Você está na página 1de 18

Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada

daerah interpalpebra. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Insidens pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13.1%. Hal ini ada kaitannya dengan dugaan bahwa bahwa paparan ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. Derajat pertumbuhan pterygium ditentukan berdasarkan bagian kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterygium, dimana dapat dibagi menjadi 4, yaitu :

Derajat 1 : Jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea Derajat 2 : Jika pterygium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea Derajat 3 : Jika pteryium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm) Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan GEJALA KLINIS Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tidak ada keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami pasien antara lain :

Mata sering berair dan tampak merah Merasa seperti ada benda asing Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium tersebut, biasanya astigmatismewith the rule ataupun astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan Pada pterygium yang lanjut (derajat 3 dan 4), bisa menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan juga menurun. Pterygium I. DEFINISI Pterygium berasal dari bahasa Yunani yaitu Pteron yang artinya sayap (wing).Pterygium didefinisikan sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskuler pada subkonjungtiva dan tumbuh menginfiltrasi permukaan kornea, umumnya bilateral di sisi nasal, biasanya berbentuk segitiga dengan kepala/apex 1,2,3 menghadap ke sentral kornea dan basis menghadap lipatan semilunar pada cantus. Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian 4 sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. II. EPIDEMIOLOGI Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor 0 yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu daerah <37 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22 05 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 40 . Di Amerika Serikat, kasus pterygium sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang o o dari 2% untuk daerah di atas 40 lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36 . Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah 5,6 dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah. III. ANATOMI KONJUNGTIVA Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) 3 dan dengan epitel kornea dilimbus. Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus. Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan

forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih dalam 7 hingga 14 mm dari limbus. 7 Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian: 1. Konjungtiva Palpebra Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai padamucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal. Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah dimana reaksi patologis bisa ditemui. 2. Konjungtiva Bulbi Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya. Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan. Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu dengan kapsula tenon dan sklera. 3. Konjungtiva Forniks Merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut 7 berkontraksi. Gambar 1. Anatomi Konjugtiva penampang sagital (Gambar dikutip dari kepustakaan 7) Gambar 2.anatomi konjuntiva penampang depan Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus limfatikus. 7 Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit. Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus yang terbentuk 7 mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata prakornea secara merata. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3 bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak di tepi tarsus 7 atas. IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO Hingga saat ini etiologi pasti pterygium masih belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor resiko pterygium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu beberapa kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun kualitas, konjungtivitis kronis dan defisiensi vitamin A juga berpotensi menimbulkan pterygium. Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa etiologi pterygium merupakan suatu fenomena iritatif akibat pengeringan dan lingkungan dengan banyak angin karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya berada di lingkungan yang berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir. Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom 2,5,8 dominan. Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterygium. Disebutkan bahwa radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan

pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis 8 dan biasanya menunjukkan dysplasia. Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi, bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan. Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan 8 adanya keturunan (faktor herediter). Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri 8 dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan sinar ultra violet ke area nasal tersebut. Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol 11 daripada kelainan degeneratif. 1. Paparan sinar matahari (UV) Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan mengapa insidennya sangat 8 tinggi pada populasi yang berada pada daerah dekat equator dan pada orang orang yang menghabiskan banyak waktu di lapangan. 2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu) Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin, debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat pertumbuhan jaringan 8 fibrovaskuler. Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain : 1. Usia Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. Tan 8 berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua dan tiga. 2. Pekerjaan 8 Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 3. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar 8 dibandingkan daerah yang lebih selatan. 4. Jenis kelamin Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan. 5. Herediter 8 Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara autosomal dominan. 6. Infeksi 8 Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 7. Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya 8 pterygium. V. KLASIFIKASI PTERYGIUM Pterygium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe, stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera , yaitu: 1. Berdasarkan Tipenya pterygium dibagi atas 3 : Tipe I : Pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari kornea. Stockers line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.
5,9

Tipe II : di sebut juga pterygium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh pterygium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmat. Tipe III: Pterygium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan bentuk pterygium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata serta kebutaan 2. Berdasarkan stadium pterygium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu: Stadium I : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea Stadium II : jika pterygium sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Stadium III : jika pterygium sudah melebihi stadium II tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm). Stadium IV : jika pertumbuhan pterygium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 2. Pterygium stadium 1

