Você está na página 1de 10

Faktor penentu aktivitas biologis 1. Fase farmasetik: bentuk sediaan 2. Fase farmakokinetik: ADME 3.

Fase farmakodinamik: interaksi obat-reseptor Nasib obat dalam tubuh ABSORPSI Absorpsi: penyerapan obat dari sisi pemberiannya menuju sirkulasi peredaran darah Tidak untuk obat yang diberikan langsung ke sistem vaskular (iv, intraarteri, intraspinal, intraserebral) Faktor yang mempengaruhi absorpsi 1. Komponen sediaan 2. Sifat saluran GI 3. Faktor yang mempengaruhi transit GI 4. Sifat fisikokimia z.a 5. Sifat farmakologis z.a 6. Interaksi obat 7. Diet 8. Umur 9. Keadaan penyakit Sifat saluran GI Rongga mulut dengan pH 5,75-7,05 Lambung dengan pH 1-3 mucin Usus :: asam empedu ygtegangan permukaan lemak & berikatan dengan asam lemak shg kelarutannya Faktor yang mempengaruhi transit GI Penundaan pengosongan lambung absorpsi obat yang Asam asam empeduwaktu pengosongan lambung & kecepatan transit melalui usus Makanan atauabsorpsi Penundaan pengosongan ususabsorpsi obat yang basa Bed restfungsi tubuhabsorpsi krn aliran darah pada selaput lambung dan peristaltik usus

Sifat fisikokimia z.a Kelarutan zat aktif tergantung pada: 1. Sifat kimia 2. Elektronik 3. Struktural 4. Panjang rantai dan percabangan 5. pKa

Makanan Airkelarutan z.a tdk larut & pengosongan lambung Lipidabsorpsi KH & logam di/trivalen absorpsi Protein, vitamin, mineral sistem GI Puasa jar epitel shg bobot usus thd BB

Komponen sediaan sifat ukuran partikel bentuk garam, hidrat atau polimorf pengisi, pelincir, penghancur, surfaktan pembasah tekanan & kekerasan kopolimerisasi salut enterik kokristalisasi dengan surfaktan Sifat farmakologis z.a senyawa kholinergik antikholinergik -adrenergik -adrenergik -bloker -bloker stimulator ganglionik ganglionik bloker autocoid, histamin

pengaruh pada absorpsi ukuran partikel akan absorpsi bentuk garam dan hidrat lebih cepat diabsorpsi disolusi krn luas permukaan kontak dan kelarutan zat aktif absorpsi krn pembentukan hidratasi pengisi yang tahan air atau kompleks zat aktif-eksipien porositas dan disolusi absorpsi pembebasan di usus koefisien partisi dan kelarutan

contoh sulfaxosazol, griseofulvin, prokain penisilin ester linomisin, asam aminosalisilat, ampisilin mono & trihidrat, testosteron Na-salisilat, reserpin Li-karbonat & gom, kuinidin sulfat & Mg stearat, asam benzoat & amilum Polietilen 4000 & fenobarbital Penisilin G Griseofulvin

sekresi GI V & pH asam lambung sekresi asam lambung menghambat sekresi menghambat sekresi

motilitas GI irama & motalitas relaksasi otot halus; irama & motalitas motalitas motalitas

aliran darah

sekresi menstimulasi sekresi menstimulasi sekresi

irama & motalitas GI tidak berirama kontraksi otot halus, motilitas usus halus

aliran limpa, darah selaput lambung aliran empedu tetap aliran arteri asam lambung aliran aliran aliran dalam empedu vasokonstriksi;aliran darah

DISTRIBUSI Stlh absorpsi, obat didistribusikan dari plasma ke berbagai organ Obat terdistribusi ke seluruh tubuh dlm waktu 1 mntwaktu untuk 1x sirkulasi darah secara sempurna Faktor yang mempengaruhi: Ikatan protein plasma 1. ikatan protein plasma Protein plasma (59% albumin, globulin, fibrinogen) mengikat z.a dlm bentuk anion 2. ikatan sel darah &/atau partisi Kecepatan disosiasi kompleks obat-protein adalah 0,07-0,7 detik 3. sifat fisikokimia obat KA=[DP]/[Du]Pu] = k1/k2 4. ikatan jaringan KA:konstanta disodiasi, DP: kompleks obat-protein, Du: obat bebas, Pu: protein bebas 5. perfusi 6. barrier jaringan Faktor lain: 1. umur Sifat fisikokimia obat 2. makanan dan kegemukan Senyawa lipofilik terdistribusi luas dalam jaringan 3. kehamilan Distribusi kadar yang bervariasi dari obat bebas dan tak terionkan antara jaringan 4. keadaan penyakit dipengaruhi oleh pH ekstra-intrasel & pKa 5. interaksi obat Senyawa lipofilik terakumulasi dalam jar adiposa sesuai dengan koefisien M/A

