Você está na página 1de 22

REFERAT

UNDESCENDED TESTIS

Disusun oleh: Anton Hilman 105103003393

Pembimbing: dr. Amrizal Umran, SpU

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUP Fatmawati Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010

LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan Judul Undescended Testis Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu bedah di RSUP Fatmawati periode 1 Februari 2010 10 April 2010

Jakarta, Februari 2010

( dr. Amrizal Umran, SpU )

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Adapun judul yang penulis pilih untuk penulisan makalah referat ini

adalah Undescended Testis . Dalam penyusunan makalah ini, penulis telah mencurahkan segala pikiran dan kemampuan yang dimiliki. Namun tetap ada hambatan dan kendala yang harus dilewati. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Amrizal Umran, SpU, selaku pembimbing makalah referat dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Jakarta, Februari 2010

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Undescendcus testis (UDT) atau biasa disebut Kriptorkismus merupakan


kelainan bawaan genitalia yang paling sering ditemukan pada anak laki -laki. Sepertiga kasus anak -anak dengan UDT adalah bilateral sedangkan dua pertiganya adalah unilateral. Insiden UDT terkait erat dengan umur kehamilan, dan maturasi bayi. Insiden meningkat pada bayi yang lahir prematur dan menurun pada bayi -bayi yang dilahirkan cukup bulan. Peningkatan umur bayi akan diikuti dengan penurunan insiden UDT.
1,2

Insidensnya 3 6% pada bayi laki -laki yang lahir cukup bulan dan meningkat menjadi 30% pada bayi prematur. Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan UDT bilateral. Setelah 100 tahun penelitian mengenai UDT, masih terdapat beberapa aspek yang menjadi kontroversial. Faktor predisposisi terjadinya UDT adalah prematuritas, berat bayi baru lahir yang rendah, kecil untuk masa kehamilan, kembar dan pemberian estrogen pada trimester pertama.
1,2

Testis yang belum turun ke kantung skrotum dan masih berada dijalurnya mungkin terletak di kanalis inguinalis atau di rongga abdomen, yaitu terletak diantara fossa renalis dan annulus inguinalis internus. Testis ektopik mungkin berada diperineal, di luar kanalis inguinalis yaitu di antara aponeurosis oblikus eksternus dan jaringan subkutan, suprapubik, atau di regio femoral.
1,3

UDT dapat kembali turun spontan ke testis sekitar 70 77% pada usia bulan. Beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan testis ke dalam skrotum, antara lain: (1) adanya tarikan dari gubernakulum testis (suatu pemadatan mesenkim yang kaya akan matriks ekstraseluler) dan refleks dari otot kremaster, (2) perbedaan pertumbuhan gubernakulum dengan pertumbuhan badan, dan (3) dorongan dari tekanan intraabdominal.
1,2

Gambar 1. Undescended testis (sumber : http/: www.rch.org.au/kidsinfo/UDT.jpg) Alasan utama dilakukan terapi adalah meningkatnya risiko infertilitas, meningkatnya risiko keganasan testis, meningkatnya risiko torsio testis, reisiko trauma testis terhadap tulang pubis dan faktor psikologis terhadap kantong skrotum yang kosong. 1,2 Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di kemudian hari. UDT meningkatkan risiko infertilitas dan berhubungan dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3 10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5 7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1 2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pada awal pubertas, lebih dari 90% test is kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%.
1,2

Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan

(orchiopexy) .1,2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi

Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak


dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum. Dalam hal ini mungkin testis tidak mampu mencapai skrotum tetapi masih berada pada jalurnya yang normal, keadaan ini disebut kriptorkismus, atau pa da proses desensus, testis tersesat (keluar) dari jalurnya yang normal, keadaan ini disebut sebagai testis ektopik.
1,2

