Você está na página 1de 7

Pengaruh Pola Pemberian Pakan Terhadap Produksi Benih Kepiting (Sulaeman dan Aan Fibro Widodo)

feeding on development of striped bass larvae. Trans. Am. Fish. Soc., 110: 100110. Rusdi, I. 1999. Pengaruh pengkayaan rotifer terhadap sintasan dan perkembangan kepiting bakau Scylla serrata skala laboratorium. Prosiding Seminar Nasional Puslibangkan bekerjasama dengan JICA ATA-379, hlm. 173178. Sulaeman. 1992. Nilai ekonomis kepiting bakau Scylla serrata. Warta Balitdita, 4(2): 2730. Sulaeman, 2009. Perbenihan dan perbesaran kepiting bakau. Laporan progress penelitian sub kegiatan tahun 2009. Balai Riset Perikanan dan Budidaya Air Payau (tidak dipublikasikan). Susanto, B., M. Marzuqi., G. N. Permana dan Haryanti. 2004. Penyediaan pakan alami (Rotifera dan Artemia) untuk menunjang teknologi perbenihan rajungan (Portunus pelagicus). WARTA Penelitian Indonesia, 10(4).

Supriyatna, A. 1999. Pemeliharaan rajungan Portunus pelagicus dengan waktu pemberian pakan artemia yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Puslitbangkan bekerjasama dengan JICA ATA379, hlm. 168172. Yunus, K. Suwirya, Kasprijo dan I. Setyadi. 1996. Pengaruh pengkayaan rotifer (Brachionus plicatilis) dengan menggunakan minyak hati ikan cod terhadap sintasan larva kepiting bakau Scylla serrata. JPPI., 2(3): 3845. Yunus, I. Rusdi, Haryanti dan K. Sugama. 2001. Pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla paramamosain) skala massal. Laporan Balai Besar Perikanan Budidaya Laut. 4 hlm. Zacharia, S. and V.S. Kakati. 2004. Optimal salinity and temperature of early developmental stages of Penaeus merguensis de Man. Aquaculture, 232: 378382.

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

13

Aquacultura Indonesiana, Vol. 11, No. 1, April 2010 : 713

Chen, 2003). Oleh sebab itu, dalam media pemeliharaan kepiting bakau maka konsentrasi amonia dalam media tidak lebih dari 0,1 mg/L (Kuntiyo et al., 1994). Hasil penelitian Yunus et al. (2001) menunjukkan bahwa suhu 25-33oC, salinitas 3334 g/L, pH 8,248,32 dan oksigen terlarut 5,60 5,68 mg/L mendukung kelulushidupan kepiting bakau 18,5574,08%. Berdasarkan hal tersebut, maka kualitas air di seluruh wadah penelitian cukup baik dan layak dalam mendukung kehidupan larva kepiting bakau S. serrata.

Kesimpulan
Kombinasi pakan yang baik dengan jumlah dan waktu yang tepat akan mendukung pertumbuhan dan kelulushidupan larva. Pola pemberian pakan terbaik adalah dengan kombinasi pemberian rotifera (mulai dari stadia-1), naupli Artemia (mulai dari stadia-1 atau 2), dan pakan buatan (mulai dari stadia1 atau 2).

Ucapan Terimakasih
Kami mengucapkan terima kasih kepada Rusli, selaku teknisi pada instalasi perbenihan BRPBAP Kab. Barru atas bantuan dalam penyiapan pelaksanaan pengangkutan krablet kepiting bakau (S. serrata) dan Hj. Sutrisyani atas bantuannya dalam menganalisis kualitas air di Laboratorium Air BRPBAP. Penelitian ini dibiayai oleh APBN Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009.

Daftar Pustaka
Brick, R.W. 1974. Effect of water quality, antibiotic, phytoplankton, and food on survival and development of larvae of Scylla serrata (Crustacea: Portunidae). Aquaculture, 3: 231244. Cavalli, R.O., E.V. Berghe, P. Lavens, N.T.T. Thuy, M. Wille and P. Sorgeloos. 2000. Ammonia toxicity as a criterion for the evaluation of larval quality in the prawn Macrobrachium rosenbergii. Comp. Biochem. Physiol., 125C: 33343. Christensen, S.M, D.J. Macintosh and N.T. Phuong. 2005. Pond production of the mud crab Scylla paramamosain (Estampador) and S. olivacea (Herbst) in the Mekong Delta, Vietnam, using two different supplementary diets. Aquacult. Res., 35: 10131024.

