Você está na página 1de 86

RINGKASAN ILMU PENYAKIT DALAM Sebuah Catatan Dokter Muda

Ricky, Mirna, Mei, Ayu, Rara, Susy DM Interne 9 Juli 9 September 2012
1

PENYAKIT KELENJAR TIROID


PATOFISIOLOGI Tiroid merupakan kelenjar kecil, dengan diameter sekitar 5 cm dan terletak di leher, tepat dibawah jakun. Kedua bagian tiroid dihubungkan oleh ismus, sehingga bentuknya menyerupai huruf H atau dasi kupu-kupu. Dalam keadaan normal, kelenjar tiroid tidak terlihat dan hampir tidak teraba, tetapi bila membesar, dokter dapat merabanya dengan mudah dan suatu benjolan bisa tampak dibawah atau di samping jakun. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid, yang mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh. Hormon tiroid mempengaruhi kecepatan metabolisme tubuh melalui 2 cara: 1. Merangsang hampir setiap jaringan tubuh untuk menghasilkan protein 2. Meningkatkan jumlah oksigen yang digunakan oleh sel. Jika sel-sel bekerja lebih keras, maka organ tubuh akan bekerja lebih cepat. Untuk menghasilkan hormon tiroid, kelenjar tiroid memerlukan yodium, yaitu suatu eleman yang terdapat di dalam makanan dan air. Kelenjar tiroid menangkap yodium dan mengolahnya menjadi hormon tiroid. Setelah hormon tiroid digunakan, beberapa yodium di dalam hormon kembali ke kelenjar tiroid dan didaur-ulang untuk kembali menghasilkan hormon tiroid. Tubuh memiliki mekanisme yang runit untuk menyesuaikan kadar hormon tiroid. Hipotalamus(terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropin-releasing hormone, yang menyebabkan kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone(TSH). Sesuai dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu, maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit; jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan balik. Hormon tiroid terdapat dalam 2 bentuk:
1. Tiroksin (T4), merupakan bentuk yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid, hanya memiliki

efek yang ringan terhadap kecepatan metabolisme tubuh.


2. Tiroksin dirubah di dalam hati dan organ lainnya ke dalam bentuk aktif, yaitu tri-iodo-

tironin (T3). 2

Perubahan ini menghasilkan sekitar 80% bentuk hormon aktif, sedangkan 20% sisanya dihasilkan oleh kelenjar tiroid sendiri.Perubahan dari T4 menjadi T3 di dalam hati dan organ lainnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya kebutuhan tubuh dari waktu ke waktu. Sebagian besar T4 dan T3 terikat erat pada protein tertentu di dalam darah dan hanya aktif jika tidak terikat pada protein ini. Dengan cara ini, tubuh mempertahankan jumlah hormon tiroid yang sesuai dengan kebutuhan agar kecepatan metabolisme tetap stabil. Agar kelenjar tiroid berfungsi secara normal, maka berbagai faktor harus bekerjasama secara benar: hipotalamus kelenjar hipofisa hormon tiroid (ikatannya dengan protein dalam darah dan perubahan T4 menjadi T3 di

dalam hati serta organ lainnya). MANIFESTASI KLINIS Hipertiroidisme Denyut jantung yg cepat Tekanan darah tinggi Kulit lembat & berkeringat banyak Gemetaran Gelisah Nafsu makan bertambah disertai penambahan berat badan Sulit tidur Sering buang air besar & diare Lemah Hipotiroidisme Denyut nadi yg lambat Suara serak Berbicara menjadi lambat Alis mata rontok Kelopak mata turun Tidak tahan cuaca dingin Sembelit Penambahan berat badan Rambut kering, tipis, kasar Kulit Kulit diatas tulang kering menonjol & menebal kering, bersisik, tebal, kasar

Kulit diatas tulang kering menebal & menonjol

Mata membengkak, memerah & menonjol

Sindroma terowongan karpal 3

Mata peka terhadap cahaya Mata seakan menatap Kebingungan DIAGNOSIS

Kebingungan Depresi Demensia

Untuk mengetahui fungsi kelenjar tiroid, bisa dilakukan beberapa pemeriksaan laboratorium. Salah satu pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pengukuran kadar TSH di dalam darah. Hormon ini merangsang kelenjar tiroid, karena itu jika kelenjar tiroid kurang aktif maka kadar hormon ini tinggi; sedangkan jika kelenjar tiroid terlalu aktif , maka kadar hormon ini rendah. Biasanya pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah pengukuran kadar TSH dan kadar T4 yang bebas dalam darah. Tetapi bisa juga dilakukan pengukuran kadar protein globulin pengikat tiroksin, karena kadar protein yang abnormal bisa menimbulkan kesalahpahaman dalam menilai kadar hormon tiroid total. Penderita penyakit ginjal, beberapa penyakit keturunan atau pemakaian steroid anabolikmemiliki kadar globulin pengikat tiroksin yang rendah. Sebaliknya, wanita hamil, pemakai pil KB atau estrogen lainnya, penderita hepatitis stadium awal dan beberapa penyakit lainnya, memiliki kadar globulin pengikat tiroksin yang tinggi. Beberapa pemeriksaan bisa dilakukan pada kelenjar tiroid. Jika diduga terdapat pertumbuhan di dalam kelenjar tiroid, dilakukan pemeriksaan USG, untuk menentukan apakah pertumbuhan ini berupa cairan atau padat. Skening kelenjar tiroid dengan yodium radioaktif atau teknetium, bisa menunjukkan kelainan fisik pada kelenjar tiroid. Skening tiroid juga bisa membantu menentukan apakah fungsi dari suatu daerah tiroid bersifat normal, terlalu aktif atau kurang aktif.

PNEUMONIA
DEFINISI

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganism (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumoniti. ETIOLOGI Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Dari kepustakaan pneumonia komuniti yang diderita oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan bakteri Gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit banyak disebabkan bakteri Gram negative sedangkan pneumonia aspirasi banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Akhir akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri Gram negatif. Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan yang menyebabkan angka kematian tinggi di dunia. Etiologi pneumonia komuniti:

Klebsiella pneumoniae 45,18% Streptococcus pneumoniae 14,04% Streptococcus viridans 9,21% Staphylococcus aureus 9% Pseudomonas aeruginosa 8,56% Steptococcus hemolyticus 7,89% Enterobacter 5,26% Pseudomonas spp 0,9%

Etiologi pneumonia nosokomial Patogen Staphylococcus aureus Methichillin resisten S. aureus Koma, cedera Faktor Risiko kepala, influenza,

pemakaian obat IV, DM, gagal ginjal 5

Ps. Aeruginosa

Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2 hari, lama dirawat di ICU, terapi steroid/ antibiotik Kelainan struktur paru (bronkiektasis, kistik fibrotic, malnutrisi) Aspirasi, selesai operasi abdomen Antibiotik sebelum onset pneumonia dan ventilasi mekanik

Anaerob Acinobachter spp.

EPIDEMIOLOGI Penyakit saluran nafas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia (lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti: diabetes mellitus (DM), payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, panyakit syaraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain antara lain berupa kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, Diabetes Melitus, keadaan imunodefisiensi, kelainan dan kelemahan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Pneumonia diharapkan akan sembuh setelah terapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya infeksi kronik oleh bekteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur, mikrobakterium, atau parasit. PATOGENESIS Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan : 1. Inokulasi langsung 2. Penyebaran melalui pembuluh darah 3. Inhalasi bahan aerosol 4. Kolonisasi dipermukaan mukosa

Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama. Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan. Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4 zona pada daerah parasitik terset yaitu : 1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema. 2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa eksudasi sel darah merah. 3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang aktif dengan jumlah PMN yang banyak. 4. Zona resolesi E : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag. Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan 'Gray hepatization' ialah konsolodasi yang luas. KLASIFIKASI Klasifikasi pneumonia yang lazim dipakai adalah: 7

Tabel 1. Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Inang dan Lingkungan Pneumonia komunitas Sporadis atau endemik, muda atau orang Pneumonia nosokomial Pneumonia rekurens Pneumonia aspirasi Pneumonia pada gangguan imun DIAGNOSIS Gambaran klinis a. Anamnesis Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada. b. Pemeriksaan fisik Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi. Pemeriksaan penunjang a. Gambaran radiologis Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. b. Pemeriksaan laboratorium 8 tua Didahului perawatan di RS Terjadi berulang kali, berdasarkan penyakit paru kronik Alkoholik, usia tua Pada pasien tranplantasi, onkologi, AIDS

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 2025% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik. Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis pemeriksaan fisis, foto toraks dan labolatorium. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks trdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini :

Batuk-batuk bertambah Perubahan karakteristik dahak / purulen Suhu tubuh > 380C (aksila) / riwayat demam Pemeriksaan fisis: ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial dan ronki Leukosit > 10.000 atau < 4500

Menurut ATS kriteria pneumonia berat bila dijumpai 'salah satu atau lebih' dari: Kriteria mayor:

Membutuhkan ventilasi mekanik Infiltrat bertambah > 50% Membutuhkan vasopresor > 4 jam (septik syok) Kreatinin serum > 2 mg/dl atau peningkatan > 2 mg/dI, pada penderita riwayat penyakit ginjal atau

gagal ginjal yang membutuhkan dialysis Frekuensi napas > 30/menit Pa02/FiO2kurang dari 250 mmHg Foto toraks paru menunjukkan kelainan bilateral Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus Tekanan sistolik < 90 mmHg Tekanan diastolik < 60 mmHg 9

Kriteria minor:

Kriteria Diagnosis Pneumonia Nosokomial Menurut CDC 1 . Ronki atu dullness pada perkusi toraks, ditambah salah satu: a.Onset baru sputum purulen atu perubahan katakteristiknya b.Isolasi kuman dari bahan yang didapat dari aspirasi transtrakeal, biopsy 2 . atau usapan bronkus Gambaran radilogis berupa infiltrate berupa infiltrate baru yang progresif, konsolidasi, kavitaasi, atau efusi pleura, dan salah satu dari: a. Isolasi virus atau deteksi antigen virus dari secret respirasi b.Titer antibodi tunggal yang diagnostic(IgM) atau peningkatan 4 x titer IgG dari kuman 3 . c. Bukti histopatologis pneumonia Pasien sama atau < 12 tahun dengan gejala-gejala berikut; apnea, takipnea, bradikardi, wheezing, ronki, atau batuk, disertai salah satu dari: a.Peningkatan produksi sekresi respirasi atau salah satu criteria no. 2 b. Pasien sama atau < 12 tahun yang menunjukkan infiltrate baru atau agresif, kavitasi, konsolidasi atau efusi pleura pada foto toraks, ditambah salah satu criteria no. 3 PENATALAKSANAAN Antibiotik Empirik Pasien pada awalnya diberikan terapi empirik yang ditujukan pada patogen yang paling mungkin menjadi penyebab. Bila telah ada hasil kultur dilakukan penyesuaian obat. Faktor faktor yang dipertimbangkan pada pemilihan antibiotik: Faktor pasien Urgensi/ cara pemberian obat berdasarkan tingkat berat sakit dan keadan umum/ kesadaran pasien, mekanisme imunologis, umur, defisiensi genetik/organ, kehamilan, alergi. Faktor antibiotik Secara praktis dipilih antibiotik yang ampuh dan secara empirik telah terbukti merupakan obat pilihanutama dalam mengatasi kuman penyebab yang paling mungkin. Faktor Farmakologi Dengan mempertimbangkan farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik. 10

Cara pemilihan antibiotik a. Antibiotik tunggal, dipilih yang paling cocok, diberikan pada pasien pneumonia komunitas yang asalnya sehat dan gambaran klinisnya sugestif disebabkan oleh tipe kuman tertentu yang sensitif. b. Kombinasi antibiotik, diberikan dengan maksud untuk mencakup spektrum kumankuman yang dicurigai, untuk meningkatkan aktifitas spectrum, dan pada infeksi jamak. KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi : Efusi pleura. Empiema. Abses Paru. Pneumotoraks. Gagal napas. Sepsis Manifestasi klinis yang berupa inflamasi sistemik disebut systemic inflammation respons syndrome (SIRS). Sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa sepsis adalah SIRS dengan dugaan infeksi. Kriteria sepsis adalah sebagai berikut: 1.Suhu > 380C atau < 360C 2. Denyut jantung > 90 x/ menit 3.Respirasi > 20 x/ menit atau PaCO2 < 32 mmHg 4. Hitung leukosit > 12.000/ mm3 atau > 10 % sel imatur (band) PROGNOSIS Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan , sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. PENCEGAHAN 11

Pola hidup sebut termasuk tidak merokok


Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza) sampai saat ini masih perlu dilakukan

penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit kronik , diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu hipersensitiviti tipe 3.