2.2. Epidemiologi UDT merupakan kelainan genitalia kongenital tersering pada anak laki laki. Pada bayi prematur sekitar 30,3% dan sekitar 3,4% pada bayi cukup bulan. Bayi dengan berat lahir < 900 gram seluruhnya mengalami UDT, sedangkan dengan berat lahir < 1800 gram sekita r 68,5 % UDT. Dengan bertambahnya umur menjadi 1 tahun, insidennya menurun menjadi 0,8 %, angka ini hampir sama dengan populasi dewasa. 1,2,6 Tabel 1. Data prevalensi UDT berdasarkan umur oleh Scorer dan Farrington ( 1971)

Dua pertiga kasus mengalami UDT unilateral dan sisanya UDT bilateral. Dengan bertambahnya usia, testis mengalami desensus secara spontan sekitar 70-77% biasanya pada usia 3 bulan, sehingga pada saat usia 1 tahun angka kejadian UDT turun menjadi 1% dibandingkan saat lahir 3, 7%. Setelah usia 1 tahun, testis yang letaknya abnormal jarang dapat mengalami desensus testis secara spontan. 1,2 2.3. Embriologi dan Proses Penurunan Testis Pada minggu keenam umur kehamilan primordial germ cells mengalami migrasi dari yolk sac ke-genital ridge . Dengan adanya gen SRY (sex determining

region Y) , maka akan berkembang menjadi testis pada minggu ke -7. Testis yg
berisi prekursor sel-sel Sertoli besar (yang kelak menjadi tubulus seminiferous dan sel-sel Leydig kecil) dengan stimulasi FSH yang dihasilkan pituitary mulai

aktif berfungsi sejak minggu ke -8 kehamilan dengan mengeluarkan MIF

(Mllerian Inhibiting Factor) , yang menyebabkan involusi ipsilateral dari duktus mullerian . MIF juga meningkatkan reseptor androgen pada membran sel Leydig .
Sel- Pada minggu ke-10-11 kehamilan, akibat stimulasi chorionic gonadotropin yang dihasilkan plasenta dan LH dari pituitary sel -sel Leydig akan mensekresi testosteron yang sangat esensial bagi diferensiasi duktus Wolfian menjadi epididimys, vas deferens, dan vesika seminalis. 1,6,7 Penurunan testis dimulai pada sekitar minggu ke -10. Walaupun mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun para ahli sepakat bahwa terdapat beberapa faktor yang berperan penting, yakni: faktor endokrin, mekanik (anatomik), dan neural. Terjadi dalam 2 fase yang dimulai sekitar minggu ke -10 kehamilan segera setelah terjadi diferensiasi seksual. Fase transabdominal dan fase inguinoscrotal . Keduanya terjadi dibawah kontrol hormonal yang berbeda.
1,6,7

Fase transabdominal terjadi antara minggu ke-10 dan 15 kehamilan, di mana testis mengalami penurunan dari urogenital ridge ke regio inguinal. Hal ini terjadi karena adanya regresi ligamentum suspensorium cranialis dibawah pengaruh androgen (testosteron), disertai pemendekan gubernaculum (ligamen yang melekatkan bagian inferior testis ke -segmen bawah skrotum) di bawah pengaruh MIF. Dengan perkembangan yang cepat dari regio abdominopelvic maka testis akan terbawa turun ke daerah inguinal anterior. Pada bulan ke -3 kehamilan terbentuk pro cessus vaginalis yang secara bertahap berkembang ke arah skrotum. Selanjutnya fase ini akan menjadi tidak aktif sampai bulan ke -7 kehamilan. 1,6,7

Gambar 2. Skema penurunan testis menurut Hutson. Keterangan gambar :Antara minggu ke - 815 gubernaculum (G) berkembang pada laki-laki, mendekatkan testis (T) ke -inguinal. Ligamentum suspensorium cranialis (CSL) mengalami regresi. Migrasi gubernaculum ke -skrotum terjadi pada minggu ke- 28 35. B: Peranan gubernaculum dan CSL pada diferensiasi seksual rodent. Pada jantan CSL mengalami regresi dan gubernaculum mengalami perkembangan; sebaliknya pada betina CSL menetap, dan gubernaculum menipis dan memanjang. (Sumber : Hutson JM, Hasthorpe S, Heys CF. Anatomical and Functional of Testicular Descent and Cryptorchidism. Endocrine Reviews 1997; 18 (2): 259 -75) Fase inguinoscrotal terjadi mulai bulan ke -7 atau minggu ke-28 sampai dengan minggu ke -35 kehamilan. Testis mengalami penurunan dari regio inguinal ke-dalam skrotum dibawah pengaruh hormon androgen. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, namun diduga melalui mediasi pengeluaran

