Você está na página 1de 55

PERSPEKTIF PIDANA ISLAM DALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA Oleh : Bambang Widiyantoro

A. Pendahuluan Dalam masyarakat konteks seringkali pemahaman tercampur hukum pidana di dalam dengan

perisitilahan

pidana

pemidanaan. Sehingga pemahaman terhadap kedua istilah tersebut mengacaukan pemahaman terhadap fungsi dari keduanya. Pidana (straaf)
1)

merupakan penderitaan yang dijatuhkan dengan sengaja

oleh negara (melalui pengadilan), pada seseorang, yang secara sah telah melanggar hukum pidana, melalui proses peradilan pidana. Halim
2)

menyatakan tindak pidana (delik adalah) : Suatu perbuatan

atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang (pidana). Prof. Moeljatno, SH, beliau menggunakan istilah perbuatan pidana, mengatakan bahwa suatu perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan perbuatan yang oleh satu aturan hukum dilarang dan diancam pidana,

1)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005), hlm. 1. 2) Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002), hlm. 7.

asal saja alam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.3) Hazewinkel-Suringa mengartikan tindak pidana (strafbaarfeit) sebagai:

Perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh UU. Suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya.

Sedangkan pemidanaan bisa diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memidana atau tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Pengertian pemidanaan (hukuman) dalam istilah Arab sering disebut uqubah, yaitu bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar

ketentuan syara yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Adapun hukuman secara bahasa berarti siksa, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, bahwa kata hukum biasanya diungkapkan dengan kata siksa. Misalnya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :
3)

Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun.

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hambah dengan hamba dan wanita dengan wanita, Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendak (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.

Selain kata azab di ayat tersebut, ada juga kata lain yang berarti sama dengan siksaan yaitu kata iqa>b sebagaimana Firman Allah dalam surat Ar-Rad ayat 6 :

Artinya: Mereka meminta kepadamu supaya disegerakan (datangnya) siksa, sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia sekalipun mereka zalim, dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaNya.

Sedangkan hukuman seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir sebagai berikut: Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara.

Dari beberapa bahasan tersebut dapatlah di pahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara sebagai pembalasan perbutan yang melanggar syara, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu Maksud pokok hukuman adalah memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia yang menjaga mereka dari hal-hal mafsadah, karena Islam itu sebagai rahmatan lilalamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia. Adapun syarat adanya pemidanaan adalah adanya ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya (syari), ada pelaku pidana (maddi) dan adanya perbuatan pidana (adabi). Di dalam Islam dikenal prinsip-prinsip dalam pemidanaan yaitu :
1. Harus sesuai dengan hukum Islam,

2. ada bukti, 3. bukan balas dendam,


4. bertujuan untuk kemaslahatan dan 5. hati-hati dalam pelaksanaan pemidanaan.

Tujuan pemidanaan sendiri dapat dikaji dalam perspektif AlQuran, hukum Islam dan tujuan hukum pada umumnya. Menurut AlQuran tujuan pemidanaan dapat berarti :

1. Penghinaan di dunia, maupun siksaan, baik di dunia maupun

akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku perampokan (QS. Al-Maidah (5) : 33)
2. Siksaan di dunia, maupun pembalasan, baik di dunia maupun

akhirat, sebagaimana diberikan kepada pelaku pencurian (QS. AlMaidah (5) : 38)
3. Pembalasan (qisas) di dunia, maupun sebagai azab, baik di dunia

maupun

akhirat,

sebagaimana

diberikan

kepada

pelaku

pembunuhan dengan segaja (QS. Al-Nisa (4) : 42) Hukum Islam karena bersumber dari Al-Quran dan Hadist mempunyai tujuan pemidanaan yang berkaitan dengan :
1. Pencegahan umum dan khusus

Terhadap tujuan pemidanaan ini dapat diberikan sanksi yang berat yang dimaksudkan untuk menimbulkan rasa takut, penderitaan, penyesalan dan menjerakan, misalnya dengan pidana mati (rajam atau salib), amputasi anggota tubuh, qisas dan hukuman cambuk.
2. Pembinaan maupun memperbaiki perilaku manusia

Terhadap tujuan ini diberikan sanksi pidana yang ringan, misalnya dalam bentuk pembuangan, penahanan, pemasyarakatan dan pemenjaraan.4)

4)

Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2012, hlm. 11.

Tentang

tujuan

pemidanaan

secara

umum

dapat

dikelompokkan menjadi 3 yakni: 1. Teori Absolut Teori ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
2. Teori Relatif (tujuan)

Teori

ini

memandang

bahwa

pemidanaan

bukan

sebagai

pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju

kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana

pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan ke masyarakat. Teori relatif berasas pada 3 (tiga) tujuan utama pemidanaan yaitu

preventif, detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku

kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan yang bisa dibedakan untuk individual, publik dan jangka panjang
3. Teori Gabungan.

Teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis (tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh

pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Dalam hukum pidana tentang pemidanaan diatur dalam Pasal 10 KUHP yang mengenal beberapa jenis pidana sebagai yaitu : 1. Pidana pokok: a. pidana mati, b. pidana penjara, c. pidana kurungan, d. pidana denda.

