerintah telah memberi subsidi kepada pembeli dalam negeri (buruh dan pegawai negeri), yang sekaligus juga kepada petani dari luar negeri dengan mengorbankan kesempatan mendapatkan keuntungan kepada petani

dalam negeri. Bentuk dari kebijakan yang demikian juga dapat disebutkan sebagai subsidi silang dari petani miskin dalam negeri kepada pengusaha industri barang eksport yang kaya dan pertani luar negeri. Ini semua pada gilirannya telah mengakibatkan ketimpangan internal antar golongan dalam satu daerah yang makin lebar, antara golongan kaya (kelompok industri penghasil barang eksport atau rumah tangga golongan atas kota bukan pertanian) dengan golongan miskin (petani), atau antara kota dengan desa. 2.Ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah Selain ketimpangan pendapatan internal dalam satu daerah, juga terdapat ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah. Ketimpangan ini timbul sebagai akibat dari kondisi alam, alokasi dan pemanfaatan sumberdaya yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain. Sebab itu sejak Repelita III 1979 s/d 1984, pemerintah memberi tekanan yang lebih besar pada strategi pemerataan dari Trilogi Pembangunan (Pemerataan, Pertumbuhan dan Stabilitas) yang sudah dipergunakan sejak REPELITA I. Strategi pemerataan tersebut diberi penjelasan sebagai pemerataan kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya.. Ini dimaksudkan untuk melengkapi pengertian dari strategi pemerataan sebelumnya yang seolah-olah hanya dimaksudkan untuk pemerataan hasil-hasil pembangunan, tidak termasuk pemerataan kegiatan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan tidak dilakukan hanya dengan pemerataan kegiatan, sementara hasilnya terpusat di Jakarta, atau sebaliknya kegiatan terpusat di Jakarta, hasilnya dibagikan keseluruh wilayah tanah air, dengan keputusan yang dibuat di Jakarta. Sejauh mana tujuan. 3. Ketimpangan Tingkat Kesejahteraan Antar Daerah Selain adanya ketimpangan pembangunan dalam bidang ekonomi yang diukur dengan menggunakan indeks ketimpangan pendapatan antar daerah tersebut, terdapat juga ketimpangan sosial yang dapat diukur melalui indeks ketimpangan sosial lain, seperti PQLI (Physical Quality Life Indexes) dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Perhitungan tentang ketimpangan kesejahteraan sosial secara kuantitatif ini biasanya dimaksudkan untuk melengkapi pengukuran kesejahteraan sosial secara kualitatif. Ini diperlukan karena tingkat kesejahteraan sosial itu dapat dilihat dari dua perspektif. Pertama, secara subjektif, yakni dengan

mengukur tingkat kesejahteraan itu melalui persepsi dari masing-masing pihak yang menjadi subjek atau objek dari suatu kebijakan. Perhitungan tingkat kesejahteraan sosial ini juga dipergunakan untuk melengkapi ukuran pembangunan yang didasarkan semata-mata pada pendapatan per kapita. Dalam pandangan ini, pembangunan tidak dapat diukur hanya dengan tingkat pendapatan per kapita, karena berbagai kelemahan seperti yang telah disinggung terdahulu. Dalam hubungan dengan pembangunan daerah, perbedaan atau ketimpangan antar daerah ini juga menggambarkan adanya perbedaan tingkat pembangunan seperti halnya dengan ukuran ketimpangan pendapatan per kapita antar daerah. Dari sisi lain, perbedaan antar waktu dari indeks tersebut, selanjutnya juga menunjukkan adanya tingkat kemajuan atau kecepatan pembangunan yang relatif berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. III. Agenda Kebijakan Ketimpangan antar daerah sebagaimana ditunjukkan oleh angka-angka indeks diatas merupakan masalah dalam pembangunan daerah yang menarik perhatian publik. Masalahnya menjadi Agenda kebijakan publik melalui dua sebab. Pertama, berkembangnya berbagai kajian yang dilakukan para ahli diluar negeri Kajian itu masuk ke Indonesia melalui berbagai media dan referensi serta melalui mereka yang mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Kajian-kajian itu disampaikan dalam berbagai pertemuan dan diskusi, kemudian diaplikasikan di dalam negeri serta diajarkan diperguruan-perguruan tinggi. Kedua, timbulnya berbagai ketidak puasan dibanyak daerah. Bentuk ketidak puasan itu umumnya berkaitan dengan manajemen pembangunan daerah yang bersifat sentralistis yang terjadi selama Era Orde Baru. Gejolak ketidak puasan tersebut telah menimbulkan protes-protes yang cukup keras pada bagian akhir Era Orde Baru. Meskipun persoalan semula berkisar sekitar ketidak adilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam daerah dan sistem manajemen pemerintahan yang sentralistis, tetapi akibat dari penanganan awal yang kurang tepat, ketidak puasan tersebut dibeberapa daerahberlarut menjadi gerakan bersenjata yang bersifat pemberontakan dan mengancam keutuhan negara. Dipihak lain, secara konsepsional, dalam bidang perencanaan, ketidak puasan itu telah ditenggapi dengan strategi pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya

seperti yang dicantumkan dalam Trilogi Pembangunan REPELITA III. Tetapi karena kelemahan dalam bidang administrasi publik di Indonesia, yang diperparah pula oleh sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis, perubahanperubahan trilogy dan Strategi Pembangunan itu dalam banyak hal lebih berupa dokumentasi, ketimbang implementasi. Sebab itu, begitu Presiden Suharto turun dan Orde Baru berakhir, yang pertamatama dibenahi oleh Presiden B.J.Habibie adalah perubahan sistem pemerintahan daerah dengan memberikan hak otonomi kepada daerah-daerah untuk menjalankan sistem pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan rakyat daerah. Bersamaan dengan itu juga diberi hak kepada daerah untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada didaerahnya. Sejak itu, issue pemerataan pembangunan antar daerah telah masuk dalam segala agenda kebijakan pembangunan. Artinya, sejak itu, dalam proses penyusunan berbagai kebijakan pembangunan, pemerataan seperti yang telah disebutkan sejak REPELITA III itu harus menjadi pertimbangan utama. IV. Strategi Kebijakan Pembangunan Daerah Strategi kebijakan pembangunan daerah di Indonesia dapat diikuti melalui tiga jalur kelembagaan. Jalur ini bermula pada tahun 1969, ketika jalur. Pertama, untuk pertama kali dibentuk sebuah lembaga perencanaan pembangunan daerah di D.I.Aceh, yang diberi nama Aceh Development Board (ADB) sebagai embrio dari BAPPEDA. Lembaga ini yang diberi wewenang untuk menyusun rencana pembangunan daerah dan mengkoordinasikan proses pembangunan, merupakan perpaduan antara kalangan intelektual kampus (Universitas Syiah Kuala) dibawah pimpinan Prof. A. Madjid Ibrahim dan pemerintah daerah dibawah pimpinan Gubernur A. Muzakkir Walad. Lembaga yang hampir serupa kemudian dibentuk juga di daerah-daerah lain. Pada tahun 1974, melalui Inpres Nomor 15 1974 yang diikuti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 142 /1974 dibentuk BAPPEDA di seluruh provinsi. Selanjutnya secara struktural BAPPEDA diberi kedudukan yang lebih pasti dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah. Sebagai kelengkapan dari itu, melalui Keputusan Menteri dalam Negeri No. 185 tahun 1980 dibentuk BAPPEDA tingkat II diseluruh Indonesia. jalur program yang terdiri dari dua program. Yakni, Inpres Pembangunan Kedua, Daerah tingkat I yang kemudian dilengkapi dengan Inpres Pembangunan Daerah tingkat II dan program pembangunan wilayah (PADP = The Provincial

