Você está na página 1de 34

Indonesia, siapa yang tak kenal pohon bambu? Pohon bambu ada dimana-mana.

Dia bisa tumbuh dihampir segala medan dan segala cuaca. Jika Anda menanam bibit pohon bambu sebesar jari kelingking Anda, lima tahun pertama tidak nampak pertumbuhan yang berarti, tapi didalam tanah akarnya tumbuh subur, merambah kemana-mana, membangun pondasi guna menopang batang yang akan segera tumbuh. Pada tahun ke lima barulah batang bambu muncul, tumbuh hingga mencapai puluhan meter tingginya. Bambu dimasukkan kedalam golongan tanaman rumput, tapi rumput yang unik karena ya itu, tingginya bisa mencapai 30 meter. Bambu terkenal gigih dan berkeinginan kuat untuk bertahan hidup disegala cuaca dan medan. Tanaman inipun ternyata sangat liat. Jarang sekali kita melihat pohon bambu roboh walaupun diterjang puting beliung kecuali memang sengaja ditebang, karena disamping akarnya yang terdiri dari 2 jenis: tunggang dan serabut yang menancap kokoh ditanah, juga batangnya yang sangat fleksibel. Lalu apa kegunaan dari pohon bambu? Fungsi utamanya adalah mampu mencegah terjadinya erosi dipinggiran sungai, longsor di bukit-bukit, serta mampu menangkap debit air yang cukup tinggi di hulu sehingga mencegah terjadinya banjir. Hal ini dikarenakan tadi, akar tunggang dan serabutnya yang menutupi tanah dan terikat kuat dengan tanah. Coba Anda bayangkan sewaktu terjadi tsunami di Aceh beberapa tahun yang lalu. Hanya pohon bambulah yang tahan terhadap terjangan air bah itu. Coba saja jika sepanjang pantai ditanami pohon bambu, mungkin kejadiannya tidak akan separah itu. Lalu kegunaan yang lain ? Banyak sekali!! Antara lain ini : Daun bambu bisa untuk bungkus makanan seperti bacang, akar bambu dapat dijadikan hiasanhiasan unik, tunas bambu yang dinamakan rebung uenaknya bukan main jika dimasak, apalagi jika dimasak santan. Lalu batang bambu mempunyai kegunaan yang beragam sesuai jenis bambunya sendiri. Jenis bambu (kalau di banyumas disebut pring) tali yang terkenal liat digunakan sebagai pengikat (bayangkan untuk pengganti tali rafia), atau membuat pagar halaman. Kemudian pring wulung dan pring petung yang batangnya besar, lurus dan berwarna kehitaman biasa digunakan sebagai tiang bangunan/rumah, mebel dan kerajinan tangan lainnya. Khusus untuk mebel, Indonesia sudah sangat terkenal dengan mebel dari bambu, karena memang corak dan warna bambu wulung dan petung yang sangat indah dan kekuatannya yang dapat diandalkan.

Bambu adalah tanaman jenis rumput-rumputan dengan rongga dan ruas di batangnya. Bambu memiliki banyak tipe. Nama lain dari bambu adalah buluh, aur, dan eru. Di dunia ini bambu merupakan salah satu tanaman dengan pertumbuhan paling cepat. Karena memiliki sistem rhizoma-dependen unik, dalam sehari bambu dapat tumbuh sepanjang 60cm (24 Inchi) bahkan lebih, tergantung pada kondisi tanah dan klimatologi tempat ia ditanam. [1]

Daftar isi

1 Genus dan Geografis 2 Ekologi o 2.1 Pertumbuhan o 2.2 Waktu berbunga o 2.3 Program diet binatang 3 Kultivasi o 3.1 Kayu komersil o 3.2 Memanen o 3.3 Pencucian o 3.4 Ornamen bambu 4 Kegunaan o 4.1 Kuliner o 4.2 Peralatan o 4.3 Pengobatan o 4.4 Konstruksi o 4.5 Tekstil o 4.6 Instrumen musik o 4.7 Pengolahan air o 4.8 Transportasi 5 Bambu pada kebudayaan Asia o 5.1 Mitos dan legenda o 5.2 Bambu sebagai media tulis o 5.3 Bambu sebagai senjata 6 Lihat pula 7 Referensi 8 Pranala luar 9 Galeri

Genus dan Geografis Ekologi


Pertumbuhan

Jika kita perhatikan pertumbuhan bambu begitu cepat berkembang di daerah daerah yang dingin dan agak lembab. Di setiap lokasi begitu banyak bambu yang tumbuh misalnya didaerah dekat dengan aliran sungai, tebing-tebing ataupun di pinggir pinggir danau.

Waktu berbunga Program diet binatang

Kultivasi
Kayu komersil Memanen Pencucian Ornamen bambu

Kegunaan
Kuliner
Rebung/tunas pohon bambu merupakan sayuran yang populer dan bernilai ekonomis tinggi.

Peralatan
Bambu merupakan bahan baku dari berbagai peralatan rumah tangga yang utama sebelum datangnya era peralatan rumah tangga dari plastik. Bakul nasi, tampah, bubu/perangkap ikan, tempat kue (besek), topi bambu (caping) adalah contoh dari beberapa peralatan yang terbuat dari bambu.

Barang-barang dari anyaman bambu

Sebuah toko di pasar tradisional menjual barang-barang dari anyaman bambu dan rotan

Pengobatan
Pada pengobatan Cina, bambu digunakan untuk mengobati dan menyembuhkan infeksi. Bambu mengandung sumber pottasium yang rendah kalori, rasa manisnya terkenal sebagai sumber protein dan nutrisi yang baik. Di ayurveda, sebuah sistem pengobatan tradisionil indian, konkresi silicious dapat ditemukan pada batang bambu yang disebut banslochan. Di sistem pengobatan indo persia banslochan terkenal sebagai tabashir atau taswhir, sedangkan di Inggris disebut sebagai "bamboo manna". Konkresi ini dikatakan dapat menjadi obat penguat pada penyakit pernapasan. Pada awalnya konkresi ini diperoleh dari Melocanna bambusoides, sangat sulit untuk menemukannya; sekarang sebagian besar sudah digantikan dengan asalam silisic sintetis. Pada kebanyakan literature indian, Bambusa arundinacea dideskripsikan sebagai sumber dari bamboo manna.

Konstruksi
Rumah-rumah di pedesaan Jawa dan Sunda masih banyak yang memakai dinding bambu. Pohon bambu yang tebal terutama di bagian pangkal dipakai sebagai kaso. Batang bambu juga banyak dipakai sebagai jembatan darurat.

Konstruksi bambu pada pagar, dinding, tiang. Lokasi: Bojongmangu, Kabupaten Bekasi

Tekstil Instrumen musik


Di Indonesia, bambu sering digunanakan sebagai alat musik tradisional yang menjadi ciri khas masing-masing daerah Indonesia. Salah satu contohnya adalah Angklung dan Seruling yang berasal dari Sunda

Pengolahan air Transportasi

Bambu pada kebudayaan Asia


Mitos dan legenda Bambu sebagai media tulis Bambu sebagai senjata
Di beberapa daerah Asia Timur dan Asia tenggara bambu digunakan sebagai alat bela diri.Contohnya adalah Bela diri silambam pada zaman Tamil kuno, pada bela diri ini petarung akan sering saling berpukulan dengan tongkat bambu.

Lihat pula Referensi

1. ^ Farrelly, David (1984). The Book of Bamboo. Sierra Club Books. ISBN 087156825X.

Pranala luar

Bambu di Proyek Direktori Terbuka Kerajinan Bambu

Galeri

Sebuah "Katedral Bambu" di Chaguaramas, Trinidad and Tobago.

Bambu Raksasa dengan seorang laki-laki dewasa sebagai pembanding ukuran tinggi.

Dracaena sanderiana, Bambu ini terlihat seperti tanaman lain, Dikenal sebagai "Bambu yang beruntung."

Sebuah rumpun Bambu Raksasa di Ecuador.

Arrow bamboo ( Yadake?) di Satoyama Perfekture Chiba, Jepang.

Bamboo bonsai.

Ukiran bambu Cina pada zaman Dinasti Qing.

Pembuatan roda air di Yangshuo countryside, Guangxi, Cina (March 2007)

Frame sepeda yang terbuat dari bambu (1896)

Jajaran bambu di Stuart, Florida, digunakan sebagai pemisah antara gereja dengan parkiran padat di pasar furnitur

Mounts Botanical Garden, Pantai Palem Bagian Barat, Florida

This is G o o g l e's cache of http://www.dephut.go.id/INFORMASI/litbang/teliti/bambu.htm as retrieved on 21 Nov 2006 15:32:35 GMT. G o o g l e's cache is the snapshot that we took of the page as we crawled the web. The page may have changed since that time. Click here for the current page without highlighting. This cached page may reference images which are no longer available. Click here for the cached text only. To link to or bookmark this page, use the following url: http://www.google.com/search?q=cache:zFXlxYNQ88MJ:www.dephut.go .id/INFORMASI/litbang/teliti/bambu.htm+jenis+bambu&hl=en&gl=id& ct=clnk&cd=7
Google is neither affiliated with the authors of this page nor responsible for its content.