TUBERKULOSIS PARU
DEFINISI Tuberculosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob yangdapat hidup terutama di paru / berbagai organ tubuh lainnya yang bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru tetapi dapat menyebar kehampir seluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang, nodus limfe. Infeksi awal biasanya terjadi 2-10 minggu setelah 12

pemajanan. Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau ketidakefektifan respon imun. ETIOLOGI TB paru disebabkan oleh Mycobakterium tuberculosis yang merupakan batang aerob tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV.Bakteri yang jarang sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M.Avium. MANIFESTASI KLINIS Tanda : a. Penurunan berat badan
b. Anoreksia. c. Dispneu. d. Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.

Gejala:
a. Demam.

Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman TBC yang masuk. b. Batuk Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk keringkemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk produktif (menghasilkan sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada ulkus dinding bronkus. c. Sesak nafas Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru.

13

d. Nyeri dada Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan pleuritis) e. Malaise Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit kepala,meriang, nyeri otot, keringat malam

PATOFISIOLOGI a. Tuberkulosis primer Pada patogenesis Tuberkulosis primer, kuman Tuberkulosis akan masuk melalui saluran napas dan akan bersarang di jaringan paru. Kemudian, akan terbentuk suatu sarang pneumonik yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini bisa timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer, akan kelihatan peradangan saluran getah bening yang menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Efek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenali sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sama ada sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali ataupun sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotic dan sarang perkapuran di hilus). Ia juga bisa menyebar dengan cara perkontinuitatum yaitu menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas yang bersangkutan dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis. Selain itu, kuman ini bisa menyebar melalui penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau tertelan. Ada juga yang menyebar secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup 14

gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa dan typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya b. Tuberkulosis pasca primer Dari tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis postprimer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang bermacam macam antaranya adalah tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis dan tuberkulosis menahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini pada awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sama ada melalui diresopsi kembali dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat ataupun sarang tadi pada mulanya meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan penyebukan jaringan fibrosis. Ia selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar. Ada juga sarang pneumonik yang meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik). Nasib kaviti ini mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola. Perjalanan seperti yang disebutkan diatas, ia dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi. Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri lalu akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang atau stellate shaped. DIAGNOSIS 15

Diagnosis TB paru

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB

sewaktu (SPS). (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja.

Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Diagnosis TB ekstra paru.

Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis

TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya.

Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan

berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

16

Gambar alur diagnosis TB paru. Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan

foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. (lihat bagan alur)

Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. (lihat bagan alur) 17

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan

penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). KLASIFIKASI PENYAKIT DAN TIPE PASIEN Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA

negatif; 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah : 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar 3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1). Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

18

1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada

gambaran tuberkulosis.

pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1) TB paru BTA negatif foto toraks positif Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis,

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps)

19

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. PENATALAKSANAAN Tujuan Pengobatan Untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Jenis, sifat dan dosis OAT

Prinsip pengobatan

20

OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Tahap awal (intensif)

Tahap Lanjutan
-

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di

Indonesia: a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.


b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan Kategori Anak: 2HRZ/4HR
2. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat

kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
a. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.

Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu

21

paket untuk satu pasien. dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB:

Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi

obat dan mengurangi efek samping. resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep. sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien b. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT dan Peruntukannya a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru

22

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

23

ASMA
DEFINISI Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. EPIDEMIOLOGI Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan

24

emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

25

PATOGENESIS Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin. a. Inflamasi Akut Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. Reaksi Asma Tipe Cepat Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi Fase Lambat Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.
b. Inflamasi Kronik

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus. Airway Remodelling Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan 26

peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus. Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi : Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus Penebalan membran reticular basal Pembuluh darah meningkat Matriks ekstraselular fungsinya meningkat Perubahan struktur parenkim Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut. DIAGNOSIS Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. 27

Riwayat penyakit dan gejala: Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu Respons terhadap pemberian bronkodilator Riwayat keluarga (atopi) Riwayat alergi / atopi Penyakit lain yang memberatkan Perkembangan penyakit dan pengobatan

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

Pemeriksaan Fisik Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:

obstruksi jalan napas reversibiliti kelainan faal paru variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas

Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi

28

(APE). Pemeriksaan lain untuk diagnosis adalah Uji Provokasi Bronkus dan Pengukuran Status Alergi. DIAGNOSIS BANDING Dewasa Penyakit Paru Obstruksi Kronik Bronkitis kronik Gagal Jantung Kongestif Batuk kronik akibat lain-lain Disfungsi larings Obstruksi mekanis (misal tumor) Emboli Paru Anak Benda asing di saluran napas Laringotrakeomalasia Pembesaran kelenjar limfe Tumor Stenosis trakea Bronkiolitis

KLASIFIKASI Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)

29

Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan

30

31

Klasifikasi berat serangan asma akut

PENATALAKSANAAN

32

Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat pengobatan

33

34

CHRONIC KIDNEY DISEASE


DEFINISI Chronic kidney disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik adalah: 1. Terjadi kerusakan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional yang terjadi lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi berupa kelainan patologis serta terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit /1,73 m2 selama 3 bulan, dengan

atau tanpa kerusakan ginjaproses patofisiologi dengan etiologi beragam yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Uremia : sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ akibat penurunan fungsi ginjal. Gagal ginjal : keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat yang memerlukan terapi penggantian ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat; 1995-1999 : diperkirakan 100 / juta penduduk / tahun dan meningkat 8% / tahun CDC : 16,8% dewasa berumur 20 tahun atau sekitar 1 : 6 individu 400.000 pasien dialisis atau menerima transplantasi / tahun 67.000 pasien meninggal / tahun Malaysia : 1800 kasus baru / tahun dengan opulasi 18 juta Negara berkembang lainnya : 40-60 kasus per juta penduduk per tahun. Faktor yang mempengaruhi antara lain peningkatan insidens penyakit diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dan usia lanjut.

35

KLASIFIKASI
1. Berdasarkan derajat penyakit, dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault:

LFG (ml/menit /1,73 m2) = *) pada perempuan dikalikan 0,85

Derajat (Stage) 1 2 3 4 5

Kriteria Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau Kerusakan ginjal dengan LFG ringan Kerusakan ginjal dengan LFG sedang Kerusakan ginjal dengan LFG berat Gagal ginjal

LFG (ml/menit/1,73 m2) 90 60-89 30-59 15-29 <15 atau dialisis

2. Berdasarkan etiologi Penyakit Penyakit ginjal diabetes Tipe Mayor Diabetes tipe 1 dan 2 Penyakit glomerular (penyakit

autoimun,

infeksi sistemik, obat, neoplasia) Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah Penyakit ginjal nondiabetes besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointersisial (peilonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikistik) Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin, takrolimus) Penyakit recurrent (glomerular) Transplant glomerulopathy

Penyakit pada transplantasi

ETIOLOGI Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. Penyebab utama penyakit ginjal kronik di Amerika Serikat antara lain: Penyebab Insiden 36

Diabetes mellitus - Tipe I (7%) - Tipe II (47%) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar Glomerulonefritis Nefritis intersisialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sistemik (lupus, vaskulitis) Neoplasma Idiopatik Penyebab lain

44%

27% 10% 4% 3% 2% 2% 4% 4%

Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia tahun 2000, penyebab gagal ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis di Indonesia antara lain: Penyebab Glomerulonefritis Diabetes mellitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain (nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, idiopatik) Data Indonesian Renal Registry (IRR) 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak yaitu glomerulonefritis (25%), diabetes mellitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%). Insiden 46,39% 18,65% 12,85% 8,46% 13,65%

PATOFISIOLOGI Pada awalnya tergantung penyakit yang mendasarinya, namun dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa hiperfiltrasi peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakitnya sudah tidak aktif lagi. Progresivitas ini dipengaruhi oleh peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, growth factor seperti transforming growth factor (TGF-), albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia. 37

Stadium paling dini, terjadi kehilangan daya cadang ginjal pada keadaan LFG basal masih normal atau meningkat secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum LFG 60%, pasien masih

belum merasakan keluhan LFG 30%, mulai terjadi keluhan seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan LFG <30%,muncul gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, dan muntah rentan terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, dan infeksi saluran cerna serta terjadi gangguan keseimbangan elektrolit seperti natrium dan kalium LFG <15% terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius sehingga pasien memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis atau transplantasi ginjal (stadium gagal ginjal).

Gambar 1. Pengaruh penyakit ginjal kronik terhadap keseimbangan mineral

38

Gambar 1. Perjalanan lanjut penyakit ginjal kronik

Gambar 2. Patogenesis penyakit ginjal kronik

DIAGNOSIS 1. Manifestasi klinis a. Sesuai dengan penyakit yang yang mendasari, seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu urinarius, batu traktus, hipertensi, hiperurikemia, lupus eritematosis sistemik, dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,

kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang, sampai koma. 39

c. Gejala komplikasinya, antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, gagal jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida). 2. Pemeriksaan laboratorium a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum serta penurunan LFG yang dihitung berdasarkan penyakit yang mendasarinya. c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperkloremia atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis, meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosestenuria.

3. Pemeriksaan radiologis a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radioopak. b. Ultrasonografi ginjal memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. 4. Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal Biopsi ginjal dan pemeriksaan ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, di mana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Kontraindikasi biopsi ginjal pada keadaan contracted kidney, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.