Ikatan jaringan Senyawa aromatik planar terikat pada granul melanin mata & kulit Protein mengikat obat Akumulasi dalam jar = kesetimbangan rasio distribusi (kadar jar/kadar plasma pada kesetimbangan)

Perfusi Perfusi: aliran darah per gram jar Jar dengan kecepatan perfusi tinggi: adrenal, hati, ginjal, paru-paru, otak Jar dengan kecepatn perfusi rendah: otot, kulit, jar adiposa

Barrier jaringan Pada BBB(brain block barrier), ada jarak antara sel endotelia dalam jalinan choroid & ada persimpangan dalam sel epitel choroiddistribusi obat lambat & kontinu dalam cairan otak sehingga menahan senyawa lipofilik, asam-basa organik & makromolekul; obat tak terionkan dan senyawa sangat lipofil yang berpenetrasi pada otak

Umur Hubungan parabolik antara jar & umur Jumlah protein plasma, kapasitas ikatan protein & pH jar Diet & kegemukan Diet lemak tinggi lemak bebas dalam sirkulasi plama Lemak mrp tempat penyimpanan kedua obat & menahan obat tetap dalam plasma kadar obat sistemik Kegemukanproporsi lemak terhadap volume darah & output jantung; kecepatan perfusi melalui jar adiposa Kehamilan Selama kehamilan, perubahan ibu = janin kadar albumin Cairan pembungkus janin mempengaruhi distribusi obat Keadaan penyakit kadar albumin Perubahan plasma atau perubahan volume jaringan kecepatan perfusi jar Interaksi obat Interaksi terjadi jika adanya obat mengubah karakterisasi ikatan obat yang lain Langsung melalui protein plasma Tdk langsung melalui interaksi protein jar Tingkat interaksi tergantung pada efektivitas tempat ikatan, kadar total protein, kadar obat yang berinteraksi Difusi: perpindahan molekul zat dari hipertonis ke hipotonis Osmosis: perpindahan molekul air dari larutan dengan air tinggi (hipotonis) ke larutan air rendah (hipertonis), melalui membran semi permeabel Transpor aktif: transportasi melalui membran sel yang memerlukan energi dibantu oleh protein transport

Membran sel Fungsi membran sel: Memelihara keutuhan sel Mengatur pemindahan makanan dan produk sisa Mengatur zat yang dapat memasuki sel Sifat: semipermeabel Struktur: kompleks Distribusi melalui membran sel: difusi

Komponen membran sel Lipid bilayer Struktur stabil karena gugus ionik (hidrofilik) berinteraksi dengan media berair di dalam sel dan di luar sel Gugus hidrofobik menjaga stabilitas struktur dengan memaksimalkan interaksi hidofobik satu sama lain, dan jauh dari lingkungan berair

Difusi 1. Difusi pasif Filtrasi Difusi melalui komponen lemak membran Difusi pasif terfasilitasi 2. Difusi aktif Transpor aktif Pinositosis

METABOLISME Obat merupakan senyawa asing Obat yang masuk ke dalam butuh merupakan subjek untuk diserang oleh enzim Enzim mendegradasi atau memodifikasi struktur asing shg mudah diekskresi Tujuan metabolisme: mengubah senyawa menjadi lebih polar shg mudah diekskresi dari tubuh Skema metabolisme obat Faktor yang mempengaruhi: 1. Faktor fisiologis a. Perbedaan spesies b. Faktor individu Umur Jenis kelamin Kehamilan Keadaan gizi Ritme biologis 2. Faktor patologis a. Penurunan efek obat b. Peningkatan efek obat 3. Faktor lingkungan a. Diet b. Cemaran udara dan air c. Kondisi lingkungan (suhu & kelembaban) d. Stress dan kelelahan Alasan metabolisme Metabolisme merupakan proses penyiapan senyawa asing agar keluar dari tubuh Kerja obat diakhiri oleh metabolisme Laju metabolisme menentukan durasi kerja obat Metabolisme sering terjadi melalui dua tahap, yaitu fase I dan fase II Sitokrom P-450 BM 35-45 kD 51 family CYP (homologi > 40%) 10 subfamily CYP (homologi > 55%) Ex. CYP 3 A 4 Spesifitas rendah, sisi kerja berbeda, CYP yang berbeda pada obat yang sama pada sisi yang sama Mekanisme reaksi oksidasi substrat oleh sitokrom P-450 teroksidasi (A) NADPH + A + H+ AH2 + NADP+ AH2 + O2 oksigen aktif + H2O Ox aktif+ O2+RH ROH + A ROH + O2 + NADPH + H+ ROH + H2O + NADP+ Fase I Merupakan transformasi kimia Dikatalisis oleh enzim Meliputi oksidasi, reduksi, hidrolisis Produk fase I lebih polar dari molekul obat Fase II Konjugasi: penambahan molekul yang sangat hidrofilik (sangat polar) pada molekul obat shg produknya larut air Konjugat kehilangan aktivitas biologis Konjugat diekskresikan melalui urine