calcitonin gene -related peptide (CGRP). Androgen akan merangsang nervus genitofemoral untuk mengeluarkan CGRP yang menyebabkan kontraksi ritmis
dari gubernaculum . Faktor mekanik yang turut berperan pada fase ini adalah tekanan abdominal yang meningkat yang menyebabkan keluarnya testis dari cavum abdomen, di samping itu tekanan abdomen akan menyebabkan

terbentuknya ujung dari processus vaginalis melalui canalis inguinalis menuju skrotum. Proses penurunan testis ini masih bisa berlangsung sampai bayi usia 9 12 bulan. 1,6,7

2.4. Etiologi Mekanisme terjadinya UDT berhubungan d engan banyak faktor

(multifaktorial) yaitu (1) Perbedaaan pertumbuhan relatif tubuh terhadap funikulus spermatikus atau gubernakulum, (2) peningkatan tekanan abdomen, (3) faktor hormonal: testosteron, MIS, and

extrinsic estrogen, (4) Perkembangan

epididimis, (5) Perlekatan gubernakular (6) Genito femoral nerve/calcitonin gene related peptide (CGRP), (7) Sekunder pasca -operasi inguinal yang menyebabkan jaringan ikat. 1,2,3 UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis. Beberapa penelitian telah mengidentifikasi kelompok bayi baru lahir yang beresiko mengalami UDT untuk mencari riwayat alami dan faktor-faktor yang mempengaruhi desensus setelah lahir. Penelitian ini menemukan bahwa UDT secara signifikan lebih banyak ditemukan pada bayi prematur, kecil untuk masa kehamilan, berat bayi baru lahir yang rendah, dan kembar.1,2 UDT dapat merupakan kelainan tunggal yang berdiri sendiri

(isolated

anomaly) , ataupun bersamaan dengan kelainan kromosom, endokrin, intersex,


dan kelainan bawaan lainnya. Bila disertai dengan kelainan bawaan lain seperti hipospadia kemungkinan lebih tinggi disertai dengan kelainan kromosom (sekitar 12 25 %).1,6 Terdapat faktor keturunan terjadinya UDT pada kasus -kasus yang

isolated , di samping itu testis sebelah kanan lebih sering mengalami UDT.
Sekitar 4,0 % anak -anak UDT mempunyai ayah yang UDT, dan 6,2 9,8% mempunyai saudara laki -laki UDT; atau secara umum terdapat risiko 3,6 kali terjadi UDT pada laki -laki yang mempunyai anggota keluarga UDT dibanding dengan populasi umum. 2.5. Klasifikasi UDT dikelompokkan menjadi 3 tipe:
1,2,6

1. UDT sesungguhnya (true undescended) : testis mengalami penurunan parsial melalui jalur yang normal, tetapi terhenti. Dibedakan menjadi teraba (palpable) dan tidak teraba (impalpable) . 2. Testis ektopik: testis mengalami penurunan di luar jalur penuruna n yang normal. 3. Testis retractile: testis dapat diraba/dibawa ke -dasar skrotum tetapi akibat refleks kremaster yang berlebihan dapat kembali segera ke -kanalis inguinalis, bukan termasuk UDT yang sebenarnya. Pembagian lain membedakan true UDT menurut lokasi terhentinya testis, menjadi: abdominal , inguinal , dan suprascrotal (gambar 2). Gliding testis atau

sliding testis adalah istilah yang dipakai pada keadaan UDT dimana testis dapat
dimanipulasi hingga bagian atas skrotum, tetapi segera kem bali begitu tarikan dilepaskan. 1,2,6

Gliding testis harus dibedakan dengan testis yang retraktil, gliding testis terajadi
akibat tidak adanya gubernaculum attachment , dan mempunyai processus vaginalis yang lebar sehingga testis sangat mobile dan meningkat kan risiko terjadinya torsi. Dengan melakukan overstrecht selama 1 menit pada saat pemeriksaan fisik (untuk melumpuhkan refleks cremaster), testis yang retraktil akan menetap di dalam skrotum, sedangkan gliding testis akan tetap kembali ke kanalis inguinal is. 1,2,6

Gambar 3. Kemungkinan lokasi testis pada true UDT dan ektopik testis.