These search terms have been highlighted: jenis bambu

SARI HASIL PENELITIAN BAMBU


Oleh : Krisdianto, Ginuk Sumarni dan Agus Ismanto I. II. III. IV. V. VI. PENDAHULUAN PEMANENAN SIFAT DASAR PENGOLAHAN SOSIAL EKONOMI PENUTUP

I. PENDAHULUAN Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia, bambu memegang peranan sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan, antara lain batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serbaguna bagi masyarakat pedesaan. Bambu dalam bentuk bulat dipakai untuk berbagai macam konstruksi seperti rumah, gudang, jembatan, tangga, pipa saluran air, tempat air, serta alat-alat rumah tangga. Dalam bentuk belahan dapat dibuat bilik, dinding atau lantai, reng, pagar, kerajinan dan sebagainya. Beberapa jenis bambu akhir-akhir ini mulai banyak digunakan sebagai bahan penghara industri supit, alat ibadah, serta barang kerajinan, peralatan dapur, topi, tas, kap lampu, alat musik, tirai dan lain-lain.

Dari kurang lebih 1.000 species bambu dalam 80 genera, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995), sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis. Pada Lampiran I terdapat daftar jenis bambu yang diperkirakan tumbuh di Indonesia, tetapi tidak semuanya merupakan tanaman asli Indonesia. Tanaman bambu Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl. Pada umumnya ditemukan ditempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air. Tanaman bambu hidup merumpun, kadang-kadang ditemui berbaris membentuk suatu garis pembatas dari suatu wilayah desa yang identik dengan batas desa di Jawa. Penduduk desa sering menanam bambu disekitar rumahnya untuk berbagai keperluan. Bermacam-macam jenis bambu bercampur ditanam di pekarangan rumah. Pada umumnya yang sering digunakan oleh masyarakat di Indonesia adalah bambu tali, bambu petung, bambu andong dan bambu hitam. Seperti halnya tebu, bambu mempunyai ruas dan buku. Pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan dengan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini pula tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya, disamping tunas-tunas rimpangnya. Dalam penggunaannya di masyarakat, bahan bambu kadang-kadang menemui beberapa keterbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bahan bambu adalah sifat fisik bambu yang membuatnya sukar dikerjakan secara mekanis, variasi dimensi dan ketidakseragaman panjang ruasnya serta ketidakawetan bahan bambu tersebut menjadikan bambu tidak dipilih sebagai bahan komponen rumah. Sering ditemui barang-barang yang berasal dari bambu yang dikuliti khususnya dalam keadaan basah mudah diserang oleh jamur biru dan bulukan sedangkan bambu bulat utuh dalam keadaan kering dapat diserang oleh serangga bubuk kering dan rayap kayu kering. Tulisan ini merupakan sari hasil penelitian yang telah dilakukan di Pusat Penelitian Hasil Hutan, Bogor ditambah dengan informasi yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kehutanan, Bogor serta beberapa pustaka yang menunjang. Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan sari informasi penelitian tentang komoditas bambu agar teknologi pengolahannya dapat diterapkan di masyarakat. II. PEMANENAN Tanaman bambu di Indonesia merupakan tanaman bambu simpodial, yaitu batangbatangnya cenderung mengumpul didalam rumpun karena percabangan rhizomnya di dalam tanah cenderung mengumpul (Sindusuwarno, 1963). Batang bambu yang lebih tua berada di tengah rumpun, sehingga kurang menguntungkan dalam proses penebangannya. Metode pemanenan tanaman bambu adalah dengan metode tebang habis dan tebang pilih. Pada metode tebang habis, semua batang bambu ditebang baik yang tua maupun yang muda, sehingga kualitas batang bambu yang diperoleh bercampur antara bambu yang tua dan yang muda. Selain itu metode ini juga menimbulkan pengaruh terhadap sistem perebungan bambu, sehingga kelangsungan tanaman bambu terganggu, karena sistem perebungan bambu dipengaruhi juga oleh batang bambu yang ditinggalkan. Pada beberapa jenis tanaman bambu metode tebang habis menyebabkan rumpun

menjadi kering dan mati, tetapi pada jenis yang lain masih mampu menumbuhkan rebungnya tetapi dengan diameter rebung tidak besar dan junlahnya tidak banyak (Sindusuwarno, 1963). Metode tebang pilih pada tanaman bambu adalah menebang batang-batang bambu berdasarkan umur tumbuhnya. Metode ini dikembangkan dengan dasar pemikiran adanya hubungan batang bambu yang ditinggalkan dengan kelangsungan sistem perebungan bambu. Penelitian tentang hubungan sistem penebangan dengan perebungan telah dilakukan oleh Sudiono dan Soemarna (1964). Penelitian dilakukan pada hutan bambu tanaman dengan mengklasifikasikan batang-batang bambu ke dalam generasi-generasi yaitu : generasi I (berumur 3 - 4 tahun), generasi II (berumur 2 - 3 tahun), generasi III (berumur 1 - 2 tahun) dan generasi IV (berumur 0 - 1 tahun). Pengklasifikasian ini tidak menyertakan batang dalam suatu rumpun yang lebih dari 4 tahun, karena umumnya batang bambu pada umur tersebut sudah ditebang karena sudah masak tebang. Informasi yang diberikan adalah bahwa sistem tebang pilih yang disarankan untuk dilakukan adalah yang pertama menebang semua batang generasi I, kedua menebang batang generasi I + II + III dan yang ketiga menebang semua batang generasi I + II. Selain itu perlu diperhatikan bahwa metode penebangan bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perebungan suatu tanaman bambu, melainkan dipengaruhi juga oleh banyaknya batang yang ditinggalkan pada tiap rumpun. Batang yang sebaiknya ditinggalkan dalam suatu pemanenan adalah generasi II, III dan IV dari suatu rumpun yang dipanen, dengan perbandingan generasi IV lebih banyak yang ditinggalkan daripada generasi lainnya. III. SIFAT DASAR A. Anatomi Kolom bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (pembuluh dan sieve tubes) Dransfield dan Widjaja (1995). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan pada bagian luar. Sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berkurang. B. Sifat Fisis dan Mekanis Sifat fisis dan mekanis merupakan informasi penting guna memberi petunjuk tentang cara pengerjaan maupun sifat barang yang dihasilkan. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu telah diberikan oleh Ginoga (1977) dalam taraf pendahuluan. Pengujian dilakukan pada bambu apus (Gigantochloa apus Kurz.) dan bambu hitam (Gigantochloa nigrocillata Kurz.). Beberapa hal yang mempengaruhi sifat fisis dan mekanis bambu adalah umur, posisi ketinggian, diameter, tebal daging bambu, posisi beban (pada buku atau ruas), posisi radial dari luas sampai ke bagian dalam dan kadar air bambu. Hail pengujian sifat fisis mekanis bambu hitam dan bambu apus terdapat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisis dan mekanis bambu hitam dan bambu apus No. Sifat Bambu Bambu

hitam 1. Keteguhan lentur statik a. Tegangan pada batas proporsi (kg/cm2) b. Tegangan pada batas patah (kg/cm2) c. Modulus elastisitas (kg/cm2) d. Usaha pada batas proporsi (kg/dcm3) e. Usaha pada batas patah (kg/dm3) 2. Keteguhan tekan sejajar serat (tegangan maximum, kg/cm2) 3. Keteguhan geser (kg/cm2) 4. Keteguhan tarik tegak lurus serat (kg/cm2) 5. Keteguhan belah (kg/cm2) 6. Berat Jenis a. KA pada saat pengujian b. KA kering tanur 7. Keteguhan pukul a. Pada bagian dalam (kg/dm3) b. Arah tangensial (kg/dm3) c. Pada bagian luar (kg/dm3)
Sumber : Ginoga (1977)

apus 327 546 101000 0,8 3,3 504 39,5 28,3 58,2

447 663 99000 1,2 3,6 489 61,4 28,7 41,4

0,83 0,69 KA : 28% KA : 19,11% 0,65 0,58 KA : 17% KA : 16,42% 32,53 31,76 17,23 45,1 31,9 31,5

Sifat fisis dan mekanis jenis bambu lainnya telah diinformasikan Hadjib dan Karnasudirdja (1986). Pengujian dilakukan pada tiga jenis bambu, yaitu bambu andong (Gigantochloa verticillata), bambu bitung (Dendrocalamus asper Back.) dan bambu ater (Gigantochloa ater Kurz.) Hasilnya menunjukkan bahwa bambu ater mempunyai berat jenis dan sifat kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan bambu bitung dan bambu andong. Nilai rata-rata keteguhan lentur maksimum, keteguhan tekan sejajar serat dan berat jenis tidak berbeda nyata pada buku dan ruas, sedangkan antar jenis berbeda nyata. Nilai rata-rata sifat fisis dan mekanis bambu terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai sifat fisis dan mekanis bambu Bambu ater kg/cm2 533,05 89152,5 584,31 0,71 Bambu bitung kg/cm2 342,47 53173,0 416,57 0,68 Bambu andong kg/cm2 128,31 23775,0 293,25 0,55

No. 1. 2. 3. 4.

Sifat fisis dan mekanis Keteguhan lentur maksimum Modulus elastisitas Keteguhan tekan sejajar serat Berat jenis

Sumber : Hadjib dan Karnasudirdja (1986)

C. Sifat Kimia

Penelitian sifat kimia bambu telah dilakukan oleh Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) meliputi penetapan kadar selulosa, lignin, pentosan, abu, silika, serta kelarutan dalam air dingin, air panas dan alkohol benzen. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kadar selulosa berkisar antara 42,4% - 53,6%, kadar lignin bambu berkisar antara 19,8% 26,6%, sedangkan kadar pentosan 1,24% - 3,77%, kadar abu 1,24% - 3,77%, kadar silika 0,10% - 1,78%, kadar ektraktif (kelarutan dalam air dingin) 4,5% - 9,9%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam air panas) 5,3% - 11,8%, kadar ekstraktif (kelarutan dalam alkohol benzene) 0,9% - 6,9%. Hasil analisis kimia 10 jenis bambu terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis kimia 10 jenis bambu Kelarutan dalam, (%) Selulosa Lignin Pentosan Abu Silika Air Air Alkohol- NaOH (%) (%) (%) (%) (%) dingin panas benzene 1% 48,3 22,2 21,2 1,24 0,54 5,3 9,4 4,3 24,5

No.