Gambar 3. Pterygium stadium 2

4. ptrygium duplexGambar

Pterygium stadium 3

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterygium dibagi menjadi 2 yaitu: Pterygium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea di depan kepala pterygium (disebut cap dari pterygium) Pterygium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang. 4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterygium dan harus diperiksa dengan slit lamp pterygium dibagi 3 yaitu: T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian terlihat T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas. VI. PATOFISIOLOGI Terjadinya pterygium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF- dan VEGF (vascular endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, 8 migrasi sel, dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva mengalami degenerasi elastoid (degenerasi basofilik) dan proliferasi jaringan granulasi fibrovaskular di bawah epitel yaitu substansia propia yang akhirnya menembus kornea. Kerusakan kornea terdapat pada lapisan membran Bowman yang disebabkan oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular dan sering disertai dengan inflamasi ringan. Kerusakan membran Bowman ini akan mengeluarkan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan pterygium. Epitel dapat 5,8 normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basementdan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan oleh karena itu banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler yang ditutupi oleh epitel. Pada pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal yang mengalami degenerasi elastolik tersebut ditemukan basofilia dengan menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin, Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering 2,5,6,8 menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet VII. GAMBARAN KLINIK Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterygium lanjut 1,6,8 stadium 3 dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.

Gambar 5. Bagian-bagian mata yang terkena pterygium Pterygium memiliki tiga bagian : i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi (iron line/Stockers line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area kornea yang kering. ii. Bagain whitish.Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala. iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada 10 konjungtiva bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi pembedahan VIII. DIAGNOSIS Anamnesis Pada anamnnesis didapatkan adanya keluhan pasien seperti mata merah, gatal, mata sering berair, ganguan penglihatan. Selain itu perlu juga ditanyakan adanya riwayat mata merah berulang, riwayat banyak bekerja di luar ruangan pada daerah dengan pajanan sinar mathari yang tinggi, 1,2, 6 serta dapat pula ditanyakan riwayat trauma sebelumnya. Pemeriksaaan fisik Pada inspeksi pterygium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjuntiva. Pterygium dapat memberikan gambaran yang vaskular dan tebal tetapi ada juga pterygium yang avaskuler dan flat. Perigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi 6 ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterygium pada daerah temporal. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterygium adalah topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa 6 astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterygium. IX. PENATALAKSANAAN 1. Konservatif Penanganan pterygium pada tahap awal adalah berupa tindakann konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi maupun 8 paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops. 2 . Tindakan operatif 8 Adapun indikasi operasi menurut Ziegler dan Guilermo Pico, yaitu: Menurut Ziegler : 1. Mengganggu visus 2. Mengganggu pergerakan bola mata 3. Berkembang progresif 4. Mendahului suatu operasi intraokuler 5. Kosmetik Menurut Guilermo Pico : 1. Progresif, resiko rekurensi > luas 2. Mengganggu visus 3. Mengganggu pergerakan bola mata 4. Masalah kosmeti 5. Di depan apeks pterygium terdapat Grey Zone 6. Pada pterygium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat 7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik Pada prinsipnya, tatalaksana pterygium adalah dengan tindakan operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam penanganan 8 pterygium di antaranya adalah: 1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.