2.6. Patogenesis dan Patofisiologi Suhu di dalam rongga abdomen kurang lebih 1 -20C lebih tinggi daripada suhu di dalam skrotum, sehingga testis abdominal sela lu mendapatkan suhu yang lebih tinggi daripada testis normal; hal ini mengakibatkan kerusakan sel -sel germinal testis.
1,2

Pada usia 2 tahun, sebanyak 1/5 bagian dari sel -sel germinal testis telah mengalami kerusakan, sedangkan pada usia 3 tahun hanya 1/3 sel-sel germinal yang masih normal. Kerusakan ini makin lama makin progresif dan akhirnya testis menjadi mengecil. Karena sel -sel Leydig sebagai penghasil hormon androgen tidak ikut rusak, maka potensi potensi seksual tidak mengalami gangguan. Akibat lain yang ditimbulkan dari letak testis yang tidak berada di skrotum adalah mudah terpluntir (torsio), mudah terkena trauma, dan lebih mudah mengalami degenerasi maligna. 1-3

2.7. Diagnosis 2.7.1. Anamnesis Pada anamnesis, tentukan apakah testis pernah teraba di skrotum, riwayat operasi daerah inguinal, riwayat prenata l: terapi hormonal pada ibu untuk reproduksi, kehamilan kembar, prematuritas, riwayat keluarga: UDT, hipospadia, infertilitas, intersex, pubertas prekoks. Pada anamnesis juga, yang harus di gali adalah tentang prematuritas penderita (30% bayi prematur mengalami UDT), penggunaan obat -obatan saat ibu hamil (estrogen), riwayat operasi inguinal. Harus dipastikan juga apakah sebelumnya testis pernah teraba di skrotum pada saat lahir atau tahun per tama kehidupan (testis retractile akibat refleks cremaster yang berlebihan sering terjadi pada umur 4 -6 tahun). Perlu juga digali riwayat perkembangan mental anak, dan pada anak yang lebih besar bisa ditanyakan ada tidaknya gangguan penciuman (biasanya pen derita tidak menyadari). Riwayat keluarga tentang UDT, infertilitas, kelainan bawaan genitalia, dan kematian neonatal.
1,2

Inspeksi pada regio skrotum terlihat hipoplasia kulit skrotum karena tidak pernah ditempati oleh testis. Pada palpasi, testis tidak teraba di kantung skrotum, melainkan berada di inguinal atau di tempat lain. Pada saat melakukan palpasi untuk mencari keberadaan testis, jari tangan pemeriksa harus dalam keadaan hangat. 1,2 Jika kedua buah testis tidak diketahui tempatnya, harus dibedakan dengan anorkismus bilateral (tidak mempunyai testis). Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan hormonal antara lain hormon testosteron, kemudian dilakukan uji dengan pemberian hormon hCG ( human chorionic gonadotropin ). 2.7.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di ruangan yang tenang dan hangat. Pemeriksaan secara umum harus dilak ukan dengan mencari adanya tanda -tanda sindrom tertentu , dismorfik, hipospadia, atau genitalia ambigua.
1,2,6 1,2