2. Pidana tambahan: a. pencabutan hak-hak tertentu,


b. perampasan barang-barang tertentu,

c. pengumuman putusan Hakim. Dalam KUHP konsep Bab III Buku I Pasal 65 dikenal beberapa macam pidana, yaitu : a. Pidana Pokok
1. Pidana penjara 2. Pidana tutupan 3. Pidana pengawasan 4. Pidana denda

5. Pidana kerja sosial


b. Pidana Tambahan : 1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan

3. Pengumuman putusan hakim 4. Pembayaran ganti kerugian

5. Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat

B. Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh jinayah adalah segala ketentuan hukum nengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil hukum yang terperinci dari Alquran dan hadis. (Dede Rosyada, 1992: 86). Tindakan kriminal adalah tindakan kejahatan yang mengganggu ketenteraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan. Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah SWT yang mengandung kemaslahatan dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Syariat dimaksud, secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yaitu menempatkan Allah SWT sebagai pemegang segala hak-hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana yang berkewajiban memenuhi perintah Allah SWT. Perintah Allah SWT dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. Al-Quran merupakan penjelasan Allah SWT tentang syariat, sehingga disebut

Al-Bayan (penjelasan). Penjelasan dimaksud secara garis besar mempunyai empat cara dan sala satunya adalah Allah SWT memberikan penjelasan dalam bentuk nash (tekstual) tentang syariat sesuatu, misalnya: orang yang membunuh tanpa hak hukumnya harus dibunuh oleh keluarga korban atas adanya putusan dari pengadilan. Orang berzina harus dicambuk 100 kali bagi pelaku yang berstatus pemuda dan pemudi. Namun, bagi pelaku yang berstatus janda atau duda dan/ atau sudah menikah hukumannya adalah dirajam. Demikian juga perbuatan yang berkaitan dengan peminum khamar, pencurian, perampokan, penuduhan berzina, dan orang murtad. Halhal seperti itu dijelaskan sanksi hukumnya di dalam Al-Quran. Pemahaman jarimah (Al-jarimah, delik atau perbuatan pidana atau tindak pidana) merupakan perbuatan yang dilarang syara dan pelakunya diancam oleh Allah SWT dengan hukuman hadd (bentuk tertentu) atau takzir (pelanggaran yang jenis dan bentuk hukumannya di delegasikan syara kepada hakim/penguasa). Yang dimaksud dengan larangan syara adalah melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman oleh syara atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan dan diancam hukuman oleh syara bagi yang

meninggalkannya. Sebagian ahli fikih mengidentikkan jarimah dengan jinayah (aljinayah). Secara etimologi al-jinayah berarti perbuatan pidana yang dilakukan seseorang dan hasil yang diakibatkannya. Oleh sebab itu,

10

jinayah

bersifat

umum,

meliputi

seluruh

perbuatan

pidana.

Berdasarkan pengertian inilah ulama fikih menggunakan istilah fikih jinayah sebagai salah satu bidang ilmu fikih yang membahas persoalan perbuatan pidana beserta hukumannya. Menurut Abdul Qadir Audah, dalam terminologi syarak jinayah mengandung bahasan perbuatan pidana yang luas, yaitu pelanggaran terhadap jiwa, harta atau yang lainnya. Jumhur ulama, menggunakan istilah jinayah untuk pelanggaran yang menyangkut jiwa dan anggota badan, yaitu pembunuhan, pemukulan, dan ijhad. Sedangkan, sebagian ulama lainnya, membatasi pengertian jinayah pada jarimah hudud dan jarimah qisas. Dengan demikian, istilah jarimah dan jinayah dalam terminologi syara adalah sama. Oleh karena itu, penamaan fikih jinayah sebagai bidang ilmu yang membahas berbagai bentuk perbuatan/tindak pidana dalam Islam dewasa ini adalah benar, dan sejalan dengan pengertian dan kandungan jarimah. Al-Qanun al-JazaI adalah Undang-undang yang mengatur balasan atau hukuman terhadap perbuatan pidana. Al-qanun al-jazai disebut juga al-qanun al-uqubat (dari kata al-uqubah yang berarti hukuman). Undang-undang ini termasuk kedalam hukum publik, yaitu hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat dan negara sebagai pemegang kekuasaan. Dalam fikih Islam,

pembahasan al-qanun al-jazai termasuk kedalam ruang lingkup fikih

11

jinayah, karena secara khusus undang-undang ini mengatur tentang hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana (jarimah). Tujuannya adalah untuk melindungi anggota masyarakat dari kejahatan orang lain. Persoalan yang dibahas dalam al-qanun al-jazai mencakup segala perbuatan/tindak pidana (delik) yang dilarang syariat Islam dan hukuman (sanksi) yang dijatuhkan terhadap pelakunya. Perbuatan/ tindak pidana tersebut dapat diklasifikasi atas tiga macam, yaitu jarimah hudud, qisas/diat dan takzir. Masing-masing mempunyai sanksi atau ancaman hukuman yang berbeda-beda.
1. Hudud (bentuk jamak dari hadd = batasan).

Hudud adalah ketentuan perbuatan pidana yang telah ditetapkan Allah tentang macam, batasannya, dan sanksi hukuman terhadap pelanggarnya. Yang termasuk dalam jarimah hudud antara lain pencurian (QS.5:38), zina (QS.24:2), dan menuduh orang lain berzina (QS.24:4). Terhadap ketentuan ini umat Islam hanya melaksanakannya saja sesuai yang dijelaskan nas. 2. Qisas/diat Qisas/diat adalah perbuatan pidana yang juga ditentukan

macamnya oleh Allah SWT, tetapi pelaksanaanya diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Jadi manusia memiliki dan

12

mempunyai alternatif untuk memilih jenis hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku perbuatan pidana tersebut. Qisas/diat berhubungan dengan masalah jiwa dan raga seseorang, seperti pembunuhan dan penyiksaan. Dalam hal ini, apabila terjadi pembunuhan terhadap seseorang, maka keluarga korban berhak memilih alternatif hukuman, yakni menuntut balas terhadap pelaku dengan hukuman yang serupa (qisas) atau meminta denda sebagai penyesalan dari pihak pelaku kepada keluarga korban (diat). Bahkan kalau keluarga korban memaafkan pelaku tanpa menuntut balasan apa-apa, maka pelaku terbebas dari saksi hukuman (QS.2:178). 3. Takzir Takzir adalah ketentuan hukuman berbentuk pengajaran yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nas, tetapi perlu dijatuhkan terhadap pelaku. Menurut ulama fikih, yang berhak untuk menentukan hukuman takzir ini adalah pemerintah (melalui Hakim Pengadilan). Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan pertimbangan ketertiban dan kemaslahatan masyarakat. Jadi, hukuman takzir sebenarnya cukup luas. Selain yang dijelaskan dalam al-Quran dan sunah,

pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan hukuman takzir terhadap pelaku perbuatan pidana yang bukan termasuk hudud dan qisas/diat. Sebagai ulill-amri, pemerintah berhak memutuskan sesuai dengan pertimbangan situasi dan kondisi