Jenis bambu

1. Phyllostachys reticulata (bambu madake) 2. Dendrocalamus asper (bambu petung) 3. Gigantochloa apus (bambu batu) 4. Gigantochloa nigrociliata (bambu batu) 5. Gigantochloa verticillata (bambu peting) 6. Bambusa vulgaris (bambu ampel) 7. Bambusa bambos (bambu bambos) 8. Bambusa polymorpha (bambu kyathaung) 9. Chephalostachyum pergraciles (bambu tinwa) 10. Melocanna bambusoides

52,9 52,1 52,2

24,8 24,9 26,6

18,8 19,3 19,2

2,63 0,20 2,75 0,37 3,77 1,09

4,5 5,2 4,6

6,1 6,4 5,3

0,9 1,4 2,5

22,2 25,1 23,1

49,5

23,9

17,8

1,87 0,52

9,9

10,7

6,9

28,0

45,3 50,8 53,8 48,7

25,6 23,5 20,8 19,8

20,4 20,5 17,7 17,5

3,09 1,78 1,99 0,10 1,83 0,32 2,51 0,51

8,3 4,6 4,9 9,8

9,4 6,3 6,9 11,8

5,2 2,0 1,9 6,7

29,8 24,8 22,4 29,3

42,4

24,7

21,5

2,19 0,33

7,3

9,7

4,0

28,4

Sumber : Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988)

D. Keawetan dan Keterawetan Penelitian keawetan bahan bambu telah dilakukan oleh Jasni dan Sumarni (1999), sedangkan penelitian tentang keterawetan bahan bambu belum dilakukan. Jasni dan Sumarni (1999) mengemukakan bahwa dari tujuh jenis bambu yang diteliti, bambu ampel (Bambusa vulgaris) paling rentan terhadap serangan bubuk, kemudian bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea), bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae)

dan bambu terung (Gigantochloa nitrocilliata). Sedangkan bambu atter (Gigantochloa atter) dan bambu apus/tali (Gigantochloa apus) relatif tahan terhadap serangan bubuk. Jenis bubuk bambu yang banyak ditemukan menyerang bambu adalah Dinoderus sp., sedangkan jenis bubuk yang paling sedikit ditemukan menyerang bambu adalah Lyctus sp. Kuantitas bubuk yang ditemukan pada bambu terdapat pada Tabel 4, sedangkan penyebaran jenis bubuk pada bambu terdapat pada Tabel 5. Tabel 4. Bubuk yang ditemukan pada bambu Jumlah serangga P (e) 415 125 257 175 180 177 227 T (e) U (e) 375 10 25 6 295 2 30 8 48 60 202 8 S (e) 800 156 554 213 228 237 457 Total DS serangga (%) R (%) Y (b) 30,48 2312 100 5,94 252 40 21,10 997 90 8,11 484 40 8,69 1176 70 9,03 655 70 16,65 1982 90

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Jenis bambu Bambusa vulgaris Gigantochloa apus Gigantochloa atroviolaceae Gigantochloa atter Gigantochloa nigrocilliata Gigantochloa robusta Gigantochloa pseodoarundinacea

Sumber : Jasni dan Sumarni (1999) Keterangan : P : pangkal T : tengah U : ujung e : ekor b : buah S : jumlah individu R : jumlah dalam % Y : lubang gerek DS: derajat serangan

Tabel 5. Penyebaran jenis bubuk pada bambu No. 1. 2. 3. 4. Jenis bubuk H. aequalis Wat Lyctus sp. Dinodeus Minthea sp. Jenis bambu B C D E F - + + + - + - + + + + + + + - + + + + Jumlah H I 327 12,33 35 1,32 1946 73,23 369 13,93

A + -

G + + + +

Sumber : Jasni dan Sumarni (1999) Keterangan : A : bambu ampel B : bambu apus (tali) C : bambu hitam D : bambu atter E : bambu terung F : bambu mayan G : bambu andong + : ditemukan - : tidak ditemukan

IV. PENGOLAHAN A. Pengawetan

Usaha pengawetan bambu secara tradisional sudah dikenal oleh masyarakat pedesaan. Pengawetan itu dilakukan dengan cara merendamnya di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau di air laut dan pengasapan. Selain itu juga sering ditemukan cara pengawetan dengan pelaburan kapur dan kotoran sapi pada gedek dan bilik bambu. Penelitian pengawetan bambu dengan menggunakan bahan kimia disertai metode yang tepat dan efisien terus dilakukan. Pengawetan bambu mempunyai tujuan untuk mencegah serangan jamur (pewarna dan pelapuk) maupun serangga (bubuk kering, rayap kayu kering dan rayap tanah). Beberapa pengrajin mebel bambu telah melaksanakan pengawetan dengan menggunakan boraks, campuran kapur barus dengan minyak tanah, atau pengasapan dengan belerang. Namun sejauh ini belum diketahui efektifitas bahan-bahan kimia yang digunakan dan metode pengawetan yang dilaksanakan. Penelitian pengawetan bahan bambu dengan menggunakan pestisida pengawet kayu telah dimulai oleh Martawijaya (1964). Hasilnya menunjukkan bahwa bambu dapat diawetkan dengan mudah terutama jika menggunakan bahan pengawet yang dapat berdifusi dengan baik. Penggunaan senyawaan boron dalam pengawetan bambu apus dan bambu hitam dilakukan oleh Supriana (1987). Hasilnya menunjukkan bahwa bambu apus dan bambu hitam dapat diawetkan dengan proses rendaman dingin masing-masing selama satu dan tiga hari pada konsentrasi tiga persen. Penelitian cara pengawetan dengan cara rendaman dingin menggunakan larutan asam borat dan boraks (boric acid equivalent) 10% dan larutan Wolmanit CB 10% terhadap dua belas jenis bambu telah dilakukan oleh Abdurrochim (1982). Hasil penetrasi persenyawaan bor dan Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 6 dan 7. Tabel 6. Penetrasi persenyawaan bor pada dua belas jenis bambu Penetrasi bor pada lama rendaman (%) 3 5 7 Rata1 hari hari hari hari rata 77,6 65,4 93,7 50,7 72,0 45,3 73,3 61,9 21,0 50,4 83,4 83,9 80,1 75,5 80,7 51,3 67,2 77,0 32,1 56,9 67,0 64,1 64,8 68,2 66,0 41,2 33,0 49,2 22,3 36,4 75,1 66,8 68,9 68,7 69,9 35,6 28,5 36,7 51,1 38,0 65,7 63,7 67,2 63,4 65,0 24,3 26,2 44,6 25,8 30,2 72,7 96,0 100,0 100,0 92,2 38,9 76,7 80,7 90,5 71,7 72,8 72,0 89,1 77,8 77,9 21,1 36,8 62,7 45,2 41,5 72,0 68,4 73,7 73,0 71,8

No.

Jenis bambu

Potongan dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah

1. Ampel hijau (Bambusa vulgaris Schard) 2. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schard) 3. Andong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro.) 4. Apus (Gigantochloa apus (Bl.ex Schult.f.) Kurz.) 5. Bitung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Kurz.) 6. Buluh (Schizostachyum brachycladum Kurz.) 7. Cakeutreuk (Schizostachyum zolingeri Steud.) 8. Hitam (Gigantochloa atter (Hassk) Kurz. ex

Munro) bulat 33,9 44,4 30,4 36,3 36,3 9. Lengka (Gigantochloa nigrocillata (Buese) dibelah 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Kurz) bulat 93,3 100,0 96,5 91,3 95,3 10. Tamiang (Schizostachyum blumei Nees) dibelah 100,0 95,5 100,0 100,0 98,9 bulat 100,0 77,5 91,5 95,3 91,1 11. Temen (Gigantochloa verticillata (wild.) dibelah 70,2 72,3 69,4 72,8 71,2 bulat 36,2 47,5 32,2 27,7 35,9 12. Uncul (Phyllostachys aurea A&Ch. Riviera) dibelah 76,0 90,4 92,7 78,0 84,3 bulat 46,3 72,1 79,3 75,0 68,2 Tabel 7. Penetrasi Wolmanit CB pada dua belas jenis bambu Penetrasi bor pada lama rendaman (%) 3 5 7 Rata1 hari hari hari hari rata 80,2 88,8 78,4 97,9 86,3 73,3 78,5 87,8 69,2 77,2 78,6 97,2 86,1 97,5 89,9 76,9 73,7 91,7 36,0 69,6 71,5 89,2 86,3 90,0 84,3 46,4 62,6 58,0 87,4 63,6 82,4 97,1 93,8 95,6 92,2 63,6 94,8 69,1 94,2 80,4 64,3 94,2 100,0 91,5 87,5 45,1 61,8 76,0 88,6 67,9 76,8 96,0 100,0 100,0 93,2 100,0 77,5 98,8 95,7 93,0 64,5 92,0 100,0 90,7 86,8 53,1 92,1 51,0 92,9 72,3 72,6 87,8 100,0 99,3 89,9 73,8 66,2 78,2 37,9 64,1 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 78,3 100,0 100,0 90,6 92,2 100,0 95,5 100,0 100,0 98,9 93,3 100,0 100,0 94,0 96,8 69,9 83,0 78,8 92,6 81,1 80,4 63,3 81,6 90,4 78,9 80,0 90,4 99,2 100,0 92,4 55,7 100,0 88,0 64,0 76,9

No.