Oxidative Metabolism The largest class of Phase I metabolic processes involves oxidation reactions Common oxidative processes include: The addition of oxygen to various functional groups Changing the hybridization of groups from sp3 to sp2 or from sp2 to sp by removal hydrogen Common oxidative metabolisms include: Aromatic hydroxyations Aliphatic hydroxylations Epoxidation of alkenes Oxidation of alcohols to aldehydes Oxidation of aldehydes to carboxylic acids Oxidation of sulfide to sulfoxides to sulfones Oxidation of imines to imine oxides Dealkylation on heteroatoms Reductive metabolism Reduction is a lowering of the oxidation state of a group by adding electrons (usually as a hydride (H-) ion) Thus a group that has one double bond gets reduced to a species containing only a single bond (C=OCH-OH) Functional groups that most typically undergo metabolic reduction include: Ketones Nitro groups Azo groups Less commonly, aldehydes and sulfoxides can be reduced Hydrolysis Hydrolysis is the process of breaking bonds by the addition of water Functional groups that are most often metabolizet by hydrolysis include esters (and lactones) and amides (and lactams) Hydrolysis of esters ALWAYS results in two products-a carbocylic acid and an alcohol Hydrolysis of amides ALWAYS results in two product-a carbocylic acid and an amine Hydrolysis of cyclic esters and amides (lactones and lactams) results in ring opening, giving a compound having a carboxylic acid at one end of the chain and an alcohol or amine at the other Mechanism hydolysis The mechanism of a hydolysis reaction requires a catalyst to coordinate with a lone-pair of electrons on the carbonyl oxygen During metabolic hydrolysis an enzymes (an esterase or amidase) functions as the catalyst. The result of this step is that the carbonyl carbon becomes more positively-charged than a normal Water, which is a nucleophile, attacks this carbon Phase II Metabolites During phase II metabolism parent compounds and phase I methabolites are either detoxified or converted into more water-soluble entities that can then be excreted Common classes of phase II metabolisms include: Glucuronide conjugates Sulfate conjugates Glycine and glutamate conjugates Glutathione conjugates Acetylation Methylation Glucuronide Conjugates Among the most common phase II metabolites Body has large supply of glucuronic acid, which is made from D-glucose. Functionall groups susceptible to glucuronidation include: alcohols and phenols, carboxylic acids, amines, thiols Sulfate Conjugates Sulfate conjugates are formed mainly from phenols, although they can also be formed from alcohols and aromatic amines There is less available sulfate in the body than there is glucuronic acid.

The coenzymes 3-phosphoadenosine-5-phisphosulfate (PAPS) is responsible for transferring a sulfate to a suitable substrate in the presence of the enzyme sulfotransferase Glycine and Glutamine Conjugates Glycine and glutamine from conjugates with carboxylic acids The products are carboxyamides, and are more water-soluble than the carboxylic acids Glutathione Conjugates Glutathione (GSH) conjugation is a means by which the body can detoxy reactive electrophilic spesies Glutathione possesses a nucleophilic thiol (SH) group that can react with electrophiles before they react with other nucleophiles such as those that belong to critical components, including proteins and DNA Most often, the glutathione conjugates are degraded enzymatically by cleaving the glutamic acid and glycine moities and then the amino group of the cysteine is acetylated Glutathione reacts with electrophiles by two main mechanisms: Nucleophilic substitution Nucleophilic addition to an electron-deficient double bond Acetylation Primary amines undergo acetylation of the amino group to geive acetamides Unlike the other phase II metabolic pathways acetylation does not necessarily lead to more water-soluble metabolites. Acetylation serves as a means to terminate the activity or detoxify primary amines Primary amines are often formed from phase I reduction of aromatic nitro groups Acetyl-CoA, in the presence of N-acetyltransferases adds an acetyl group onto the amine Acetylation can occur on the primary amino group of aliphatic and aromatic amines, sulfonamides, hydrazines, and hydrazides Methylation Methylation is a relatively minor phase II metabolic pathway Among the groups that undergo this reaction are phenols, catechols (orthodihydroxyaromatic compounds), amines, and thiols. Methylation does not increase water solubility, but it does usually render the metabolite biologically inactive