Pemeriksaan testis sebaiknya dilakukan pada posisi terlentang dengan frog leg

position dan jongkok. Dengan 2 tangan yang hangat dan akan lebih baik bila
menggunakan jelly atau sabun, dimulai dari SIAS menyusuri kanalis inguinalis ke-arah medial dan skrotum. Bila teraba testis harus dicoba untuk diarahkan ke skrotum, dengan kombinasi menyapu dan menarik terkadang testis dapat didorong ke-dalam skrotum. Dengan mempertahankan posisi testis didalam skrotum selama 1 menit, otot -otot cremaster diharapkan ak an mengalami

fatigue ; bila testis dapat bertahan di dalam skrotum, menunjukkan testis yang retractile sedangkan pada UDT akan segera kembali begitu testis dilepas.
Tentukan lokasi, ukuran dan tekstur testis.
1,2,6

Testis yang atropi atau vanishing testis dapat dijumpai pada jalur penurunan yang normal. Kemungkinan etiologinya adalah iskemia masa neonatal akibat torsi. Testis kontra lateralnya biasanya mengalami hipertrofi.Lokasi UDT tersering terdapat pada kanalis inguinalis (72%), diikuti supraskrotal (2 0%), dan intra-abdomen (8%). Sehingga pemeriksaan fisik yang baik dapat menentukan lokasi UDT tersebut. 1,2,6 Adanya UDT bilateral yang tidak teraba gonad/testis apalagi disertai hipospadia dan virilisasi, harus dipikirkan kemungkinan intersex, individu de ngan kromosom XX yang mengalami female pseudo -hermaphroditism yang berat; atau

Anorchia kongenital sebagai akibat torsi testis in utero. 3,13,15 Sedangkan simple
UDT merupakan hal yang seringkali dijumpai terutama pada bayi yang prematur,

akan tetapi masih dapat terjadi penurunan testis dalam tahun pertama kehidupannya. 1,2,6

2.7.3. Pemeriksaan Laboratorium Pada anak dengan UDT unilateral tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. Sedangkan pada UDT bilateral tidak teraba testis dengan disertai hipospadia dan virilisasi, diperlukan pemeriksaan analisis kromosom dan hormonal (yang terpenting adalah 17 hydroxyprogesterone ) untuk menyingkirkan kemungkinan intersex.
1,2,6

Setelah menyingkirkan kemungkinan intersex, pada penderita UDT bilateral dengan usia < 3 bulan dan tidak teraba testis, pemeriksaan LH, FSH, dan testosteron akan dapat membantu menentukan apakah terdapat testis atau tidak. Bila umur telah mencapai di atas 3 bulan pemeriksaan ho rmonal tersebut harus dilakukan dengan melakukan stimulasi test menggunakan hCG (human

chorionic gonadotropin hormone) . Ketiadaan peningkatan kadar testosteron


disertai peningkatan LH/FSH setelah dilakukan stimulasi mengindikasikan

anorchia . 1,2,6
Prinsip stimulasi test dengan hCG atau hCG test adalah mengukur kadar hormon testosteron pada keadaan basal dan 24 -48 jam setelah stimulasi. Respon testosteron normal pada hCG test sangat tergantung umur penderita. Pada bayi, respon normal setelah hCHG tes t bervariasi antara 2 -10x bahkan 20x. Pada masa kanak-kanak, peningkatannya sekitar 5 -10x. Sedangkan pada masa pubertas, dengan meningkatnya kadar testosteron basal, maka peningkatan setelah stimulasi hCG hanya sekitar 2 -3x. 1,2,6 2.7.4. Pemeriksaan Radiologi USG hanya dapat membantu menentukan lokasi testis terutama di daerah inguinal, di mana hal ini akan mudah sekali dilakukan perabaan dengan tangan. 3 Pada penelitian terhadap 66 kasus rujukan dengan UDT tidak teraba testis, USG hanya dapat mendetek si 37,5% (12 dari 32) testis inguinal; dan tidak dapat mendeteksi testis intra -abdomen. 17 Hal ini tentunya sangat tergantung dari pengalaman dan kwalitas alat yang digunakan.
1,6,9