Cowan, L. 1986. Crab farming in Japan, Taiwan and Philipine. Queensland. Department of Primary Industry. G. Brisbane QLD, 4001: 155. Dahuri, M., J.Rais., S.P. Ginting. dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta, Indonesia. 350 hlm. Effendie, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penerbit Penebar Swadaya. Bogor Indonesia. 187 hlm. Giri, N. A., M. Marzuqi, Jufri dan Kuma. 1993. Pengaruh perbedaan waktu awal pemberian pakan buatan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva udang P. monodon. JPBI, 8(3): 5766. Giri, N. A., Yunus, K. Suwirya dan M. Marzuqi. 2002. Kebutuhan protein untuk pertumbuhan yuwana kepiting bakau (S. paramamosain). JPPI, 3 (5): 3136 Haryanti, S. Ismi dan A. Khalik. 1994. Studi penggunaan pakan mikro dan alami dengan perbandingan berbeda dalam pemeliharaan larva udang windu, Penaeus monodon. JPBP., 10(1): 3542. Hunter, J. R. 1980. The feeding behavior and ecology of marine fish larvae. In, Fish Behavior and Its Use in the Capture and Culture of Fishes. J. E. Bardach, J. J. Magnuson, R. C. May and M. Reinhart (Eds), ICLARM, Manila, Philipines: 287330. Hussain, N. and M. Higuchi. 1980. Larval rearing and development of the brown spotted grouper, Epinephelus tauvina (Forsskal). Aquaculture, 19: 339350. Kuntiyo, Z. Arifin dan T. Supratomo. 1994. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak. Direktorat Jenderal Perikanan, Balai Budidaya Air Payau, Jepara. 29 hlm. Lee, W.C. and J.C. Chen. 2003. Hemolymph ammonia, urea and uric acid levels and nitrogenous excretion of Marsupenaeus japonicus at different salinity levels. Journal Exp. Mar. Biol. Ecol., 288: 3949. Moosa, M.K., I. Iswandi dan A. Kasri. 1985. Kepiting bakau Scylla serrata (Forskal. 1775) dari perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional, LIPI. Jakarta, hlm. 1718. Neil, L.L., R. Fotedar and C.C. Shelley. 2005. Effects of acute and chronic toxicity of unionized ammonia on mud crab, Scylla serrata (Forsskal, 1755) larvae. Aquacult. Res., 36: 927932. Pangabean, M. G. L., S. Juawana dan I. Aswandi. 1982. Pengamatan burayak rajungan Portunus pelagicus di Lembaga Oceanologi Nasional LIPI. Oceanologi Indonesia, 15: 3750. Roger, B. A., and D. T. Westin. 1981. Laboratory studies on effect of temperature and delayed initial

12

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

Pengaruh Pola Pemberian Pakan Terhadap Produksi Benih Kepiting (Sulaeman dan Aan Fibro Widodo)