Area Development Program) melalui pembangunan pilot proyek di delapan provinsi dengan melibatkan seluruh jenjang pemerintahan. Sesuai dengan Salah satu tujuan dari Inpres Pembangunan daerah tngkat I dan II itu adalah untuk membantu daerah-daerah melaksanakan pembangunan. Besarnya dana yang dikucurka melalui program ini dikelasifikasikan antara daerah besar dengan daerah kecil yang didasarkan terutama pada besarnya jumlah penduduk dan besarnya tugas yang diemban daerah berhubung dengan kegiatan pembangunan yang harus dilaksanakan. Dengan menggunakan kriteria yang demikian, daerah-daerah yang berpenduduk banyak dan lebih maju mendapat dana Inpres yang lebih besar dibandingkan dengan dana Inpres yang diperoleh daerah-daerah yang luas, belum maju dan berpenduduk jarang. Program pembangunan wilayah diarahkan langsung pada pembanguna pilot proyek didesa-desa tertentu dalam delapan provinci. Persiapan, perencanaan dan pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan staf BAPPEDA tingkat I dan BAPPEDA tingkat II serta staf dari instansi yang terkait didaerah. Sebab itu program ini juga dilengkapi dengan konsultan yang diperbantukan melalui BAPPEDA dan pelatihan aparatur. jalur prosedural. Bersamaan dengan penyaluran dana yang diberikan Ketiga, kedaerah, pada tingkat nasional setiap tahun diadakan Konsultasi Nasional antara Pemerintah Daerah termasuk BAPPEDA dengan BAPPENAS di Jakarta. Demikian juga pada tingkat daerah terdapat Konsultasi Daerah antara Dinas-Dinas tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dengan BAPPEDA tingkat I. Dengan cara demikian diharapkan terdapat suatu koordinasi terpusat dalam pembangunan daerah-daerah. Bersamaan dengan itu, setiap rencana pembangunan disampaikan ke BAPPENAS ditingkat nasional dan ke BAPPEDA di daerah dalam bentuk DUP (daftar Usian Proyek) untuk biaya pembangunan dan DUK (Daftar Usulan Kegiatan) untuk biaya rutin. DUP dan DUK yang disahkan menjadi DIP (Daftar Isian Proyek) dan DIP (Daftar Isian Kegiatan) V. Evaluasi Kebijakan Sesuai dengan keberadaan kebijakan pembangunan daerah itu sendiri yang dapat diikuti melalui tiga jalur, penilaian atau evaluasi terhadap kebijakan pembangunan melalui jalur daerah juga dapat ditelusuri melalui beberapa jalur. Pertama, kelembagaan. Pertanyaannya, bagaimana organisasi, kedudukan dan wewenang yang dipunyai oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan

pembangunan daerah ? Kelembagaan atau organisasi yang terkait dengan kebijakan pembangunan daerah itu, antara lain terdiri atas organisasi perencana, organisasi pelaksana dan organisasi pengawas. Organisasi perencana itu adalah Bappenas pada tingkat pusat, Bappeda tingkat I di tingkat provinsi dan Bappeda tingkat II pada tingkat kabupaten dan kota. Selama Era Orde Baru, Bappenas merupakan organisasi yang paling dominan. Peranannya tidak hanya sebagai perencana, tetapi juga dalam beberapa hal melakukan kegiatan-kegiatan operaasioanl. Antara lain yang berhubungan dengan pelatihan dan penentuan proyek.Sesuai dengan kedudukan yang demikian, Bappenas menjadi sangat menentukan jika diikuti dari jalur prosedur pembangunan. Tiap awal tahun anggaran, Bappeda dan Biro Perencanaan dari semua instansi tingkat pusat melakukan Rapat Koordinasi dengan Bappenas. Bagi instansi-instansi itu, Rapat Kordinasi ini secara prosedural lebih merupakan kesempatan untuk menerima keputusan dari Bappenas, ketimbang sebagai lembaga konsultasi. Keadaan ini terjadis ebagai akibat dari sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis. Melalui Rapat Koordinasi itu semua DUK dan DUP dari semua instansi harus mendapat pengesahan dari Bappenas untuk menjadi DUP dan DIP. Dengan disahkannya proposal menjadi DUP dan DIP, instansi-instansi tersebut memperoleh jatah anggaran untuk tahun yang akan datang. Disamping itu masih perlu memperoleh pengesahan dari DPR, meskipun itu lebih bersifat proforma. Dengan kedudukan dan wewenang Bappenas serta prosedur yang demikian, daerah-daerah harus melaksanakan kegiatan dengan jumlah biaya tertentu. Dalam beberapa hal, keadaan ini baik untuk menjaga efisiensi dan membatasi kemungkinan terjadinya mark-up atau korupsi, tetapi dalam hal-hal dimana Bappenas salah perhitungan terhadap standard biaya didaerah yang bersangkutan, daerah akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini Bappeda sebagai lembaga perencana yang ada didaerah berfungsi menampung kepentingan dan aspirasi daerah untuk kemudian memformulasikannya sesuai dengan batasan anggaran dan ketentuan-ketentuan dari pemerintah pusat. Dengan demikian berlaku bottom-up planning system, dalam pengertian, aspirasinya berasal dari bawah, tetapi keputusan berada diatas, yakni pada pemerintah pusat. Kedudukan daerah sebagai pelaksanan program dan kegiatan pelayanan