13

masyarakatnya. Di sinilah peluang pemerintah untuk merumuskan undang-undang hukum pidana yang dengan semangat nas. Karena itu, dalam perumusan undang-undang hukum pidana Islam perlu ijtihad oleh pemerintah. Namun demikian, ada kaidah atau asas yang perlu diperhatikan dalam perumusan hukum pidana ini yaitu :
a. Asas bahwa hukuman tidak dapat berlaku surut ke belakang,

artinya, tidak ada satu perbuatanpun yang dapat dihukum kecuali ada undang-undang yang mengaturnya. Ini disebut juga dengan asas legalitas. Jadi, pebuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh undang-undang tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Kedua, asas bahwa pemerintah tidak dapat menafsirkan secara luas nas Al-Quran maupun AsSunnah yang berkaitan dengan hukum pidana. Pemerintah tidak boleh menerima pemikiran-pemikiran yang bertentangan

dengan prinsip-prinsip hukum pidana Islam. Jika dikaji ketentuan pada hukum pidana umum (KUHP) dengan pidana dalam hukum Islam, maka terdapat sinkronisasi diantara keduanya : 1. Qisas
a. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, merupakan

kejahatan terhadap jiwa atau hilangnya nyawa, sehingga dapat

14

diberikan sanksi pidana : mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun.
b. Pasal 140 (3) KUHP, tentang kejahatan terhadap negara

sahabat dan kepala negara/wakilnya pada tindak pidana pembunuhan. Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun.
c. Pasal

444,

KUHP,

tentang

kejahatan

pelayaran

pada

pembajakan yang berakibat hilangnya nyawa. Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.
d. Pasal 302 ayat (3) KUHP tentang terorisme (matinya orang).

Sanksi pidananya : pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau minimal lima tahun. Pasal-pasal tersebut adalah qisas sesuai (QS. Al-Baqarah (2): 178) dan al-Maidah (5): 45) 2. Takzir

a. Pasal 242 KUHP, tentang sumpah dan keterangan palsu.

Sanksi pidananya : penjara tujuh sampai sembilan tahun


b. Pasal 310-321 KUHP, tentang penghinaan. Sanksi pidananya :

penjara sembilan bulan sampai satu tahun empat bulan.


c. Pasal 332-333 KUHP, tentang membuka rahasia. Sanksi

pidananya : penjara tujuh sampai 12 tahun.

15

d. Pasal 375 KUHP, tentang sumpah/keterangan palsu. Sanksi

pidananya : maksimal penjara tujuh sampai sembilan tahun


e. Pasal 457-459 KUHP, tentang pembocoran rahasia. Sanksi

pidananya: pidana penjara maksimal lima tahun, minimal satu tahun.


f.

Pasal 508 KUHP, tentang perbuatan curang (penipuan). Sanksi pidananya adalah penjara empat tahun.

3.

Hudud

a. Pasal 199 KUHP, tentang Makar menghilangkan nyawa,

merampas kemerdekaan dan menjadikan tidak cakap presiden dan wakilnya. Sanksi pidananya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau minimal lima tahun.
b. Pasal 204 KUHP, terkait hubungan Negara/organisasi asing

untuk memusuhi negara Indonesia. Sanksi pidananya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau minimal penjara lima tahun.
c. Pasal 218 ayat (3) KUHP, terkait menyerahkan kepada musuh,

menghancurkan tempat penjagaan sebagai perbekalan perang Indonesia dan disersi di kalangan tentara. Sanksi pidananya adalah pidana Mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau penjara minimal lima tahun.

16

d. Pasal 231 ayat (2) KUHP, tentang Makar menghilangkan

nyawa, merampas kemerdekaan presiden dan wakil negara sahabat yang berakibat matinya. Sanksi pidananya adalah pidana mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahun, atau paling singkat tiga tahun. Jika dikaji dalam KUHP konsep maka juga terlihat adanya sinkronisasi dengan hukum pidana Islam ini. Pada awal sejarah Islam, undang-undang hukum pidana langsung merujuk kepada petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Disamping itu, Nabi Muhammad Saw. juga bertindak sebagai hakim yang memutuskan perkara yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi SAW. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh Al-Kulafaar-Rasyidun sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.

C. Penerapan Pidana Islam Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia Berbicara tentang penerapan syariat Islam, tidak terlepas pada berbagai gerakan-gerakan Islam yang tidak pernah dari lelah yang

menyuarakan

diberlakukannya

syariat

Islam,

mulai

17

tergolong radikal sampai pada yang moderat, mulai dari yang menginginkan penerapan itu sekarang juga, sampai pada yang memberikan toleransi terhadap penerapan secara bertahap atau setelah siap infrastrukturnya.5) Ini menunjukkan bahwa dikalangan internal Islam sendiri terdapat berbagai versi yang muncul dengan berbagai aspirasi dalam menanggapi isu diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Perdebatan mengenai peluang penerapan syariat Islam di Indonesia, tampaknya merupakan polemik yang tak pernah

berkesudahan sejak sidang BPUPKI/PPKI pada tahun 1945. Pada masa pasca Orde Baru, masalah ini muncul kembali melalui perdebatan tentang perlunya amandemen pasal 29 UUD. Dua fraksi partai Islam yaitu Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) dan Fraksi Partai Bulan Bintang (F-PBB) dalam pemandangan umum bersikeras untuk memasukkan kembali Piagam Jakarta dalam Batang Tubuh UUD 1945, khususnya pasal 29.6) Penerapan hukum Islam atau syariah sebetulnya bukanlah hal baru. Telah sejak lama hal tersebut dipraktekkan oleh beberapa negara muslim, seperti Arab Saudi, Afghanistan, dan Sudan. Pada tingkat lokal, syariat Islam juga diberlakukan di Zamfara, sebuah provinsi di Nigeria. Undang-undang Islam di negara-negara ini secara keras diberlakukan, terutama menyangkut hukum pidana (hudud).
5) 6)

http://www.menaraislam.com Lihat, Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam http://www.islamlib.com

