Você está na página 1de 14

SEJARAH PEREKONOMIAN SITUASI POLITIK DAN PEMERINTAHAN JAWA PADA AWAL ABAD KE-19

VOC yang didirikan tahun 1602, secara resmi dibubarkan pada 31 Desember 1799, dan kekuasaan di Jawa diambil alih oleh Belanda, pengambil alihan ini untuk sementara waktu tidak tidak dirasakan dampaknya karena birokrasi VOC seperti koopman (pedagang) tetap dipertahankan.
A.

Struktur Pemerintahan Struktur pemerintahaan di pulau Jawa pada saat itu dibagi menjadi empat wilayah berdasarkan pertimbangan etno-linguistik dan historis:
1. 2. 3. 4.

Jawa Barat atau Pasundan Jawa Tengah Utara atau Pesisir Jawa Tengah Selatan Jawa Timur atau Ujung Timur

1.

Jawa Barat atau Pasundan Umumnya didiami orang-orang berbahasa Sunda, dengan sekelompok minoritas orang Jawa dan orang Belanda. Pemerintahan Belanda secara efektif dimulai dari sini, dari Jawa Barat. Pada tahun 1800 daerah ini dibagi menjadi empat wilayah dengan tingkat hubungan langsung dengan pemerintah Belanda yang berbeda-beda, empat wilayah tersebut adalah:

a.

Pertama adalah kota Batavia dan sekutarnya Daerah ini adalah markas besar gubernur jendral dan pusat kekuasaan Belanda di Jawa, mayoritas penduduknya adalah non-Jawa, yang terdiri atas orang Belanda, Cina, dan beberapa elompok etnis indonesia bukan Jawa.

b.

Kedua adalah daerah sekitar Batavia (Omelanden) Daearah ini merupakan tempat orang-orang Belanda dan Cina yang makmur mengelola tanah milik pribadi yang mirip perkebunan, walaupun secara formal daerah ini diperintah oleh pejabat-pejabat yang tinggal di Batavia, tapi pada kenyataannya dikuasai oleh pemilik perkebunan dan wakil mereka.

c.

Ketiga adalah Daerah Priangan Daerah ini lebih merupakan suatu daerah yang tidak begitu langsung dibawah kekuasaan Belanda, daerah ini diperitah oleh bupatinya yang di zaman dulu adalah wakil dari sunan Mataram. Pada abad ke-17 VOC menjadi tuan besar meraka yang diwakili oleh Komisaris Urusan Pribumi, yang bertempat tinggal di Batavia.

d.

Ke-empat adalah daerah yang tidak berada langsung di bawah Belanda Daearh tersebut adalah Kesultanaan Banten di sebelah Barat dan Kesultanan Cirebon di Bagian Timur Batavia. Di kedua wilayah itu, VOC diwakili olrh seorang residen. Walaupun para sulatan mengakui VOC sebagai pnguasa mereka yang berdaulat, pengaruh sultan di dalam urusan lokal masih sangat besar, walaupun kedua sultan tersebut di geser dari kedudukan mereka, masing-masing pada tahun 1810 sampai 1813, dan pemerintahan Banten serta Cirebon disejajarkan dengan Kerasidenan-kerasdienan pesisir, para pemimpin lokal tetap menentang kekuasaan Eropa atas nama kedua Sultan itu.

2.

Jawa Tengah Utara atau Pesisir Setelah seluruh pantai utara Jawa jatuh dari Mataram ketangan Belanda pada tahun 1743, pejabat Belanda tertinggi adalah Gubernur Pantai Timur Laut yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur-jendral, di kota-kota pesisir yang cukup penting (Tegal, Pekalongan, Rembang) VOC diwakili oleh residen, yang bertanggung jawab kepada Gubernur Pantai Timur Laut, dan penguasa Jawa paling tinggi adalah para Bupati yang sebelum tahun 1743 adalah wakil lokal Sunan Mataram. Di sini Surabaya yang untuk tujuan praktis dianggap sebagai bagian dari Jawa Tengah Utara, merupakan kekuasaan Pamong Praja dari Ujung Timur Jawa, yang merupakaan kekuasaan khusus, kedudukannya yang khusus ini diperoleh karena situasi yang khusus juga, yaitu wilyah ujung Timur Jawa yang penduduknya sedikit dan kekuasaan Belanda yang yidak efektif Ditegakan.