masyarakat masih dibatasi lagi oleh kedudukan dan wewenang dari Departemen Dalam Negeri. Dalam banyak hal, sampai akhir Orde Baru, Departemen ini melihat Pemerintah Daerah sebagai Kantor Perwakilan Departemen Dalam Negeri dengan Gubernur sebaga Kepala Kantor Perwakilannya. Karena itu, Departeman-Departeman lain enggan melimpahkan wewenangnya kedaerah, meskipun UU No. 5 tahun 1974 memberi wewenang kepada Gubernur sebagai Kepala Daerah atau penguasa tunggal di daerah. Pelimpahan wewenang departemen kepada pemerintah daerah dipandang departemn itu sebagai pengalihan wewenangnya kepada Deprtemen Dalam Negeri. Karena itu dalam UU NO. 22 tahun 1999 Kepala Daerah mempunyai kedudukan yang otonom, disamping itu Gubernur juga merangkap sebagai wakil dari pemerintah pusat, bukan sebagai wakil dari sesuatu departemen. Tetapi karena kebiasaan yang sudah terlalu lama, kedudukan Departemen Dalam Negeri sebagai atasan pemerintah daerah masih sulit dihindarkan. Masalahnya, karena pada Era Orde Baru pemerintah pusat menguasai hampir seluruh penerimaan, dan sekaligus juga menguasai post pengeluaran. Proses penyelenggaraan pemerintahan di zaman itu didasarkan pada azas kesatuan atau sentralisasi kekuasaan. Karena itu tiap pimpinan instansi berebut untuk saling dekat dengan pusat kekuasaan, yakni Presiden Soeharto. Karena daerah letaknya jauh dari pusat kekuasan, maka daerah selalu menjadi objek kekuasaan dari instansi lain. Dalam bidang pengawasan, pemerintah daerah dihadapkan pada lembaga pengawasan internal daerah (Irwilprop.), lembaga pengawasan eksternal daerah tapi internal pemerintah (BPKP) dan lembaga pengawasan eksternal pemerintah (BAPEKA, DPRD dan DPR RI). Penilaian dari jalur hasil pembangunan, pertama terlihat adanya pergeseran peran dari penguasaan sumberdaya alam kepada pemusatan kekuasaan pemerintahan. Pada awal Orde Baru, meskipun kekuasaan dalam pembangunan ada pada instansi pemerintah pusat, namun hasil pembangunan masih mencerminkan pengaruh dari keberadaan sumberdaya alam daerah. Daerah-daerah yang mempunyai sumberdaya alam yang melimpah maju lebih cepat. Selama tahun 1990-an hasil pembangunan cukup memuaskan, meskipun