ELIMINASI Faktor yang mempengaruhi: 1. Kadar zat aktif 2. Aliran darah organ 3. Ikatan protein 4. Bersihan intrinsik 5. Barrier difusi Faktor lain: 1. Faktor biologis 2. Sirkulasi enterohepatik 3. Keadaan penyakit 4. Interaksi obat Kadar obat CL=kecepatan max dibagi kadar input Pada kadar obat tinggi: jumlah obat yang dieliminasi per satuan waktu mendekati batas kecepatan max dari sistem Pada kadar obat rendah: CL konstans, eliminasi linier Aliran darah organ Jika organ memiliki kapasitas eliminasi yang kecil aliran darah tidak berefek pada CL Ikatan protein Ikatan obat pada makromolekul (protein plasma & eritrosit)CL Bersihan intrinsik Bersihan intrinsik: kapasitas keterkaitan kemampuan bawaan organ untuk mengeliminasi senyawa Barrier difusikemampuan obat melintasi membraneliminasi Faktor biologis Umur Jenis kelamin Spesies Keturunan Ritme biologis Perubahan genetik Sirkulasi enterohepatik Beberapa obat & metabolit yang diekskresikan ke dlm empedu kembali masuk ke dlm sistem sirkulasi mll reabsropsi dari rongga usus dlm bentuk ekskresi atau dapat diabsorpsi Obat yang diekskresikan ke dlm empedu sbg bentuk glukuronida, sulfat atau konjugat glutation mrp sasaran aril sulfatase & -glukuronidase u/ regenerasi mjd senyawa induk & direabsorpsi

JALUR PEMBERIAN OBAT Obat dapat diberikan secara oral atau parenteral (yaitu melalui jalur nongastrointestinal) Oral. Sebagian besar obat diabsorpsi melalui jalur ini dan cara ini paling banyak digunakan karena kenyamanannya. Akan tetapi, beberapa obat (misalnya benzilpenisilin, insulin) dirusak oleh asam atau enzim dalam usus dan harus diberikan secara parenteral. Suntikan intravena. Obat langsung masuk ke dalam sirkulasi dan tidak melewati sawar absorpsi. Cara ini digunakan: Saat dibutuhkan efek yang cepat (misalnya furosemid pada edema paru) Untuk pemberian yang kontinu (infus) Untuk volume yang besar Untuk obat-obat yang menyebabkan kerusakan jaringan lokal bila diberikan melalui cara lain (misalnya obat sitotoksik) Suntikan intramuskular dan subkutan. Obat-obat dalam larutan berair (aquaeous) biasanya cukup cepat diabsorpsi, tetapi absorpsi dapat diperlambat dengan memberikan obat dalam bentuk ester (misalnya sediaan depo antipsikosis) Jalur lain termasuk inhalasi (misalnya anestetik volatil, beberapa obat yang digunakan pada asma) dan topikal (misalnya salep). Pemberian obat secara sublingual dan rektal digunakan untuk menghindari sirkulasi portal, dan sediaan sublingual secara khusus sangat penting dalam pemberian obat yang mengalami meabolisme lintas pertama derajat tinggi. terminologi oral peroral (per os) sublingual parenteral intravena intraarterial intrakardiak intraspinal atau intraterkal intraosseous intraartikular intrasinovial intrakutan atau kulit subkutan intramuskular epicutaneous (topical) transdermal konjunktival intra okular intra nasal aural intraespiratori rektal vaginal uretral gas cair lokasi mulut lambung melalui mulut di bawah lidah selain dari saluran lambung (dengan penyuntikan) melalui vena melalui arteri melalui jantung melalui spinal melalui tulang melalui persendian melalui daerah cairan persendian melalui kulit melalui di bawah kulit melalui jaringan permukaan kulit permukaan kulit, melalui kulit konjunktiva melalui mata ke dalam selaput hidung kuping/telinga melalui alat pernapasan melalui rektum melalui vagina malalui uretra erosol, spray larutan, losio suspensi sirup eliksir magma gel salap krem plester pasta tablet kaplet kapsul serbuk trokhisi - lozzenges rute pemberian oral sediaan utama tablet kapsul larutan sirup eliksir suspensi magma gel serbuk tablet trokkhisi-lozinges larutan suspensi salap krem pasta plester serbuk erosol losio patch, disc, larutan transdermal pompa infusi insert lensa kontak salap larutan suspensi larutan spray (semprotan) inhalan salap erosol larutan salap supositoria larutan salap busa emulsi tablet insert, ovula, sponge larutan bacila

sublingual parenteral epicutaneous/transdermal

konjungtival intra okular/ intra nasal

semi solida

intra repositori rektal

vaginal

padat (solida)

