Você está na página 1de 3

Gilang Sekartajie 120820110051 TKMK/ MM 42 Pagi

Analisis Behavioral Finance 1.1 Latar belakang Pada saat inflasi tinggi, kenaikan harga saham cenderung tertahan dan return relatif rendah, seperti terjadi di bursa kita tahun 2005 dan tahun ini. Sebaliknya ketika inflasi rendah pada tahun 2006 dan 2007, harga saham melaju kencang dan return menjadi tinggi. Tingkat inflasi sebagai salah satu indikator utama ekonomi makro tidakdisangsikan lagi adalah juga variabel penting penentu harga dan indeks saham setelah laporan keuangan dan aksi korporasi. Pertanyaannya, faktor-faktor apa lagi yang juga ikut memengaruhi harga dan indeks saham di bursa kita.Mengamati tingkah laku para investor di BEI, teridentifikasi sedikitnya ada tiga faktor lain yaitu aliran bersih dana investor asing di bursa, nilai tukar rupiah, dan indeks regional. Untuk membuktikan dugaan ini, sebuah penelitian sederhana mengungkapkan data harian IHSG sebagai variabel dependen dan ketiga variabel di atas sebagai variabel independen selama dua puluh dua bulan (Januari 2006 Oktober 2007). Aliran bersih dana investor asing didefinisikan sebagai selisih aksi beli dan aksi jual investor asing di BEI. Jika mereka membeli lebih banyak (sedikit) daripada menjual, nilai variabel ini akan positif (negatif). Untuk indeks regional, saya menggunakan indeks Hang Seng dari bursa Hong Kong sebagai proksi karena beberapa alasan. Pertama, bursa Hong Kong adalah bursa saham terkemuka yang paling dekat dengan Indonesia secara geografis dengan perbedaan waktu hanya 1 jam. Bursa saham besar lainnya lebih jauh dengan perbedaan waktu 2 jam (Tokyo) hingga 12 jam (New York). Kedua, sama seperti IHSG, indeks Hang Seng berdasarkan nilai kapitalisasi saham sedangkan Dow Jones (DJIA) dan Nikkei 225 adalah indeks berdasarkan harga saham yang dihitung dari sampel 30 Ketiga, kapitalisasi pasar BEI juga lebih dekat dengan bursa Hong Kong daripada dengan bursa Tokyo atau bursa terbesar dunia yaitu New York. Terakhir, bursa saham Tokyo sebagai bursa saham terbesar Asia yang mengalami bearish selama hampir 20 tahun terakhir, tidak tepat untuk dijadikan benchmarking karena sangat berbeda dengan bursa saham kita yang bullish pada tahun 2003 2007. Kita ketahui bersama kalau Nikkei 225 yang sempat menyentuh angka 39.000 pada tahun 1989, sekarang hanya bertengger di 13.000-an atau tinggal sepertiganya saja.