18

Agaknya, persoalan pidanalah yang menjadi ciri khas apakah sebuah negara muslim dianggap menerapkan syariat Islam atau tidak. Dalam sistem hukum Indonesia, dikenal berbagai sumber hukum nasional yang berasal dari hukum adat, hukum Islam dan hukum barat. Ketiga sumber hukum tersebut selalu berlomba untuk mejadi hukum nasional sehingga berlakulah berbagai teori hukum.7) Sesungguhnya UUD 1945 sangat akomodatif terhadap kepentingan warga negara dalam menjalankan ibadahnya. Dalam perspektif tata hukum Indonesia, fungsi negara adalah melindungi setiap agama dan pemeluknya melalui penjaminan pelaksanaan ibadah, memberikan dukungan fasilitas dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Agama haruslah menjadi landasan moral, karenanya setiap peraturan dan perundang-undangan yang bertentangan dengan moral dan agama seharusnya dikesampingkan. Secara normatif, menjalankan syariat Islam secara kaffah merupakan perintah Allah, dan

mengabaikannya dikategorikan sebagai manusia kafir, zalim, atau fasik.8) Dalam benak beberapa kelompok Islamis, hukum Islam memiliki kesakralan yang tidak bisa diganggu gugat. Terutama menyangkut hukum yang diatur dengan ayat-ayat yang qathi.
7)

A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi: I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006), h. 9 8) Lihat Ibdi, h. 2. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, (Q.s; al-Maidah/5:44). Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim, (Q.s; al-Maidah/5:45), Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik, (Q.s; al-Maidah/5:47).

19

Melawan atau memberikan tafsiran lain terhadap ayat-ayat tersebut bisa dianggap sebagai kekufuran. Meski demikian, masyarakat Islam secara luas nampaknya kurang begitu bersemangat dengan isu penerapan hukum Islam ini. Beberapa konsep dimungkinkannya penerapan hokum di Inonesia adalah
1. Syariat Islam tentang penataan hukum

Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan.9)

9)

H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991), h. 95-149

20

Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang beriman agar menjalankan hukumnya.10) Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul-Nya.11) Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsurunsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia.12)

10) 11)

A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 67 Ibid, h. 68 12) Ibid.

21

Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Quran. Al-Quran merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Quran itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah.13) Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Quran dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia, melalui metode ijtihad. Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah.14) Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Quran tentang

penataan dan penerapan hukum Islam, menegskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah
13) 14)

Ibid. Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Baqarah/2:208)

22

menetapkan hukum yang pasti dan jelas.15) Apabila mengabil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik.16) Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah. Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-norma hukum adat atau hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga.17) Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum

15)

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.S. al-Ahzab/33:36) 16) Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir, (Q.s; al-Maidah/5:44). Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim, (Q.s; al-Maidah/5:45), Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik, (Q.s; al-Maidah/5:47) 17) Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. ((Q.s; anNisaa/4:59)

23

positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam. 2. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto18) bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing. Selain Gibb, Charles J. Adams,19) mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hokum-hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.
18) 19)

H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 114 Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999), h. 11

24

Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati.20) Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam. Bahkan sebagaimana dikatakan Gibb bahwa hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.
3. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)

Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg yang mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum
20)

A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 73

25

kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakimhakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam.21) Teori Receptie in Complexu (RIC) menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.22) Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie.23) Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem
21) 22)

Ibid, h. 73-74 http://makalahdanskripsi.blogspot.com, Makalah Hukum Islam I (teori receptio in complexu) 23) Ibid.

26

hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundangundangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih yang dianggap representative telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.24) Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung

(subtansi hukumnya).
4. Syariat Islam dan Teori Receptie

Teori

Receptie

diperkenalkan

oleh

Prof.

Christian

Snouck

Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.25)
24) 25)

Ibid. A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 78

27

Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Beliau menyampaikan usul kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal dengan Islam Policy. Rumusan kebijakan terhadap hukum Islam antara lain :
a.

Dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam.

b.

Dalam

bidang

kemasyarakatan,

pemerintah

Hindia

Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku.
c.

Dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.26)

Menurut Dr. Alfian,27) teori receptive berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka

penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah
26) 27)

Abu Bakar Aceh, dalam, H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 124 Alfian (editor), Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997), h. 207-209

28

Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk

mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya. Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan.
5. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit

Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang

mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Hazairin menyebut teori Receptie adalah teori iblis.28)
28)

H. Ichtijanto S.A, Op.Cit, h. 127-128

29

Berdasarkan

pemikiran

dan

penentangannya

terhadap

teori

Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD. 1945 pasal 29 ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum nasional.29) Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan otoritas hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia. Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Quran dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.

29)

Ibid.