uretral

DISTRIBUSI DAN EKSKRESI Distribusi obat ke seluruh tubuh terjadi saat obat mencapai sirkulasi. Selanjutnya obat harus masuk ke jaringan untuk bekerja. t1/2 (waktu paruh) adalah waktu yang dibutuhkan sehingga konsentrasi obat dalam darah berkurang setengah dari nilai awal-nya. Pengukuran t1/2 memungkinkan penghitungan konstanta kecepatan eliminasi (elimination rate constant (Kel) dengan rumus: Kel = 0,69/t Kel adalah fraksi obat yang ada pada suatu waktu yang akan tereliminasi dalam satu satuan waktu (misalnya Kel = 0,02 menit-1 berarti bahwa 2 % dari obat yang ada dieliminasi dalam waktu 1 menit) Kurva eksponensial dari konsentrasi plasma (Cp) terhadap waktu (t) diuraikan sebagai berikut: Cp = Co e Kelt Di mana Co = konsentrasi awal plasma. Dengan menggunakan logaritma, kurva eksponensial dapat ditransformasikan menjadi garis lurus yang lebih sederhaa (grafik bawah kanan), sehingga co dan t1/2 dapat ditentukan dengan lebih mudah. Volume distribusi (VD). Volume distribusi adalah volume yang menunjukkan distribusi obat. Pada suntikan intravena: VD = dosis/Co Nilai VD < 5 L menunjukkan bahwa obat dipertahankan dalam kompartemen vaskular. Nilai VD < 15 L menunjukkan bahwa obat terbatas pada cairan ekstraselular, sementara volume distribusi yang besar (VD > 15 L) menunjukkan distribusi di seluruh cairan tubuh total atau konsentrasi pada jaringan tertentu. Volume distribusi dapat digunakan untuk menghitung bersihan obat. Bersihan (clearance) adalah konsep yang penting dalam farmakokinetik. Bersihan merupakan volume darah atau plasma yang dibersihkan dari obat dalam satuan waktu. Bersihan plasma (ClP) dirumuskan dengan: Clp = VD Kel Kecepatan eliminasi = Clp x Cp. Bersihan adalah penjumlahan nilai-nilai bersihan individual. Sehingga Clp = Clm (bersihan metabolik) + Clt (ekskresi ginjal). Bersihan, bukan t1/2, menunjukkan kemampuan hati dan ginjal untuk membuang obat. Dosis obat. Nilai bersihan dapat digunakan untuk merencanakan regimen dosis obat. Idealnya, pada pemberian obat, dibutuhkan keadaan konsentrasi plasma yang stabil (steady-state plasma concentration (Cpas)) dalam suatu kisaran terapeutik yang diketahui. Keadaan yang stabil akan tercapai bila kecepatan obat memasuki sirkulai sistemik (kecepatan dosis) sama dengan kecepatan eliminasi. Oleh karena itu, kecepatan pemberian dosis = Cl x Cpas. Persamaan ini dapat diterapkan untuk infus intravena karena seluruh dosis masuk ke sirkulasi dengan kecepatan yang diketahui. Untuk pemberian secara oral, persamaan menjadi: F x dosis obat = Clp x Cp , rata-rata Interval pemberian dosis Dimana F = bioavaibilitas obat. Nilai t1/2 obat berguna dalam pemilihan interval pemberian dosis yang tidak menyebabkan kadar puncak berlebihan (kadar toksik) dan kadar yang sangat rendah (kadar inefektif) Bioavaibilitas adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan proporsi obat yang diberikan yang mencapai sirkulasi sistemik bioavailabilitas 100% dicapai setelah suntikan intravena (F=1), tetapi biasanya obat diberikan secara oral dan proporsi dosis yang mencapai sirkulasi sistemik bervariasi pada oba yang berbeda-beda dan juga antara satu pasien dengan pasien lainnya. Obat yang cenderung mengalami metabolisme lintas pertama derajat tinggi mungkin hampir bersifat inaktif secara oral (misalnya gliseril trinitrat, lidokain).

Pada Tmax: kecepatan absorpsi obat sama dengan kecepatan eliminasi obat Tmax tidak selalu menggambarkan efek farmakologi yang maksimum Cp max mengindikasikan bahwa konsentrasi obat dalam plasma mencapai konsentrasi yang diinginkan untuk menghasilkan respon terapeutik Onset of time: waktu ketika obat mencapai konsentrasi MEC (baru menunjukkan efek) Duration: lamanya kerja obat memberikan efek Intensity: kadar obat yang memberikan efek farmakologi yang baik diantara MEC dan MTC