PENATALAKSANAAN Derajat LFG (ml/menit/1,73 m2) Rencana Penatalaksanaan 1 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi 2 3 4 60-89 30-59 15-29 perburukan, fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular Menghambat perburukan fungsi ginjal Evaluasi dan terapi komplikasi Persiapan untuk terapi penggantian ginjal 40

<15

Terapi penggantian ginjal

1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya. Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya LFG, sehingga perburukan ginjal tidak terjadi. Apabila LFG sudah menurun 20-30% dari normal, terapi penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat. 2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid. Faktor-faktor komorbid : gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. 3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal. Nefropati Kompensasi hiperfiltrasi dan hipertrofi

Berkurangnya jumlah nefron Hipertensi sistemik Angiotensin II Kebocoran protein plasma lewat glomerulus

Glomerulosklerosis

ekspresi growth mediators inflamasi / fibrosis

Perburukan fungsi ginjal melalui hiperfiltrasi glomerulus ini dihambat dengan: a. Pembatasan asupan protein Mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit/1,73 mm2 karena pemberian diet tinggi protein pada pasien ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain yang mengakibatkan timbulnya gangguan klinis metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein sejalan dengan pembatasan fosfat untuk mencegah hiperfosfatemia, karena keduanya biasanya berasal dari sumber makanan yang sama. LFG (ml/menit/1,73 mm2) Protein (g/kgBB/hari) Fosfat (g/kgBB/hari) 41

>60 25-60

Tidak dianjurkan Tidak dibatasi 0,6-0,8 g/kgBB/hari, termasuk 0,35 10 g/kgBB/hari g/kgBB/hari nilai biologi tinggi (total kalori 30-35 kkal/kgBB/hari) 0,6-0,8 g/kgBB/hari, termasuk 0,35 g/kgBB/hari nilai biologi tinggi (total kalori 30-35 kkal/kgBB/hari) atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton 0,8 g/kgBB/hari ditambah

5-25

10 g/kgBB/hari

5 (sindrom nefrotik)

1 g

9 g/kgBB/hari

protein / g proteinuria atau 0,3 g/kgBB/hari tambahan asam amino esensial atau asam keton

b. Terapi farmakologis Antihipertensi ditujukan untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus serta berperan sebagai antiproteinuria. Antihipertensi yang terutama digunakan yaitu golongan ACE inhibitor. 4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular. Dilakukan dengan pengendalian terhadap diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi.

1 2 3

(ml/menit/1,73 m2) Kerusakan ginjal dengan 90 LFG normal atau Kerusakan ginjal dengan LFG ringan Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 60-89 30-59

Derajat

LFG

Komplikasi Tekanan darah mulai

meningkat Hiperfosfatemia Hipokalsemia Anemia Hiperparatiroid 42

Hipertensi 4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15-29 Hiperhomosisteinemia Malnutrisi Asidosis metabolik Cenderung hiperkalemia 5 Gagal ginjal <15 Dislipidemia Gagal jantung Uremia Beberapa komplikasi penyakit ginjal kronik yaitu: a. Anemia Terutama terjadi karena defisiensi eritropoietin. Evaluasi dimulai saat kadar hemoglobin 10 g/dl atau hematokrit 30%, meliputi kadar besi serum, total iron banding capacity, feritin serum. Pada pasien dapat diberikat eritropoietin, tetapi perlu diperhatikan kadar besi yang diperlukan dalam mekanisme kerjanya. Trnasfusi darah dilakukan dengan target hemoglobin 11-12 g/dl.

b. Osteodistrofi renal Penurunan fungsi ginjal Intoksikasi Al3+ Akumulasi 2mikroglobulin

Hiperkalemi a

1,25(OH)2D3

Ca2+ terionisasi PTH Hiperplasia kelenjar paratiroid Osteitis fibrosa cystic (high turnover bone disease) A dynamic bone disease Dyalisisrelated amyloidosi43 s

Osteomalasi a Asidosis metabolik Penatalaksanaan osteodistrofi renal sebagai berikut:


1) Mengatasi hiperfosfatemia dengan diet rendah fosfat (dibatasi 600-800 mg/hari)

Kelebihan Ca2+ dan vitamin D, peritoneal dialisis, diabetes

yang dibarengi dengan diet tinggi kalori, rendah protein, dan rendah garam, pemberian garam pengikat fosfat (CaCO3, Al(OH)3, Mg(OH)2, Ca asetat), serta pemberian agen kalsium mimetic.
2) Pemberian kasitrol (1,25(OH)2D3)

Pemakaiannya tidak begitu luas karena dapat mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat di jaringan yang disebut kalsifikasi metastatik dan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar tiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid > 2,5 kali normal.

c. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Pembatasan cairan sangat perlu dilakukan untuk mencegah edema dan komplikasi kardiovaskular dengan cara menyeimbangkan cairan yang masuk dan keluar melalui urin dan insensible water loss. Dengan mengasumsikan jumlah insensible water loss 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Oleh karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal, maka pemberian makanan dan obat yang mengandung tinggi kalium harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 meq/l. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi. 44

6. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dilakukan pada penyakit ginjal kronik derajat 5 yaitu pada LFG <15 ml/menit/1,73 mm2. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis, atau transplantasi ginjal.

SINDROMA NEFROTIK
DEFINISI Sindrom nefrotik merupakan penyakit dengan gejala proteinuria,hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia. ETIOLOGI Etiologi sindrom nefrotik pada anak-anak sebagian besar (90%) merupakanidiopatik. Sisanya (10%) disebabkan glomerulonefritis tipe membarnous danmembranoproliferatif. Tingkat penyakit teridir dari penyakit perubahan minimal(85%), proliferasi mesangial (5%), dan sklerosis fokal (10%). PATOFISIOLOGI 45

Perubahan patologis yang mendasari pada sindrom nefrotik adalah proteinuria, yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas dinding kapilerglomerolus. Penyebab peningkatan permeabilitas ini tidak diketahui tetapidihubungkan dengan hilangnya glikoprotein bermuatan negatif pada dinding kapiler. Mekanisme timbulnya edema pada sindrom nefrotik disebabkan olehhipoalbumin akibat proteinuria. Hipoalbumin menyebabkan penurunan tekananonkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari kompartemen intravaskulerke ruangan interstitial. Penurunan volum intravaskuler menyebabkan penurunanperfusi renal sehingga mengaktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron yangselanjutnya menyebabkan reabsorpsi natrium di tubulus distal ginjal. Penurunanvolum intravaskuler juga menstimulasi pelepasan hormon antidiuretik (ADH) yangakan meningkatkan reabsorpsi air di tubulus kolektivus. Mekanisme terjadinya peningkatan kolesterol dan trigliserida akibat 2faktor. Pertama, hipoproteinemia menstimulasi sintesis protein di hati termasuk lipoprotein. Kedua, katabolisme lemak terganggu sebagai akibat penurunan kadarlipoprotein lipase plasma (enzim utama yang memecah lemak di plasma darah.

46

Bagan patofisiologi pada sindrom nefrotik. DIAGNOSIS a. Anamnesis Lebih sering mengnai laki-laki dibanding perempuan (2:1) danumumnya berusia antara 2-6 tahun Keluhan utama berupa bengkak yang tampak di sekitar mata danekstremitas bawah dengan jenis pitting edema. Seiring berjalannyawaktu edema menjadi umum dan terjadi peningkatan berat badan b. Pemeriksaan fisis Tanda vital dalam batas normal. Jarang timbul hipertensi Inspeksi : Terdapat edema pada periorbita maupun ekstremita 47

Palpasi : pitting edema, Perkusi : dapat timbul asites pada abdomen (shifting dullness), efusipleura

c. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan darah Kadar kolesterol dan trigliserida serum meningkat Kadar albumin serum < 2g/dLb. Proteinuria +3 atau +4, atau >2g/24 jam Hematuria mikroskopis (hematuria makroskopis jarang terjadi) Fungsi ginjal dapat normal atau menurun

Pemeriksaan urin

DIAGNOSIS BANDING
1. Sembab non renal: gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi (kwasiorkor), edema

hepatal, edema Quincke 2. Glomerulonefritis akut 3. Lupus eritematosus sistemik PENATALAKSANAAN 1. Diet Diet tinggi protein dan rendah garam (pada stadium oedem dan selama pemberian kortikosteroid), pembatasan cairan, pemberian kalsium dan vitamin D.
2. Tirah baring/rawat inap

Untuk mengatasi penyulit, pada stadium oedem, ada hipertensi, ada bahayatrombosis, apabila relaps.
3. Diuretik Diberikan furosemid 1-2 mg/kgBB/dosis 2-4 kali sehari

4. Prednison

48

Induksi: 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu (maksimal 80 mg/24 jam). Bila terjadi remisi : 2 mg/kgBB/24 jam dosis tunggal tiap pagi, tiap 48 jamsekali selama 4 minggu. Tapering off dosis dikurangi 0,5 mg/kgBB setiap 2minggu, selama 2-4 bulan.
5. Sitostatika Bila resisten terhadap prednison atau ada efek samping obat. a. Alkylating agent: siklofosfamid 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 6-8

minggu
b. Antimetabolit: azotriopin 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis selama 6-8 minggu

PROGNOSIS Sebagian besar sindrom nefrotik yang berespon terhadap steroid akan sembuh. Sangat penting untuk mendeteksi adanya disfungsi renal baik yang bersifat herediter maupun didapat. Adanya disfungsi renal menyebabkan prognosis menjadi lebih jelek dibanding tanpa disfungsi renal.\ Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan: 1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur dibawah 2 tahun atau diatas 6 tahun 2. Disertai hipertensi 3. Disertai hematuria 4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder 5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal

49

LEUKIMIA
DEFINISI Leukemia adalah sekumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya akumulasi leukosit abnormal dalam sumsum tulang dan darah.Sel-sel abnormal ini menyebabkan timbulnya gejala karena kegagalan sumsum tulang (yaitu anemia, neutropenia, trombositopenia) dan infiltrasi organ (misalnya hati,limpa, kelenjar getah bening, meningens, otak, kulit, atau testis). Leukemia merupakan suatu penyakit yang dikenal dengan adanya proliferasi neoplastik dari sel-sel organ hemopoetik, yang terjadi sebagai akibat mutasi somatik sel bakal (stem cell) yang akan membentuk suatu klon sel leukemia. EPIDEMIOLOGI Leukemia menurut usia didapatkan data yaitu, Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) terbanyak pada anak-anak dan dewasa, Leukemia Granulositik Kronik (LGK) pada semua usia, lebih sering pada orang dewasa, Leukemia Granulositik Kronik pada semua usia tersering usia 40-60 tahun, Leukemia Limfositik Kronik (LLK) terbanyak pada orang tua. Leukemia Mieoloblastik Akut lebih sering ditemukan pada usia dewasa (85%) daripada anak-anak (15%). Walaupun leukemia menyerang kedua jenis kelamin, tetapi pria terserang sedikit lebih banyak dibandingkan wanita dengan perbandingan 2 : 1. ETIOLOGI

50

Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti. Diperkirakan leukemi tidak disebabkan oleh penyebab tunggal, tetapi gabungan dari faktor resiko antara lain: Terinfeksi virus. Faktor Genetik. Kelainan Herediter. Faktor lingkungan.
-

Kontak dengan radiasi ionisasi disertai manifestasi leukemia yang timbul bertahun-

tahun kemudian. Orang yang terekspos radiasi yang sangat tinggi lebih memiliki kecenderungan untuk mengidap leukemia mieloblastik akut, leukemia mielositik kronik,atau leukemia limfoblastik akut, seperti: ledakan bom, radioterapi, dll.
-

Zat kimia, misalnya: benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan

agen

antineoplastik dikaitkan dengan frekuensi yang meningkat khususnya agen-agen alkil. Kemungkinan leukemia meningkat pada penderita yang diobati baik dengan radiasi maupun kemoterapi. Terekspos benzene di tempat kerja dapat menyebabkan leukemia mieloblastik akut. Selain itu benzene juga dapat menyebabkan leukemia mielositik kronik atau leukemia limfoblastik akut. Benzene banyak digunakan pada industri kimia. Benzene juga ditemukan pada asap rokok dan gasoline. Merokok

Merokok dapat meningkatkan resiko leukemia mieloblastik akut. Kemoterapi

Pasien kanker yang diterapi dengan beberapa tipe obat pelawan kanker kadang akan mengidap leukemia mieloblastik akut atau leukemia limfoblastik akut. Contohnya, diterapi dengan obat bernama alkylating agen atau topoisomerase inhibitor dapat dihubungkan dengan kemungkinan kecil berkembangnya leukemia akut.