30

6. Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario

Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengemukakan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut :
a. bagi orang Islam berlaku hukum Islam,

b. hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, citacita batin, dan moralnya,
c. hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan

dengan agama Islam dan hukum Islam.30) Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive. Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada Pancasila dan UUD. 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum

agamanya, sesuai dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, aturan-aturan

30)

Selengkapnya lihat, H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina Aksara, 1980), h. 15-70

31

itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan.31) Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam. 7. Syariat Islam dan Teori Eksistensi Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A,32) yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut ; a. merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia,
31) 32)

A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 85 Teori Eksistensi ini adalah hasil pemikiran Ichtijanto yang ditulis dalam sebuah judul: Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, salah satu subjudulnya: Hukum Islam Ada dalam Hukum Nasional (Teori Eksistensi). Lihat, Cik Hasan Bisri, Hukum Islam di Indonesia, Pengembangan dan Pembentukan, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. 137

32

b. keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional, c. norma-norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia, dan d. sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia. Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional.33) Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.

33)

A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, Op.Cit, h. 89

33

Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undangundang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra miraj, nuzunul quran, maulid Nabi Muhammad. Dalam kajian ilmu hukum pada umumnya, ada yang disebut hukum positif dan hukum yang di cita-citakan. Hukum positif adalah hukum yang sedang berlaku disuatu negara, sedangkan hukum yang di cita-citakan yaitu hukum yang hidup dimasyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legal-formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu ubudiah dan muamalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum yang di cita-citakan. Persoalan seputar penting tidaknya syariat Islam dilegislasikan menjadi hukum nasional merupakan satu wacana yang kerap melahirkan perdebatan yang cukup panjang. Pemikiran kearah itu banyak disampaikan oleh berbagai kalangan, walaupun dapat

34

dipastikan bahwa pendapat para ahli tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis, kultural, ideologis, dan religiositas. Azyumardi Azra34) misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan positifasi syariat Islam menjadi hukum nasional, mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan merupakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya,

keterikatannya, dan pengetahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosilogis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas. Artinya hukum Islam tersebut tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontraproduktif ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, menurut Azyumardi Azra, perbedaan mazhab fikih juga perlu diperhitungkan, karena harus kita akui bahwa di dalam soal fikih, khususnya mengenai hudud, terdapat perbedaan yang dari dulu sampai sekarang belum teratasi. Jadi, ada masalah secara internal di dalam fikih itu sendiri. Misalnya soal hudud, atau lebih spesifik lagi soal hukum rajam. Ada kalangan ulama misalnya Mahmud Syaltut berpendapat, hukum rajam adalah hukuman maksimal. Padahal kalau hukum rajam itu menjadi hukum yang maksimal, maka salah satu filsafat hukum yang merupakan inti dari filsafat hukum adalah menghindari semaksimal mungkin hukum yang maksimal. Karena
34)

Lihat, wawancara Azyumardi Azra, dalam http://www.islamlib.com

35

kalau hukuman maksimal dijatuhkan maka fungsi aspek edukatif dari hukum menjadi hilang. Itu satu contoh yang perlu dipertimbangkan.35) Juhaya S. Praja, pendapatnya dalam merespon wacana dijadikannya hukum Islam sebagai penunjang pembangunan dalam kerangka sistem hukum nasional mengatakan bahwa, walaupun

dalam praktek tidak lagi berperan secara menyeluruh, hukum Islam masih memiliki arti besar bagi kehidupan pemeluknya. Setidaknya, ada tiga faktor yang menurut Juhaya Praja menyebabkan hukum Islam masih memiliki peranan besar dalam kehidupan bangsa. Pertama, hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenaan, dan larangan agama. Kedua, banyak keputusan hukum dan yurisprudensial dari hukum Islam telah diserap menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Ketiga, adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis dikalangan umat Islam sehingga peranan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang masih mempunyai pengaruh cukup besar. 36) Pendapat yang berbeda disampaikan Habib Riziq Shihab, menurutnya penerapan hukum Islam harus formalistik-legalistik melalui institusi Negara. dikatakan bahwa syariat Islam secara formal harus diperjuangkan dan harus diamalkan secara substansial. Tidak
35) 36)

Ibid. Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991), h. xv

36

ada gunanya memperjuangkan formalitas sedangkan substansialnya ditinggalkan. Sebaliknya ia tidak setuju bila mengatakan yang penting substantinya, formalitasnya tidak perlu. Justru dengan formalisasi, maka substansi bisa diamalkan. Juga diungkapkan pendapat Imam alGhazali yang berbicara tentang tata Negara Islam, bahwa agama adalah fondasi, pemerintahan sebagai penjaganya. Apa-apa yang tidak ada fondasinya pasti rubuh dan apa-apa yang tidak dijaga pasti akan hilang. Karenanya menurut Habib Riziq tidak boleh memisahkan agama dengan kekuasaan.37) Syariat Islam selama ini masih dipahami oleh sebagian orang sebagai hukum normatif yang tidak mempunyai sanksi yuridis atau kekuatan mengikat bagi masyarakat. Hukum yang bersifat normatif hanya dianggap sebagai patokan perilaku bagi seseorang dengan sanksi moral dari masyarakat. Oleh karena itu, keberlakuan syariat Islam sebagai hukum Islam diserahkan kepada tingkat akidah seseorang. Hal itu menjadi kontraproduktif ketika bengsa ini hendak memberlakukan syariat Islam secara kaffah. Kesalahpahaman

tersebut membuat syariat Islam hanya menjadi kekuatan moral ketimbang daya ikat hukum yang harus ditegakkan atau diberlakukan sebagai tuntutan akidah. Padahal syariat Islam di turunkan Allah kepada umat manusia untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Kekuatan syariat Islam dalam menata ketertiban dan kedamaian masyarakat
37)

Lihat wawancara dengan Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, tahun 2002), h. 99-100

