Você está na página 1de 16

Witrisyah Putri PC 1102010293 Skenario 3 Sesak Napas Definisi Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai

gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan. Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya. A. Epidemiologi Dari tahun ke tahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. Di Indonesia, penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi dua kali lipat lebih yakni 5,2%. Kenaikan prevalensi di Inggris dan di Australia mencapai 20-30%. National 4 Heart, Lung and Blood Institute melaporkan bahwa asma diderita oleh 20 juta penduduk amerika. Data pada pewarisan asma adalah paling cocok dengan determinan poligenik atau multifaktorial. Anak dengan satu orangtua yang terkena mempunyai resiko menderita asma sekitar 25%; risiko bertambah menjadi sekitar 50% jika kedua orangtua asmatis. Namun, asma tidak secara universal ada pada kembar monozigot. Labilitas bronkial dalam responsnya terhadap uji olahraga juga telah diperagakan pada anggota keluarga anak asmatis yang sehat. Kecenderungan genetik bersama dengan faktor lingkungan dapat 3 menjelaskan kebanyakan kasus asma masa kanak-kanak. Asma dapat timbul pada segala umur; 30% penderita bergejala pada umur 1 tahun, sedang 80-90% anak asma mempunyai gejala pertamanya sebelum umur 4-5 tahun. Perjalanan dan keparahan asma sukar diramal. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus daripada yang musiman; menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari. B. Etiologi Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan asma bronkhial. 1. Faktor predisposisi Genetik Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.

2.

Faktor presipitasi Alergen Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu : - Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi - Ingestan, yang masuk melalui mulut ex: makanan dan obat-obatan - Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit ex: perhiasan, logam dan jam tangan Perubahan cuaca Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma . Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu. Stress Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa diobati. Lingkungan kerja Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.

C.

Klasifikasi

1.

2.

3.

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu: Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotik dan aspirin), dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronis dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan nonalergik.

1.

Berdasarkan Etiologi a. Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. (Medicafarma,2008) Asma Ekstrinsik dibagi menjadi : - Asma ekstrinsik atopik Sifat-sifatnya adalah sebagai berikut: o Penyebabnya adalah rangsangan allergen eksternal spesifik dan dapat diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1 o Gejala klinik dan keluhan cenderung timbul pada awal kehidupan, 85% kasus timbul sebelum usia 30 tahun o Sebagian besar mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada masa puber, dengan serangan asma yang berbeda-beda o Prognosis tergantung pada serangan pertama dan berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangan pertama pada usia muda disertai dengan gejala yang lebih berat, maka prognosis menjadi jelek. o Perubahan alamiah terjadi karena adanya kelainan dari kekebalan tubuh pada IgE yang timbul terutama pada awal kehidupan dan cenderung berkurang di kemudian hari o Asma bentuk ini memberikan tes kulit yang positif o Dalam darah menunjukkan kenaikan kadar IgE spesifik o Ada riwayat keluarga yang menderita asma o Terhadap pengobatan memberikan respon yang cepat - Asma ekstrinsik non atopik Memiliki sifat-sifat antara lain o Serangan asma timbul berhubungan dengan bermacam-macam alergen yang spesifik o Tes kulit memberi reaksi tipe segera, tipe lambat dan ganda terhadap alergi yang tersensitasi dapat menjadi positif o Dalam serum didapatkan IgE dan IgG yang spesifik o Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau di kemudian hari. b. Intrinsik/idiopatik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Sifat dari asma intrinsik : Alergen pencetus sukar ditentukan Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi hasil negatif Merupakan kelompok yang heterogen, respons untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas 30 tahun dan disebut juga late onset asma

c.

Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan dengan keterlibatan IgE. Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid, misalnya sel LE Riwayat keluarga jauh lebih sedikit, sekitar 12-48% Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai

Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan nonalergik. Berdasarkan Keparahan Penyakit a. Asma intermiten Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan dalam beberapa jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 kali dalam 1 bulan, fungsi paru normal dan asimtomatik di antara waktu serangan, Peak Expiratory Folw (PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second (PEV1) > 80% b. Asma ringan Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1 hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEV1 > 80% c. Asma sedang (moderate) Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu, menggunakan inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEV1 >60% dan < 80% d. Asma parah (severe) Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi terus terjadi, gejala asma malam hari sering terjadi, aktivitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan PEV1 < 60%. Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma Dibagi menjadi 3 yaitu asma terkontrol, asma terkontrol sebagian (partial), dan asma tak terkontrol
Karakteristik Gejala harian Terkontrol tidak ada (<2 kali/minggu) Terkontrol partial >2 kali/minggu Tak terkontrol 3 atau lebih dari dari karakteristik asma terkontrol partial terjadi dalam seminggu

2.

3.