Sifat fisikokimia solubilitas/kelarutan disolusi

koefisien partisi

konstanta disosiasi

kelarutan zat/obat baru dalam air sangat penting dalam studi preformulasi. Obat yang diberikan secara oral harus larut dalam cairan salura cerna (GI) sebelum diabsorpsi. Kelarutan obat dalam cairan fisioloi dengan rentang pH 1-8 penting sekali diketahui menentukan kecepatan disolusi intrinsik obat pada rentang pH cairan fisiologis sangat penting karena dapat digunakan untuk melakukan prediksi absorpsi dan sifat fisiko kimia. Kecepatan disolusi ditentukan dengan berbagai cara. Nernst (1904) memodifikasi persmaan Noyes-Whitney (1897) yang secara umum diaplikasikan untuk disolusi padat sebagai berikut. dc = _____DA______ dt h. V ( Cs - C ) dimana: D = koefisien difusi h = ketebalan lapisan difusi pada antarmuka padat-cair A = luas permukaan obat yang diekspose pada medium disolusi V = volume media Cs=konsentrasi jenuh larutan obat dalam media disolusi C = konsentrasi obat dalam larutan pada waktu t. koefisien partisi dalam sistem minyak/air, seperti oktanol/air dan kloroform/air, merupakan indikasi lipofilitas obat. Rasio distribusi obat tidak terion antara fasa organik dan fasa air pada kesetimbangan adalah: P = C minyak ,P= koefisien partisi Cair Koefisien partisi digunakan sebagai alat empirik dalam meneliti sifat biologi dan kecepatan serta jumlah absorpsi obat di saluran cerna. Data koefisien partisi saja belum cukup untuk meneliti absorpsi in vvo kebanyakan obat merupakan asam atau basa lemah dan karakter ioniknya berpengaruh penting pada proses transfer melalui sel membran. Membran biologi pada umumnya bersifat lipofilik, dan obat berpenetrasi melewati barier membran dalam bentuk molekul tidak terdisosiasi. Oleh karena itu, konstanta disosiasi merupakan parameter absorpsi obat yang perlu untuk penelitian stabilitas dan solubillitas obat dalam larutan. pH = pKa + log _(A-)_ (HA) Sifat ruahan kemungkinan dapat berubah selama pengembangan. Oleh karena itu, perlu karakerisasi yang komprehensif dari semua komponen dalam formulasi untuk mencegah kesalahan dalam memperkirakan stabilitas atau kelarutan yang bergantung pada bentuk kristalin. Ada beberapa cara untuk melakukan studi bahan padat, misalnya mikroskopi, difraksi sinar X serbuk, analisis termogravimetrik, NMR spektroskopi, dan analisis disolusi solubility

Sifat fisika obat padat sifat ruahan dari bentuk padat meliputi: 1. Kristalinitas 2. Ukuran partikel 3. Higroskopisitas 4. Sifat aliran serbuk, dan 5. Morfologi permukaan

kristalinitas

polimorfisme

solvat

produksi partikel halus&karakteristik stabilitas kimia

kristalinitas dan struktur internal kristal bahan aktif dapat mempengaruhi sifat fisiko kimia dan fisikomekanik, mulai dari sifat aliran sampai stabilitas kimia. Kebiasaan kristal adalah mendeskripsikan penampilan luar kristal (bentuk plat, spatula jarum, tabular, dan prismatik). Struktur internal tunggal suatu senyawa dapat menunjukkan beberapa kebiasaan bergantung pada lingkungan pertumbuhan kristal. Perubahan struktur internal akan menyebabkan perubahan kebiasaan kristal, sedangkan perubahan kimia seperti konversi suatu garam menjadi asam bebas akan menyebabkan perubahan struktur internal maupun kebiasaan kristal dideskripsikan perbedaan utama dari solida dan bentuk fisik lain adalah apakah padatan berbentuk kristalin atau amorf. Pada karakterisasi kristal, atom atau molekul ditetapkan secara berulang dalam susunan tiga dimensi, sedangkan pada bentuk amorf, atom atau molekul tersusun secara acak seperti dalam suatu cairan. Banyak obat berada dalam bentuk polimorf atau keadaan amorf. Walaupun secara kimia identik, variasi struktur kristal yang ditemukan dalam polimorfisme yang berbeda akan menghasilkan perbedaan kelarutan dan kecepatan disolusi dari setiap bentuk. Bentuk amorf selalu lebih larut dari bentuk kristalnya. Untuk antibiotika novoblosin, telah dilaporkan adanya perbedaan signifikan efek terapeutik keduanya (amorf dan kristalin). Semua bentuk amorf dan bentuk kristalin akan dikonversi menjadi bentuk kristalin stabil. Polimorf metastabil akan dikonversi menjadi bentuk sabil secara perlahan-lahan atau secara cepat (bergantung zatnya), dan ini merupakan hal yang sangat penting dalam farmasi. Bentuk yang digunakan dalam farmasi adalah bentuk yang cukup stabil untuk menjaimin usia-guna-sediaan dan ketersediaan hayati. suatu senyawa kristalin dapat mengandung pelarut kristalisasi, baik secara stokiometri maupun non stokiometri. Hasil adisi (adduct) nonstokiometri, seperti inklusi atau klatrat, melibatkan penjeratan molekul solven dalam kisi kristal, suatu hasil adisi biasanya tidak diperlukan karena tidak dapat direproduksi. Suatu adisi stoikiometri dinyatakan sebagai suatu solvat apabila terbentuk suatu komplek molekular di mana molekul pelarut kristalisasi diinkorporasikan pada lokasi spesifik dalam kisi kristal. Suatu senyawa yang tidak mengandung air dalam struktur kristalnya dikatakan anhidrat. Perubahan suatu senyawa anhidrat menjadi bentuk hidrat dalam satu bentuk sediaan, dapat menurunkan kecepatan disolusi dan jumlah obat yang diabsorpsi. Contoh bentuk solvat yang penting adalah bentuk anhidrat dan trihidrat ampisilin penurunan ukuran paritikel zat sukar larut air akan menyebabkan peningkatan luas permukaan dan kecepatan disolusi, selanjutnya akan meningkatkan absorpsi di saluran cerna. Beberapa cara untuk menurunkan ukuran partikel, antara lain dengan penggilingan, pengayakan, dan kristalisasi terkendali penentuan stabilitas obat penting dilakukan sedini mungkin. Studi stabilitas preformulasi meliputi bentuk larutan dan keadaan padat pada beberapa kondisi penanganan: gormulasi, penyimpanan, dan pemberian in vivo. Pengaruh pH teerhadap faktor stabilitas sangat penting dalam pengembangan produk, baik untuk bentuk sediaan oral maupun parenteral. Obat