CT scan dan MRI mempunyai ketepatan yang lebih tinggi dibandingkan USG terutama diperuntukkan testis intra -abdomen (tak teraba testis). MRI mempunyai sensitifitas yang lebih baik untuk digunakan pada anak -anak yang lebih besar (belasan tahun). 3,4,5 MRI juga dapat mendeteksi kecurigaan

keganasan testis. 5 Baik USG, CT scan maupun MRI tidak dapat dipakai untuk mendeteksi vanishing testis ataupun anorchia . 1,6,9 Dengan ditemukannya metode -metode yang non -invasif maka

penggunaan angiografi (venografi) untuk mendeteksi testis yang tidak teraba menjadi semakin berkurang. Metode ini paling baik digunakan untuk menentukan

vanishing testis ataupun anorchia . Dengan metode ini akan dapat dievaluasi
pleksus pampiniformis, parenkim testis, dan blind-ending dari vena testis (pada

anorchia ).5 Kelemahannya selain infasif, juga terbatas pada umur anak -anak
yang lebih besar mengingat kecilnya ukuran vena -vena gonad. 1,6,9 2.7.5. Laparoskopi Metode laparoskopi pertama kali digunakan untuk mendeteksi UDT tidak teraba testis pada tahun 1976. Metode ini merupakan metode infasif yang cukup aman oleh ahli yang berpengalaman. Sebaiknya dilakukan pada anak yang lebih besar dan setelah pemeriksaan lain tidak dapat mendeteksi adanya testis di inguinal. 1,6 Beberapa hal yang dapat dievaluasi selama laparoskopi adalah: kondisi cincin inguinalis interna, processus vaginalis (patent atau non-patent ), testis dan vaskularisasinya serta struktur wolfian -nya.6 Tiga hal yang sering dijumpai saat laparoskopi adalah: blind-ending pembuluh darah testis yang mengindikasikan

anorchia (44%), testis intra-abdomen (36%), dan struktur cord (vasa dan vas deferens ) yang keluar ke-dalam cincin inguinalis interna. 1,6
2.8. Diagnosis Banding Seringkali dijumpai testis yang biasanya berada di kantung skrotum tiba tiba berada di daerah inguinal dan pada keadaan lai n kembali ke tempat semula. Keadaan ini terjadi karena reflek otot kremaster yang terlalu kuat akibat cuaca dingin, atau setelah melakukan aktifitas fisik. Hal ini disebut sebagai testis retraktil atau kriptorkismus fisiologis dan kelainan ini tidak perlu diobati. Selain itu UDT perlu dibedakan dengan anorkismus, yaitu testis memang tidak ada. Hal ini bias terjadi secara congenital memang tidak terbentuk testis, atau testis yang mengalami atrofi akibat torsio in utero atau torsio pada saat neonatus.
1,2

2.9. Penatalaksanaan Tujuan terapi UDT yang utama dan dianut hingga saat ini adalah memperkecil risiko terjadinya infertilitas dan keganasan dengan melakukan

reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan (orchiopexy). 1,6 Penatalaksanaan yang terlambat pada UDT akan menimbulkan efek pada testis di kemudian hari. Dengan asumsi bahwa jika dibiarkan testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun, sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup berma kna, maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun. Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan.
1,6

UDT meningkatkan risiko infertilitas dan ber hubungan dengan risiko tumor sel germinal yang meningkat 3 -10 kali. Atrofi testis terjadi pada usia 5 -7 tahun, akan tetapi perubahan morfologi dimulai pada usia 1 -2 tahun. Risiko kerusakan histologi testis juga berhubungan dengan letak abnormal testis. Pad a awal pubertas, lebih dari 90% testis kehilangan sel germinalnya pada kasus intraabdomen, sedangkan pada kasus testis inguinal dan preskrotal, penurunan sel geminal mencapai 41% dan 20%. 1,2

Gambar 4. Penatalaksanaan kriptorkismus yang didapat. http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html

Gambar 5. Penatalaksanaan kriptorkismus Kongenital. http://www.rch.org/afp/20001101/2037.html