Keterbatasan aktivitas Gejala asma malam hari Kebutuhan akan obatobatan pelega Fungsi paru (PEF atau PEV1) Eksaserbasi

Tidak Tidak Tidak (<2 kali/minggu) Normal Tidak

Beberapa Beberapa >2 kali/ minggu <80% Satu atau lebih dalam setahun Satu kali dalam beberapa minggu

D. Patofisiologi Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus. Berikut patofisiologi dari asma:
Pencetus Pencetus

(alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau virus, dan aktivitas fisik/olahraga) asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga)

(alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi

Bronkus

Bronkokonstriksi Edema Hipersekresi

Gejala/Serangan

Patogenesis Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme. Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas.

E.

Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala. Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa. Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan. Berikut gambar patogenesis asma menurut GINA:

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat. Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal ( pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis. Berikut gambar proses inflamasi dan remodeling pada asma:

Gambar 2. Proses inflamasi dan remodelling pada asma Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling.

F.

Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda klinis sangat dipengaruhi oleh berat ringannya asma yang diderita. Bisa saja seorang penderita asma hampir-hampir tidak menunjukkan gejala yang spesifik sama sekali, di lain pihak ada juga yang sangat jelas gejalanya. Gejala dan tanda tersebut antara lain: Batuk Nafas sesak (dispnea) terlebih pada saat mengeluarkan nafas (ekspirasi) Wheezing (mengi) Nafas dangkal dan cepat Ronkhi Retraksi dinding dada Pernafasan cuping hidung (menunjukkan telah digunakannya semua otot-otot bantu pernafasan dalam usaha mengatasi sesak yang terjadi) Hiperinflasi toraks (dada seperti gentong) Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari asma ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi dan pernafasan cepat dangkal. Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari. Penderita asma dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Asma intermiten ringan, gejala terjadi kurang dari seminggu sekali dengan fungsi paru normal atau mendekati normal diantara episode serangan. Asma persisten ringan, gejala muncul lebih dari sekali dalam seminggu dengan fungsi paru normal atau mendekati normal diantara episode serangan. Asma persisten moderat, gejala muncul setiap hari dengan keterbatasan jalan napas ringan hingga moderat. Asma persisten berat, gejala muncul tiap hari dan mengganggu aktivitas harian. Terdapat gangguan tidur karena terbangun malam hari, dan keterbatasan jalan napas moderat hingga berat. Asma berat, gejala distress berat hingga tidak bisa tidur. Keterbatasan jalan napas yang kurang respon terhadap bronkodilator inhalasi dan dapat mengancam nyawa.

5.

Manifestasi Batuk Batuk pada asma bersifat persisten (Santoso, 2008). Persisten di sini jika batuk berlangsung lebih dari 3 minggu (WHO, 2008). Menurut Liu et al (2008), batuk pada asma bersifat kering. Batuk pada asma memberat saat malam/ dini hari dan timbul episodik setelah ada faktor pemicu, seperti asap rokok, allergen, aktivitas fisik berlebih, ataupun udara dingin dan kering (Rudolph et al, 2006). Mengi Mengi adalah suara berfrekuensi tinggi yang terdengar pada akhir ekspirasi. Hal ini disebabkan oleh penyempitan saluran nafas distal (WHO, 2008).

Sesak nafas Sesak nafas dapat dijumpai dari ringan sampai berat (IDAI, 2004). Sesak nafas bisa juga bermanifestasi sebagai rasa berat di dada (Liu et al, 2008). Sesak nafas ini dikarenakan aktivitas otot otot nafas yang kuat sebagai kompensasi kadar CO2 yang bertambah dalam darah (Guyton and Hall, 2007). Nafas memendek, sulit bicara, dan gelisah Hal tersebut dikarenakan adanya obstruksi saluran nafas (Rudolph et al, 2006). Semakin berat asma, semakin susah pasien berbicara, bahkan pasien terputus-purus saat mengucapkan kata-kata (IDAI, 2004). Fatig dan penurunan aktivitas Hal ini dikarenakan pasien merasakan sesak dan batuk yang memberat (Liu et al, 2008). Semakin berat asma, semakin menurunkan aktivitas (IDAI, 2004). Selain itu fatig juga bisa disebabkan gangguan tidur di malam hari akibat gejala asma memberat pada malam hari (Liu et al, 2008). Sianosis Sianosis ini terlihat di bibir dan ujung jari (Rudolph et al, 2006). Sianosis hanya terlihat pada serangan asma berat karena mekanisme kompensasi sudah gagal dan terjadi hipoksia (IDAI, 2004). G. Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi. Pemeriksaan Laboratorium Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot Leyden). Pemeriksaan Penunjang o Spirometri Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator. o Uji Provokasi Bronkus Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin. o Foto Toraks Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan adanya kelainan.