penyakit maupun kelulushidupan larva (Haryanti et al., 1994). Tingginya mortalitas larva kepiting bakau pada saat larva mengalami metamorphosis awal (stadia zoea-5 menjadi megalopa) dapat ditekan dengan pemberian pakan dengan kombinasi yang baik. Perlakuan A dan B merupakan pola pemberian pakan yang paling baik dengan nilai nutrisi yang lebih lengkap, sehingga menghasilkan kelulushidupan yang lebih baik. Perlakuan A, B dan C memperlihatkan kecepatan pertumbuhan yang hampir sama. Pertumbuhan yang lebih lambat ditunjukkan pada perlakuan C. Pada perlakuan C, keterlambatan pertumbuhan terlihat mulai pada hari ke-3. Keterlambatan pertumbuhan karapas diduga berhubungan dengan jumlah nutrisi yang diperoleh larva selama pemeliharaan. Pada perlakuan C, rotifer baru mulai diberikan pada zoea-2 dan pakan buatan pada zoea-3. Mortalitas mungkin terjadi karena larva mengalami gagal moulting. Gagal moulting dapat terjadi karena larva mengalami stress, dapat berupa perubahan faktor lingkungan seperti salinitas atau karena asupan nutrisi yang tidak cukup dari makanan, sehingga energi yang didapatkan tidak mencukupi untuk melakukan moulting. Metamorfosis 1 (dari stadia zoea-5 ke megalopa) terjadi lebih cepat pada perlakuan A, B dan D (10-12 hari), sementara perlakuan C (12-14 hari). Hasil penelitian Susanto et al. (2004) menunjukkan bahwa keterlambatan pemberian rotifer dan pakan buatan menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan stadia pada larva rajungan (Portunus pelagicus). Giri et al. (2002) melaporkan bahwa pertambahan bobot benih kepiting setelah minggu ke-4 meningkat sebesar 1.775,2%-1.821,4% dengan pemberian pakan pellet dengan kadar lemak 9%-12%. Larva kepiting bakau terdiri dari 5 tingkatan stadia zoea dan satu stadia megalopa yang
Tabel 4. Data rata-rata kualitas air selama penelitian. Variabel Salitas (g/L) Suhu (0C) DO (mg/L) pH Amoniak (mg/L) A 30 - 31 (zoea-1 to zoea-5); 27 (megalopa) 28,5 5,90 - 6,85 7,9 - 8,2 0,002-0,005

selanjutnya akan bermetamorfosis menjadi stadia krablet 1. Setiap stadia dibatasi oleh moulting. Proses moulting diikuti dengan pertambahan bobot dan ukuran larva. Lama perkembangan masing masing stadia zoea adalah 2-3 hari, untuk menjadi megalopa dibutuhkan waktu dua minggu dan untuk menjadi krablet-1 diperlukan satu minggu. Setelah mengalami perubahan dari stadia zoea menjadi megalopa, larva mengalami perubahan morfologi dan kebiasaan hidup, bersifat bentonik dan kanibal terhadap larva yang lebih muda atau sedang moulting. Pada saat inilah periode kritis (critical period) pada larva kepiting terjadi. Larva yang mendapatkan makanan lebih banyak akan lebih cepat pertumbuhan dan perkembangan stadianya sehingga lebih cepat melakukan metamorphosis menjadi megalopa. Kelulushidupan dan perkembangan stadia larva kepiting bakau (S. serrata) juga dipengaruhi oleh parameter kualitas air. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran parameter kualitas air, meliputi: suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut dan amonia disajikan pada Tabel 4. Zacharia dan Kakati (2004) menyatakan, Suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen dan laju metabolisme krustase. Suhu optimum untuk kepiting bakau adalah 26 sampai 320C (Kuntiyo et al., 1994). Nilai pH penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air serta reaksi biokomia di dalam tubuh kepiting bakau. Menurut Christensen et al. (2005), pH optimum untuk kepiting bakau berkisar antara 7,58,5. Amonia merupakan senyawa produk utama dari limbah nitrogen dalam perairan yang berasal dari organisme akuatik (Cavalli et al., 2000; Neil et al., 2005). Amonia bersifat toksik sehingga dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni organisme (Lee dan

Perlakuan B 30 - 31 (zoea-1 to zoea-5); 27 (megalopa) 28,3 5,81 - 6,74 7,8 - 8,0 0,003-0,004

C 30 - 31 (zoea-1 to zoea-5); 27 (megalopa) 28,1 5,82 - 6,91 8,0 - 8,1 0,002-0,004

D 30 - 31 (zoea-1 to zoea-5); 27 (megalopa) 28,5 5,73 - 6,58 7,9 - 8,1 0,003-0,004