3.

Jawa Tengah Selatan Adalah wilayah Pantat dari wilayah Mataram yang pernah Sangat Berkuasa, namun pada 1755 perang Suksesi berakhir dengan pembagian Wilayah Mataram Menjadi dua pemerintahan, Yaitu Solo di bawah pemerintahan Susuhunan, dan Yogya di bawah kekuasaan Sultan. Pada kedua istana ini, VOC diwakili residen atau menteri, pengaturan ini memliki pengaturan tertentu dengan Banten dan Cirebon, tetapi perimbangan kekuasaan berbeda dengan Banten dan Cirebon, pada kedua kerajaan ini para residen lebih bebas melakukan gerakan politik. VOC adalah penguasa kedua kerajaan secara formal, akan tetapi pada kenyataannya para raja sering bertindak sesuai keinginannya, walaupun Gubernur-jendral Belanda telah menegur dengan serangkaian ekspedisi hukuman tidak meredakan mereka.

4.

Jawa Timur atau Ujung Timur Seperti yang telah disebutkan bahwa ujung timur memiliki kekuasaan khusus yaitu Pamong Praja karena situasinya yang khusus, di wilayah ini sangat jarang penduduknya, dan sampai tahun 1775 kekuasaan Belanda tidak ditegakan, walaupun daerah ini secara formal telah diserahkan pada Belanda bersama denngan daerah Pesisir pada tahun 1743. Setelah masa itu, sejumlah distrik penaruka, dan Besuki di serahkan pada orang Cina kaya untuk digarap, dan pada tahun 1810 Gubernur-jendral Daendeles menjual wilayah ini dan Kbupaten Probolinggo pada orang-orang Cina, di luar wilayah itu, diperintah oleh wakil VOC dengan pangkat militer (Pasuruan, dan Banyuwangi), dan tingkat pemerintahan tertinggi untuk orang jawa adalah Bupait, namun di sini tidak semua Bupati adalah orang Jawa. Pulau Madura punya status khusus. Kedua kabupaten sebelah timur yang telah diserahkan ke Belanda yaitu Pamekasan dan Sumenep pada tahun 1705, dan kabupaten Madura pada tahun 1743. Dari segi status para bupati mendapat gelar panembahan, lebih tinggi bupati di Jawa. Pada tahun 1853, 1858, dan 1883 secara berurutan Kabupaten Maduar, Pamekasan, dan Sumenep kehilangan status khusus mereka, antara

tahun 1810 sampai 1815, wilayah Ujung Timur kehilangan kedudukan khususnya: Besuki, Panarukan, dan Probolinggo dikembalikan, dan residen sipil menjadi komandan militer. Jabatan Pamong Praja dihapuskan. Dan tahun 1800-1815, Banten dan Cirebon kehilangan statusnya yang semimandiri. Solo dan Yogya diperkecil menjadi satuan politik yang lebih rendah, dan kurang mempunyai kekuasaan politik. Ini kebanyakan adalah dari kebijakan Daendeles dan Raffles yang bertindak yang mengubah secara darastis struktur politik dan pemerintahan Jawa. Penyatuan wilayah Jawa walaupun masih sangat dini, tapi pada dasarnya telah dicapai.
B.

Pemerintahan Bupati Ketika sunan Mataram masih mempunyai kekuasaan atas sebagian besar Pulau Jawa, kerajaanya di bagi sebagai berikut:

a.

Bumi Narasuwita Dalem Bumi Narasuwita Dalem adalah distrik atau desa yang membayar upetinya langsung kepada penguasa, daerah ini diperintah oleh pejabat istana yang bertanggung jawab langsung kepada sunan,bagian paling penting berada pada ibu kota, sedangkan bagian lainnya tersebar di Jawa Tengah. Sekitar tahun 1800 bumi Narasuwita Dalem tetap dikuasai raja, kecuali daerah kalang, yang menjadi wilayah pesisir, dan setiap kabupaten yang memiliki daerah kalang maka harus membayar yang disebut uang-kalang kepada kompeni.

b.