2.9.1. Terapi Hormonal Terapi hormonal primer lebih banyak digu nakan di Eropa. Hormon yang diberikan adalah hCG, gonadotropinreleasing hormone (GnRH) atau LH-

releasing hormone (LHRH). Terapi hormonal meningkatkan produksi testosteron


dengan menstimulasi berbagai tingkat jalur hipotalamus -pituitary-gonadal. Terapi ini berdasarkan observasi bahwa proses turunnya testis berhubungan dengan androgen. Tingkat testosteron lebih tinggi bila diberikan hCG dibandingkan GnRH. Semakin rendah letak testis, semakin besar kemungkinan keberhasilan terapi hormonal.
1,2,5

International Health Foundation menyarankan dosis hCG sebanyak 250


IU/ kali pada bayi, 500 IU pada anak sampai usia 6 tahun dan 1000 IU pada anak lebih dari 6 tahun. Terapi diberikan 2 kali seminggu selama 5 minggu. Angka keberhasilannya 6 55%. Secara keseluruhan, te rapi hormon efektif pada beberapa kelompok kasus, yaitu testis yang terletak di leher skrotum atau UDT bilateral. Efek samping adalah peningkatan rugae skrotum, pigmentasi, rambut pubis dan pertumbuhan penis. Pemberian dosis lebih dari 15000 IU dapat menginduksi fusi epiphyseal plate dan mengurangi pertumbuhan somatik.
1,6

Pemberian hormonal pada kriptorkismus banyak memberikan hasil terutama pada kelainan bilateral, sedangkan pada kelainan unilateral hasilnya

masih belum memuaskan. Obat yang sering dipergu nakan adalah hormone hCG yang disemprotkan intranasal. 5

2.9.2. Pembedahan Apabila hormonal telah gagal, terapi standar pembedahan untuk kasus UDT adalah

orchiopexy. Keputusan untuk melakukan

orchiopexy harus

mempertimbangkan berbagai faktor, antara lain teknis, risiko anastesi, psikologis anak, dan risiko bila operasi tersebut ditunda. Operasi pada kriptorkismus adalah orchiopexy. Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah: (1) mempertahankan fertilitas, (2) mencegah timbulnya degenerasi maligna, (3) menceg ah kemungkinan terjadinya torsio testis, (4) melakukan koreksi hernia, dan (5) secara psikologis mencegah terjadinya rasa rendah diri karena tidak mempunyai testis. Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantung sub dartos. 1

Tabel. 2 Jenis Tindakan Pembedahan pada Kelaianan UDT dan Tingkat Keberhasilannya

Gambar 6. Orchiopexy. Sumber: http://content.answers.com/main/content/img/galeSurgery/ gesu_02_img0161.jpg Keterangan gambar:

Orchiopexy digunakan untuk memperbaiki UDT pada anak -anak. Satu insi si
dibuat pada abdomen yang merupakan lokasi UDT, dan insisi lain dibuat pada skrotum (A). Testis dipisahkan dari jaringan sekitarnya (B) dan dikeluarkan dari insisi abdomen menempel pada spermatic cord (C). Testis kemudian dimasukkan turun ke dalam skrotu m (D) dan dijahit (E). Komplikasi Orchiopexy Beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat tindakan pembedahan
1,6

Orchiopexy antara lain

1. Posisi testis yang tidak baik karena diseksi retroperitoneal yang tidak
komplit (10% kasus)

2. Atrofi testis karena devaskularisasi saat membuka funikulus (5%


kasus)

3. Trauma pada vas deferens ( 1 2% kasus) 4. Pasca-operasi torsio

5. Epididimoorkhitis 6. Pembengkakan skrotum


2.10. Komplikasi UDT Telah lama diketahui bahwa komplikasi utama yang dapat terjadi pada UDT adalah keganasan testis dan infertilitas akibat degenerasi testis Di samping itu disebut juga terjadinya torsi testis, dan hernia inguinalis. A. Risiko Keganasan Teradapat hubungan yang erat antara UDT dan keganasan testis. Insiden keganasan testis sebesar 1 -6 pada setiap 500 laki -laki UDT di Amerika. Risiko terjadinya keganasan testis yang tidak turun pada anak dengan UDT dilaporkan berkisar 10-20 kali dibandingkan pada anak dengan testis normal. Makin tinggi lokasi UDT makin tinggi risiko keganasannya, test is abdominal mempunyai risiko menjadi ganas 4x lebih besar dibanding testis inguinal.
1,6,9 1,6