PATOFISIOLOGI 51

Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang kompleks). Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak. Leukemia merupakan proliferasi dari sel pembuat darah yang bersifat sistemik dan biasanya berakhir fatal. Leukemia dikatakan penyakit darah yang disebabkan karena terjadinya kerusakan pada pabrik pembuat sel darah yaitu sumsum tulang. Penyakit ini sering disebut kanker darah. Keadaan yang sebenarnya sumsum tulang bekerja aktif membuat sel-sel darah tetapi yang dihasilkan adalah sel darah yang tidak normal dan sel ini mendesak pertumbuhan sel darah normal. Proses patofisiologi leukemia dimulai dari transformasi ganas sel induk hematologis dan turunannya. Proliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia dan mengakibatkan penekanan hematopoesis normal, sehingga terjadi bone marrow hipoaktivasi, infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga menimbulkan organomegali, katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan hiperkatabolisme. KLASIFIKASI Leukemia dapat diklafikasikan ke dalam : 1. Maturitas sel : Leukemia Akut Leukemia akut biasanya merupakan penyakit yang bersifat agresif, dengan transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor sumsum tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan penyakit-penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang yang disebabkan akumulasi sel blas walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan. Apabila tidak diobati, penyakit ini biasanya cepat bersifat fatal, tetapi, secara paradoks, lebih mudah diobati dibandingkan leukemia kronik. Leukemia Kronik 52

Leukemia

kronik dibedakan dari leukemia akut berdasarkan progresinya yang lebih

lambat. Sebaliknya, leukemia kronik lebih sulit diobati. 2. Tipe-tipe sel asal Mieloblastik (Mieloblast yang dihasilkan sumsum tulang) Limfoblastik (limfoblast yang dihasilkan sistem limfatik) Normalnya, sel asal (mieloblast dan limfoblast) tak ada pada darah perifer. Maturitas sel dan tipe sel dikombinasikan untuk membentuk empat tipe utama leukemia: 1. LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA) Leukemia Mieloblastik Akut (LMA) atau dapat juga disebut leukemia granulositik akut (LGA), mengenai sel stem hematopetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid, monosit, granulosit (basofil, netrofil, eosinofil), eritrosit, dan trombosit. Dikarakteristikan oleh produksi berlebihan dari mieloblast. Semua kelompok usia dapat terkena insidensi meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi. Gambaran klinis LMA, antara lain yaitu terdapat peningkatan leukosit immature, pembesaran pada limfe, rasa lelah, pucat, nafsu makan menurun, anemia, ptekie, perdarahan , nyeri tulang, Infeksi,pembesaran kelenjer getah bening,limpa,hati dan kelenjer mediastinum. Kadang-kadang juga ditemukan hipertrofi gusi ,khususnya pada leukemia akut monoblastik dan mielomonositik. FAB membagi LMA menjadi 6 jenis : M-1: Diferensiasi granulositik tanpa pematangan M-2: Diferensiasi granulositik disertai pematangan menjadi stadium promielositik M-3: Diferensiasi granulositik disertai promielosit hipergranular yang dikaitkan dengan pembekuan intra vaskular tersebar (Disseminated intravascular coagulation). M-4: Leukemia mielomonoblastik akut: kedua garis sel granulosit dan monosit. M-5a: Leukemia monoblastik akut : kurang berdiferesiasi M-5b: Leukemia monoblastik akut : berdiferensiasi baik M-6: Eritroblast predominan disertai diseritropoiesis berat 53

M-7: Leukemia megakariositik.

2. LEUKEMIA GRANULOSITIK KRONIK (LMK) Leukemia granulositik kronis (LGK), juga termasuk dalam keganasan sel stem mieloid. Namun, lebih banyak terdapat sel normal di banding pada bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. Abnormalitas genetika yang dinamakan kromosom Philadelpia ditemukan 90% sampai 95% pasien dengan LMK. LMK jarang menyerang individu di bawah 20 tahun, namun insidensinya meningkat sesuai pertambahan usia. Gambaran khas adalah: Adanya kromosom Philadelphia pada sel sel darah. Ini adalah kromosom abnormal yang ditemukan pada sel sel sumsum tulang. Krisis Blast. Fase yang dikarakteristik oleh proliferasi tiba-tiba dari jumlah besar mieloblast. Temuan ini menandakan pengubahan LMK menjadi LMA. Kematian sering terjadi dalam beberapa bulan saat sel sel leukemia menjadi resisten terhadap kemoterapi selama krisis blast. 3. LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA) Leukemia Limfositik Akut (LLA) dianggap sebagai suatu proliferasi ganas limfoblas. Paling sering terjadi pada anak-anak, dengan laki-laki lebih banyak dibanding perempuan,dengan puncak insidensi pada usia 4 tahun. Setelah usia 15 tahun , LLA jarang terjadi. Manifestasi dari LLA adalah berupa proliferasi limfoblas abnormal dalam sum-sum tulang dan tempat-tempat ekstramedular. Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah merah dalam jumlah yang memadai, yaitu berupa lemah dan sesak nafas, karena anemia (sel darah merah terlalu sedikit), infeksi dan demam karena berkurangnya jumlah sel darah putih, perdarahan karena jumlah trombosit yang terlalu sedikit.

54

Manifestasi klinis :

Hematopoesis normal terhambat Penurunan jumlah leukosit Penurunan sel darah merah Penurunan trombosit

4. LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK) Leukemia Limfositik Kronik (LLK) ditandai dengan adanya sejumlah besar limfosit (salah satu jenis sel darah putih) matang yang bersifat ganas dan pembesaran kelenjar getah bening. Lebih dari 3/4 penderita berumur lebih dari 60 tahun, dan 2-3 kali lebih sering menyerang pria. Pada awalnya penambahan jumlah limfosit matang yang ganas terjadi di kelenjar getah bening. Kemudian menyebar ke hati dan limpa, dan kedua nya mulai membesar. Masuknya limfosit ini ke dalam sumsum tulang akan menggeser sel-sel yang normal, sehingga terjadi anemia dan penurunan jumlah sel darah putih dan trombosit di dalam darah. Kadar dan aktivitas antibodi (protein untuk melawan infeksi) juga berkurang. Sistem kekebalan yang biasanya melindungi tubuh terhadap serangan dari luar, seringkali menjadi salah arah dan menghancurkan jaringan tubuh yang normal. Manifestasinya adalah :

Adanya anemia Pembesaran nodus limfa Pembesaran organ abdomen Jumlah eritrosi dan trombosit mungkin normal atau menurun 55

Terjadi penurunan jumlah limfosit (limfositopenia)

MANIFESTASI KLINIS Gejala leukemia yang ditimbulkan umumnya berbeda diantara penderita, namun demikian secara umum dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Anemia. Penderita akan menampakkan cepat lelah, pucat dan bernafas cepat (sel darah merah dibawah normal menyebabkan oxygen dalam tubuh kurang, akibatnya penderita bernafas cepat sebagai kompensasi pemenuhan kekurangan oxygen dalam tubuh). 2. Perdarahan. Ketika Platelet (sel pembeku darah) tidak terproduksi dengan wajar karena didominasi oleh sel darah putih, maka penderita akan mengalami perdarahan salah satunya di jaringan kulit (banyaknya bintik merah lebar/kecil dijaringan kulit).

3. Terserang Infeksi. Sel darah putih berperan sebagai pelindung daya tahan tubuh, terutama melawan penyakit infeksi. Pada Penderita Leukemia, sel darah putih yang dibentuk tidak normal (abnormal) sehingga tidak berfungsi semestinya. Akibatnya tubuh si penderita rentan terkena infeksi virus/bakteri, bahkan dengan sendirinya akan menampakkan keluhan adanya demam, keluar cairan putih dari hidung (meler) dan batuk. 4. Nyeri Tulang dan Persendian. Hal ini disebabkan sebagai akibat dari sumsum tulang (bone marrow) didesak padat oleh sel darah putih. 5. Nyeri Perut. Nyeri perut juga merupakan salah satu indikasi gejala leukemia, dimana sel leukemia dapat terkumpul pada organ ginjal, hati dan empedu yang menyebabkan pembesaran pada organorgan tubuh ini dan timbulah nyeri. Nyeri perut ini dapat berdampak hilangnya nafsu makan penderita leukemia. 6. Pembengkakan Kelenjar Limfe.

56

Penderita kemungkinan besar mengalami pembengkakan pada kelenjar limfe, baik itu yang dibawah lengan, leher, dada dan lainnya. Kelenjar limfe bertugas menyaring darah, sel leukemia dapat terkumpul disini dan menyebabkan pembengkakan. 7. Kesulitan Bernafas (Dyspnea). Penderita mungkin menampakkan gejala kesulitan bernafas dan nyeri dada, apabila terjadi hal ini maka harus segera mendapatkan pertolongan medis. DIAGNOSIS Penegakan diagnosis leukemia dilakukan secara terperinci melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang sehingga dapat diperoleh data-data yang maksimal untuk mendukung diagnosis. Terkadang diagnosis leukemia ditemukan secara tidak sengaja saat pasien menjalani pemeriksaan kesehatan rutin.Pemeriksaan riwayat penyakit yang lebih teliti dilakukan dan pasien dapat melaporkan riwayat leukemia atau gejala dan faktor resiko yang ada. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan gumpalan, atau abnormalitas lain dan gejala dari leukemia. Pada pemeriksaan fisik biasanya akan diperiksa ada tidaknya pembengkakan pada kelenjar getah bening, limfe, dan hati. Pemeriksaan Penunjang Jumlah Leukosit Rendah,normal,atau tinggi Differential Leukosit Jika tinggi, maka sel blas akan predominan, Jika normal atau rendah mungkin Konik Tinggi sel blast sangat sedikit Sel blast <10%

Akut

Penyakit Leukemia dapat dipastikan dengan beberapa pemeriksaan penunjang, diantaranya adalah biopsi, pemeriksaan darah (complete blood count (CBC)), CT or CAT scan, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, Ultrasound, Spinal tap/lumbar puncture. PENATALAKSANAAN
1. Leukemia Granulositik Kronik