Daerah lungguh Terdiri atas bekas Kerasidenan Kedu, Bagelan, Yogya, dan Solo yang disebut Nagarung, daerah tersebut dibagikan kepada bangsawan dan pegawai istana yang berhak untuk mengumpulkan upeti, di tingkat lokal mereka di wakili demang atau bekel. Lungguh adalah hak atas sejumlah pajak tertentu, dipungut dari desa yang tersebar luas. Pada tahun 1812 setelah Kedu dihapuskan banyak desa yang terbagi-bagi di antara sejumlah bekel, dan bekel ini menjadi pemilik wilayah desa tersbut, ia adalah seorang petani kaya, juga bisa disebut kepala desa atau lurah.

c.

Daerah pajak tidak langsung. Pada tahun 1812 Kedu diambil alih oleh Rafles yang mengakibatkan perlunya didirikan daerah lungguh di luar daerah Nagarung untuk memenuhi kebutuhan para bangsawan. Daerah tersebut yaitu Banyumas, Madiun, dan Kediri. Sebelum tahun 1743, daerah yang luas yang bukan termasuk Bumi Narasuwita Dalem dan Lungguh merupakan daerah pajak tidak langsung. Karena upeti di daerah ini dibayarkan kepada bupati, selanjutnya bupati ini harus menyisihkan upeti tadi untuk sunan. Pada tahun 1800, kebanyakan daerah pajak tidak langsung dikuasai oleh Belanda, kecuali daerah mancanegara (Banyumas, Madiun, dan Kediri) yang masih dikuasai oleh orang pribumi (Mataram).

Sebelum zamannya Marsekal Daendels, para bupati umumnya ditunjuk dari keluarga yang sama di distrik yang sama. Jika seorang bupati bersalah karena perilaku yang salah atau tidak mampu, maka akan digantikan oleh saudaranya. Tetapi jika bupati bersalah karena pemberontakan atau bergabung dengan musuh, maka hak dan gelarnya dicopot dan diberikan kepada orang lain. Di wilayah pesisir, kini bupati memerintah kabupatennya atas pengangkatan kompeni, dan upeti yang dulunya dibayarkan kepada sunan kini dibayarkan kepada VOC. Walaupun struktur pajak dan pemerintahan di Jawa Barat, Banten, Periangan dan Cirebon banyak hal yang sama dengan Mataram, perbedaan yang paling penting dengan daerah Mataram adalah adanya kepemilikan tanah oleh para bangsawan (bukan hak atas hasil tanah, sebagaimana di Mataram), tanah-tanah ini bukanlah tanah upeti yang dapat diperoleh kembali oleh para penguasa. Bahkan setelah sultan Banten dan Cirebon digeser, pemilik tanah ini tetap. Para pemilik lungguh bukanlan satu-satunya pejabat tinggi yang menyerahkan semua tanahnya kepada penawar yang paling tinggi, hal yang sama terjadi di daerah pajak tidak langsung dibawah VOC (pesisir). Sekitar tahun 1800 banyak bupati menyewakan sejumlah besar desa kepada orang Cina. Pada kenyataanya, penguasa tertinggi (VOC) menyerahkan tanah-tanh berpenduduk jarang di Ujung Timur Jawa kepada kapten Cina dari Surabaya Han Tjan Pit untuk digarap. Dua distrik berada di bawah bupati orang Cina, adalah saudara kapten Cina dari Surabaya itu. Besuki dan Panarukan, yaitu distrik-distrik yang disewakan kepada Han Tjin Pit menarik banyak penghuni. Baik Gubernur Pantai Timur Laut maupun Gubernur Jendral Daendels terkesan oleh kemkmuran wilayah tersebut. Sebuah distrik tetangga, Probolinggo, dijual kepada Han Tik Ko, saudara Han Tjan Pit. Di Probolinggo, Han Tik Ko mengikuti prosedur yang diterapkan di Besuki dan Panarukan, dengan menyingkirkan bupatinya dan pejabat-pejabat perantara. Pada bulan Mei 1813 karena Han Tik Ko tewas dibunuh oleh kerabat bupati dan para kepala yang tidak puas dan dipecat dari jabatannya, maka Rafles dengan sendirinya membatalkan penjualan ketiga distrik itu.

C.