peka asam yang diberikan secara oral, harus dilindungi dari suasanan sangat asam seperti asam lambung. Pemilihan dapar untuk sediaan parenteral didasarrkan pada pertimbangan stabilitas. Cara sterilisasi sediaan parenteral bergantung pada stabilitas terhadap temperatur. Zat dengan stabililitas-terbatas terhadap suhu tinggi harus disterilkan dengan cara lain selain otoklaf (misalnya penyaringan, sterilisasi gas). Evaluasi terhadap stabilitas kimia penting sekali dilakukan. Caranya adalah dengan mengembangkan cara penentuan yang spesifik untuk bahan obat dan hasil uraiannya. Untuk tujuan spesifik dan kuantitaif digunakan metode HPLC (cara umum di famakope) penguraian kimia dalam stabilitas kimia obat dalam air untuk sediaan oral dan parenteral dengan pelarut air perlu diketahui. Untuk sediaan oral-padat penting sekali mengelusidasi mekanisme penguraian dan larutan air identitas hasil uraian. Reaksi penguraian yang penting meliputi hidrolisis, oksidasi, dan fotolisis. Farmakope amerika serikat dan farmakope eropa memberika impurities (pengotor, pencemar) dalam kebanyakan monografi bahan aktif. hidrolisis hidrolisis adalah proses penguraian yang sering ditemukan dalam formulasi obat. Reaksi terjadi pada ester, lakton, laktam, amida, imida, dan oksim. Dari segi kinetika, reaksi hidrolisis adalah orde dua akibat kecepatan proporsional terhadap konsentrasi kedua reaktan, yaitu bahan obat dan air. Dalam larutan air, di mana air berada dalam jumlah berlebih, konsentrasi air dapat dianggap tetap, reaksi berlangsung sebagai orde satu. Kecepatan hidrolisis dapat dipengruhi oleh konsentrasi ion hidrogen atau hidroksida apabila proses hidrolitik bergantung pada pH. Suatu obat mudah terurai dalam larutan air dapat menimbulkan masalah ketidakstabilan dalam sediaan oral dengan pelarut air. Contoh klasik adalah sediaan sirup multivitamin oksidasi penguraian oksidatif penting pula dalam evaluasi awal stabilitas. Senyawa, seperti fenol, amin aromatik, aldehida, eter, dan senyawa alifatik tidak jenuh, sebera bereaksi dengan oksigen dari atmosfer. Proses ini sering dinyatakan sebagai otooksidasi. Penguraian degradatif dapat dicegah dengan menghilangkan oksigen dengan cara mengisi/mengaliri bagian permukaan atas kemasan dengan gas nitrogen (inert) fotolisis cahaya dapat menyebabkan penguraian (fotolisis) yang berarti pada bahan obat. Sebagai contoh: riboflavin, natrium prusida, nifedipin, steroid, klorpromazin, hidroklorotiazida, cefotaxin, dan lain sebagainya. Reaksi fotolisis biasanya terikat dengan oksidasi karena reaksi ini sering diawali oleh cahaya. Bagaimana pun, reaksi fotolisisis tidak terbatas hanya pada oksidasi. penguraian kimia dalam keadaan padat pertimbangan kinetika pada umumnya reaksi dalam keadaan padat lebih lambat dan lebih sulit diinterpretasikan daripada reaksi dalam larutan. Beberapa metode untuk mengkaji pengaruh temperatur, kelembaban, dan cahaya terhadap stabilitas keadaan padat merupakan ketentuan dalam studi stabilitas sediaan farmasi. temperatur Persamaan Arrhenius k = A*e-Ea / RT log k = log A Ea/2,303 R*T pH larutan pH larutan obat dapat menunjukkan efek signifikan terhadap stabilitas, sedangkan pH profil kecepatan reaksi dapat memberikan data optimal untuk stabilitas. kekuatan ion kecepatan reaksi dapat dipengaruhi oleh kekuatan ion kosolven apabila suatu obat tidak stabil atau tidak larut dalam air, untuk stabilisasi atau untuk meningkatkan kelarutan digunakan kosolven bercampur air yang lazim digunakan adalah etanol, propilen glikol, gliserin, dan polietilenglikol berbobot molekul rendah. Kecepatan reaksi erat kaitannya dengan konstanta dielektrik campuran pelarut. studi kompatibilitas studi kompatibilitas padat-padat memainkan peranan sangat penting dalam studi preformulasi sediaan padat oral. Problem muncul karena kemungkinan terjadi interaksi dengan obat lain atau sesama eksipien, atau obat eksipien. Eksipien bisa berupa pengawet, stabilisator, zat warna, flavor, dan sebagainya. dalam campuran padat, interaksi kimia (inkompatibilitas) dapat terjadi menurut mekanisme berikut: 1. Penguraian dengan nukleasi melalui fasa gas 2. Kontraksi permukaan karena nukleasi dengan penutupan oleh hasil uraian 3. Penguraian yang dimediasi oleh kelembaban permukaan atau lapis tipis 4. Elektrik 5. Oksidasi 6. fotolisis