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

11

Aquacultura Indonesiana, Vol. 11, No. 1, April 2010 : 713

Hasil dan Pembahasan


Rata-rata kelulushidupan megalopa kepiting bakau (S. serrata) pada akhir penelitian disajikan pada Tabel 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pola pakan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kelulushidupan benih kepiting bakau S. serrata. Analisis statistik menunjukkan perlakuan A dan B tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan C dan D (P<0,05). Kelulushidupan tertinggi yakni 46, 32% diperoleh pada perlakuan A, dikuti oleh perlakuan B: 45,97%, perlakuan D: 28,12% dan kelulushidupan terendah pada perlakuan C sebesar 21,43%. Persentase mortalitas yang tinggi pada perlakuan C disebabkan karena adanya penundaan pemberian rotifer, di mana rotifer baru mulai diberikan pada stadia zoea-2. Larva kepiting bakau pada stadia awal (zoea-1 dan 2) membutuhkan ukuran pakan 150 m (Cowan, 1986). Rotifer (Brachionus sp.) mempunyai ukuran 150180 m dan Artemia 450475 m. Sementara pakan buatan untuk zoea-1 berkisar 530 mm (Susanto et al., 2004). Mortalitas terjadi karena larva tidak memperoleh asupan makanan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena pakan yang tersedia (Artemia dan pakan buatan) ukurannya lebih besar daripada bukaan mulut larva. Kematian larva yang tinggi dikarenakan pada fase kritis stadia larva, terjadi peralihan pemanfaatan makanan dari kuning telur (endogenous feeding) ke pemanfaatan pakan dari luar (exogenous feeding). Apabila terjadi kesenjangan pemanfaatan energi dari endogenous feeding ke exogenous feeding maka akan menyebabkan kematian larva (Effendie, 2004; Hunter, 1980; Roger dan Westin, 1981). Sementara Husain dan Higuchi (1980) mengatakan bahwa tingkat kematian larva yang tinggi pada stadia awal larva disebabkan karena ukuran pakan yang kurang sesuai.
Tabel 3. Rata-rata kelulushidupan (%) megalopa S. serrata setiap perlakuan selama penelitian. Perlakuan A B C D
*)

Kelulushidupan*(%) 46,32 6,59 a 45,97 4,24a 21,43 1,64b 28,12 8,86b

Angka dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak beda nyata (P>0,05).

Pemberian rotifer dari awal stadia dapat menekan mortalitas larva kepiting bakau (S. serrata). Hasil pengamatan menunjukkan tingkat mortalitas pada perlakuan A, B dan D lebih rendah dari pada perlakuan C pada pemberian rotifer dilakukan di stadia zoea-2. Pemberian rotifer pada larva memiliki beberapa keuntungan yakni ukuran yang relatif kecil sehingga mudah dimangsa, mudah dicerna, dan mudah diperkaya asam lemaknya (Yunus et al., 1996; Rusdi, 1999). Pemberian nauplii Artemia dan pakan buatan secara bersamaan yang dimulai pada zoea-1 atau 2 juga menunjukkan indikasi yang serupa dengan pemberian rotifer pada stadia awal. Pemberian nauplii Artemia dan pakan buatan secara bersamaan juga membantu menekan mortalitas larva. Mortalitas larva pada perlakuan A dan B lebih rendah dari pada mortalitas C dan D. Perlakuan A menunjukkan tingkat mortalitas terendah yakni 25,68%, disusul perlakuan B: 54,03%; Perlakuan D: 71,78%; dan tertinggi pada perlakuan C: 78,57%. Pakan alami merupakan jenis pakan yang mutlak diperlukan dalam semua pembenihan, seperti rotifera dan Artemia, telah banyak digunakan sebagai pakan dalam pembenihan kepiting bakau (Brick, 1974; Yunus et al., 1996; Rusdi, 1999). Rotifera dan Artemia dapat diberikan langsung pada benih kepiting, tetapi ada yang diperkaya terlebih dahulu (Rusdi, 1999; Supriyatna, 1999). Penggunaan pakan berupa rotifera biasanya diberikan dari hasil kultur secara masal. Pemberian pakan tunggal rotifer kurang baik karena diduga kandungan nutrien dari rotifera tersebut kurang mencukupi untuk mendukung pertumbuhannya, oleh karena itu perlu diantisipasi dengan pemberian pakan buatan. Giri et al. (1993) menyatakan bahwa pakan alami yang dimakan larva dapat mengalami autolisis oleh enzimnya sendiri dalam saluran pencernaan larva untuk memenuhi kebutuhan energinya. Selanjutnya pada stadia larva yang lebih tinggi, penambahan pakan buatan dengan kandungan nutrisi yang lebih lengkap akan membantu larva memenuhi kebutuhan energinya dan memungkinkan menghasilkan kelulushidupan yang lebih tinggi. Pemberian pakan buatan sebagai pakan tambahan sangat membantu karena komposisi nutrisi yang lebih lengkap. Pakan buatan berupa flake yang diberikan pada perlakuan mengandung protein (50%), lemak (16%), serat (3%), abu (8%) dan air (10%). Kombinasi pakan yang baik dengan jumlah dan waktu yang tepat akan mendukung pertumbuhan, mencegah infeksi