Beban Pajak Berkuasa berarti memungut pajak, pajak dalam bentuk tertentu pada banyak masyarakat merupakan bentuk pengerukan hasil, dan karena itu pajak merupakan suatu unsur paling penting dalam perkembangan ekonomi. Di Jawa Pada sekitar tahun 1800 pajak di bagi menjadi beberapa kelompok, antara lain:
a. b. c. d. e. a.

Pajak bumi Pajak untuk mendapatkan hak memilih (pajak kepala) Pajak bisnis Pajak tetap lainnya Pajak tidak tetap Dalam masyarakat agraris, tanah dan hasilnya merupakan sumber paling penting dari pajak fiskal, di Jawa tanah garapan dapat

Pajak bumi dibagi menjadi : sawah, tegalan, gaga atau pegagan.


1.

Sawah Di kabupaten-kabupaten yang berada di bawah VOC, pajak ini sering disebut kuota padi, pajak ini dipungut dari sawah dan sering dinyatakan dalam jumlah padi, jumlah pajak yang dibayarkan tergantung pada kualitas lahan yang digarap, dan suatu perkiraan mengenai hasil rata-rata suatu kelompok. Pajeg adalah padi yang jumlahnya telah baku, berdasarkan produktivitas ratarata, dan bukan berdasarkan pada hasil nyata, akan tetapi jika panennya gagal maka akan diberikan potongan atas pajak itu. Beberapa sumber menunjukan bahwa pajeg bisa mencapai setengah dari hasil rata-rata jika tidak dibutuhkan tenaga kerja tambahan, setengah dari hasil rata-rata tersebut setelah di kurangi bawon (bagian yang diperoleh pemanen) biasanya seperlima atau seperenam, dan bekel juga seperlima, kalau digeneralisaikan maka pajeg pasti berjumlah sepertiga hasil rata-rata.

Pajeg dapat dilakukan dalam bentu uang atau barang, tetapi di Pesisir biasanya dalam bentuk padi, karena bupat di sana harus memenuhi kuota. Banyak bupati mengalami kesulitan memenuhi kouota, kalau pajak biasa tidak berhasil mengumpulkan cukup padi untuk memenuhi kuota, bupati tersebut harus membeli padi di pasar untuk memenuhi kuota, dan tentu saja harganya lebih mahal dari yang dibayarkan VOC, bisanya para bupati meminta pajak tambahan berupa uang tunai untuk mengganti kerugian tersebut.
2.

Tegalan atau Pegagan Pajak yang dikenakan tentunya lebih kecil dari pajak sawah, rata-rata sepersepuluh untuk sepertiga dari hasil sawah rata-rata, di daerah yang tegalannya ditanami dengan tanaman bernilai tinggi seperti tembakau pajak bisa mencapai jumlah yang lebih tinggi. Kalau tegal atau gaga merupakan sampingan maka akan dipungut uang pengakuan yang jumlahnya kecil, hewan ternak juga dikenai pajak, akan tetapi dikenakan pada tuan tanah. Dengan demikian dalam semua jenis pajak di ata, hanya orang-orang yang memiliki tanah garapan dan pekarangan yang terkena

pajak-pajak tersebut.
b.

Pajak untuk hak memilih (pajak kepala) Pajak ini berlaku untuk semua rumah tangga sejauh rumah tangga tersebut tidak miskin, tidak seperti pajak bumi. Ada suatu pajak bangunan yang disbut grabag, petek, atau plawang, pada dasarnya pengertiannya sama, tapi petek dipungut berdasarkan kekayaan, dan grabag sama untuk semua orang. Ketika pada tahun 1743 Pesisir diambil alih VOC, mereka sadar bahwa nilai dari distri-distrik ini dinyatakan dalam bentuk cacah, selain kuota padi dan borongan tenaga kerja yang dituntut dari para bupati. Kompeni mminta uang penghargaan yang disebut cacah,

sebanding dengan cacah di setiap kabupaten, pajak ini merupakan nama lain dari pajak perseorangan. Dalam beberapa sumber menyamakan uang cacah dengan grabag atau pletek. Pajak untuk mendapat hak pilih lainnya adalah pacumpleng, yang berarti pajak bangunan, tetapi pada sekitar tahun 1800 di berikan sebagai uang benang, dan di banyak daerah masih dipungut dalam bentuk barang (segelondong benang). Di daerah pesisir pajak ini untuk memenuhi kuota benang untuk VOC, tapi di daerah Jawa Tengah Selatan pajak ini dapat digunakan para bupati untuk memenuhi kebutuhan atau berniaga.

c.