2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relatif kecil. 3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. 4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. 5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnyaTisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis). Gambar 6. Teknik Operasi Pterygium (Gambar dikutip dari kepustakaan 8) Amniotic membrane transplantation Ada juga teknik lain yaitu Amniotic membrane transplantation, yaitu teknik gaftingdengan menggunakan membran amnion, yang merupakan lapisan paling dalam dari plasenta yang mengandung membrana basalis yang tebal dan matriks stromal avaskular. Dalam dunia oftalmologi, membran amnion ini digunakan sebagai draft dan dressing untuk infeksi kornea, sterile melts, dan untuk merekonstruksi permukaan okuler untuk berbagai macam prosedur. Dokumentasi pertama penggunaan membran amnion ini yaitu yang dilakukan oleh De Rotth pada tahun 1940 untuk rekonstruksi konjungtiva. Dengan angka kesuksesan yang rendah. Sorsby pada tahun 1946 dan 1947. Ada juga Kim dan Tseng yang memperkenalkan kembali ide ini dan mempopulerkannya. Cara kerja teknik ini adalah dimana komponen membran basalis dari membran amnion ini serupa dengan komposisi dalam konjungtiva. Untuk alasan inilah teori terkini menyatakan bahwa membran amniotik memperbesar support untuk limbal stem cells dan cornea transient amplifying cells.Klonogenisitas dipelihara dengan meningkatkan diferensiasi sel goblet dan non goblet . lebih jauh lagi, hal tersebut dapat menekan diferensiasi miofibroblast dari fibroblas normal untuk mengurangiscar dan pembentukan vaskuler. Mekanisme ini membantu penyembuhan 9 untuk rekonstruksi konjungtiva, defek epitel, dan ulserasi stromal. 6.1 Indikasi A.Eksisi pterigium setelah operasi pengangkatan pterigium, maka akan menyisakan sebuah defek konjungtival. Defek ini dapat dibiarkan sembuh sendiri, dijahit secara langsung melalui pendekatan primer, diberikan graftdengan sebuah autograft konjungtiva, atau diberikan graft dengan membran amniotik. Dengan 9 injeksi steroid intraoperatif pada defek jaringan yang mengitarinya. B.Rekonstruksi permukaan konjungtiva selain untuk operasi pterigium, AMT juga digunakan untuk teknik rekonstruksi konjungtiva lainnya. Untuk pengangkatan tumor-tumor konjungtiva yang meninggalkan defek, maka defek tersebut akan diperbaiki dengan membran amniotik. Telah dilaporkan penggunaan AMT untuk pembedahan scar dansymblepharon. AMT juga dapat digunakan untuk merekonstruksi permukaan okuler pada kasus konjungtivokalasis, scleral 9 melts dengan sklera kadaverik. Satu laporan lainnya menyatakan bahwatrabeculectomy bleb dapat diperbaiki dengan membran amniotik. C.Defisiensi stem sel Limbal membran amniotik dapat digunakan pada kasus-kasus defisiensi stem sel Limbal parsial dan total. Pada kasus-kasus kehilangan stem sel Limbal total, AMT saja tidak mencukupi dan perlu penggunaan bersamaan dengan transplantasi stem sel allogenik. Untuk kasus-kasus yang parsial, membran 9 amniotik menunjukkan dapat meningkatkan epitelisasi dan memperbaiki penglihatan dengan dan tanpa transplantasi sel Limbal allogenik. Teknik terbaru termasuk penggunaan stem sel otolog dan allogenik yang diolah di laboratorium pada membran amniotik lalu mentransplantasikan 9 jaringan gabungan ini pada kornea yang rusak berat tanpa adanya stem-stem sel endogen. 6.2 Prosedur Banyak laporan dalam literatur yang menggambarkan penggunaan membran amniotik yang diambil dari plasenta pada saat operasi sesar dan diawetkan hingga digunakan pada permukaan okuler. Tersedia teknik pengawetan cryopreserved amniotic membrane dan lazim digunakan dan menjaga sifat histologis dan morfologis dari jaringan sehat. AMT dapat ditempelkan pada permukaan okuler secara pembedahan dengan benang absorbable ataupun yang non-absorbable. Adesivitas jaringan biologis juga dapat digunakan untuk menempelkan AMT pada permukaan 9 okuler. 6.3 Resiko Jaringan alogenik mempunyai resiko transmisi penyakit menular yang tidak terlihat. Secara umum, membran amniotik didapatkan dari donor potensial yang menjalani operasi sesar yang telah diskrining untuk penyakit menular, seperti; HIV, hepatitis, dan sifilis. Plasenta kemudian dibersihkan dengan campuran larutan garam yang seimbang, penisilin, streptomisin, neomisin, dan amfoterisin B. Lalu amnion dipisahkan dari korion dengan blunt dissection pada kondisi yang steril, ditempelkan pada strip kertas nitroselulosa dan disimpan dalam larutan gliserol. Jaringan tersebut juga disimpan dalam larutan itu untuk fresh use atau menggunakan cryopreserved pada suhu -80 derajat celcius. Hingga saat ini tidak ada laporan 9 mengenai transmisi penyakit menular pada AMT. X. DIAGNOSIS BANDING