10

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

Pengaruh Pola Pemberian Pakan Terhadap Produksi Benih Kepiting (Sulaeman dan Aan Fibro Widodo)

lincah dan melayang di atas permukaan air, diambil dengan gayung lalu dipelihara di dalam bak fiber volume 300 L dengan kepadatan 50 ind./L. Air laut yang digunakan bersalinitas 3031 g/L yang sebelumnya telah disaring dengan saringan membran (membrane filter) dan disinari dengan sinar ultraviolet (UV). Perlakuan dalam penelitian ini tersaji dalam Tabel 1. Dosis pemberian pakan alami (rotifera dan nauplii Artemia) dan pakan buatan (flake) tertera pada Tabel 2. Jadwal pemberian pakan dirancang sesuai dengan perbedaan kemampuan makan dan kebutuhan nutrisi untuk masing-masing perkembangan stadia. Rotifer dipertahankan pada kepadatan 1015 individu/mL dan nauplii Artemia 1,01,5 individu/mL. untuk stadia zoea, tetapi pada stadia megalopa dinaikkan menjadi sekitar 2,0 individu/mL. Pakan buatan akan diberikan sesuai dengan perlakuan seperti yang tertera pada Tabel 1. Sebagai data penunjang dilakukan pengukuran beberapa parameter fisika-kimia air

media penelitian yang meliputi suhu, salinitas, pH, DO dan amoniak. Parameter kualitas air di ukur menggunakan YSI 650 Mds. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan pola pemberian pakan yang diujicobakan adalah perlakuan A: zoea-1 megalopa (rotifer + nauplii Artemia + pakan buatan). Perlakuan B: zoea-1 zoea-4 (rotifer), zoea-2 megalopa (nauplii Artemia+pakan buatan). Perlakuan C: zoea-2 zoea 4 (rotifer), zoea-1 megalopa (naupli Artemia), zoea-3 megalopa (pakan buatan). Perlakuan D: zoea-1 zoea-4 (rotifer), zoea-3 megalopa (naupli Artemia), zoea-2 megalopa (pakan buatan). Peubah yang diamati adalah kelulushidupan, perkembangan stadia dan parameter kualitas air. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam. Uji Tukey digunakan untuk membandingkan perbedaan antara perlakuan. Sebagai alat bantu untuk melaksanakan uji statistik tersebut digunakan paket program SPSS.

Tabel 1. Pola pemberian pakan dalam pemeliharaan larva kepiting bakau (S. serrata). Perlakuan A. Rotifer Nauplii Artemia Flake B. Rotifer Nauplii Artemia Flake C. Rotifer Nauplii Artemia Flake D. Rotifer Nauplii Artemia Flake Zoea-1 Zoea-2 Zoea-3 Zoea-4 Zoea-5 Megalopa

Tabel 2. Dosis pakan yang diberikan selama pemeliharaan larva kepiting bakau (Scylla serrata). Dosis Pakan Komersial Ukuran partikel Frekuensi Pemberian Kepadatan Rotifer Kepadatan Naupli Komersial (g/m3/day)Pakan Komersial (mm)Pakan (time/day) (ind./mL) Artemia (ind/mL/day) Zoea-1 1.0 5-30 2 10 0.5 Zoea-2 2.0 30-90 2 15 1.0 Zoea-3 4.0 30-90 2 20 1.5 Zoea-4 6.0 150-200 2 10 2.0 Zoea-5 7.0 150-200 2 10 2.0 Megalopa 8.0 150-200 2 2.5 Fase