37

selain yang bersifat normatif dalam bidang ubudiah dan muamalah, juga harus ditopang dalam bidang jinayah agar segala hak-hak masyarakat yang terampas bisa dikembalikan. Oleh karena itu, hukum pidana Islam sebagai hukum publik harus dilegislasi menjadi hukum positif.38) Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi modal atau kekuatan dalam usaha menuju penerapan syariat Islam menyangkut penerapan pidana Islam di Indonesia ;39) 1. Jumlah umat Islam cukup signifikan. 2. Maraknya gerakan-gerakan Islam yang senantiasa menyuarakan diterapkannya syariat Islam. 3. Gagalnya beberapa sistem hukum dan bernegara yang bukan Islam telah memunculkan rasa frustasi umat manusia, sehingga mereka membutuhkan alternatif-alternatif yang lain. Diantara alternatif itu ialah Islam. 4. Keberhasilan usaha-usaha politik dari kalangan Islam dan partaipartai politik Islam di beberapa negeri muslim. 5. Sejarah umat Islam yang cemerlang di masa lampau ketika mereka menerapkan syariat Islam. Sejarah cemerlang ini setidak-tidaknya bisa memunculkan kerinduan-kerinduan pada benak umat Islam atas kembalinya masa kejayaan mereka.
38) 39)

A. Rahmat Rosyadi dan H.M. Rais Ahmad, h. 96 www.menaraislam.com, Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam

38

Adapun hambatan-hambatan dalam usaha penerapan syariat Islam menyangkut penerapan pidana Islam di Indonesia adalah :
1. Hambatan eksternal berupa pihak-pihak yang memang sejak awal

memiliki antipati terhadap Islam dan syariat Islam. Mereka adalah para pengusung agama dan ideologi tertentu diluar Islam, terutama yang memiliki pengalaman pahit melawan Islam. Mereka

senantiasa menyebarluaskan pandangan yang negatif tentang Islam dan syariat Islam, misalnya dengan menjelek-jelekkan Islam dengan slogan Harem dan Pedang (sebagai simbol bagi pengungkungan kaum wanita dan kekerasan).
2. Hambatan dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis

kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul maaashiy.
3. Hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena

belum memahami syariat Islam, atau memahaminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl. 4. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam

39

dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbedabeda. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebit saling berseberangan satu sama lain. Jika dikaji kembali dari keseluruhan pembahasan yang ada sebelumnya, maka hasil akhir yang diinginkan adalah munculnya keadilan Islami dan Maqasid Al Syariah di Indonesia. Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaanperbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul.

Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu : mu`tazilah dan asy`ariyah. Pandangan dasar Mu`tazilah adalah bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Selanjutnya, baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar yaitu, tak bergantung pada wahyu.

40

Allah telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif. Menurut Qutb, keadilan sosial dalam Islam mempunyai karakter khusus, yaitu kesatuan yang harmoni. Islam memandang manusia sebagai kesatuan harmoni dan sebagai bagian dari harmoni yang lebih luas dari alam raya di bawah arahan Penciptanya. Keadilan Islam menyeimbangkan kapasitas dan keterbatasan manusia, individu dan kelompok, masalah ekonomi dan spiritual dan variasi-variasi dalam kemampuan individu. Keadilan Islam berpihak pada kesamaan kesempatan dan mendorong kompetisi. Keadilan Islam menjamin kehidupan minimum bagi setiap orang dan menentang kemewahan, tetapi tidak mengharapkan kesamaan kekayaan.40) Maqasid Al Syariah berarti tujuan Allah SWT dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam.41) Sementara menurut Wahbah al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara' yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari' dalam setiap ketentuan hukum.42) Menurut Syathibi tujuan akhir hukum tersebut adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.43)
40) 41)

http://diqa-butarbutar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3 hal.292 42) Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 hal. 225 43) Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 225

41

Maqasid Al Syariah, yang secara substansial mengandung kemashlahatan, menurut al Syathibi dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama maqasid al syari' (tujuan Tuhan). Kedua maqasid al mukallaf (tujuan mukallaf). Dilihat dari sudut tujuan Tuhan, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek, yaitu:44)
1. Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan

manusia di dunia dan akhirat. 2. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.

4. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum. Begitu pula dari sudut maqasid al mukallaf, Maqasid Al Syariah mengandung empat aspek pula, yaitu:45)
1. Pembicaraan mashlahah, pengertian, tingkatan, karakteristik, dan

relativitas atau keabsolutannya.


2. Pembahasan dimensi linguistik dari problem taklif yang diabaikan

oleh juris lain. Suatu perintah yang merupakan taklif harus bisa dipahami oleh semua subjeknya, tidak saja dalam kata-kata dan kalimat tetapi juga dalam pengertian pemahaman linguistik dan

44)

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999, hal.43 45) Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997 hal 251

42

kultural. Al Syathibi mendiskusikan problem ini dengan cara menjelaskan dalalah asliyah (pengertian esensial) dan

ummumiyah (bisa dipahami orang awam).


3. Analisa pengertian taklif dalam hubungannya dengan kemampuan,

kesulitan dan lain-lain.


4. Penjelasan aspek huzuz dalam hubungannya dengan hawa dan

ta'abud. Mayoritas peneliti membagi kemashlahatan menjadi dua macam, kemashlahatan akhirat yang dijamin oleh akidah dan ibadah dan kemashlahatan dunia yang dijamin oleh muamalat. Tetapi dalam pembahasan ini, tidak ditemukan korelasi yang mengharuskan untuk memperhatikan pembagian ini. Karena pada hakekatnya segala hal yang terkait dengan akidah, ibadah dan muamalat dalam syariat Islam menjamin segala kemashlahatan umat baik sisi dunia maupun akhirat.46) Kemashlahatan yang menjadi tujuan syariat ini dibatasi dalam lima hal, agama, jiwa/nafs, akal, keturunan dan harta. Setiap hal yang mengandung penjagaaan atas lima hal ini disebut maslahah dan setiap hal yang membuat hilangnya lima hal ini disebut mafsadah.47)12

46)

Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992 halaman 71 47) Ibid. hal. 110.