1.2 Pembahasan Doctoral Journey in Management dan di hadapan Tim Studi Aliran Dana Asing Bapepam LK bulan Juni 2008, menunjukkan ketigavariabel itu berhubungan signifikan positif (pada = 1%) dengan pergerakan IHSG. Jika kurs rupiah melemah, katakan dari Rp9.100 menjadi Rp9.200 per USD, IHSG pada hari yang sama juga cenderung melemah. Walaupun harga saham menjadi lebih murah dalam USD karena depresiasi rupiah, investor asingjustru melakukan lebih banyak aksi jual daripada aksi beli. Penjelasan yang masuk akal untuk fenomena ini adalah kurs rupiah merupakan indikator ekonomi makro yang mencerminkan permintaan rupiah di pasar uang internasional. Permintaan rupiah yang tinggi (rendah) mencerminkanoptimisme (pesimisme) pasar. Saat rupiah mengalami apresiasi (depresiasi)berarti permintaan akan rupiah tinggi (rendah) dan pasar uang internasional optimis (pesimis) terhadap perekonomian kita. Investor di bursa pun akan ikut optimis (pesimis) dan pasar menjadi bullish (bearish). Hubungan positif antara IHSG dengan indeks Hang Seng dan aliran dana asing dari hasil penelitian ini mengkonfirmasi tingkah laku sehari-hari para investor di BEI. Bahwa mereka umumnya melakukan herding (berkelompok) dalam keputusan investasinya. Yang sering menjadi acuan mereka adalah indeks bursa dunia seperti Hang Seng dan lainnya serta aksi para investor asing di BEI. Karenanya, saat bursa besar dunia bergerak positif (negatif), bursa kita juga ikut positif (negatif). Walaupun transaksi investor asing hanya sekitar 25% dari pasar, saat mereka melakukan aksi beli (jual), investor domestik ikutmembeli (menjual). Di mata investor domestik, investor asing diakui mempunyai dana besar dan menguasai dua pertiga kapitalisasi pasar BEI. Mereka juga dipandang mempunyai analisis fundamental yang lebih baik. Pandangan ini tidak selalu benar dan sangat mungkin terjadi hanya di beberapa negara berkembang saja.. Berbeda dengan teori keuangan modern yang mengatakan manusia itu adalah risk averse, behavioral finance menyatakan kalau manusia itu sebenarnya loss averse, dan bukan risk averse. Buktinya, saat harga sahamnya turun di bawah harga belinya, investor individual cenderung untuk menahannya dengan harapan harga sahamnya kembali naik dan kerugian berubah menjadi keuntungan. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan kalau manusia merasakan kerugian jauh lebih dalam dan lebih lama daripada efek keuntungan dengan jumlah uang yang sama (Kahneman dan Tversky, 1979). Siapa pun sepakat kalau kerugian selalu membawa kesedihan dan kekecewaan

sementara keuntungan mendatangkan kepuasan dan kesenangan. Namun, derajat kesedihan dan kesenangan yang ditimbulkan untuk nilai uang yang sama adalah berbeda. Dari sisi behavioral finance, fenomena di atas menunjukkan dua poin penting. Pertama, banyak investor di BEI percaya pada analisa teknikal danmomentum pasar. Bahwa saham yang harganya naik (turun) akan terus naik (turun). Ini sesuai dengan proposisi Bernard & Thomas (1989) dan Jegadeesh & Titman (1993) bahwa harga saham cenderung meneruskan kenaikan dan penurunannya dalam 6-12 bulan. Kedua, investor di BEI umumnya tidak berani menyimpang dari pola umum. Jika suatu saham, atau pasar saham secara keseluruhan, diburu (dihindari) investor besar, mereka akan turut mengejar (melepas) saham. Melawan sentimen pasar global dan aksi investor asing dinilai berisiko dan dapat menimbulkan penyesalan besar (future regret) di kemudian hari. Untuk meminimalkan regret ini, mereka menerapkan strategi follow the smart money yaitu mengekor bursa dunia dan aksi investor asing. Strategi investasi seperti ini membawa efek destabilisasi di pasar dan dapat menyebabkan harga saham semakin menjauhi nilai fundamentalnya. Kini Anda paham kalau IHSG itu dipengaruhi banyak faktor yaitu laporan keuangan emiten, inflasi, aksi korporasi, aliran dana asing, kurs, dan indeks regional. Shefrin (2007) membagi bias-bias yang dialami investor menjadi sepuluh, sedangkan Baker dan Nofsinger (2002) mengkategori bias menjadi dua bagian utama yaitu bagaimana investor berpikir dan bagaimana investor merasa. Behavioral finance micro yang menguji perilaku-perilaku atau bias-bias dari individual investor yang

membedakannya dari perilaku rasional yang dikemukakan oleh teori ekonomi klasik. Sedangkan behavioral finance macro mendeteksi dan mendeskripsikan anomali-anomali dalam hipotesis pasar efisien yang mungkin dapat dijelaskan dengan model behavioral finance. Oleh karena itu dalam paper ini akan mencoba membahas bias-bias seperti excessive optimism, overconfidence, representativeness bias, availability bias, cognitive dissonance, mental accounting dan regreat aversion. Sumber : http://mr-rasyidin.blogspot.com/2012/02/harga-saham-dan-perilaku-investor.html www.scribd.com

Você também pode gostar