Pterygium harus dapat dibedakan dengan pseudopterygium. Pseudopterygium terjadi akibat pembentukan jaringan parut pada konjungtiva yang berbeda dengan pterygium, dimana pada pseudopterygium terdapat adhesi antara konjungtiva yang sikatrik dengan kornea dan sklera. Penyebabnya termasuk cedera kornea, cedera kimiawi dan termal. Pseudopterygium menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Penanganan pseudopterygium adalah dengan melisiskan adhesi, eksisi jaringan konjungtiva yang sikatrik dan menutupi defek sklera dengan graft konjungtiva yang berasal dari aspek 10, 11 temporal. Selain itu pterygium juga didagnosis banding dengan pinguekula yang merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak 10,11 diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal. Gambar 7. Pinguekula XI. Gambar 8. Pseudopterigium

KOMPLIKASI 6,12 Komplikasi pterygium meliputi sebagai berikut: Pra-operatif: 1. Astigmat Salah satu komplikasi yang disebabkan oleh pterygium adalah astigmat karena pterygium dapat menyebabkan perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterygium serta terdapat pendataran daripada meridian horizontal pada kornea yang berhubungan dengan adanya astigmat. Mekanisme pendataran itu sendiri belum jelas. Hal ini diduga akibat tear meniscus antara puncak kornea dan peninggian pterygium. Astigmat yang ditimbulkan oleh pterygium adalah astigmat with the rule dan iireguler astigmat. 2. Kemerahan 3. Iritasi 4. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea 5. Keterlibatan yang luas otot ekstraokular dapat membatasi penglihatan dan menyebabkan diplopia.

Intra-operatif: Nyeri, iritasi, kemerahan, graft oedema, corneoscleral dellen (thinning), dan perdarahan subkonjungtival dapat terjadi akibat tindakan eksisi 12 dengan conjunctival autografting, namun komplikasi ini secara umum bersifat sementara dan tidak mengancam penglihatan. Pasca-operatif: Komplikasi pasca eksisi adalah sebagai berikut: 1. Infeksi, reaksi bahan jahitan, diplopia, jaringan parut, parut kornea, graft konjungtiva longgar, perforasi mata, perdarahan vitreus dan ablasi retina. 2. Penggunaan mitomycin C post operasi dapat menyebabkan ektasia atau nekrosis sklera dan kornea 3. Pterygium rekuren. XII. PROGNOSIS Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan 6 pterygium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 KERANGKA TEORI 2.1.1 Definisi Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya sayap. 1,2,3,5,6,7,8,9,10

2.1.2 Epidemiologi Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 37 0 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah yang terletak di atas 40 0 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. 4 Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah. 2,4 2.1.3 Faktor Resiko Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter. 4 Universitas Sumatera Utara1. Radiasi ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting. 2. Faktor Genetik Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.

3. Faktor lain Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium. 4 2.1.4 Patogenese Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini. 1 Universitas Sumatera UtaraUltraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia. 1,8,11 Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga

ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra. 4 Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. Pada fibroblast pterygium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan kenapa pterygium cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi. 4 2.1.5 Gambaran Klinis Dan Pembagian Pterygium Universitas Sumatera UtaraPterygium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur. 2,4,10 Secara klinis pterygium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stoker's line). 2,7,8 Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu : body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterygium. 2,7,8 Pembagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu :

- Progresif pterygium : tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kepala pterygium (disebut cap pterygium). - Regresif pterygium : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang. 4

depan

Pada fase awal pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterygium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. 1,2,4,6,7,11,12 Universitas Sumatera UtaraPembagian lain pterygium yaitu : 1. Tipe I : meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. 2. Type II : menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma. 3. Type III : mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata. 10 Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat yaitu : 1. Derajat 1 : jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea. 2. Derajat 2 : jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. 3. Derajat 3 : sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 4 mm) 4. Derajat 4 : pertumbuhan pterygium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan. 6

2.1.6 Diagnosa Banding Secara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. Bentuknya kecil, meninggi, masa kekuningan berbatasan Universitas Sumatera Utaradengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang-kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki-laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula. 2,4,8,10,12,13 Pertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien's marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. Berbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Untuk mengidentifikasi pseudopterygium, cirinya tidak melekat pada limbus kornea. Probing dengan muscle hook dapat dengan mudah melewati bagian bawah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. Pada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head, cap dan body dan pseudopterygium cenderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium. 2,4,7,8