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

Aquacultura Indonesiana, Vol. 11, No. 1, April 2010 : 713

nutrien penting. Daging kepiting mengandung 65,72% protein dan 0,88% lemak, sedangkan ovarium (telur) kepiting mengandung 88,55% protein dan 8,16% lemak (Sulaeman, 1992). Penelitian tentang budidaya kepiting bakau telah lama dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, namun kelulushidupan yang diperoleh masih rendah. Dari penelitian pendahuluan diketahui bahwa selain tingkat kanibalisme yang tinggi, tingginya kematian larva kepiting bakau juga terjadi pada saat larva mengalami metamorphosis awal yaitu dari stadia zoea-5 menjadi megalopa. Hal ini juga dilaporkan oleh Pangabean et al. (1982) bahwa tingkat kematian benih rajungan banyak terjadi pada saat larva, yaitu dari stadia zoea-4 ke stadia megalopa. Hasil penelitian Sulaeman (2009) menyebutkan bahwa kelulushidupan larva kepiting bakau S. serrata yang dipelihara dari stadia zoea-1 hingga krablet berkisar 314%. Beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa pemberian pakan berupa rotifer dan nauplii Artemia pada pemeliharaan larva rajungan akan menghasilkan kelulushidupan yang lebih besar dibandingkan jika hanya diberikan pakan tunggal berupa rotifer (Pangabean et al., 1982; Supriyatna, 1999). Berdasarkan data kelulushidupan larva yang masih rendah tersebut, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang penambahan pakan buatan dengan pola pemberian pakan yang tepat. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam kesempatan ini dilakukan penelitian tentang pengaruh pola pemberian pakan yang berbeda terhadap produksi benih kepiting bakau (S. serrata) skalla massal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola pemberian pakan yang tepat yang dapat digunakan sebagai landasan dalam proses produksi benih kepiting bakau (S. serrata) skalla massal dengan kelulushidupan yang optimal.

Gambar 1. Induk kepiting bakau (S. serrata) dengan telur berwarna kuning.

Materi dan Metode


Penyediaan Larva Kepiting Bakau Larva yang digunakan berasal dari induk kepiting bakau betina dengan ukuran > 200 g, panjang karapas > 6 cm lebar karapas > 12 cm diperoleh dari lokasi penangkapan kepiting. Koleksi induk dilakukan di bak pemeliharaan yang disuplai dengan air laut yang bersih, salinitas 30-34 g/L, pakan yang diberikan berupa kekerangan, cumi-cumi atau

ikan rucah. Sisa sisa pakan dibersihkan dengan cara penyiponan yang dilakukan setiap hari. Induk yang selesai memijah langsung dipindahkan ke tangki pengeraman volume 300 L. Tiap tangki hanya diisi 1 ekor induk dan diaerasi, sebelumnya terlebih dulu direndam dalam larutan formalin 50 mg/L selama 1 jam untuk menghilangkan parasit dan jamur yang menempel pada massa telur. Induk tidak diberi pakan selama masa inkubasi. Pengujian massa telur diperlukan untuk mengetahui apakah pemijahan berlangsung dengan baik. Telur dengan tingkat pembuahan sekitar 90% dinilai cukup baik untuk dilanjutkan ke penetasan. Pemeriksaan perkembangan embrio dilakukan secara teratur agar dapat diperkirakan waktu penetasan. Tangki penetasan dilengkapi dengan aerasi yang lembut dari dasar bak untuk mempertahankan gerakan air. Induk yang telurnya sudah menetas, dipindahkan ke tempat lain secepatnya. Sekitar 1530 menit setelah menetas, larva dipindahkan dari tangki penetasan ke tangki pemeliharaan larva yang berukuran volume 300 L yang telah dipersiapkan, kemudian didesinfeksi dengan formalin (37%) 25 mg/L selama 15 menit untuk mencegah penyakit. Tangki pemeliharaan larva dirancang untuk bisa dilakukan sistem resirkulasi dengan bantuan aerator. Salinitas dipertahankan tetap pada kisaran 3031 g/L. selama stadia zoea dan pada stadia megalopa diturunkan menjadi 27 g/L. Perlakuan Penelitian dilakukan di Installasi perbenihan (Hatchery) BRPBAP, Maros, Sulsel. Hewan uji yang dipakai berupa larva yang baru menetas (zoea1). Larva yang sehat ditunjukkan dengan gerakan