Jenis bambu

Potongan dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat dibelah bulat

1. Ampel hijau (Bambusa vulgaris Schard) 2. Ampel kuning (Bambusa vulgaris Schard) 3. Andong (Gigantochloa verticillata (Wild.) Munro.) 4. Apus (Gigantochloa apus (Bl.ex Schult.f.) Kurz.) 5. Bitung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Kurz.) 6. Buluh (Schizostachyum brachycladum Kurz.) 7. Cakeutreuk (Schizostachyum zolingeri Steud.) 8. Hitam (Gigantochloa atter (Hassk) Kurz. ex Munro) 9. Lengka (Gigantochloa nigrocillata (Buese) Kurz) 10. Tamiang (Schizostachyum blumei Nees) 11. Temen (Gigantochloa verticillata (wild.) 12. Uncul (Phyllostachys aurea A&Ch. Riviera)

Sumber : Abdurrochim (1982)

Proses pengawetan pada jenis bambu yang sama dan telah dibelah berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi senyawaan boron. Hal ini berarti proses pengawetan akan lebih efisien pada bambu yang telah dibelah daripada bambu yang bulat utuh. Lama

rendaman dalam pembelahan dan pada jenis bambu yang sama, juga berpengaruh sangat nyata terhadap penetrasi Wolmanit CB. Pengawetan dengan senyawaan boron terhadap jenis bambu ampel hijau, ampel kuning, andong, apus, bitung, hitam, lengka, tamiang dan temen baik yang dibelah maupun bulat serta bambu cakeutreuk dan uncul yang dibelah cukup direndam satu hari. Bambu buluh baik yang dibelah maupun bulat dan bambu cakeutreuk dan uncul yang bulat sebaiknya direndam tiga hari. Pengawetan dengan Wolmanit CB terhadap bambu ampel hijau, ampel kuning, apus, lengka dan tamiang baik yang dibelah maupun bulat, bambu andong yang dibelah serta bambu buluh, hitam, temen dan uncul yang dibelah sebaiknya direndam tiga hari. Bambu andong yang bulat sebaiknya direndam tujuh hari. Penelitian pengawetan bambu dengan bahan pengawet lainnya dilakukan oleh Barly dan Permadi (1987). Pengawetan dilakukan terhadap bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro), apus (Gigantochloa apus (Bl.ex Schult.f.) Kurz) dan bitung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) menggunakan bahan pengawet Koppers F 7 pada konsentrasi 5%. Hasil nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7 pada 3 jenis bambu yang diawetkan secara rendaman dingin dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet Formula 7 pada tiga jenis bambu No. Jenis bambu 1. Betung Waktu Perlakuan Penetrasi Retensi rendaman awal (%) (kg/m3) 1 D 57,4 11,93 TD 61,1 21,35 3 D 43,7 13,56 TD 52,2 21,44 5 D 52,4 16,66 TD 57,0 18,56 1 D 82,2 24,59 TD 90,7 32,97 3 D 97,2 28,58 TD 95,9 31,56 5 D 94,2 27,94 TD 94,9 35,66 1 D 81,5 11,83 TD 70,9 22,33 3 D 91,4 21,64 TD 93,9 26,07 5 D 93,7 26,09 TD 95,9 30,96

2. Andong

3. Tali

Sumber : Barly dan Permadi (1987) Keterangan : D = ditutup TD = tidak ditutup

Dari penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa masuknya bahan pengawet dari arah longitudinal dapat mencapai hasil maksimum setelah direndam selama satu hari. Nilai

retensi yang dicapai pada percobaan ini cukup besar dan melebihi persyaratan yang dianjurkan untuk bahan bangunan perumahan yang diawetkan (Barly, 1995). Untuk mencapai persyaratan itu bambu betung dan bambu andong cukup direndam selama satu hari sedangkan untuk bambu apus direndam selama tiga hari. Perpanjangan waktu rendaman tidak meningkatkan nilai penetrasi dan retensi bahan pengawet. Penelitian mengenai penembusan bahan pengawet ke dalam batang bambu andong dan bambu betung yang diawetkan secara vertikal telah dilakukan oleh Permadi (1992). Hasil penelitian itu menyebutkan bahwa keterawetan bambu andong dan betung relatif sama. Rendaman selama empat minggu menghasilkan penetrasi bahan pengawet tertinggi (33 cm dan 30 cm), sedangkan perendaman selama satu sampai tiga minggu menghasilkan penetrasi bahan pengawet yang relatif sama. Hasil penelitian ini juga memberikan catatan bahwa karena bambu yang digunakan sudah kering sehingga bahan pengawet tidak dapat berdifusi dengan baik, sehingga perlu diadakan perbaikan dalam proses pengawetannya. Metode pengawetan bambu secara vertikal diperlihatkan pada gambar 1, sedangkan hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Penembusan bahan pengawet pada bambu yang direndam secara vertikal Kadar air (%) Lama perendaman (minggu) No. Jenis bambu Saat Saat 1 2 3 4 ditebang pengawetan 1. Andong 93,7 82,5 11,11 cm 14,75 cm 15,88 cm 33,40 cm 2. Betung 98,3 83,6 12,58 cm 16,28 cm 19,26 cm 30,33 cm
Sumber : Permadi (1992)

Bagian batang dari bambu juga mempunyai karakteristik serangan hama. Hal ini diungkapkan oleh Sumarni dan Ismanto (1992). Jenis serangga yang menyerang pada bagian tengah ialah jenis serangga Dinoderus sp., Lyctus sp. dan kumbang, sedangkan pada bagian pangkal hanya ditemukan dua jenis serangga yaitu Dinoderus sp. dan kumbang. Bagian pangkal lebih awet daripada bagian tengah bambu. Pengembangan metode pengawetan telah dilaksanakan, diantaranya dengan metode boucheri untuk pengawetan bambu segar yang telah diteliti oleh Permadi dan Sumarni (1995). Bahan bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro.) dan bambu tali (Gigantochloa apus Kurz.), dengan bahan pengawet borax (Na2B4O7. 10H2O) konsentrasi 5%. Pengawetan dengan metode boucheri memberikan bahan pengawet pada bagian bawah batang bambu dan tidak memotong daun dan rantingnya, agar proses asimilasi dan penyerapan bahan makanan tetap berlangsung, seperti tampak dalam gambar 1a pada bambu andong dan 1 b pada bambu tali.

1a Bambu andong

1b Bambu tali

Gambar 1. Pengawetan bambu metode boucheri

Berdasarkan penelitian ini diperoleh informasi bahwa bambu andong lebih mudah diawetkan dengan cara boucheri dibandingkan bambu tali. Rata-rata penetrasi longitudinal pada bambu andong dan tali dengan variasi waktu lama perendaman ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10. Penetrasi longitudinal (cm) pada bambu andong dan tali Rata-rata penetrasi (cm) Andong Tali 131,40 68,30 304,92 116,83 308,42 151,37 469,88 141,88 315,28 128,17

Lama perendaman (hari) 2 4 6 8 10


Sumber : Permadi dan Sumarni (1995)

Penelitian tentang pengawetan bambu segar secara sederhana telah dilaksanakan oleh Barly dan Sumarni (1997). Pengawetan dilakukan pada bambu yang sudah terpilih ditebang dan diusahakan tetap tegak berdiri atau bersandar pada pohon lain. Pada bagian pangkal batang dikuliti sepanjang 10 cm untuk memperluas permukaan. Batang yang sudah dikuliti segera dimasukkan ke dalam larutan bahan pengawet untuk mencegah masuknya udara ke dalam batang bambu yang mungkin dapat mengganggu proses aliran bahan pengawet. Hasil pengamatan rata-rata dari 5 ulangan tercantum dalam Tabel 11. Tabel 11. Hasil pengamatan No. Uraian Konsentrasi (%) Waktu (hari) 1 3 5

1. Absorpsi (l) 2. Penetrasi (m) 3. Penetrasi (%) 4. Retensi pada bagian terawetkan (kg/m3) 5. Retensi pada seluruh volume (kg/m3)
Sumber : Barly dan Sumarni (1997)

5 10 5 10 5 10 5 10 5 10

1,66 2,40 3,66 2,23 2,63 4,16 7,67 10,04 12,33 10,36 7,40 11,89 52,55 80,52 81,45 70,32 57,61 80,48 3,18 4,46 4,72 5,90 9,36 7,84 1,56 3,90 3,77 3,70 5,39 6,36

