Você está na página 1de 3

Teror Bom dan Spiral Kekerasan Publik

Oleh Thomas Koten


Litani kekerasan dalam bentuk teror bom terus saja terjadi di negeri yang masyarakatnya sangat majemuk dan terkenal ramah ini. Tatkala teror bom yang satu belum dibongkar tuntas, muncul lagi teror bom berikut. Dalam beberapa pekan terakhir ini saja sudah terjadi teror bom di sejumlah tempat di Jakarta, di Cirebon dan di Serpong. Mengapa ini terjadi? Apa pun jawabannya, kekerasan yang terus dipertontonkan tersebut, setidaknya, pertama, aksi tersebut tidak lain juga merupakan gramatika kekerasan yang oleh Michael Foucault dan Jacques Derrida sebagai pesan ekstrem dari kalangan sindikat anarkisme sosial di tengah krisis sosial, ekonomi dan politik yang belum terkelola dengan baik oleh negara yang belum sanggup menunjukkan kewibawaannya. Jalan kekerasan dipakai sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan dan hegemoni, bahwa para pelaku tindak kekerasan dapat melakukan apa saja yang mereka mau, tanpa takut kepada kekuatan apa pun, termasuk kekuatan negara. Kedua, bahwa budaya Indonesia yang terkenal ramah tamah, sopan santun dan murah senyum, kini seolah sudah mulai berubah seiring dengan perubahan zaman yang hubungan sosial masyarakatnya semakin kompleks. Kerukunan dan persaudaraan dengan semangat gotongroyong kini seolah mulai ditelan oleh perubahan waktu dan diganti dengan budaya penuh kekerasan, yang diselimuti semangat baru yang serba individualistik. Lalu, demokrasi yang digembar-gemborkan telah berjalan sukses di negeri ini kerap berubah wajah menjadi amokrasi. Teror bom dan aneka kekerasan yang terus mengisi ruang publik bangsa telah menenggelamkan rasa yaman dan damai masyarakat. Spiral kekerasan Semua fenomena kekerasan berupa teror bom atau anarkisme massa yang terus terjadi itu sungguh bagaikan spiral kekerasan tanpa ujung. Dan rangkaian persoalan itu memperlihatkan kegagalan negara dalam memutuskan mata rantai kekerasan. Atau, fenomena merebaknya kekerasan dalam aneka macam bentuk merupakan tanda negara lemah. Sistem penegakan hukum dan aturan tidak berjalan efektif, membuat masyarakat cenderung main hakim sendiri, meneror siapa saja dan bertindak anarkis terhadap kelompok agama atau kelompok mana saja. Ketiadaan kredibilitas aparat negara pun membuat rakyat mengalami frustrasi sosial lalu memerotes dan bertindak anarkis dengan caranya sendiri. Kita pun bertanya, mengapa semua itu bisa terjadi? Sudah pasti kekerasan demi kekerasan tersebut tidaklah berdiri sendiri. Lemahnya penegakan hukum, ketidakadilan sosial dan ekonomi, serta ketiadaan keteladanan atau rendahnya kredibilitas dari para pemimpin dan elite politik, telah memberikan peluang bagi lahirnya segala bentuk kekerasan dengan alasan yang beragam. Banyak juga yang mengatakan, sumber terdalam dari kekerasan terletak pada