2.1.7 Penatalaksanaan Keluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan menghindari asap dan debu. Beberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat 2. Untuk mencegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kacamata pelindung ultraviolet. 2,5,9,10,11 Universitas Sumatera UtaraIndikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Eksisi dilakukan pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 3-4 mm dan pertumbuhan

yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata. 1 Eksisi pterygium bertujuan untuk mencapai gambaran permukaan mata yang licin. Suatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah bawah pada limbus lebih disukai, kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. Setelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. Beberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu : 1. Bare sclera : tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka. 2. Simple closure : tepi konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil). 3. Sliding flaps : suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek. 4. Rotational flap : insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. 5. Conjunctival graft : suatu free graft biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit. 6. Amnion membrane transplantation : mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan TGF- pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. Pemberian mytomicin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan. Universitas Sumatera Utara7. Lamellar keratoplasty, excimer laser phototherapeutic keratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid. 1 2.1.8 Komplikasi Komplikasi pterygium termasuk ; merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah

malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada. 11 Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi 4 . 2.1.9 Prognosa Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali 6 . Rekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 6 bulan pertama setelah operasi 6 . Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari 11 . Universitas Sumatera Utara2.2 TEKNIK BARE SCLERA - Operasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan dibawah anastesi lokal. - Setelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum. - Lidokain 0,5 ml disuntikkan dibawah badan pterygium dengan spuit 1cc. - Dilakukan eksisi badan pterygium mulai dari puncaknya di kornea sampai pinggir limbus.

Kemudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon dibawah badannya dengan menggunakan gunting 1-6 . 2.3 TEKNIK CONJUNCTIVAL AUTOGRAFT - Setelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare sclera yang tinggal diukur. - Diambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar 1mm dari bare sclera yang diukur, kemudian diberi tanda. - Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft. - Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang akan digraft. - Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan vicryl 8.0 1-6 Apa itu Pterigium? Pterigium adalah daging,tumbuh berbentuk segi tiga atau seperti sayap pada mata. Kondisi ini biasanya terjadi di sudut mata bagian dalam, meskipun dapat juga tampak di sudut bagian luar.

Pterigium Kondisi ini berkembang secara perlahan, sifatnya jinak, dan pada umumnya tidak berbahaya. Namun, pterigium kadang kala tumbuh pada kornea, dan dalam beberapa kasus langka, dapat tumbuh cukup besar sehingga menutupi kornea pusat dan mengganggu penglihatan. (Jamak untuk pterigium adalah pterigia) Apa penyebab Pterigium? Penyebab pasti pterigium masih tidak diketahui, dan diperkirakan disebabkan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi secara bersamaan. Namun, cahaya ultraviolet (UV), terutama paparan terhadap sinar matahari selama berjam jam diluar ruangan dan di lingkungan yang kering dan berdebu terbukti menjadi faktor yang paling berkontribusi terhadap timbulnya kondisi ini. Bagaimana saya tahu jika saya mengalami Pterigium? Gejala termasuk: Pertumbuhan berwarna putih dengan pembuluh darah yang terlihat/menonjol di sudut mata bagian dalam dan/atau luar Pterigium dapat terjadi pada satu atau kedua mata Kemerahan pada daerah yang terkena Iritasi Gejala mata kering Kadang kala berair Terasa seperti ada benda asing di dalam mata Penglihatan buram (pada kasus parah pertumbuhan dapat menutupi kornea pusat atau menyebabkan astigmatisme karena tekanan pada permukaan kornea)