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh informasi tentang adanya kecenderungan kenaikan absorpsi dengan bertambahnya waktu pengawetan. Dan sebagai saran dalam mengawetkan bambu sebaiknya digunakan bahan pengawet dengan konsentrasi 10% dan lama pengawetan 5 hari agar memperoleh retensi yang memenuhi syarat dengan catatan penembusan bahan pengawet mencapai 75% dari panjang bambu. Pengujian keragaan bahan pengawet boron-fluor-chrom-arsen (BFCA) pada bahan bambu dilakukan oleh Sumarni et al. (1992). Pengujian dilakukan pada bambu betung (Dendrocalamus asper Back.) terhadap serangga bubuk kering. Contoh uji dibuat 12 perlakuan selanjutnya direndam dalam larutan bahan pengawet BFCA 5% selama tiga hari. Pengamatan dilakukan selama satu tahun dengan kriteria penilaian jumlah lubang serangan, serangga hidup, stadium serangga dan derajat serangan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tiga dari dua belas jenis perlakuan yaitu ruas bambu antar dua buku yang berkulit, berkulit disayat sebagian dan berkulit dilubangi (dibor) hasilnya tidak efektif. Hal ini disebabkan karena retensi bahan pengawet yang digunakan hanya berkisar antara 3,17 kg/m3 - 4,24 kg/m3 atau masih dibawah standar (6 kg/m3 ). B. Pengeringan Proses pengeringan bambu dibutuhkan guna menjaga stabilisasi dimensi bambu, perbaikan warna permukaan, juga untuk pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut. Kekuatan bambu juga akan bertambah dengan bertambah keringnya bambu. Pengeringan bambu harus dilaksanakan secara hati-hati, karena apabila dilaksanakan terlalu cepat (suhu tinggi dengan kelembaban rendah) atau suhu dan kelembaban yang terlalu berfluktuasi akan mengakibatkan bambu menjadi pecah, kulit mengelupas, dan kerusakan lainnya. Sebaliknya bila kondisi pengeringan yang terlalu lambat akan menyebabkan bambu menjadi lama mengering, bulukan dan warnanya tidak cerah atau menjadi gelap. Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami (air drying), pengasapan, pengeringan dengan energi tenaga surya (solar collector drying) atau kombinasi dengan energi tungku, dan pengeringan dalam dapur pengering. Penelitian mengenai metode pengeringan bambu telah dilakukan oleh Basri (1997). Basri menginformasikan bahwa dengan sistem pengasapan dan energi tenaga surya sebaiknya dilakukan setelah kadar air bambu di bawah 50% agar kualitas bambu tetap terjaga. Bambu yang masih sangat basah setelah dipotong sesuai ukuran yang akan dipergunakan, dibersihkan dan ditumpuk berdiri dengan posisi saling menyilang atau ditumpuk secara horisontal selama kurang lebih satu minggu. Untuk mempercepat pengeluaran air ditempatkan

kipas/fan didekatnya. Pengeringan bambu dengan cara diasapkan tampak pada gambar 2a dan 2b.

2a

2b

Gambar 2. Metode pengeringan bambu dengan cara pengasapan

Pengeringan dengan energi tenaga surya dilakukan dengan menjaga agar suhu dan kelembaban tidak berfluktuasi. Usaha yang dilakukan dengan sesering mungkin membuka ventilasi atau menyemprotkan air ke permukaan bambu. Untuk membantu distribusi panas ke seluruh permukaan bambu perlu dipasang kipas yang jumlah dan ukuran dayanya disesuaikan dengan luas ruangan. Ruangan dengan kapasitas bambu basah 3 m3 diperlukan 2 buah fan yang masing-masing dengan daya 1 PK (HP) dan putaran 1600 RPM. Dalam ruangan pengering perlu dijaga keseimbangan suhu serta kelembabannya, agar kualitas pengeringan bambu dapat terjaga. Pada malam haripun diperlukan suplai energi ke dalam dapur pengeringan tenaga surya. Suplai energi tersebut dapat berasal dari tungku limbah kayu atau kompor. Penyimpanan dan penanganan bambu yang telah dikeringkan perlu dilakukan agar kualitas bambu tidak mengalami penurunan. Hal ini perlu dilakukan karena bambu mempunyai sifat hygroskopis, sehingga bambu yang sudah kering akan tetap menyerap air kembali apabila ditempatkan pada kondisi yang lembab. Penyerapan dan pengeluaran air yang berulang-ulang biasanya diikuti dengan retak dan pecah pada bambu. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka beberapa cara yang perlu diperhatikan diantaranya adalah menyimpan bambu pada ruang yang tidak lembab, lantai kering dan sirkulasi udara lancar. Hal yang perlu diperhatikan adalah penyimpanan bambu yang sudah kering dan bambu yang masih basah dicampur dalam suatu ruang tertutup. Disamping itu pengangkutan bambu kering harus terlindung dari hujan dan panas yaitu dengan menggunakan bahan pembungkus kedap air, namun juga dapat melewatkan udara yang lembab dari dalam tumpukan bambu. Pengembangan penelitian peningkatan kualitas bambu melalui tehnik pengeringan dan pengawetan dilakukan oleh Basri dan Jasni (1995). Pengawetan dilakukan dengan menggunakan bahan pengawet dari jenis pestisida chlorpirifos 400 cc pada 3 tingkat konsentrasi dan borax 4 macam konsentrasi. Bambu-bambu yang telah diawetkan kemudian dikeringkan pada 3 kondisi suhu yang berbeda. Hasilnya menunjukkan bahwa daya tahan bambu terhadap rayap bergantung pada konsentrasi bahan pengawet yang

digunakan. Pengawetan bambu menggunakan chlorpyrifos 400 gr/l atau boraks dapat meningkatkan daya tahan bambu terhadap serangan rayap tanah Captotermes curvignathus dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus. Kualitas fisik dan warna bahan bambu bergantung kepada pemakaian suhu pengeringan. Pengeringan bambu menggunakan suhu sedang (+500C) dapat meningkatkan kualitas bambu dari segi fisik (tidak pecah, kulit tidak mengelupas ataupun mengerinyut). Bambu yang diawetkan dengan boraks pada konsentrasi minimal 4% dan dikeringkan dengan suhu sedang, selain dapat meningkatkan daya tahan bambu tersebut terhadap rayap juga mempunyai kualitas warna lebih cerah dibandingkan dengan bahan pengawet chlorpirifos. C. Stabilisasi warna Usaha peningkatan kualitas bambu sebagai bahan kerajinan anyaman adalah dengan meningkatkan kecerahan warna bambu melalui pemutihan. Bambu tali (Gigantochloa apus) yang mempunyai serat yang ulet dan ruas yang panjang dan sering digunakan sebagai bahan anyaman, telah dipilih oleh Zulnely dan Dahlian (1999) sebagai bahan penelitian pemutihan bambu. Sebagai bahan pemutih digunakan larutan hidrogen peroksida (H2O2) dan digunakan bahan bambu yang berbeda umurnya, pada ruas yang terpisah. Untuk mengetahui kemungkinan perubahan kekuatannya dilakukan uji keteguhan tarik. Hasil derajat pemutihan dan keteguhan tarik bambu tali terdapat pada Tabel 12. Tabel 12. Data derajat putih dan keteguhan tarik bambu tali (Gigantochloa apus) yang telah diputihkan Umur dan bagian bambu 6 bulan - ujung - tengah - pangkal 1 tahun - ujung - tengah - pangkal Derajat putih (%) Diputihkan Tak diputihkan 67,29 68,42 60,51 62,94 56,66 62,69 43,54 44,71 39,42 38,77 36,86 37,36 Keteguhan tarik (kg/cm2) Diputihkan Tak diputihkan 90,87 98,33 164 160,27 186,40 178,53 102 133 248 192 239 210

Sumber : Zulnely dan Dahlian (1999)

Selain pencerahan warna bambu, pada beberapa tujuan produksi kadang ditemukan keinginan untuk menampilkan bambu dalam warna kulit alaminya. Hal ini disebabkan karena kecenderungan kulit bambu untuk berubah warna menjadi kuning setelah melalui proses pengeringan alami. Pengawetan mengenai warna hijau kulit bambu telah dilaksanakan pada bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro.) oleh Barly dan Ismanto (1998). Hasil dari penelitian ini adalah kulit bambu cenderung untuk tetap berwarna hijau sesuai dengan warna alaminya. Pengawetan warna hijau kulit bambu andong dengan menggunakan campuran larutan terusi dan nikel sulfat dengan pengeringan selama 14 - 28 hari. D. Bambu lapis

Penelitian bambu sebagai bahan kayu lapis telah dilakukan oleh Sulastiningsih dan Sutigno, (1992) dalam skala laboratorium, dengan menggunakan sayatan bambu. Jenis bambu yang digunakan dalam penelitian adalah bambu tali. Hasil pengujian beberapa sifat mekanik bambu lapis terdapat pada Tabel 13. Tabel 13. Beberapa sifat fisik dan mekanik bambu lapis No. Macam bambu lapis Kerapatan (g/cm3) 0,81 0,80 buku buku buku buku 0,64 0,66 0,65 0,64 Keteguhan lentur (kg/cm2)

1. Dari sayatan bambu a 3 lapis b 5 lapis 2. Dari pelupuh bambu a Luar berkulit tanpa Dalam tanpa buku b Luar berkulit dengan Dalam dengan buku c Luar tanpa kulit tanpa Dalam tanpa buku d Luar tanpa kulit dengan Dalam dengan buku

1022,48 1324,72 323,49 247,35 326,43 341,20

98,62 351,09 119,14 95,41 89,91 89,31

Sumber : Sulastiningsih dan Sutigno (1992)

Penelitian pembuatan produk majemuk dari bahan bambu telah dilakukan oleh Kliwon (1997). Pembuatan bambu lapis itu menggunakan bahan bambu tali (Gigontochloa apus). Hasil dari penelitian itu menunjukkan bahwa rendemen pelupuh bambu dengan tebal 4,7 mm adalah 67,72% dan rendemen bambu lapisnya adalah sebesar 54,45%. Dimensi bambu lapis yang dibuat telah memenuhi standar Indonesia, sedangkan keteguhan rekat dan kadar air bambu lapis semuanya juga telah memenuhi standar Jepang. Hasil pengujian sifat fisis dan mekanis bambu lapis tercantum pada Tabel 14. Tabel 14. Sifat fisis dan mekanis bambu lapis No. 1. Kadar air (%) Sifat Jenis bahan pengawet b0 b1 b2 b0 b1 b2 b0 b1 b2 b0 Jenis bambu lapis a1 a2 12,26 10,33 11,41 10,21 9,60 10,03 0,70 0,63 0,74 0,64 0,72 0,62 0 0 0 0 0 0 550,33 729,92

2. Kerapatan (g/cm3)

3. Keteguhan rekat (delaminasi, cm) 4. Keteguhan lentur sejajar arah serat a. Modulus patah (kg/cm2)

b. Modulus (kg/cm2)

elastisitas

b1 b2 b0 b1 b2

445,59 415,21 55802,00 46987,80 35659,60

349,91 660,52 86839,30 81992,20 84994,80

Sumber : Kliwon (1997) Keterangan : a1 = 3 lapisan bambu a2 = lap. muka dan belakang bambu dan lap. inti venir meranti merah b0 = kontrol b1 = CCB b2 = Boraks