Farmakodinamik

Potensi: kepekaan organ/jaringan terhadap obat Peka: obat dengan dosis kecil sudah memberikan efek Efficacy (kemanjuran): maximum effect Affinity: measure of the tightness with wich a drug binds to a receptor Drug-receptor theory Occupancy theory Drug and receptor interact with each other Efek sebanding dengan jumlah reseptor yang diduduki (makin banyak reseptor yang diduduki maka efek makin tingi) Effect = max effect __[drug]__ KD + [drug] EC60=konsentrasi obat yang memberikan efek 50 % Agonis: memberikan efek 100 % Parsial agonis: tidak memberikan efek maksimal Antagonis: memberikan efek 0 % Efficacy obat A = obat B, tetapi obat A potensinya > dari obat B efficacy obat C < obat B, tetapi obat C potensinya > dari obat B Ket: Obat A dan obat B bekerja di reseptor yang sama Rate theory Agonist activity is proportional to the rate of drug-receptor combination rather than the number of occupied receptors Agonist activity is the result of a series of rapid association and dissociation of the drug and the receptor An antagonist has a high association rate but low rate dissociation (makin cepat obat menduduki reseptor, maka obat makin cepat memberi efek) Antagonis bekerja menghambat agonis karena memiliki laju asosiasi yang besar Antagonis: disosiasi besar, asosiasi kecil Agonis:asosiasi besar, disosiasi kecil Disosiasi = penguraian Asosiasi = pembentukan [D] + [R] [DR] kompleks Reseptor-obat

Agonist + competitif agonis (penghambatan terjadi di tempat yang sama) efikasinya tetap bagus, tetapi dosisnya harus lebih besar untuk menghasilkan efek maksimum (potensinya turun) Agonist + non competitif agonis (penghambatan terjadi di tempat yang berbeda) potensinya tetap, tetapi efikasinya kecil

potensi turun karena adanya competitif agonist

Efikasi turun karena adanya non competitif agonist

Induced-fit theory of enzyme-substrate interaction Terikatnya substrat atau obat kepada reseptor menginduksi perubahan konformasional 3 dimensi posisi gugus katalitik di dalam makromolekul yang katalitik di dalam makromolekul yang menyebabkan perubahan kimia atau perubahan sifat membran MEKANISME INTERAKSI OBAT-RESEPTOR Setelah terjadi ikatan dengan reseptor, obat akan bekerja memulai respon (aksi stimulan atau agonis) atau menurunkan potensial aktivitas reseptor (aksi antagonis) dengan menghambat molekul aktif masuk padanya

Você também pode gostar