57

Sebagian besar pengobatan tidak menyembuhkan penyakit, tetapi hanya memperlambat perkembangan penyakit. Pengobatan dianggap berhasil apabila jumlah sel darah putih dapat diturunkan sampai kurang dari 50.000/mikroliter darah. Pengobatan yang terbaik sekalipun tidak bisa menghancurkan semua sel leukemik.Satu-satunya kesempatan penyembuhan adalah dengan pencangkokan sumsum tulang. Pencangkokan paling efektif jika dilakukan pada stadium awal dan kurang efektif jika dilakukan pada fase akselerasi atau krisis blast. Obat interferon alfa bisa menormalkan kembali sumsum tulang dan menyebabkan remisi. Hidroksiurea per-oral (ditelan) merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan untuk penyakit ini. Busulfan juga efektif, tetapi karena memiliki efek samping yang serius, maka pemakaiannya tidak boleh terlalu lama. Terapi penyinaran untuk limpa kadang membantu mengurangi jumlah sel leukemik. Kadang limpa harus diangkat melalui pembedahan (splenektomi) untuk: mengurangi rasa tidak nyaman di perut, meningkatkan jumlah trombosit, mengurangi kemungkinan dilakukannya tranfusi.
2. Leukemia Limfoblastik Akut

Tujuan pengobatan adalah mencapai kesembuhan total dengan menghancurkan sel-sel leukemik sehingga sel normal bisa tumbuh kembali di dalam sumsum tulang. Penderita yang menjalani kemoterapi perlu dirawat di rumah sakit selama beberapa hari atau beberapa minggu, tergantung kepada respon yang ditunjukkan oleh sumsum tulang. Sebelum sumsum tulang kembali berfungsi normal, penderita mungkin memerlukan: transfusi sel darah merah untuk mengatasi anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan, antibiotik untuk mengatasi infeksi. Beberapa kombinasi dari obat kemoterapi sering digunakan dan dosisnya diulang selama beberapa hari atau beberapa minggu. Suatu kombinasi terdiri dari prednison per-oral (ditelan) dan dosis mingguan dari vinkristin dengan antrasiklin atau asparaginase intravena. Untuk mengatasi sel leukemik di otak, biasanya diberikan suntikan metotreksat langsung ke dalam cairan spinal dan terapi penyinaran ke otak. Beberapa minggu atau beberapa bulan setelah pengobatan awal yang intensif untuk menghancurkan sel leukemik, diberikan pengobatan tambahan (kemoterapi konsolidasi) untuk menghancurkan sisa-sisa sel leukemik. Pengobatan bisa berlangsung selama 2-3 tahun.
3. Pengobatan Leukeumia Limfositik Kronik

58

Leukemia limfositik kronik berkembang dengan lambat, sehingga banyak penderita yang tidak memerlukan pengobatan selama bertahun-tahun sampai jumlah limfosit sangat banyak, kelenjar getah bening membesar atau terjadi penurunan jumlah eritrosit atau trombosit. Anemia diatasi dengan transfusi darah dan suntikan eritropoietin (obat yang merangsang pembentukan sel-sel darah merah). Jika jumlah trombosit sangat menurun, diberikan transfusi trombosit. Infeksi diatasi dengan antibiotik. Terapi penyinaran digunakan untuk memperkecil ukuran kelenjar getah bening, hati atau limpa. Obat antikanker saja atau ditambah kortikosteroid diberikan jika jumlah limfositnya sangat banyak. Prednison dan kortikosteroid lainnya bisa menyebabkan perbaikan pada penderita leukemia yang sudah menyebar. Tetapi respon ini biasanya berlangsung singkat dan setelah pemakaian jangka panjang, kortikosteroid menyebabkan beberapa efek samping. Leukemia sel B diobati dengan alkylating agent, yang membunuh sel kanker dengan mempengaruhi DNAnya. Leukemia sel berambut diobati dengan interferon alfa dan pentostatin. Prinsip pengobatan leukemia:
a.

Kemoterapi Terapi Biologi Transplantasi Sel Induk (Stem Cell)

b. d.

c.Terapi Radiasi

59

LIMFOMA NON HODGKIN


DEFINISI Limfoma malignum non Hodgkin atau limfoma non Hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. EPIDEMIOLOGI Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat. Limfoma non Hodgkin, khususnya limfoma susunan saraf pusat biasa ditemukan pada pasien dengan keadaan defisiensi imun dan yang mendapat obat-obat imunosupresif, seperti pada pasien dengan transplantasi ginjal dan jantung. ETIOPATOGENESIS Abnormalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom. Limfoma malignum subjenis sel yang tidak berdiferensiasi (DU) ialah LNH derajat keganasan tinggi lainnya, jarang dijumpai pada dewasa tetapi sering ditemukan pada anak. Subjenis histologis ini mencakup limfoma Burkitt, yang merupakan limfoma sel B dan mempunyai cirri abnormalitas kromosom, yaitu translokasi lengan panjang kromosom nomor 8 (8q) biasanya ke lengan panjang kromosom nomor 14 (14q+). Infeksi virus, salah satu yang dicurigai adalah virus Epstein-Barr yang berhubungan

60

dengan limfoma Burkitt, sebuah penyakit yang biasa ditemukan di Afrika. Infeksi HTLV-1 (Human T Lymphoytopic Virus type 1). GAMBARAN KLINIS Gejala pada sebagian besar pasien asimtomatik sebanyak 2% pasien dapat mengalami demam, keringat malam dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan limfoma indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis, meskipun biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi pada lambung, paru-paru dan tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit yang biasa menyerang organ-organ tersebut.

DIAGNOSIS Anamnesis Umum: Pembesaran KGB dan malaise umum: - Berat badan menurun 10 % dalam waktu 6 bulan - Demam tinggi 380C 1 minggu tanpa sebab - Keringat malam Khusus

Keluahan anemia Keluahan organ (misalnya lambung, nasofaring) Penggunaan obat (Diphanyoin) Penyakit autoimun (SLE, Sjigren, Reuma) Kelainan darah Penyakit infeksi (toksoplasma, mononucleosis, tuberculosis lues, penyakit cacar kucing)

Pemeriksaan fisik Pembesaran KGB Kelainan/ pembesaran organ Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky 61

Pemeriksaan Diagnostik a. Laboratorium b. Biposi c. Aspirasi sumsum tulang d. Radiologi e. Konsultasi THT f. Cairasn tubuh lain g. Immunophennotyping

Stadium Penyakit tingkat keterlibatan ditentukan sesuai dengan klasifikasi Ann Arbor a. Stadium I: Keterlibatan satu daerah kelenjar getah bening (I) atau keterlibatan satu organ atau satu tempat ekstralimfatik(IIE) b. Stadium II: Keterlibatan 2 daerah kelenjar getah bening atau lebih pada sisi diafragma yang sama (II) atau keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik dan satu atau lebih daerah kelenjar getah bening pada sisi diafragma yang sama (IIE). Rekomendasi lain: jumlah daerah nodus yang terlibat ditunjukkan dengan tulisan di bawah garis (subscript) (misalnya II3) c. Stadium III: Keterlibatan daerah kelenjar getah bening pada kedua did diafragma (III), yang jug dapat disertai dengan keterlibatan lokal pada organ atau tempat ekstralimfatik (IIIE) atau keduanya (IIIE+S) d. Stadium IV: Keterlibatan yang difus atau tanpa disertai pembesaran kelenjar getah bening. Alasan untuk menggolongkan pasien ke dalam stadium IV harus dijelaskan lebih lanjut dengan menunjukkan tempat itu dengan simbol. PENATALAKSANAAN 62

Terapi yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Terapi yang dapat dilakukan: 1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)/indolen: Pada prinsipnya simtomatik

Kemoterapi obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone)

Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif. Radioterapi: Low Dose TOI + Involved Field Radiotherapy saja.

2. Derajat Keganasan Mengah (DKM)/agresif limfoma

Stadium I: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/ BU) + radioterapi CHOP (Cyclophosphamide, Hydroxydouhomycin, Oncovin, Prednisone)

Stadium II - IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliasi.

3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT) DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik)

Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada: - setelah siklus kemoterapi ke-empat - setelah siklus pengobatan lengkap

63

ARTRITIS REUMATOID
DEFINISI Artritis Reumatoid (AR) salah satu dari beberapa penyakit rematik adalah suatu penyakit otoimun sistemik yang menyebabkan peradangan pada sendi. Penyakit ini ditandai oleh peradangan sinovium yang menetap, suatu sinovitis proliferatifa kronik non spesifik. Dengan berjalannya waktu, dapat terjadi erosi tulang, destruksi (kehancuran) rawan sendi dan kerusakan total sendi. Akhirnya, kondisi ini dapat pula mengenai berbagai organ tubuh. ETIOPATOFISIOLOGI DAN DIAGNOSIS Penyakit ini timbul akibat dari banyak faktor mulai dari genetik (keturunan) sampai pada gaya hidup kita (merokok). Salah satu teori nya adalah akibat dari sel darah putih yang berpindah dari aliran darah ke membran yang berada disekitar sendi. Gejala dan tanda dari AR dapat dilihat sebagai berikut;

64

Nyeri sendi Pembengkakan sendi Nyeri sendi bila disentuh atau di tekan Tangan kemerahan Lemas Kekakuan pada pagi hari yang bertahan sekitar 30 menit Demam Berat badan turun Artritis reumatoid biasanya menyebabkan masalah dibeberapa sendi dalam waktu yang

sama. Pada tahap awal biasanya mengenai sendi-sendi kecil seperti, pergelangan tangan, tangan, pergelangan kaki, dan kaki. Dalam perjalanan penyakitnya, selanjutnya akan mengenai sendi bahu, siku, lutut, panggul, rahang dan leher. Faktor Risiko

Jenis Kelamin. Umur.

Perempuan lebih mudah terkena AR daripada laki-laki. Perbandingannya adalah 2-3:1.

Artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis reumatoid juvenil)

Riwayat Keluarga.

Apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis rematoid maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.

Merokok. Merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid. Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaaan darah rutin. Orang

Pemeriksaan Tambahan dengan RA pemeriksaan rasio sedimen eritrosit (ESR) cenderung meningkat, pemeriksaan ini dapat memperlihatkan adanya proses peradangan dalam tubuh. Pemeriksaan darah lain yang biasa nya dilakukan adalah pemeriksaan antibodi seperti faktor rheumatoid dan anti-CCP. Selain itu juga dapat dilakukan analisa cairan sendi. Dokter anda akan mengambil cairan sendi dengan menggunakan jarum steril, lalu cairan sendi akan dianalisa apakah terdapat

65

peningkatan kadar leukosit atau tidak dan juga dapat menyingkirkan kemungkinan penyakit rematik lainnya. Pemeriksaan foto rontgen dilakukan untuk melihat progesifitas penyakit RA. Dari hasil foto dapat dilihat adanya kerusakan jaringan lunak maupun tulang. Pemeriksaaan ini dapat memonitor progresifitas dan kerusakan sendi jangka panjang. PENATALAKSANAAN Penyakit rheumatoid arthritis tidak dapat disembuhkan. Tujuan dari pengobatan adalah mengurangi peradangan sendi untuk mengurangi nyeri dan mencegah atau memperlambat kerusakan sendi. Secara umum pengobatan yang dapat dilakukan adalah pemberian obat-obatan dan operasi. Dibawah ini adalah contoh-contoh obat yang dapat diberikan;

NSAIDs. Obat anti-infalamasi nonsteroid (NSAID) dapat mengurangi gejala nyeri dan

mengurangi proses peradangan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah ibuprofen dan natrium naproxen. Golongan ini mempunyai risiko efek samping yang tinggi bila di konsumsi dalam jangka waktu yang lama.