Pengujian pada bambu lapis menunjukkan hasil yang memuaskan. Modulus patah sejajar serta permukaan bambu lapis semuanya memenuhi standar Jepang, sedangkan modulus elastisitas sejajar serat permukaan bambu lapis mampu memenuhi standar Jepang kecuali pada bambu lapis yang semua lapisannya dari pelupuh bambu dan menggunakan jenis bahan pengawet boraks. Pengaruh perlakuan tunggal dan interaksi jenis bambu lapis dan jenis bahan pengawet yang dipergunakan berpengaruh sangat nyata terhadap sifat modulus patah bambu lapis. Sebaliknya baik pengaruh perlakuan tunggal maupun interaksinya tidak berpengaruh terhadap modulus elastisitas bambu lapis. Dalam pembuatan bambu lapis disarankan memakai lapisan inti dari venir tebal 4 mm untuk memperoleh bambu lapis yang modulus patahnya tinggi. E. Bambu lamina Penelitian mengenai bambu lamina telah dilakukan oleh Sulastiningsih et al., 1996. Penelitian ditekankan pada pengaruh jumlah lapisan dalam pembuatan bambu lamina. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa sifat fisis dan mekanis bambu lamina dari bambu betung tidak dipengaruhi oleh jumlah lapisan (2 - 5 lapis) kecuali keteguhan rekat berdasarkan uji geser tarik dalam keadaan kering (makin banyak jumlah lapisan keteguhan geser tariknya makin tinggi). Selain itu berdasarkan kerapatan, keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu lamina dapat disetarakan dengan kayu kelas kuat II. Adapun besarnya nilai sifat fisis dan mekanis bambu lamina adalah seperti terdapat pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai sifat fisis dan mekanis bambu lamina No. Sifat Jumlah lapisan 2 3 4 10,90 11,45 12,17 0,66 0,73 0,67 1089,35 1031,25 146763 463,46 175592 506,16 999,84 177863 441,84

1. Kadar air (%) 2. Kerapatan (g/cm3) 3. Keteguhan lentur sejajar serat (kg/cm2) - Modulus patah (MOR) - Modulus elastisitas (MOE) 4. Keteguhan tekan sejajar serat (kg/cm2) 5. Keteguhan rekat (kg/cm2)

5 11,86 0,69 961,74 146907 521,55

a. Uji geser tekan - Uji kering - Uji basah b. Uji geser tarik - Uji kering - Uji basah 6. Delaminasi (cm)
Sumber : Sulastiningsih et al. (1996)

85,46 63,63 67,20 26,88 0

107,68 57,26 71,10 22,77 0

95,98 69,45 84,59 23,81 0

105,52 71,40 99,83 28,27 0

Bambu lamina memiliki sifat perekatan yang cukup baik. Apabila dalam pemakaian bambu lamina tidak memperhatikan faktor ketebalan, maka disarankan untuk menggunakan bambu lamina 2 lapis. Informasi mengenai pengaruh posisi sepanjang kolom dan jumlah bahan pengawet yang dilaburkan, terhadap sifat fisis dan mekanis bambu lamina telah dilaporkan oleh Sulastiningsih et.al. (1998). Penelitian tersebut dilakukan pada bambu lamina 3 lapis dari jenis bambu andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaya.) yang direkat dengan perekat urea formaldehyde dan dilaburi dengan cuprinol. Hasilnya menunjukkan bahwa berat jenis bambu tidak dipengaruhi oleh posisi kolom dan kuantitas pelaburan dengan variasi berat jenis berkisar 0,68 - 0,78 g/cm3. Kuantitas pelaburan berpengaruh pada nilai modulus patah (MOR), yaitu semakin banyak pelaburan, makan nilai MOR-nya semakin menurun. Nilai MOR bervariasi antara 630,20 1.111,43 kg/cm2. Posisi kolom bambu mempengaruhi modulus elastisitas (MOE), yaitu semakin ke bawah, nilai MOE bambu lamina semakin besar. Pada umumnya kekuatan perekatan dari bambu lamina adalah baik, tetapi kekuatan perekatan akan menurun bila kuantitas pelaburan bertambah. Berdasarkan berat jenis dan nilai kekuatan perekatan, maka bambu lamina dapat disejajarkan dengan kekuatan kayu kelas II, sementara bila dilaburi dengan Cuprinol sebanyak 3 kali, kualitasnya dapat disejajarkan dengan kayu kelas kuat III. F. Papan semen Berdasarkan penelitian hydratasi, bahan bambu adalah termasuk golongan bahan yang kurang baik sebagai bahan papan wol kayu, tetapi percobaan dengan direndam dahulu selama 2 hari, memperlihatkan hasil yang baik, yaitu dengan suhu maksimum 56C dalam tempo 9 jam. Percobaan pembuatan papan dengan serutannya direndam dahulu dalam air selama 48 jam menghasilkan keteguhan rekat papan semen 21,3% dan keteguhan lengkung 6,4 kg/cm2 (Kamil, 1970). Bahan yang dipergunakan adalah 500 bambu, 500 kg semen dan 200 gr air kapur. Berat jenis papn menjadi 0,42 kekuatan tidak dapat disamakan dengan kayu sebab kekuatan lenturnya sendiri adalah berlainan. G. Arang Pembuatan arang dari bahan bambu telah diteliti oleh Nurhayati pada tahun 1986 dan 1990 masing-masing dengan cara destilasi kering dan cara timbun skala semi pilot. Penelitian tersebut menggunakan bahan empat jenis bambu, yaitu bambu tali (Gigantochloa apus Kurz), bambu ater (Gigantochloa ater Kurz), bambu andong (Gigantochloa verticillata Munro) dan bambu betung (Dendrocalamus asper Back). Hasil

penelitiannya menyebutkan bahwa pada tiap bagian batang bambu dari jenis yang sama terdapat perbedaan berat jenis dan sifat hasil destilasi kering. Arang dari bagian bawah batang pada semua jenis bambu menunjukkan berat jenis dan rendemen arang yang tinggi. Perbedaan letak pada bagian batang bambu ater menunjukkan kecenderungan makin ke atas makin rendah rendemen arang yang dihasilkannya. Bagian tengah atau atas batang dari semua jenis bambu yang dicoba rendemen piroligneous liquor menunjukkan hasil paling tinggi. Untuk bambu andong dan bambu betung rendemen piroligneous liquor yang paling tinggi dihasilkan oleh bagian batang atas, sedangkan pada bambu ater dan tali rendemen tertinggi dihasilkan pada bagian tengah batang. Hasil pengamatan sifat arang dari empat jenis bambu dapat dilihat pada Tabel 16, sedangkan Tabel 17 menunjukkan sifat arang bambu dengan cara timbun. Tabel 16. Berat jenis dan rendemen destilasi kering 4 jenis bambu No. Bambu Bagian batang Bawah Tengah Atas Bawah Tengah Atas Bawah Tengah Atas Bawah Tengah Atas Berat jenis 0,51 0,47 0,42 0,74 0,72 0,61 0,72 0,72 0,67 0,45 0,38 0,37 Rendemen (%) Ter Piroligneous 7,72 36,19 5,93 31,25 7,64 36,85 9,06 44,39 5,48 70,22 5,18 18,87 7,17 35,67 5,29 30,24 7,09 40,99 6,01 44,10 4,72 59,27 6,90 39,04

1. Andong

2. Ater

3. Bitung

4. Tali

Arang 40,57 30,73 36,17 43,46 37,48 24,77 40,09 34,81 37,04 39,27 33,52 39,18

Sumber : Nurhayati (1986)

Tabel 17. Sifat arang bambu No. 1. 2. 3. 4. 5. Bambu Andong Ater Bitung Tali Bakau Berat jenis Kadar air (%) Abu (%) 0,48 0,65 0,53 0,40 4,60 6,66 4,28 7,08 5,41 7,38 5,55 7,46 5,64 4,48 Zat mudah terbang (%) 23,32 12,39 33,68 14,01 17,81 Karbon terlambat (%) 69,30 82,06 54,86 80,35 77,30