Apa yang dapat saya lakukan untuk mencegah pertumbuhan Pterigium? Anda sebaiknya menggunakan kaca mata hitam dengan proteksi sinar ultraviolet ketika berada di luar ruangan atau saat mengemudikan kendaraan, dan gunakan topi bertepi lebar ketika terpapar sinar matahari yang sangat kuat. Apa jenis pengobatan yang tersedia untuk Pterigia? Pada kasus tahap awal, dimana tidak terdapat gejala dan ketika pterigium tidak signifikan secara kosmetik, kondisi ini tidak perlu diobati. Ketika pterigium menyebabkan iritasi, kemerahan atau ketidaknyamanan, air mata buatan dapat membantu melembabkan mata dan meringankan ketidaknyamanan. Tetes mata ini tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan pterigium. Ketika pterigium tampak secara kosmetik, atau menyebabkan gejala seperti penglihatan buram, operasi pengangkatan sangat disarankan. Operasi melibatkan pengangkatan daging tumbuh dan penanaman plester transparan yang disebut konjungtiva pada bekas luka operasi, untuk mengurangi resiko pterigium tumbuh kembali (berulang). Plester konjungtiva ini biasanya diambil dari mata pasien itu sendiri (autograft konjungtiva). Penempelan autograft dapat dengan jahitan atau tanpa jahitan (contohnya dengan penggunaan lem fibrin). Resiko pterigium berulang setelah operasi pengangkatan dan autograft konjungtiva cukup rendah. DIAGNOSIS BANDING 4,5,7 -Pinguekula Merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.1 -Pseudopterigium Merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat. Sering terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea.1 KOMPLIKASI Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:7 -Gangguan penglihatan -Kemerahan -Iritasi -Gangguan pergerakan bola mata. PROGNOSIS Eksisi pada pterigium pada penglihatan dan kosmetik adalah baik. Prosedur yang baik dapat ditolerir pasien dan disamping itu pada beberapa hari post operasi pasien akan merasa tidak nyaman, kebanyakan setelah 48 jam pasca operasi pasien bisa memulai aktivitasnya. Bagaimanapun juga, pada beberapa kasus terdapat rekurensi dan risiko ini biasanya karena pasien yang terus terpapar radiasi sinar matahari, juga beratnya atau derajat pterigium. Pasien dengan pterygium yang kambuh lagi dapat mengulangi pembedahan eksisi dan grafting. 7,12 Gejala Pterygium Gejala primer dari penyakit ini adalah, terasa ada butiran pasir di bola mata. Dan ketika dilakukan pemeriksaan akan ditemukan bintik yang tumbuh dengan warna merah akibat ada pembulu darah yang terganggu. Mata akan terasa tidak leluasa untuk melihat, merah dan berair. Jenis Operasi pada Pterygium antara lain : Bare Sklera Pterygium diambil, lalu dibiarkan, tidak diapa-apakan. Tidak dilakukan untuk pterygium progresif karena dapat terjadi granuloma granuloma diambil kemudian digraph dari amnion. Subkonjungtiva Pterygium setelah diambil kemudian sisanya dimasukkan/disisipkan di bawah konjungtiva bulbi jika residif tidak masuk kornea. Graf Pterygium setelah diambil lalu di-graf dari amnion/selaput mukosa mulut/konjungtiva forniks. Tindakan pembedahan untuk eksisi pterygium biasanya bisa dilakukan pada pasien rawat jalan dengan menggunakan anastesi topikal ataupun lokal, bila diperlukan dengan memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotika atau antiinflamasi. PINGUEKULA

1.

2. 3.

Pinguekula adalah suatu penonjolan berwarna putih kekuningan yang tumbuh di dekat kornea. Ukurannya bisa semakin besar. Penyebabnya tidak diketahui tetapi pertumbuhannya didukung oleh pemaparan sinar matahari dan iritasi mata. Pinguekula tidak enak dilihat tetapi biasanya tidak menyebabkan masalah yang serius dan tidak perlu dibuang/diangkat

PTERIGIUM Pterigium adalah pertumbuhan jaringan konjungtiva ke dalam kornea. Penyebabnya tidak diketahui, tetapi sering ditemukan pada orang-orang yang sering berada di bawah sinar matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar. Sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak. Tampak sebagai penonjolan jaringan putih disertai pembuluh darah pada tepi dalam atau tepi luar kornea. Pterigium bisa menyebabkan perubahan bentuk kornea sehingga terjadi astigmata dan gangguan penglihatan lainnya. Jika sampai ke daerah pupil dan mengganggu penglihatan, pterigium harus diangkat melalui pembedahan. Untuk mencegah berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata atau topi pelindung.

PSEUDOPTERIGIUM

PTERIGIUM

PINGUECULA

Você também pode gostar