masalah kesenjangan, ketidakadilan, dan kemiskinan. Inilah yang kemudian melahirkan sentimen kelompok dan pribadi yang bisa menyulut pada aksi kekerasan itu. Setidaknya, pendapat seperti itu dikemukakan oleh Dom Helder Camara. Sang aktivis dan pelopor perdamaian dari Brasil itu menegaskan, ketidakdilan dan sentimen kelompok yang merupakan sumber utama spiral kekerasan spiral of vilence- publik. Bahkan, kekerasan paling utama dipicu oleh ketidakadilan. Ketidakadilan dalam bidang ekonomi dan hukum telah membuat sebagian besar masyarakat menderita dan frustrasi. Dendam, dengki dan iri hati yang memicu kekerasan antara anggota masyarakat dan kelompok, bermula dari ketidakadilan itu. Meskipun, teror bom itu sendiri bermula dari anggapan politik, yang oleh filsuf dan teolog Thomas Aquinas dikatakan sebagai, System, regime de la tereur, yaitu tiran yang merebut kekuasaan (tyrannus ex defectu tituli) yang perlu dilawan oleh otoritas public. Artinya, pertama, teror bom itu dalam sejarahnya bermula dari teror politik kemudian melebar ke aneka macam kepentingan; ekonomi dan sosial. Kedua, kekerasan di negeri ini atau di mana pun bersifat akumulatif, ada kekerasan yang mendahului. Kekerasan melahirkan kekerasan yang bersifat generarif. Inilah spiral kekerasan yang tersusun secara berlapis. Pertama, kekerasan berlandaskan ketidakadilan sebagai akibat egoisme penguasa dan kelompok tertentu, kedua, perjuangan keadilan lewat kekerasan, dan ketiga, kekerasan dari tindakan represi pemerintah. Dan jelas, kekerasan demi kekerasan, tidak lain adalah lebih pada salah urus negara yang kemudian melahirkan frustrasi sosial dan perilaku nekad yang berujung pada kekerasan publik. Itulah yang kemudian dikatakan filsuf Hannah Arendt, sebagai sebuah situasi masyarakat mimesis. Dalam masyarakat mimesis, kekerasan mudah membiak dan beranak pinak. Kekerasan adalah komunikasi bisu atau ibarat sakit jiwa sosial dari para pelakunya. Memang ada juga kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok marginal untuk menunjukkan identitas diri. Mereka butuh pengakuan atas kehadirannya. Mereka meneriakkan ketidakadilan dan diskriminasi yang berlangsung dan menjerat mereka. Ketidakadilan dan diskriminasi itulah yang melahirkan pengangguran, kemiskinan, kebodohan, dan kriminalitas dari kawasan-kawasan pinggiran dan dari orang-orang yang tersisihkan. Warga yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan dalam bentuk teror bom atau dalam bentuk lainnya terkadang juga dilakukan oleh rakyat yang lelah dengan kemiskinan dan tidak kuat lagi menghadapi ketidakadilan. Bagaimana tidak, jika rakyat terus berkubang dalam ketidakadilan dan kemiskinan, sebaliknya para penguasa dengan tenang menjarah segala akses dengan serakahnya. Di samping itu, para koruptor kakap dibiarkan menghirup udara bebas, sedangkan rakyat kecil langsung ditembak mati ketika kedapatan mencuri sesuatu demi mengganjal perutnya yang lapar akibat kemiskinan yang mendera, dan pengangguran berkepanjangan tanpa ujung? Menyalurkan agresi publik

Satu hal yang perlu ditegaskan bahwa kekerasan publik dalam bentuk teror bom atau dalam bentuk lainnya sebenarnya dipicu oleh rasa frustrai sosial. Dan secara gamblang dikatakan, perilaku kekerasan merupakan penjelmaan dari dorongan agresi, misalnya menyakiti atau menyerang orang lain secara fisik, psikologis (verbal-emosional), ekonomi, sosial, politik dan hukum. Dan sebenarnya, semua itu sudah menjadi media pembelajaran, mengingat aksi kekerasan seperti yang terjadi belakangan ini sebenarnya sudah begitu kerap terjadi. Namun, apakah kekerasan demi kekerasan yang begitu kejam belakangan ini masih dapat dijadikan sebagai media belajar efektif bagi mereka yang sudah memendam potensi untuk menyalurkan rasa marah dan frustrasi sosial publik? Harus dicatat pula bahwa sebenarnya tidak semua dorongan agresif menjelma sebagai tindak kekerasan karena dorongan agresif juga bisa disalurkan dalam bentuk yang lebih berbudaya, seperti perjuangan meraih prestasi tinggi, hasrat untuk maju dan proaktif dalam kehidupan sosial. Maka, yang perlu dikedepankan untuk mencegah segala aksi kekerasan adalah pertama, segera menciptakan keadilan publik dan mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Kedua, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas bagi para pelaku tindak kekerasan dan para pelanggar hukum di bidang apa pun. Ketiga, berjuang keras membangun kembali budaya adiluhung kita yang terkenal ramah tamah dan sopan santun itu.

Penulis, Direktur Social Development Center

Você também pode gostar