Sumber : Nurhayati (1986) Keterangan : Berdasarkan berat kering oven

Sifat hasil destilasi kering dari empat jenis bambu yang dicoba tidak menunjukkan perbedaan nyata. Nilai rata-rata rendemen arang adalah 36,05%, piroligneous 40,58% dan tar 6,55%. Sifat arang dari empat jenis bambu yang dicoba menunjukkan

perbedaan nyata. Berat jenis arang paling tinggi dihasilkan oleh bambu ater (0,62 g/cm3) dan yang paling rendah bambu tali (0,25 g/cm3). Kadar abu paling tinggi terdapat pada bambu betung (7,46%) dan paling rendah pada bambu lati (5,65%). Kadar zat mudah terbang paling tinggi pada bambu tali (24,43%) dan paling rendah pada bambu betung (17,06%). Kadar karbon tertambat paling tinggi terdapat pada bambu betung (75,54%) dan paling rendah pada bambu tali (69,78%). Nilai kalor arang yang dihasilkan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata tetapi berbeda nyata menurut bagian batang. Nilai kalor arang rata-rata 6602 cal/g. Nilai kalor yang dihasilkan oleh bagian bawah bambu andong, ater dan tali menunjukkan paling tinggi. Nilai kalor arang bambu tali menunjukkan perbedaan sangat nyata pada tiap bagian batang dengan kecenderungan makin keatas batang makin rendah nilai kalornya. Berdasarkan perbandingan antara keempat jenis bambunya, dapat ditentukan bahwa bambu ater paling baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan arang. Proporsi yang tinggi diperoleh dari rendemen arang yang berkualitas baik. Sedangkan rendemen arang mentah dan bubuk, proporsinya paling rendah. Sifat arang bambu yang dihasilkan umumnya relatif sama dengan sifat arang dari kayu bakau. Sifat arang bambu ater dan bambu tali lebih baik dari sifat arang bambu andong dan bambu betung. Pembuatan arang aktif dari bahan bambu telah diteliti oleh Nurhayati (1994). Serpihan contoh bambu diaktivasi dan dikarbonisasi dalam ukuran 0,2 - 0,5 cm dalam kondisi kering. Aktivasi dilakukan dengan perendaman serpih dalam larutan asam fosfat 20% selama 24 jam, setelah itu contoh ditiriskan tinggal setengah kering, lalu dimasukkan ke dalam retort dan di panaskan sampai suhu 900C selama 3 - 4 jam. Selanjutnya diaktivasi lagi dengan uap panas selama 1 jam. Arang aktif yang dihasilkan dengan cara ini dianalisa sifat absorpsinya terhadap iodine dan hasilnya tercantum dalam Tabel 18. Tabel 18. Sifat arang aktif bambu andong dan bambu betung No. 1. Andong 2. Betung
Sumber : Nurhayati (1994)

Bambu

Aktivasi kimia jenis/jam H3PO4 / 24 H3PO4 / 24

uapC/jam 900 / 1 900 / 1

Rendemen (%) 15,7 16,6

Daya serap iodin mg/g 1150 1004

Arang aktif bambu andong dan betung menghasilkan absorpsi tinggi dengan angka melebihi standar AWWS dan SII, serta masuk dalam kisaran kelompok arang aktif komersial. Jika dibandingkan dengan arang aktif yang dibuat dari arang bakau dan arang tempurung kelapa, angka absorpsi jauh lebih tinggi arang aktif dari bahan bambu andong dan betung. H. Pulp Bahan bambu memiliki kandungan selulosa yang sangat cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon, bahkan China sangat mengandalkan bahan bambu sebagai bahan baku industri kertasnya. Pemanfaatan bambu sebagai bahan kertas di Indonesia telah diterapkan pada industri di Gowa dan banyuwangi, tetapi karena menemui beberapa

kendala dalam pengadaan bahan baku, maka perusahaan kertas itu lebih banyak menggunakan bahan baku lain. Adapun penelitian dengan menggunakan campuran antara bahan bambu dengan kayu daun lebar telah dilakukan oleh Pasaribu dan Silitonga (1974). Kayu daun lebar yang digunakan sebagai campuran adalah kayu jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) dan kemiri (Aleurites moluccana Wild.), sedangkan bahan bambu yang digunakan adalah bambu duri (Bambusa bamboss Backer.), bambu paring (Gigantochloa atter Kurtz.), bambu popo (Dendrocalamus asper Backer.) dan bambu banoa (Bambusa vulgaris Schrad.). Pulp yang dihasilkan dari 100 % bahan bambu mempunyai bilangan permanganat dan faktor retak yang terendah tetapi mempunyai kekuatan sobek yang tertinggi. Untuk pulp dengan campuran 70% kayu jabon dan 30% bambu mempunyai daya regang tertinggi. Sedangkan faktor retak tertinggi dicapai pada campuran 35% kayu jabon, 35% kayu kemiri dan 30% bambu. Pada umumnya rendemen yang diperoleh termasuk dalam kriteria tinggi yaitu antara 41,24% - 47,14%. Rendemen tertinggi untuk campuran 70% kayu kemiri dan 30% bambu didapat dengan menggunakan aktif alkali 16% dan sulfiditi 22%. Tetapi pada campuran 50% kayu jabon dan 50% bambu yang dimasak pada aktif alkali 16%, sulfiditi 22% dan 25% memberikan rendemen yang rendah. Secara keseluruhan pulp hasil campuran kayu dan bambu ini mudah diputihkan. Hal ini tampak pada nilai bilangan permanganat yang rendah yaitu antara 7,38 sampai 12,85. Kecuali untuk pulp yang dihasilkan dari campuran 50% kayu jabon dan 50% kayu kemiri yang diolah pada aktif alkali 16% dan sulfiditi 22% dan 25% memberikan nilai bilangan permanganat yang tinggi, antara 14,23% sampai 16,01%. Penilaian rendemen dan sifat fisiko-kimia pulp yang diperoleh dari berbagai komposisi kayu dan bambu adalah bahwa pulp yang yang didapat dari campuran bambu 100% menunjukkan nilai terbaik dalam bilangan permanganat dan kekuatan sobek. Campuran 70% kemiri dan 30% bambu menghasilkan rendemen tertinggi, sedangkan campuran 70% jabon dan 30% bambu menunjukkan nilai tertinggi pada daya regang. Faktor retak tertinggi didapat dari campuran 35% kayu jabon, 35% kayu kemiri dan 30% bambu. Pemasakan campuran kayu jabon, kayu kemiri dan bambu dapat dilakukan tanpa mengurangi sifat kekuatan pulp secara keseluruhan. Untuk mendapatkan rendemen dan sifat kekuatan pulp yang baik, kondisi pemaskan yang dianjurkan adalah pada aktif alkali 16%, sulfiditi 22%, waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu maksimum 165C dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 : 4,5. Sedangkan kondisi yang dianjurkan untuk memasak campuran kayu jabon dan kemiri adalah dengan menggunakan aktif alkali 16%, sulfiditi 25%, waktu pemasakan 2,5 jam pada suhu 165C dan perbandingan kayu larutan pemasak 1 : 4,5. I. Barang kerajinan Sebagai bahan kerajinan bambu sama dengan kayu, merupakan bahan mentah yang peka terhadap pengaruh luar baik yang bersifat fisis, kimiawi, maupun biologis. Bahan pengawet dan pemantap dan perekat sering digunakan dalam pembuatan barang kerajinan kayu dan bambu. Hasil pengerjaan permukaan bambu dengan sirlak, teak oil, vernis, pelaburan cat dan penyemprotan dengan cat duco sebagai bahan kerajinan tidak dipengaruhi oleh adanya bahan pengawet borax, tetapi bahan pemantap PEG mempengaruhi pengerjaan bambu

dengan teak oil. Selain itu perekatan dengan kasein dan neopren mempengaruhi pengerjaan permukaan bambu dengan sirlak dan vernis (Abdurrachman, 1977). Hasil pengerjaan permukaan bambu terdapat pada Tabel 19. Tabel 19. Rekapitulasi hasil pengerjaan permukaan bambu Permukaan bambu oil Vernis Cat biasa Cat duco c d a b c d a b c d a b c d 0 0 0 0 - 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

No.

Jenis bambu a 0 0

1. Bambu apus 2. Bambu hitam

Sirlak Teak b c d a b 0 - 0 0 + 0 0 0 0 +

1001 Manfaat Daun Bambu Untuk Kesehatan

Ekstrak Daun Bambu Sehatkan Jantung


Masih banyak orang yang belum tahu, daun bambu termasuk herbal potensial. Kandungan flavonoidnya cukup tinggi. Di Cina, ekstrak daun ini dimanfaatkan untuk melindungi jantung. Selama ini, bagian tanaman bambu yang disering dimanfaatkan adalah batangnya. Daun dan bagian lainnya cuma jadi limbah. Berbeda dengan yang berlaku di Cina. Di Negeri Tirai Bambu, daun bambu justru memiliki sejarah pengobatan dan pangan yang panjang. Manfaat daun bambu pertama kali diungkap dalam kitab Ming Yi Bie Lu (Catatan Dokter Ternama), yakni untuk meluruhkan dahak serta meredakan batuk dan susah napas. Khasiat lain di antaranya adalah menetralkan racun dalam tubuh. Kamus Besar Herbal Cina juga menuliskan bahwa daun bambu berfungsi