Kortikosteroid. Golongan kortikosteroid seperti prednison dan metilprednisolon dapat

mengurangi peradangan, nyeri dan memperlambat kerusakan sendi. Dalam jangka pendek kortikosteroid memberikan hasil yang sangat baik, namun bila di konsumsi dalam jangka panjang efektifitasnya berkurang dan memberikan efek samping yang serius.

Obat remitif (DMARD). Obat ini diberikan untuk pengobatan jangka panjang. Oleh

karena itu diberikan pada stadium awal untuk memperlambat perjalanan penyakit dan melindungi sendi dan jaringan lunak disekitarnya dari kerusakan. Yang termasuk dalam golongan ini adalah klorokuin, metotreksat salazopirin, dan garam emas. Pembedahan menjadi pilihan apabila pemberian obat-obatan tidak berhasil mencegah dan memperlambat kerusakan sendi. Pembedahan dapat mengembalikan fungsi dari sendi anda yang telah rusak. Prosedur yang dapat dilakukan adalah artroplasti, perbaikan tendon, sinovektomi.

66

OSTEOARTRITIS
DEFINISI Osteoartritis adalah suatu penyakit sendi menahun yang ditandai oleh adanya kelainan pada tulang rawan (kartilago) sendi dan tulang di dekatnya. Tulang rawan (kartilago) adalah bagian dari sendi yang melapisi ujung dari tulang, yang memudahkan pergerakan dari sendi. Kelainan pada kartilago dapat menyebabkan tulang bergesekan satu sama lain, yang menyebakan kekakuan, nyeri dan pembatasan gerakan pada sendi. Osteoartritis biasanya terjadi pada orang yang berusia di atas 45 tahun. Laki-laki di bawah umur 55 tahun lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan dengan wanita pada umur yang sama. Setelah umur 55 tahun biasanya wanita lebih sering menderita osteoartritis dibandingkan dengan wanita. Secara keseluruhan, wanita lebih sering menderita osteoartritis bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini diduga karena bentuk pinggul wanita yang lebar dapat menyebabkan tekanan yang menahun pada sendi lutut. Osteoartritis juga sering ditemukan pada orang yang kelebihan berat badan dan mereka yang pekerjaanya mengakibatkan tekanan yang berlebihan pada sendi-sendi tubuh. 67

ETIOLOGI Osteoartitis biasanya bermula dari kelainan pada sel-sel yang membentuk komponen tulang rawan, seperti kolagen (serabut protein yang kuat pada jaringan ikat), dan proteoglikan (bahan yang membentuk daya lenting pada tulang rawan). Akibat dari kelainan pada sel-sel tersebut, tulang rawan akhirnya menipis dan membentuk retakan-retakan pada permukaan sendi. Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang di bawah tulang rawan tersebut, sehingga tulang yang bersangkutan menjadi rapuh. Tubuh kita akan berusaha untuk memperbaiki kerusakan tersebut. Tetapi perbaikan yang dilakukan oleh tubuh mungkin tidak memadai, mengakibatkan timbulnya benjolan pada pinggiran sendi (osteofit) yang terasa nyeri. Pada akhirnya permukaan tulang rawan akan berubah menjadi kasar dan berlubanglubang sehingga sendi tidak lagi bisa bergerak secara halus. Semua komponen yang ada pada sendi (tulang, kapsul sendi, jaringan sinovial, tendon, dan tulang rawan) mengalami kegagalan dan terjadi kekakuan sendi. Penyebab pasti dari terjadinya semua kelainan ini sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti. Tetapi ada beberapa faktor risiko yang memungkinkan seseorang untuk menderita osteoartritis, yaitu:

Umur Kemungkinan seseorang mengidap osteoartritis makin bertambah seiring dengan bertambahnya usia seseorang.

Berat badan Makin tinggi berat badan seseorang, makin besar kemungkinan seseorang untuk menderita osteoartritis. Hal ini disebabkan karena seiring dengan bertambahnya berat badan seseorang, beban yang diterima oleh sendi pada tubuh makin besar.

Trauma pada sendi atau penggunaan sendi secara berlebihan Orang-orang yang pekerjaanya berhubungan dengan aktivitas yang membutuhkan pengulangan gerakan secara terus menerus, seperti atlet, operator mesin, mempunyai risiko tinggi untuk menderita osteoartritis.

Kelemahan pada otot Kelemahan pada otot-otot di sekeliling sendi dapat menyebabkan terjadinya osteoartritis.

68

Penyakit lain yang dapat mengganggu fungsi dan struktur normal pada tulang rawan seperti rematoid artritis, hemokromatosis, gout, akromegali, dan sebagainya

MANIFESTASI KLINIS Gejala pada osteoarthritis timbul secara bertahap. Awalnya kelainan berupa nyeri dan kekakuan pada sendi. Sendi-sendi jari tangan, pangkal ibu jari, leher, punggung sebelah bawah, jari kaki yang besar, panggul dan lutut adalah bagian yang paling sering terkena osteoartritis. Nyeri dapat bersifat ringan, sedang, atau berat hingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Bila penyakit berlanjut maka makin lama sendi akan makin sulit untuk digerakkan dan pada akhirnya akan terhenti pada posisi tertekuk. Pertumbuhan baru dari tulang rawan dan jaringan lainya dapat menyebabkan membesarnya sendi, dan tulang rawan yang permukaanya kasar akan menyebabkan timbulnya suara gemeretak pada saat sendi digerakkan. Pada beberapa sendi, ligamen (yang mengelilingi dan menyokong sendi) dapat teregang sehingga sendi menjadi tidak stabil. Menyentuh atau menggerakkan sendi ini bisa menyebabkan nyeri yang hebat. Osteoartritis yang terjadi pada sendi-sendi di leher atau punggung dapat menimbulkan gejala mati rasa, kesemutan, nyeri dan kelemahan pada lengan atau tungkai, jika pertumbuhan tulang berlebihan menekan persarafan yang ada di sekitarnya. Kadang dapat terjadi penekanan pada pembuluh darah yang menuju ke otak bagian belakang, sehingga dapat timbul gangguan pengelihatan, vertigo, mual dan muntah. Pertumbuhan tulang yang terjadi di sekitar leher juga dapat menyebakan gangguan pada proses menelan. DIAGNOSIS Diagnosis dari osteoartritis dapat ditegakan berdasarkan gejala penyakit dan dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan yang dimaksud dapat berupa :

Rontgen tulang Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui kerusakan atau perubahan-perubahan yang terjadi pada tulang rawan atau tulang yang mengindikasikan adanya osteoartritis.

MRI (Magnetic Resonance Imaging) Pada MRI dapat pula dilihat kelainan-kelainan yang terjadi pada tulang rawan dan tulang dengan detail yang lebih baik daripada pemeriksaan rntgen tulang. 69

Aspirasi sendi (arthrocentesis) Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil sedikit cairan yang ada di dalam sendi untuk diperiksa di laboratorium berkenaan dengan adanya kelainan pada sendi.

PENATALAKSANAAN Sampai saat ini masih belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan osteoartritis hingga tuntas. Pengobatan yang ada hingga saat ini hanya berfungsi untuk mengurangi nyeri dan mempertahankan fungsi dari sendi yang terkena. Ada tiga tujuan utama yang ingin dicapai dalam proses terapi osteoartritis, yaitu untuk mengontrol nyeri dan gejala lainya, untuk mengatasi gangguan pada aktivitas sehari-hari, dan untuk menghambat proses penyakit. Pilihan pengobatan dapat olahraga, kontrol berat badan, perlindungan sendi, terapi fisik, dan obat-obatan. Bila semua pilihan terapi tersebut tidak memberikan hasil, dapat dipertimbangkan untuk dilakukan tindakan operasi pada sendi yang terkena.

Glucosamine dan Chondroitine Sulfate Glucosamine merupakan suatu gula amino yang berfungsi untuk pembentukan dan perbaikan kartilago. Chondroitin sulfate merupakan bagian dari molekul protein besar (proteoglycan) yang memberikan elastisitas dari kartilago. Studi menunjukkan bahwa penderita osteoartritis yang mengonsumsi suplemen glucosamine dan chondroitin sulfate mengalami pengurangan rasa nyeri dalam intensitas yang sama seperti bila seseorang mengonsumsi obat AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid). Selain itu kedua zat tersebut juga dipercaya dapat memperlambat kerusakan kartilago pada pederita osteoartritis.

70

GOUT
DEFINISI Gout adalah bentuk artritis yang timbul seketika, episode nyeri berlebih, kelembutan, kemerahan, hangat dan bengkak sendi. Itu merupakan tipe inflamasi arthritis paling umum pada pria usia diatas 40. Wanita biasanya diproteksi dari gout hingga sesudah menopause. ETIOLOGI Gout adalah hasil kumpulan jarum asam urat seperti kristal pada ruang sendi. Asam urat, substansi yang merupakan hasil dari kerusakan purin dalam tubuh, biasanya terurai dalam darah dan dikeluarkan melalui ginjal ke dalam air seni. Pada seseorang dengan gout, kadar asam urat dalam darah menjadi naik. Ini disebut hiperurisemia dan dapat disebabkan karena peningkatan produksi asam urat contohnya karena konsumsi makanan kaya purin atau penurunan ekskresi asam urat dari ginjal contohnya ketidakmampuan ginjal. MANIFESTASI KLINIS Serangan sering terjadi sangat mendadak dengan intensitas nyeri maksimum tercapai dalam beberapa jam. Sendi terlibat menjadi sangat nyeri dan seringkali bengkak, hangat dan

71

merah. Perkembangan pesat nyeri sendi ini adalah bentuk yang membedakannya dari sebagian besar bentuk artritis lainnya. Sendi paling umum yang terkena adalah sendi pertama dari jempol kaki. Sendi lainnya yang mungkin terkena adalah lutut, tumit, tangan, pergelangan tangan dan sikut. Bahu, sendi pinggul dan tulang belakang sangat jarang terkena. FAKTOR RISIKO

Hiperuriksemia Sebagian besar orang dengan mengalami hiperuriksemia walau tidak Kelebihan berat badan Asupan makanan berlebih meningkatkan produksi asam urat Kelebihan penggunaan alkohol Alkohol mengganggu ekskresi asam urat dari tubuh Makanan dengan kandungan purin tinggi Penggunaan obat-obatan tertentu seperti diuretic, salisilat, siklosporin, niasin, levodopa Mulai pengobatan untuk menurunkan asam urat Program diet kilat Trauma sendi Operasi atau sakit parah mendadak Gen

semua orang dengan Hiperuriksemia mengalami gout

dalam tubuh

DIAGNOSIS Disamping evaluasi gejala, melakukan pemeriksaan klinis dan mengukur kadar asam urat, tes paling konklusif adalah aspirasi sendi. Ini adalah prosedur sederhana dimana jarum digunakan untuk mangambil contoh cairan dari sendi yang terkena. Adanya kristal asam urat ( kristal monosodium urate) mengkonfirmasikan diagnosis gout. Namun, tidak adanya kristal tersebut tidak mengesampingkan gout. Sebagin besar orang dengan gout mengalami hiperurisemia tetapi hiperurisemia mungkin tidak terdapat semasa serangan akut. Hiperurisemia sendiri tidak berarti bahwa orang tersebut mengalami gout. PENATALAKSANAAN Pengobatan gout tergantung pada tahap penyakit. Untuk serangan akut, langkah penting adalah untuk menyediakan penawar sakit dan memperpendek jarak inflamasi. Tujuan pengelolaan gout adalah untuk mencegah terulang kembali atau serangan gout di kemudian hari dengan tujuan utama mencegah kerusakan sendi. 72