43

Adapun setiap hal yang menjadi perantara terjaganya lima hal ini, dibagi menjadi tiga tingkatan kebutuhan yaitu al dlorruriyat, al hajiyat dan al tahsinat.48)
1.

Kebutuhan dhoruriyat Definisinya adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut juga kebutuhan primer. Apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi maka keselamatan ummat manusia akan terancam, baik di dunia maupun di akhirat. Menurut Al Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini yaitu memelihara agama, jiwa, kehormatan, keturunan dan harta. Untuk memelihara lima hal pokok inilah syariat Islam diturunkan. Dalam setiap ayat hukum apabila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima hal pokok di atas. Seperti kewajiban qisas: Artinya : "Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu hai orang-orang yang bertakwa" 48) Dari ayat ini dapat diketahui bahwa disyariatkannya qisas karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat

dihilangkan.
2.

Kebutuhan al hajiyat

48) 48)

Ibid, baca juga: Taufik Abdullah (ketua editor), op.cit, hal 292-294. Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179.

44

Al Syatibi mendefinisikan sebagai kebutuhan sekunder. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi keselamatan manusia tidak sampai terancam. Namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan tersebut. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abdul Wahhab Khallaf. Merupakan contoh kepedulian syariat Islam terhadap kebutuhan ini. Contoh pembolehan tidak berpuasa bagi musafir, hukuman diyat (denda) bagi seorang yang membunuh secara tidak sengaja, penangguhan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan.
3.

Kebutuhan al tahsinat Definisinya adalah kebutuhan yang tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak pula menimbulkan kesulitan apabila tidak terpenuhi. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan Al Syatibi seperti hal yang merupakan kepatutan menurut adat-istiadat menghindari hal yang tidak enak dipandang mata dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma dan akhlak, dalam berbagai bidang kehidupan seperti ibadah muamalah, dan uqubah. Allah SWT telah mensyariatkan hal yang berhubungan dengan

kebutuhan tahsinat. Contoh anjuran berhias ketika hendak ke masjid, anjuran memperbanyak ibadah sunnah, larangan

penyiksaan mayat dalam peperangan/ muslah.

45

Al Syatibi juga membagi mashlahah dalam tiga hal:49)


1. Mashlahah muktabar, yaitu kemashlahatan yang berhubungan

dengan penjagaan pada lima hal sebagaimana diungkap di atas. Usaha pemeliharaan kemashlahatan yang lima ini adalah

pemeliharaaan yang dhoruri (yang paling utama). Itulah sebabnya diharuskannya berjihad kepada yang kuat fisiknya untuk melawan serangan musuh yang bermaksud menghancurkan agama dan tanah air. Ditetapkannya hukuman qisas untuk menjamin

keselamatan jiwa, dan lain-lain.


2. Mashlahat mulgha, yaitu sesuatu yang sepintas lalu terlihat

mashlahat, tetapi ada mashlahat yang lebih besar sehingga mashlahat yang kecil itu boleh diabaikan. Sebagai contoh, pada suatu ketika Abdurrahman ibn Hakam, gubernur Andalusia, meminta fatwa kepada Imam al Laitsi tentang kafarat karena telah membatalkan puasa Ramadhan dengan mencampuri istrinya di siang hari. Al laitsi memfatwakan bahwa kafaratnya harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Pengambilan keputusan ini diambil dengan argumen bahwa memerdekakan budak atau memberi makan 60 oarang miskin terlalu ringan bagi seorang gubernur, maka dikawatirkan sang gubernur meremehkannya. Kemashlahatan yang lebih besar dalam kasus ini adalah kemashlahatan agama.
49)

Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153

46

3. Mashlahat mursalah, yaitu kemashlahatan yang tidak terkait

dengan dalil yang memperbolehkan atau melarangnya, contoh untuk mengatasi merajalelanya pemalsuan hak milik atas barangbarang berharga atau pemalsuan isteri agar dapat bebas kumpul kebo maka atas pertimbangan mashlahah mursalah boleh diadakan ketentuan kewajiban mencatat dan keharusan

mempunyai keterangan yang sah setiap terjadi akad jual beli, nikah, hibah dan lain sebagainya. Al Syatibi memberikan gambaran tentang karakter mashlahah:50)
1.

Tujuan legislasi (tashri') adalah untuk menegakkan mashlahah di dunia ini dan di akhirat.

2.

Syari' menghendaki masalih harus mutlak

Alasan bagi kedua pertimbangan di atas ialah bahwa syariah telah dilembagakan harus abadi, universal (kull), dan umum (amm) dalam hubungannya dengan segala macam kewajiban (takalif), subjek hukum (mukallafin) dan kondisi-kondisi (ahwal). Ketiga karakter di atas menuntut mashlahah harus mutlak dan universal. Kemutlakan berarti bahwa mashlahah tidak boleh subjektif dan relatif. Kenisbian biasanya didasarkan pada sikap menyamakan suatu masalah dengan salah satu dari kondisi kesenangan pribadi, keuntungan pribadi, pemenuhan keinginan nafsu dan kepentingan

50)

Muhammad Khalid Mas'ud, Op.cit. hal. 238.

47

individu. Semua pertimbangan di atas memberikan konsep mashlahah akan makna relatif syari' dan subjektif, yang bukan meski merupakan mungkin

pertimbangan

dalam

mashlahah,

dipertimbangkan dalam budaya adat. Unsur universal dalam karakter di atas, tidak dipengaruhi oleh takhalluf (memperkecil) unsur-unsur partikulernya. Misalnya hukuman diberlakukan berdasarkan ketentuan universal bahwa biasanya hukuman ini mencegah orang dari melakukan kejahatan dengan mengabaikan orang-orang tertentu yang walaupun dihukum, tidak dapat menahan diri dari melakukan suatu kejahatan. Keberadaan orang-orang tertentu ini tidak mempengaruhi validitas ketentuan umum tentang hukuman. Kemashlahatan asasi bagi al Buthi, sebenarnya hanyalah satu yaitu terciptanya penghambaan seorang mukallaf kepada Allah dan ma'rifat billah.51) Al Buthi mendasarkan pada dalil : .......
Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah

kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ".52)

51) 52)

Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112. Al qur'an: Al Qashash 77.