mengeluarkan panas, ampuh mengembalikan cairan, dan bersifat diuretik (melancarkan air seni). Tahun 1998, daun bambu dikategorikan oleh Badan Kesehatan Cina dalam daftar herbal alami untuk obat dan pangan. Sejuk dan Harum Jenis tanaman bernama Latin Phyllostachys nigra ini tumbuh di daerah Sungai Yangtze, tepatnya di Cina bagian selatan. Pakar kedokteran Cina kuno mendeskripsikan fungsi obat dan pangan daun bambu dalam kitab Yao Pin Hua Yi atau kitab penggalian arti herbal-herbal, yakni bersifat sejuk, harum, dapat masuk ke meridian jantung, rasanya pahit dan sejuk, chi-nya juga sejuk. Penelitian menunjukkan, daun bambu mengandung banyak zat aktif, yakni flavonoid, polisakarida, klorofil, asam amino, vitamin, mikroelemen, dan sebagainya, sehingga baik untuk menurunkan lemak darah dan kolesterol. Juga bisa menurunkan oksidasi antioksidan atau radikal bebas, sebagai bahan antipenuaan, serta mampu menjaga stamina dan mencegah penyakit kardiovaskular. Muliadi Lim OMD-oriental medical doctor dari Shanghai TC University mengungkapkan, kandungan flavonoid daun bambu memiliki efek positif pada kemoterapi terhadap sumsum tulang dan imunitas tubuh, bisa memperbaiki aliran mikrovaskular bagi penderita jantung, fungsi trombosit, dan peredaran darah di otot jantung. Mirip Hemoglobin Pakar kesehatan dari Jepang meyakini susunan flavonoid daun bambu mirip susunan hemoglobin. Karena itu, daun bambu bisa langsung disuntikkan ke dalam vena dan dapat meningkatkan efisiensinya. Flavonoid daun bambu juga aman, tak beracun. Uniknya, flavonoid daun bambu merupakan sumber daya domestik flavonoid pertama yang ditemukan di negeri Cina dan telah dipatenkan secara resmi. Badan Kesehatan di Provinsi Zhe Jiang-Cina, melalui tes toksiologi, melakukan uji oral ekstrak daun bambu pada tikus dengan dosis LD50, yang lebih besar dari 10g/kg berat badan tikus. Hasilnya daun bambu bebas racun. Benarkah kandungan flavonoid daun bambu mampu menyehatkan jantung? Sebuah penelitian secara khusus dilakukan guna mengungkapkan manfaat flavonoid daun bambu terhadap pembuluh darah dan aliran darah pembuluh koroner. Variasi penelitian dengan dosis tinggi, menengah, dan rendah, flavonoid daun bambu terbukti dapat memperlancar aliran darah koroner dari jantung Cavia cobaya (sejenis tikus) yang terpisah dengan badannya. Perhitungan terhadap grup dan masing-masing anggota grup mempunyai perbedaan yang signifikan, bertambah seiring dengan besarnya dosis. Dosis tinggi, menengah, dan rendah flavonoid daun bambu dapat menambah daya kontraksi otot jantung dan perhitungan terhadap grup juga mempunyai perbedaan yang jelas. Efek dari grup dosis kecil (2,5 mg/ml) menerangkan hasil positif bagi fungsi fisiologi normal arteri koroner dan berpotensi mencegah terjadinya gangguan jantung. Sejak tahun 1998, ahli di Cina telah banyak melakukan penelitian terhadap fungsi flavonoid daun bambu untuk menghambat oksidasi lemak. Contohnya, campuran segelas minuman cokelat dengan 1 persen ekstrak daun bambu secara signifikan meningkatkan antiradikal bebas sekaligus melindungi aktivitas vitamin A dan E. Di pasar dalam negeri produk ekstrak daun bambu relatif belum banyak. Biasanya

dalam bentuk tablet maupun sejenis makanan ringan yang dapat dikonsumsi, layaknya jajanan. Karena dalam bentuk ekstrak, tentu diperlukan sikap hati-hati dalam mengonsumsinya. Cara terbaik untuk mengurangi risiko, perhatikan legalitas produk seperti ada tidaknya sertifikasi dari Badan POM. Manfaat Bambu dari Zaman ke Zaman Berbagai kitab herbal, kitab obat klasik, dan farmakop Cina mencatat khasiat bambu dalam menyembuhkan penyakit. Di antaranya: - Bie Lu. Daun bambu bersifat dingin, tidak beracun, untuk mengobati rasa panas di dada dan batuk. - Sheng Hui Fang. Bubur daun bambu bisa menyembuhkan jantung panas pada anak kecil atau tidak sadarkan diri. Ramuannya: daun bambu 60 g, beras secukupnya, dan 15 g yin chen (wormwood/Artemisiae scopariae) dibuat bubur. - Kitab Terapi Herbal. Daun bambu mampu menyembuhkan batuk, haus, dahak, radang tenggorokan, dan menghilangkan rasa panas. - Ben Cao Qiu Zhen. Daun bambu bisa menyegarkan hati, menghangatkan limpa, menghilangkan riak dan dahaga, angin jahat, batuk, sesak, muntah darah, stroke ringan, dan lain lain. - Yao Pin Hua Yi. Kitab yang dikenal sebagai Kitab Definisi Obat ini mencatat, daun bambu menyegarkan, agak pahit, mampu menetralkan semua chi dingin dan panas. - Jing Yue (Kitab Herbal Klasik). Daun bambu, dengan aromanya yang ringan, bisa menetralkan rasa panas, terutama chi di jantung. Merupakan obat yang baik, terutama untuk mengobati dahaga karena hari panas, membersihkan sputum/riak di dada, meredakan rasa dingin dan lemah, batuk, dan asma. Hanya daun bambu yang bisa memasuki kandung empedu dan membawa chi netral ke dalam paru-paru untuk mengeluarkan panas. - Ben Jing Feng Yuan. Dalam Kitab Herbal Klasik Shennong ini tertulis daun bambu menyembuhkan salah urat, luka, dan membunuh parasit. - Kamus Besar Obat Cina. Daun bambu meredakan rasa cemas dan panas, serta melancarkan buang air kecil.@ Lalang Ken Handita sumber : KOMPAS.com

Manfaat Bambu Muda Untuk Kesehatan - Forum Jual Beli, forumjualbeli.NET

Dibanding sayuran lain seperti sawi atau brokoli, bambu muda alias rebung terdengar kurang bergengsi. Namun dilihat dari kandungannya, makan rebung bisa memberikan banyak manfaat mulai dari menurunkan berat badan hingga mencegah kanker.

Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety mengungkap, rebung banyak mengandung antioksidan. Kandungan ini bisa menangkal radikal bebas, senyawa berbahaya yang bisa memicu pertumbuhan kanker. Menurut penelitian tersebut, jenis antioksidan yang terdapat dalam rebung adalah fitosterol. Ilmu pengobatan tradisional China mengatakan, herbal dengan kandungan ini juga bisa dimanfaatkan untuk menurunkan kadar kolesterol jahat dalam darah. Selain antioksidan, kandungan serat yang tinggi pada rebung juga bisa mengurangi risiko kanker khususnya di saluran pencernaan. Di dalam usus, serat bisa berfungsi sebagai sikat yang akan menyingkirkan berbagai pengotor sekaligus pemicu kanker. Bagi yang sedang berusaha melangsingkan tubuh, serat membuat perut terasa kenyang lebih lama sehingga nafsu makan lebih mudah dikendalikan. Serat juga sulit atau kadang bahkan tidak bisa dicerna oleh tubuh sehingga tidak akan membuat gemuk.

Dalam menunjang program diet, kelebihan lain dari rebung adalah kandungan lemak dan gulanya yang rendah. Sebagai gantinya, sayuran ini banyak mengandung protein yang berfungsi untuk menjaga kesehatan sel-sel di dalam tubuh supaya bisa berfungsi dengan baik. Meski banyak manfaatnya, konsumsi rebung sebagai sayuran hanya populer di Asia. Dikutip dari The Independent, Senin (6/6/2011), konsumsi rebung di seluruh dunia hanya sekitar 2 juta ton/tahun dengan kontribusi terbesar adalah China yakni 1,3 juta ton/tahun.

Manfaat Bambu Eul-Eul Untuk Mengatasi Berbagai Penyakit


August 25th, 2010 | 2 Comments

DARI sekian banyak pengobatan alternatif yang hadir di Tanah Air, fenomena air bambu eul-eul memiliki keunikan sendiri karena meski terlihat biasa saja, ternyata air ini berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit. Air yang dihasilkan dari bambu eul-eul (Nastus clegantissimus) melalui proses osmosis di dalam bambu sehingga mengandung mineral dan oksigen berkadar

tinggi. Adapun bambu eul-eul adalah salah satu jenis tumbuhan bambu yang biasa tumbuh di daerah tropis. Bambu bul-eul berbeda dengan jenis bambu lain karena mengandung air mineral di dalam ruas-ruasnya dan hanya tumbuh di daerah tertentu. Seperti di hutan Jawa Barat dengan ketinggian 1.200 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut. Bambu Eul-eul adalah salah satu jenis tumbuhan bambu yang biasa tumbuh di daerah tropis. Perbedaan antara Bambu Eul-eul dengan jenis bambu lain diantaranya :

Bambu Eul-eul mengandung air mineral mineral di dalam ruas-ruasnya, Bambu EUl-eul tumbuh tidak berumpun atau hanya tumbuh beberapa batang diantara puluhan bahkan ratusan tumbuhan bambu yang lain, Bambu Eul-eul hanya tumbuh di daerah tertentu misalnya di Indonesia, Makin ke atas batangnya makin besar dan ruas-ruasnya makin panjang, Bambu Eul-eul akan akan makin condong atau merunduk ke bawah seiring bertambahnya usia tumbuhan tersebut karena ruasnya berisi air mineral. Seperti halnya tanaman padi Makin tua makin merunduk. Selama ini, bambu yang hanya diketahui sebagai bahan dasar furnitur, mebel, pertukangan, kerajinan, rumah, pagar, atau sebagai tanaman hias di halaman rumah, ternyata memiliki khasiat istimewa bagi kesehatan tubuh. Air mineralnya dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif alami dan sebagai penambah stamina.

Setelah dilakukan uji klinis, ternyata bukan hanya air yang ada di dalam ruasnya yang berkhasiat sebagai obat alternatif, melainkan batang hingga ujung akarnya juga mempunyai manfaat tertentu. Bambu eul-eul yang tumbuh di semak belukar, meski satu rumpun, kadang-kadang air yang ada di dalam ruasnya mempunyai aroma dan warna yang berbeda dan rasanya tetap tawar. Perbedaan aroma dan warna tersebut sama sekali tidak mengurangi khasiat dari air mineral bambu euleul itu. Dalam mengonsumsi air eul-eul, sebenarnya tidak ada dosis atau aturan bakunya. Karena, semakin banyak meminum air mineral bambu eul-eul, khasiatnya pun semakin baik. Beberapa pasien yang telah mengonsumsi air eul-eul dapat sembuh dengan cepat padahal penyakit yang dideritanya cukup parah. Ada pula yang mempunyai penyakit ringan, tapi waktu yang diperlukan untuk sembuh relatif lebih lama. Karena itu, tidak ada dosis atau aturan baku dalam meminum air euleul sebagai obat alternatif alami.

Você também pode gostar