Pengobatan disesuaikan untuk setiap orang dan obat-obatan digunakan untuk: 1. Mengurangi nyeri dan bengkak semasa episode akut, 2. Mencegah episode yang akan datang, 3. Mencegah atau mengobati tophi, yang berupa nodul kristal asam urat terbentuk di bawah kulit sehingga menjadi bengkak dan menyebabkan nyeri semasa serangan gout. Obat-obatan Untuk Masa Akut Obat Non-steroid ant-inflamasi (NSAID) contohnya, Naproxen, Mefenamic acid, Indomethacin, or Diclofenac sering digunakan untuk mengatasi nyeri dan bengkak semasa episode gout akut. NSAID biasanya mulai bekerja dalam 24 jam. Efek sampingnya termasuk sakit perut, gatal kulit, retensi cairan atau masalah ginjal dan sariawan lambung. Mereka harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan kerusakan ginjal dan sariawan lambung. Obatobatan baru disebut COX-2 inhibitor mungkin lebih aman untuk lambung. Kortikosteroid memberikan keringanan cepat ketika digunakan pada serangan pertama. Efek samping umum termasuk keram perut atau diare. Dosis rendah kolkisin dapat diminum setiap hari untuk mencegah serangan di kemudian hari. Obat-obatan Yang Mengendalikan Kadar Asam Urat Manajemen jangka panjang untuk pasien dengan arthritis gout adalah untuk menutunkan kadar asam urat dalam darah sehingga episode serangan gout dimasa depan dapat dicegah. Ini dicapai dengan obat-obatan seperti Allopurinol atau agen urikosurik (contohnya obat-obatan yang mengakibatkan peningkatan ekskresi urate dari ginjal). Obat-obatan ini tidak meringankan nyeri dan inflamasi pada episode akut dan biasanya dimulai setelah episode akut gout diobati. Mereka kadang-kadang menyebabkan Anda mengalami lebih banyak episode gout ketika pertama mulai, lebih lanjut lagi Anda diberi resep kolsikin atau NSAID yang diminum bersamaan. Alopurinol menurunkan kadar asam urat dalam darah dan harus diminum setiap hari. Itu juga dapat menurunkan ukuran tophi dan mencegah pembentukan kumpulan kristal pada sendi dan jaringan lain. Efek samping paling umum adalah ruam kulit dan harus dihentikan jika Anda mengalami gatal atau ruam. Alopurinol biasanya diminum setiap hari dan bertahun-tahun. Itu tidak boleh dihentikan selama episode gout akut.

73

Obat urikosurik seperti probenecid menurunkan kadar asam urat dalam darah dengan meningkatkan ekskresinya dalam air seni. Mereka tidak seefektif alopurinol dan tidak bekerja baik pada orang dengan kerusakan ginjal. Pasien harus minum banyak air karena ekskresi asam urat dalam air seni mungkin menyebabkan pembentukan batu dalam ginjal. Akhirnya, dokter akan menyarankan Anda mengenai tipe obat-obatan yang Anda butuhkan dan memantau efek sampingnya.

DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF)


DEFINISI Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Famili Flaviviridae,dengan genusnya adalah flavivirus. Virus ini mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda, tergantung dari serotipe virus Dengue. (Saroso, 2007) Demam Berdarah Dengue adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue terutama menyerang anak-anak dengan ciri-ciri demam tinggi mendadak, disertai manifestasi perdarahan dan berpotensi menimbulkan renjatan/syok dan kematian (DEPKES. RI, 1992). Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang terdapat pada anak-anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, yang biasanya memburuk setelah dua hari pertama (Mansjoer, 1999) PATOFISIOLOGI Hal pertama yang terjadi setelah virus masuk ke dalam tubuh penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau batuk, bintik-bintik merah pada kulit (ptekie), hiperemi tenggorokan

74

dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (hepatomegali) dan pembesaran limpa. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, homokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit lebih dari 20%) menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Oleh karena itu, pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau hetokrit darah berkala untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi terjadi.

75

76

ETIOLOGI Penyakit Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam group arboviruses (virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk asthropod). Penyakit demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamik Aedes Aegypti yang banyak ditemukan dan hampir selalu menggigit di dalam rumah pada waktu siang hari (Sumarmo, 1998). TANDA DAN GEJALA Demam Demam akut dengan gejala yang tidak spesifik, anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang sendi dan kepala. Biasanya berlangsung 2-7 hari. Perdarahan Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam. Bentuk perdarahan dapat berupa : uji torniquet positif. Ptekiae, purpura, ekimosis, epitaksis dan perdarahan gusi, hematemesis melena. Uji torniquet positif bila terdapat lebih dari 20 ptekiae dalam diameter 2,8 cm.

Hepatomegali Renjatan ( Syok )

Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa disertai ikterus. Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3 dan ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau pada periode demam biasanya mempunyai prognosa buruk. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium a. Darah : LPB positif. Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) Hematokrit meningkat lebih dari 20%, merupakan indikator akan timbulnya Hemoglobin meningkat lebih dari 20%. Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga.

rejatan.

77

b. Urine :

Masa perdarahan memanjang. Protein rendah (hipoproteinemia) Natrium rendah (hiponatremia) SGOT/SGPT bisa meningkat Astrup : Asidosis metabolic

Kadar albumin urine positif (albuminuria) 2. Foto thorax Bisa ditemukan pleural effusion. KLASIFIKASI DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat (Menurut WHO, 1986) : 1. Derajat I Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi.uji tourniquet 2. Derajat II Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain. 3. Derajat III Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah (hipotensi), gelisah, cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan). 4. Derajat IV Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur KOMPLIKASI Perdarahan luas Syok (rejatan) Pleural Effusion Penurunan kesadaran

78

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penderita dengan DHF adalah sebagai berikut : 1. Tirah baring atau istirahat baring. 2. Diet makan lunak. 3. Minum banyak (2 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF. 4. Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering digunakan. 5. Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk, observasi ketat tiap jam. 6. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap hari. 7. Pemberian obat antipiretik sebaiknya dari golongan asetaminopen. 8. Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut. 9. Pemberian antibiotik bila terdapat kekuatiran infeksi sekunder. 10. Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil pemeriksaan laboratorium yang memburuk. 11. Bila timbul kejang dapat diberikan Diazepam. Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander atau dekstran sebanyak 20 30 ml/kg BB. Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 48 jam setelah renjatan teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam. Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok. Pada pasien renjatan : o Antibiotika 79

o Kortikosteroid o Antikoagulasi

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)


DEFINISI Sistemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit auto imun yang kronik dan menyerang berbagai system dalam tubuh. Tanda dan gejala penyakit ini dapat bermacammacam, dapat bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit untuk diperoleh. ETIOLOGI Etiologi dari penyakit SLE belum diketahui dengan pasti. Selain factor keturunan (genetis) dan hormon, diketahui bahwa terdapat beberapa hal lain yang dapat menginduksi SLE, diantaranya adalah virus (Epstain Barr), obat (contoh : Hydralazin dan Procainamid), sinar UV, dan bahan kimia seperti hidrazyn yang terkandung dalam rokok, mercuri dan silica. Hormon estrogen dapat meningkatkan ekspresi system imun, sedangkan androgen menekan ekspresi system imun. Hal ini menjelaskan mengapa SLE cenderung lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. virus (Epstain Barr), obat obatan, dan bahan kimia dapat menyebabkan produksi antinuclear antibody (ANA) yang menjadi salah satu autoantibodi. Bagaimana sinar matahari dapat menyebabkan SLE masih belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu penjelasan adalah DNA yang tekena sinar UV secara normal akan bersifat antigenic, dan hal ini akan menimbulkan serangan setelah terkena paparan sinar. Penyebab utama terjadinya SLE adalah karena produksi antibody dan pembentukan kompleks imun yang abnormal, sehingga dapat terbentuk antibody terhadap multiple nuclear, sitoplasmik, dan komponen permukaan sel dari berbagai tipe sel di berbagai system organ, dengan bantuan suatu penanda Ig G dan factor koagulan. Hal inilah yang dapat menjelaskan mengapa SLE dapat menyerang berbagai system organ. Pembentukan antibody yang berlebihan dapat dihasilkan oleh sel limfosit B yang hiperaktif. Hal-hal yang dapat menyebabkan hiperaktifnya sel limfosit B diantaranya adalah hilanya toleransi sel imun terhadap tubuh, bahan atau cemaran dari lingkungan yang bersifat 80

antigenic, adanya antigen terhadap sel B dari sel B lainnya atau dari antigen pesaing cells (APCs), perubahan sel Th1 menjadi sel Th2 yang kemudian memicu produksi antibody sel B, dan supresi sel B yang tidak sempurna. Autoantibodi yang terbentuk umumnya menyerang bagian-bagian penyusun nucleus dalam sel yang sering disebut antinuclear antibody (ANA). Pada pasien SLE dapat ditemukan lebih dari satu macam ANA, yang dapat menyerang berbagai system organ. Antibody yang terbentuk juga dapat menyerang bagian fosfolipid dari activator kompleks protrombin (antikoagulan lupus) dan kardiolipin (antikardiolipin). Antikoagulan lupus dan antikardiolipin merupakan dua antibody yang termasuk kedalam golongan antibody antifosfolipid. Beberapa antibody tersebut dapat muncul bertahun-tahun sebelum diagnosis dapat ditegakkan, namun ada juga beberapa antibody yang muncul dalam hitungan bulan sebelumnya. Serangkaian reaksi akibat kerusakan regulasi system imun yang kemudian memacu sel B untuk memproduksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun yang diikuti oleh aktivasi komplemen, akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada berbagai jaringan serta organ. MANIFESTASI KLINIS SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difus yang etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, skleroderma, polimiositis, arthritis, rheumatoid, dan sindron Sjogren. Gangguan-gangguan ini seringkali tumpang tindih satu dengan yang lainnya dan dapat tampil sedara bersamaan sehingga diagnosis menjadi semakin sulit untuk ditegakkan. SLE dapat bervariasi dari suatu gangguan yang bersifat ringan sampai suatu gangguan yang bersifat fulminan dan mematikan. Gambaran klinis SLE sering membingungkan terutama pada awalnya. Gejala yang paling sering muncul adalah arthritit simetris atau atralgia, yang muncul pada 90% dari waktu perjalanan penyakit, seringkali sebagai manifestasi awal. Sendi-sendi yang paling sring terserang adalah sendi proksimal tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, lutut, dan pergelangan kaki. Poliarthritis SLE berbeda dengan arthritis rheumatoid karena jarang bersifat erosive atau menimbulkan deformitas. Nodul sub kutan juga jarang ditemukan pada penyakit SLE. Gejala-gejala konstitusional adalah demam, rasa lelah, lemah, dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit

81

ini. Keletihan dan rasa lemah dapat timbul sebagai gejala sekunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE. Manifestasi kulit mencakup ruam eritematosa yangdapat timbul pada wajah, leher, ekstrimitas, atau pada tubuh. 40% dari pasien SLE memiliki ruam khas berbentuk kupu-kupu. Sinar matahari dapat memperburuk ruam kulit ini. Dapat timbul rambut rontok yang kadangkadang menjadi berat. Juga dapat terjadi ulserasi pada mukosa mulut dan nasofaring. Pleuritis (nyeri dada) dapat timbul akibat proses peradangan kronik dari SLE. SLE juga dapat menyebabkan karditis yang menyerang miokardium, endokardium, atau pericardium. Kurang lebih 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada ginjalnya, 25% menjadi gangguan ginjal yang berat. SLE juga dapat menyerang SSP maupun perifer. Gejalagejala yang ditimbulkan meliputi perubahan tingkah laku, kejang, gangguan saraf otak, dan neuropati perifer. DIAGNOSIS Adanya empat atau lebih dari 11 kriteria baik secara serial maupun simultan cukup untuk menegakkan diagnosis. Kriteria diagnosis untuk SLE diantaranya adalah : 1. ruam di daerah malar 2. ruam discoid 3. fotosensitivitas 4. ulkus pada mulut 5. arthritis : tidak erosive, pada dua atau lebih sendi-sendi perifer 6. serositis : pleuritis atau perikarditis 7. gangguan pada ginjal ; proteinuria persisten yang lebih dari 0,5 g/hari 8. gangguan neurulogik : kejang atau psikosis 9. gangguan hematologik : anemia hemolitik, leukopenia, limfopenia, atau trombositopenia 10. gangguan imunologik : sel-sel lupus eritematosus (LE) positif, anti DNA 11. antibody antinuclear (ANA) Uji laboratorium 1. ANA positif pada lebih dari 95% pasien lupus. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan 82

antibody spesifik. Pola ANA diketahui dari pemeriksaan preparat dibawah sinar UV. Pemeriksaan ini berguna untuk membedakan SLE dari tipe-tipe gangguan lainnya. 2. antibody terhadap dsDNA merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologik lain dapat menyebabkan ANA positif, tetapi antibody anti DNA jarang ditemukan kecuali pada SLE. 3. laju enap darah pada pasien SLE biasanya meningkat. Ini adalah uji nonspesifik untuk mengukur peradangan dan tidak berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. 4. uji factor LE. Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nukleoproteinnya. Protein ini bereaksi dengan IgG, dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada. 5. urin diperiksa untuk mengetahui adanya protein, laukosit, dan eritrosit. Uji ini dilakukan untuk mengetahui adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit. PENATALAKSANAAN Meski masih belum dapat disembuhkan, odapus (orang dengan penyakit lupus) tetap bisa mendapatkan pengobatan agar dapat hidup lebih lama seperti orang yang sehat. Pengibatan ditujukan untuk menghilangkan gejala lupus yang ada. Pengobatan juga perlu didukung perubahan pola hidup, pengendalian emosi, pemakaian obat secara tepat, dan pengaturan gizi seimbang. Manifestasi yang terjadi dapat bervariasi untuk tiap pasien sehingga terapi SLE dilakukan secara individual. Nutrisi, cairan, dan elektrolit yang adekuat merupakan pengobatan suportif 7yang sangat dibutuhkan. Berikut Algoritme terapi SLE. Terapi Non Farmakologis : 1. pengaturan istirahat dan olah raga ringan yang teratur da seombang. Hal ini dalakukan untuk mengatasi fatigue yang umumnya dialami oleh pasien SLE. 2. hindari merokok, terkait dengan kandngan hydrazine yang terkadung dalam rokok dan dapat menjadi factor pencetus SLE serta menambah resiko terjadinya CAD 3. pemberian asupan minyak ikan, untuk menghindari terjadinya keguguran pada wanita hamil dengan antifosfolipid antibody. 4. menghindari paparan sinar matahari langsung. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan paying, topi, hingga memakai sunscreen maupun sunblok 83

5. menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan stress karena dapat memicu terjadinya SLE. Terapi Farmakologi Strategi terapi SLE adalah dengan menekan system imun dan dapat menghilangkan inflamasi. Terapi dengan obat bagi pasien meliputi pemberian OAINS, kortikosteroid, antimalaria, dan agen penekan imun. Pemilihan obat bergantung pada organ-organ yang terkena oleh penyakit ini. 1. OAINS Dipakai untuk mengatasi arthritis dan artralgia. Penggunaan OAINS pada pasien dengan gejala yang masih awal merupakan pilihan yang logis. Aspirin jarang digunakan karena memiliki insidensi hepatotoksik tertinggi, dan sebagian pasien SLE juga mengalami gangguan pada hepar. Pasien SLE juga memiliki resiko tinggi terhadap efek samping OAINS pada kulit, hepar, dan ginjal, sehingga penggunaannya perlu dimonitoring. 2. Obat Antimalaria Terapi antimalaria kadang-kadang dapat efektif apabila OAINS tidak dapat mengendalikan gejala-gejala SLE. Biasanya anti malaria mula-mula diberikan dosis tinggi untuk memperoleh keadaan remisi. Antimalaria dapat mengatasi beberapa manifestasi klinis, seperti arthalgia, pleuritis, inflamasi pericardial, fatigu, dan leukopenia. Hidroksikloroquin diketahui lebih aman dibandingkan dengan cloroquine dan merupakan pilihan pertama dalam terapi SLE. Mekanisme antimalaria belum jelas, namun telah diketahui bahwa obat antimalaria menggangu aktivitas limfosit T. dosis dan durasi penggunaan tergantung dari respon pasien, toleransi terhadap efek samping, dan potensi terjadinya toksisitas renal yang dapat terjadi pada penggunaan cloroquin jangka panjang. Dosis yang direkomendasikan adalah 200-400 mg/hari untuk hidroksikloroquin dan 250-500 mg/hari untuk cloroquin. Efek samping pada system CNS diantaranya adalah sakit kepala, insomnia, kegugupan, dll. Selain itu rash, dermatitis, perubahan pigmen rambut dan kulit, mutah, dan toksisitas ocular reversible. Karena kemungkinan adanya retinophati, evaluasi ophtalmologik harus dilakukan diawal terapi, minimal 3 bulan untuk penggunaan cloroquin, dan setiap 6-12 bulan untuk penggunaan hydroxicloroquin. Jika diketahui terjadi abnormalitas retina maka terapi antimalaria harus dihentikan atau dikurangi dosisnya. 3. Kortikosteroid 84

Merupakan obat yang paling sering digunakan dalam terapi SLE. Beberapa pertimbangan yang matang harus dilakukan sebelum memutuskan menggunakannya terkait dengan resiko yang ditimbulkan, seperti kemungkinan terjadinya infeksi, hipertensi, diabetes, obesitas, osteoporosis, dan beberapa penyakit psikiatris. Prednison dosis rendah (10-20 mg/hari) digunakan untuk mengatasi gejala ringan SLE tetapi apabila gejala yang terjadi termasuk gejala yang berat maka penggunaan dosis yang lebih tinggi (10-20 mg/kg/hari) dapat diberikan. Ketika gejala telah teratasi maka dosis harus ditapering dan dipertahankan pada dosis terendah yang dapat memberikan efek. Terapi steroid jangka pendek dengan dosis tinggi dapat diberikan bagi pasien dengan gejala nefritis parah, gejala pada system CNS, dan manifestasi hemolitik. Dosis yang digunakan biasanya adalah 500-1000 mg metilprednisolon i.v berurutan selama 3-6 hari, dan diikuti dengan 1-1,5 mg/kg/hari prednison, yang kemudian ditapering sampai dosis terendah yang masih dapat memberikan efek. Penyapihan Bila keadaan klinis baik dan gambaran laboratorium dalam batas normal maka mulai dilakukan penyapihan bertahap. Pemeriksaan konversi negatif sel LE dan titer ANA dapat dipakai sebagai pegangan untuk memulai penyapihan kortikosteroid. Setiap dosis inisial harus diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari, setelah itu dapat dipertimbangkan pemberian dosis tunggal pada pagi hari. Bila terdapat stress (infeksi, trauma, luka, kelelahan, tekanan kejiwaan) pengobatan diberikan dalam dosis terbagi. Bila pada saat penyapihan gejala kambuh kembali, dosis dinaikkan dengan 25-50% terapi saat itu dalam dosis terbagi yang dipertahankan dalam beberapa lama sebelum diputuskan untuk meneruskan penyapihan, atau menaikan dosis kembali. Patokan penyapihan : 10 mg/hari : turunkan 0,5-1,0 mg setiap 2-4 minggu, 10-20 mg/hari : turunkan 1,0-2,5 mg setiap minggu, 20-60 mg/hari : turunkan 2,5-5,0 mg setiap minggu 4. Obat Sitotoksik Terapi penekan imun (siklofosfamid, azatioprin) dapat dilakukan untuk menekan aktivitas autoimun SLE. Obat-obatan ini biasanya dipakai ketika : 1. diagnosis pasti sudah ditegakkan 2. adanya gejala-gejala berat yang dapat mengancam jiwa gangguan neurologik SSP, anemia hemolitik akut.

85

3. kegagalan tindakan-tindakan pengobatan lainnya, misalnya bila pemberian steroid tidak memberikan respon atau bila dosis steroid harus diturunkan karena adanya efek samping
4. tidak adanya kehamilan, infeksi, dan neoplasia.

Dosis siklofosfamid yang digunakan untuk terapi kombinasi adalah 1-3 mg/kg BB per oral dan 0,5-1,0 g/m BSA secara intra vena. Efek samping yang ditimbulkan adalah infeksi oportunistik, komplikasi kandung kemih, kemandulan, dan efek teratogenesis. Azatioprin dapat jugs digunakan sebagai kombinasi dengan kortikosteroid, namum belum ada bukti yang memastikan bahwa penggunaan azatioprin lebih baik dibanding siklofosfamid. Agen sitotoksik baru yang mulai banyak digunakan saat ini adalah mycofenolat mofenil. Pada beberapa studi secara random menunjukkan mycofenolat mofenil memberikan efek yang lebih baik dibanding azatioprin dan siklofosfamid. Penanganan SLE Pada Kehamilan SLE memperburuk kehamilan , keadaan postpartum, aborsi, dan preekalampsia. Pada pasien hamil, SLE berkembang terutama trimester ketiga kehamilan, sehingga penanganannya berbeda pada orang normal. Kortikosteroid adalah drug of choice, walaupun menembus plasenta kortikosteroid dimetabolisme oleh plasenta hidroksigenase sebelum mencapai fetus. NSAID dan aspirin aman pada trimester pertama dan kedua. Dosis rendah aspirin (81mg/hari) dengan atau tanpa heparin dapat digunakan pada kehamilan dengan lupus yang terkomplikasi antiphospolipid antibodi (lupus antikoagulan, antikardiolipin antibodi) mengurangi komplikasi fetal. Penggunaan NSAID dan aspirin harus dibatasi pada trimester pertama. PROGNOSIS Pada penyakit yang parah, resiko yang terbesar adalah iatrogenik obat, dimana akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Survival pasien SLE adalah sekitar 7 % dalam 10 tahun. Survival paling rendah terjadi pada pasien bukan kulit putih, pada kelompok dengan tingkat sosio-ekonomi rendah dan pada pasien dengan keterlibatan ginjal, otak, paru atau jantung yang parah. CAD, gagal ginjal dan infeksi adalah penyebab utama kematian pada pasien SLE.

86

Você também pode gostar