48

Al Buthi menandaskan bahwa mayoritas ahli tafsir bersepakat bahwa pernyataan la tansa nashibaka min al dunya, bermakna bagian dunia yang berfaedah bagi akhiratnya. Dalam memberikan batasan mashlahah, al Buthi memaparkan dua hal yang keluar dari kriteria mashlahah:53)
1.

Segala hal yang keluar dari substansi mashlahah dengan tujuan penjagaan lima hal contoh melepaskan ketentuan diri dari ketentuan ibadah, menginginkan kenikmatan berzina, melampaui batas penjagaan diri tanpa ketentuan yang dibenarkan syara' dan lain-lain.

2.

Segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan substansi mashlahah tetapi menjadi berubah karena tujuan yang tidak baik berdasar hadits: "innamal a'malu binniyat". Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya

bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Al Qur'an, Al Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan berdasar kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.

53)

Muhammad Said Rhomadhon al Buthi, op.cit, hal. 112.

49

Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal:54)
1.

Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnya syara'. Hal ini mungkin menurut mayoritas ulama.

2.

Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia. Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu

alat bantu untuk memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.55) Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, hampir keseluruhan
54) 55)

Ibid, hal 108. Taufik Abdullah (ketua editor), op cit. hal 294

50

metode yang dipertentangkan/ tidak disepakati oleh ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi. D. Kesimpulan Berdasarkan pemikiran-pemikiran diatas, dapat dikatakan bahwa syariat Islam bukan hanya simbolisme ajaran moral yang dilaksanakan secara ritual saja, tetapi merupakan pragmatisme ajaran yang mesti diaplikasikan dalam kehidupan manusia dalam mencapai keadilan dalam ke-Islaman dan Maqasid Al Syariah. Khususnya di Indonesia, menyangkut pelangsanaan pemidanaan, bila syariat Islam tidak dapat dilaksanakan secara kolektif melalui formalisasi atau otoritas negara, maka syariat Islam harus

dilaksanakan secara individual sebagai tuntutan akidah. Pelaksanaan syariat Islam secara individual memang hanya bisa pada tataran normatif yang berkaitan dengan ubudiah dan muamalah, sedangkan penegakan hukum Islam yang berhubungan dengan hukum publik, memang tetap mesti ada campur tangan negara, tentunya dengan mempertimbangkan segala aspek-aspek sosiologis sehingga dapat mendukung proses implementasinya.

51

DAFTAR PUSTAKA Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 2005). Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian Pertama (Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2002) Tofik Yanuar Chandra, Diktat Mata Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Univ. Jayabaya, tanpa tahun. Zainuddin Ali. Hukum Pidana Islam. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. Arskal Salim, Penerapan Syariat Bukan Negara Islam, dalam http://www.islamlib.com A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Edisi: I, Ghalia Indonesia, Bogor, April 2006). H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991). Alfian, Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (LP3S, Jakarta, 1997). Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Cet:VII, RadjaGrafindo Persada, Jakarta, 1999). H. Sayuti Thalib, Receptio a Contrario: Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, (Bina Aksara, 1980). Juhaya S. Praja, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran dan Praktik, (Rosda Karya, Bandung, 1991). Khamami Zadan dan Efendi Edyar bertajuk Jika Syariah Islam Jalan, Maka Jadi Negara Islam, dalam LAKPESDAM-TAF, Tashwirul Afkar, (Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan), (Edisi No. 12, Tahun 2002). (Q.s; al-Maidah/5:44). Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (Q.s; al-Maidah/5:45), Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (Q.s; al-Maidah/5:47). Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (Q.S. al-Baqarah/2:208). Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Q.S. al-Ahzab/33:36). Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai

52

Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Q.s; an-Nisaa/4:59). Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Al Qur'an, surat Al Baqarah ayat 179. Taufik Abdullah (ketua editor), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jakarta, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002, juz 3. Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh Islamy, Damaskus: Dar al Fikr, 1986, juz 2 Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin, Surabaya: Al Ikhlas, 1995. Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999. Muhammad Khalid Mas'ud, op.cit hal 228. Baca juga Yusuf Qardhawi, _Al Qur'an dan Sunnah Referensi Tinggi Ummat Islam, terj. Jakarta: Robbani Press, 1997. Muhammad Said Romadlon al Buthi, Dhowabit al Mashlahah fi al Syariah al Islamiyah, Beirut: Dar al Muttahidah, 1992. Peunoh Dali, Menelusuri Pemikiran Mashlahat dalam Hukum Islam, dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (ed), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal 153 http://diqa-butarbutar.blogspot.com/2011/09/teori-teori-keadilan.html http://makalahdanskripsi.blogspot.com, Makalah Hukum Islam I (teori receptio in complexu) http://www.islamlib.com www.menaraislam.com, Strategi Menuju Penerapan Syariat Islam http://www.menaraislam.com

53

PERSPEKTIF PIDANA ISLAM DALAM PENERAPAN SISTEM PEMIDANAAN DI INDONESIA

TUGAS Disusun untuk memenuhi salah satu tugas perkuliahan Dr. H. Tata Fathurrohman, SH. MH. Untuk matakuliah Filsafat Hukum Islam

Disusun Oleh Nama : BAMBANG WIDIYANTORO NPM : 30040012019-02433

54

UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG JANUARI 2013

55

Você também pode gostar