10

kekuasaan pemerintah pusat sangat dominan. Namun, karena sentralisasi kekuasaan kemudian makin meningkat, pusat-pusat usaha bisnis juga mengikuti pusat kekuasan dan berkantor pusat di Jakarta, karena itu pembayaran pajak dan uang beredar terpusat di Jakarta atau didaerahdaerahlain di pulau Jawa, yang dekat dengan Jakarta. Akibatnya perkembangan pembangunan daerah tidak lagi semata-mata tergantung pada kekayaan sumberdaya alam, tetapi pada kedekatan dengan pusat kekuasaan. Sejak itu pembangunan dari provinsi-provinsi yang ada di pulau Jawa tumbuh lebih cepat,sementara provinsi lain mengalami pertumbuhan yang relatif lebih lambat.Berbagai fasilitas dalam bidang kesehatan, pendidikan, hiburan dan ekonmi tumbuh memusat di Ibu kota dan kota-kota lain di Jawa. Konsekwensi dari keadaan ini, pulau Jawa memiliki daya tarik yang lebih besar dan menyedot lebih banyak modal dan sumberdaya manusi terampil dan terdidik dari pulaupulau lain. VI. Kesimpulan 1. Pembangunan daerah di Indonesia selama Era Orde Baru, sejak tahun 1969, telah membawa banyak kemajuan, antara lain terlihat dengan peningkatan pendapatan per kapita disemua daerah, peningkatan kualitas hidup dan semakin menurunnya disparitas pendapatan antar daerah. Namun demikian kemajuan tersebut tidak sekaligus dapat menyelesaikan masalah yang dapat timbul sebagai akibat dari kelemahan sistem pemerintahan yang terdapat selama Era Orde Baru. Kemajuan yang dicapai merupakan hasil optimal yang dapat diperoleh pada tataran permukaan. Pemerataan pendapatan daerah lebih merupakan hasil bagi dari total penghasilan, tanpa mampu meningkatkan kemampuan daerah itu sendiri. Daerah tidak berkembang untuk mampu berdiri sendiri lepas dari ketergantungan pada pemerintah pusat. Keadaan yang demikian, jika dibiarkan terus berlangsung akan mengakibatkan semakin meningkatnya beban bagi pemerintah pusat, bersamaan dengan meningkatnya kemajuan daerah secara terus menerus. Pembangunan yang berlangsung selama masa yang cukup panjang telah mampu 2.meningkatkan pendapatan pada hampir semua golongan dalam masyarakat. Bersamaan dengan itu telah berlangsung proses pemiskinan relatif dikalangan para petani yang merupakan golongan terbesar dalam masyarakat Indonesia. Ini terjadi sebagai akibat dari adanya prioritas dan orintasi ekonomi yang berlebihan

11

terhadap pasar eksport, sementara pasar dalam negeri (domestic market) menjadi semakin sempit karena daya beli petani (domestic purchasing power) yang relatif makin menurun. Keadaan ini pada gilirannya telah mematikan inisiatif kearah modernisasi sector pertanian Kebijakan pembangunan daerah yang berdasar atas sistem administrasi 3.Pemerintahan yang terpusat selama Era Orde Baru telah mendorong arus pemusatan modal, sumberdaya manusia trampil dan tenaga ahli keibu kota negara, yang sebelumnya memang terdapat lebih banyak dibandingkan dengan apa yang ada di daerah-daerah. Upaya yang ditempuh selama Era Reformasi untuk meningkatkan kemampuan daerah melalui sistem otonomi daerah, menemui banyak kendala. Selain karena ketidak mampuan daerah itu sendiri, juga disebabkan karena masih terdapatnya anggapan bahwa daerah adalah bawahan dari Departeman Dalam Negeri, sehingga keinginan untuk mendorong inisiatif daerah menyelenggarakan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan daerah serta menggali potensi sumberdaya setempat tidak dapat berkembang secara wajar.

12

Kepustakaan Abidin, Said Zainal, Perspektif Baru Dalam Sistem Pengelolaan

Pemerintahan, Jakarta, Milliunium Pess, 2002 --------, -------------, Kebijakan Publik, Jakarta, Penerbit Pancur Siwah, 2004 Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Jakrta, 2001 --------------------------, Statistik Indonesi, 2003 --------------------------, Data dan Informasi Kemiskinan, Buku 1: Provinsi, Tahun 2003

13

Você também pode gostar