Orchiopexi sendiri tidak akan mengurangi risiko terjadinya keganasan,


tetapi akan lebih mudah melakukan deteksi dini keganasan pada penderita yang telah dilakukan orchiopexy . 1,6,9 B. Infertilitas Penderita UDT bilateral mengalami penurunan fertilitas yang lebih berat dibandingkan penderita UDT unilateral, dan apalagi dibandingkan dengan populasi normal. Penderita UDT bilateral mempunyai risiko infertilitas 6x leb ih besar dibandingkan populasi
1,6,9

normal

(38% infertil

pada

UDT bilateral

dibandingkan 6% infertil pada populasi normal), sedangkan pada UDT unilateral berisiko hanya 2x lebih besar.

Komplikasi infertilitas ini berkaitan dengan terjadinya degenerasi pad a UDT. Biopsi pada anak -anak dan binatang coba UDT menunjukkan adanya penurunan volume testis, jumlah germ cells dan spermatogonia dibandingkan dengan testis yang normal. Biopsi testis pada anak dengan UDT unilateral yang dilakukan sebelum umur 1 tahun men unjukkan gambaran yang tidak berbeda bermakna dengan testis yang normal.
1,6,9

Perubahan gambaran histologis yang bermakna mulai tampak setelah umur 1 tahun, semakin memburuk dengan bertambahnya umur. Tidak seperti

risiko keganasan, penurunan testis lebih dini akan mencegah proses degenerasi lebih lanjut.
1,6,9

BAB III PENUTUP

Undescended testis (UDT) adalah suatu kondisi dimana testis tidak


dijumpai pada tempat yang semestinya yaitu di dalam skrotum.

UDT juga dapat terjadi karena adanya kelainan pada (1) gubernakulum testis, (2) kelainan intrinsik testis, atau (3) defisiensi hormon gonadotropin yang memacu proses desensus testis. Penegakkan diagnosis UDT harus dapat dilakukan lebih awal sehingga penatalaksanaan baik hormonal atau pembedahan dapat dilakukan lebih awal. Dengan penatalaksanaan lebih awal, diharapkan terjadi penurunan risiko yang terjadi pada testis terutama risiko infertilitas. Esensi terapi rasional yang dianut hingga saat ini adalah memperkecil terjadinya risiko komplikasi dengan melakukan reposisi testis kedalam skrotum baik dengan menggunakan terapi hormonal ataupun dengan cara pembedahan

(orchiopexy) .

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi . Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto; 2003. h.137-40. 2. Schneck FX, Bellinger MF. Abnormalities of the testes and scrotum and their surgical management. Dalam: Walsh PC. Campbells Urology Vol 1. 8th edition. Philadelphia: WB Saunders Company. 2000 3. Tanagho EA, Nguyen HT. Embriology of the Genitourina ry System. Dalam: Tanagho EA, McAninch JW. Smiths General Urology . Edisi 17. California: The McGraw Hill companies; 2000. h.23 -45. 4. Docimo, S. G., R. I. Silver, and W. Cromie. The Undescended Testicle:

Diagnosis and Management. American Family Physician , 62 (November 1,


2000): 20372044, 2047 2048. 5. Batubara JRL. Terapi hormonal pada kriptorkismus. Disampaikan pada Simposium Sehari Tatalaksana Optimal Kriptorkismus, Jakarta, 13 Agustus, 1994. 6. Kolon TF. Cryptorchidism. 2002. Diunduh dari

http://www.emedicine.com/med/topic2707.html. ( diakses tanggal 10 Februari 2010) 7. Sadler. Embriologi Kedokteran LANGMAN. Edisi ke -7. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2000. h.280 -310. 8. Dogra VS, Mojibian H. Cryptorchidism. In: Penerbit

http://www.emedicine.com/radio/topic201.htm ( diakses tanggal 10 Februari 2010)

Você também pode gostar