Pajak bisnis Dengan nama pajeg pengautan, sejumlah pedagang terkena pajak usaha: pembuatan anglo, tukang jagal, tukang kayu, pembuat tembikar, pandai besi, dalang, penari, dll. Pajak ini dipungut dalam bentuk uang tunai, dibeberapa wilayah pajak ini disesuaikan dengan kemakmuran atau hasil yang diperoleh, namun di daerah lain sama dengan semua orang. Di Banyumas pajak ini digunakan untuk membiayai hidup rekan-rekanya di istana.

d.

Pajak tetap lainnya Ada beberapa pajak lain yang relatif kecil jumlahnya untuk tujuan khusus, yang dipungut dari rumah tangga, dibeberapa daerah dipungut dari orang yang mengadakan slametan atau sedekah, pajak ini digunakan untuk pemeliharaan keraton, untuk pesta garebeg, untuk para juru tulis, untuk para galadhag, semua pajak ini harus dikumpulkan oleh para bekel atau lurah. Para bekel harus terpenuhi kebutuhannya, maka dari itu desa harus menyediakan bahan makanan untuk mereka, dan selain itu di saat grabag dipungut, mereka juga mengumpulkan duit per orang (dua duit untuk dewasa, satu duit untuk anan-anak), ini juga termasuk dalam pajak tetap lainnya.

e.

Pajak tidak tetap Pada tahun 1812 di Semarang, di enam kabupaten para petani harus membayar pajak tidak tetap berkisar antara 13,8% sampai 28,9% dari pendapatan tetapdari sawah, ini merupakan beban yang cukup mematikan bagi mereka. Pajak ini di gunakan untuk pesta atau kesempatan mahal di rumah bupati, lungguh, atau raja, seperti sunatan, nikah, dan resepsi yamu penting. Pajak ini di bayarkan ketika hendak melaksanakan pernikahan, ongkos regitrasi ini dibayarkan kepada bupati atau imam, dan jika ia akan melaksan slametan yang menggunakan gamelan akan dikenakan pajak hiburan. Pajak tidak tetap lainnya adalah ketika pejabat atau penyewa tanah mulai menduduki jabatannya, ia harus membayar uang pengakuan yang disebut bekti, jumlahnya sama dengan pendapatan setahun, tentu saja pada akhirnya akhirnya para petani yang mengganti biaya tersebut. Situasi di Pasundan pada dasarnya sama, akan tetapi di Pasundan pajeg diganti dengan cukeh, pajak atas hasil pertanian sebesar sepuluh

persen dari hasil ini terlihat seperti pajak yang sebenarnya dan lebih ringan dari pajeg, akan tetapi menanam kopi secara paksa lebih menyita waktu yang lebih dibanding dengan waktu yang diberikan kepada petani di Solo dan Yogya. Tidak semua orang harus membayar pajak, ada juga yang hampir sama sekali tidak terkena pajak sama sekali, mereka adalah orang dengan strata tertinggi dan terrendah, para bupati dan kerabat raja diantaranya yang tidak terkena pajak pada tanah garapan mereka. Dan untuk para lurah atau pejabat perantara tetap harus membayarkan bekti, akan tetapi biasanya tergantikan oleh sumbangan warga. Untuk strata paling rendah adalah orang-orang yang hidup di pedalaman, di gunung dan hutan yang sangat jarang penduduknya, yang lainnya adalah para bujang atau pekerja harian yang sulit dikendalikan dan mudah menghilang.

TUGAS

SEJARAH PEREKONOMIAN SITUASI POLITIK DAN PEMERINTAHAN JAWA PADA AWAL ABAD KE-19 Dosen Pengampu: Yyfr. Sunarjan 2. Carolin Santi Muji Utami 3. Diah Widastuti
1.

oleh : Aan Setiawan 31014080008 Pendidikan Sejarah

JURUSAN SEJARAH FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2012

Peta Pembagian Wilayah Administratif Jawa, Sekitar Tahun 1885

Você também pode gostar