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

Aquacultura Indonesiana (2010) 11 (1) : 714 ISSN 02160749

Pengaruh Pola Pemberian Pakan yang Berbeda Terhadap Produksi Benih Kepiting Bakau (Scylla serrata) Skala Masal
Sulaeman dan Aan Fibro Widodo
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Maros Jl. Makmur Dg. Sitakka No.129 Maros 90511, Sulawesi Selatan Telepon (0411) 371544, Faximile (0411) 371545

Abstract
Sulaeman and Aan Fibro Widodo. 2010. Effect of feeding regime on mass seed production of mud crab (Scylla serrata). Aquacultura Indonesiana, 11 (1): 713. The purpose of this experiment was to evaluate of feeding regime on mass seed production of mud crab (Scylla serrata). Larval rearing of mud crab was carried out in 12 concrete fiber tanks filled with 300 L sea waters and provided with an aeration system. The initial larval density of 50 ind./L and the larvae feed with mixture of rotifer, nauplius Artemia, and commercial feed. The experiment was arranged in acompletely randomized design in triplicates. Feeding treatment in zoea-1 to megalopa stage were A: zoea-1 to megalopa (rotifer, naupli Artemia and commercial feed); B: zoea-1 to zoea-4 (rotifer), and zoea-2 to megalopa (naupli Artemia and commercial feed); C: zoea-2 to zoea-4 (rotifer), zoea-1 to megalopa (naupli Artemia), and zoea3 to megalopa (commercial feed); and D: zoea-1 to zoea-4 (rotifer); zoea-3 to megalopa (naupli Artemia), and zoea-2 to megalopa (commercial feed). The results of the experiment showed that the survival rate of seed mud crab at the end of experiment was significantly affected by the feeding regime. Statistical analysis showed that between treatments A and B were not significantly different (P>0.05) but there were significant different between treatments C and D (P<0.05). The highest survival rate of 46,32% was obtained from treatment A followed by treatment B of 45.97%, treatment D of 28.12%, and the lowest at treatment C of 21.43%. Metamorphosis1 (zoea-5 to megalopa) was faster for treatment A, B, D (10 - 12 days) and treatment C (12 - 14 days). Keywords: Feeding regime, Megalopa, Metamorphosis, Scylla serrata, Seed production, Zoea

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemberian makan yang tepat dalam perbenihan kepiting bakau S. serrata skala masal. Penelitian menggunakan 12 buah bak fiber volume 300 liter yang dilengkapi aerasi dan ditebar larva stadia zoe-1 dengan kepadatan 50 ind./L. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan tiga kali ulangan. Perlakuan pola pemberian pakan yang diuji cobakan adalah perlakuan A: zoea-1 megalopa (rotifer+naupli Artemia+pakan buatan). Perlakuan B: zoea-1 zoea-4 (rotifer), zoea-2 megalopa (Artemia+pakan buatan). Perlakuan C: zoea-2 zoea 4 (rotifer), zoea-1 megalopa (naupli artemia), zoea-3 megalopa (pakan buatan). Perlakuan D: zoea-1 zoea-4 (rotifer), zoea-3 megalopa (naupli Artemia) dan zoea-2 megalopa (pakan buatan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pola pakan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kelulushidupan benih kepiting bakau S. serrata. Analisis statistik menunjukkan perlakuan A dan B tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi keduanya berbeda nyata terhadap perlakuan C dan D (P<0,05). Kelulushidupan tertinggi yakni 46, 32% diperoleh pada perlakuan A, dikuti oleh perlakuan B: 45,97%, perlakuan D: 28,12% dan kelulushidupan terendah pada perlakuan C sebesar 21,43%. Metamorfosis 1 (dari stadia zoea-5 ke megalopa) terjadi lebih cepat pada perlakuan A, B, D (10 - 12 hari) dan perlakuan C (12 - 14 hari). Kata kunci: Pemberian pakan, Megalopa, Metamorfosis, Scylla serrata, Produksi benih, Zoea

Hak cipta oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia 2010

Você também pode gostar