Analisis Gas darah Hanya dilakukan pada serangan asma berat. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan peningkatan PaCo2 dan rendahnya PaO2 (IDAI, 2004). Uji Tuberkulin Di Indonesia, tuberkulosis masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai dan salah satu gejalanya adalah batuk kronik berulang. Oleh karena itu uji tuberkulin perlu dilakukan baik pada kelompok yang patut diduga asma maupun yang bukan. Dengan cara itu maka penyakit tuberkulosis yang mungkin bersamaan dengan asma akan terdiagnosis dan diterapi. Jika pasien kemudian memerlukan steroid untuk asmanya, tidak akan memperburuk tuberkulosis yang diderita karena sudah dilindungi dengan obat (UKK Pulmonologi IDAI, 2000).

Tabel 4. Diagnosis Asma

Diagnosis Banding Bronkitis kronik Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan perokok berat.

Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani. Emfisema paru Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya. Gagal jantung kiri Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru. Emboli paru Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

H. Penatalaksanaan Tujuan Penatalaksanaan Tujuan tatalaksana asma pada anak-anak adalah: a. b. a. b. c. d. Pasien dapat menjalankan aktivitas normal, termasuk bermain dan olahraga Sedikit mungkin absen sekolah Gejala tidak timbul di siang atau malam hari Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok Kebutuhan obat seminimal mungkin Efek obat dicegah seminimal mungkin (Santoso, 2008).

TERAPI INHALASI Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin, serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang timbul. Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral (melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis 9 lainnya. Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal, obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk 9 aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas. Jenis Terapi Inhalasi Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat 9 sepenuhnya tercapai. Berikut beberapa alat terapi inhalasi:

MDI (Metered Dose Inhaler ) tanpa Spacer

Gambar 4. MDI tanpa spacer MDI (Metered Dose Inhaler) dengan Spacer

Gambar 5. MDI dengan spacer

Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat 9 menguntungkan pada anak. Dry Powder Inhaler (DPI) Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak 9 di atas 5 tahun.

Gambar 6. Dry powder inhaler Nebulizer

Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup. Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga 9 aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tidak banyak terbuang.

Gambar 7. Nebulizer Terapi Farmakologi

Penatalaksanaan asma dibagi menjadi dua, yaitu: Pereda (reliever), yaitu bagaimana kita meredakan serangan atau gejala asma yang timbul Pengendali (controller) yaitu bagaimana kita mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik. Pemakaian obat terus menerus dalam jangka waktu lama, bergantung derajat penyakit asma dan responnya terhadap pengobatan (Santoso, 2008) Obat-obat yang bisa digunakan dalam tatalaksana asma antara lain: a. Agonis 2-Adrenergik Golongan 2-agonis terbagi dua, yaitu: kerja lambat dan kerja cepat. Golongan kerja cepat, seperti salbutamol; terbutalin; atau pirbeterol, digunakan untuk serangan asma. Sedangkan golongan kerja lambat, seperti salmeterol dan formeterol, digunakan sebagai pengendali asma dengan mengkombinasikan kedua obat ini dengan steroid inhalasi, tidak digunakan sebagai monoterapi (Santoso, 2008). Mekanisme kerja 2-agonis adalah merelaksasikan otot polos saluran nafas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas vaskular, dan menghambat kerja sel mast (PDPI, 2004). 2-agonis tersedia dalam bentuk inhalasi ataupun oral. Untuk inhalasi terdapat dalam bentuk metered dose inhaler, dengan nebulizer, atau serbuk yang dihirup (dry powder inhaler) (Santoso, 2008). Pemberian inhalasi lebih dianjurkan karena lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004). Efek samping yang dapat timbul yaitu rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka, hipokalemia (PDPI, 2004). b. Metilxantin Golongan metilxantin digunakan sebagai penggganti 2-agonis. Metilxantin lepas lambat (teofilin) bisa digunakan bersama dengan steroid inhalasi sebagai pengendali asma dan juga pada asma berat dapat dipakai secara injeksi intravena (aminofilin) (Santoso, 2008). Mekanisme kerjanya dengan menghambat kerja enzim fosfodiesterase dan menghambat pemecahan cAMP menjadi 5AMP yang tidak aktif. Efek samping yang dapat timbul adalah iritasi lambung, insomnia, palpitasi, dan pada dosis yang berlebih dapat terjadi konvulsi (Santoso, 2008). c. Kortikosteroid Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma (PDPI, 2004). Kerja obat ini melalui penghambatan kerja sel inflamasi, penghambatan kebocoran pembuluh darah kapiler, penurunan produksi mukus, dan peningkatan kerja respon -reseptor (Santoso, 2008). Kortikosteroid dapat diberikan

secara inhalasi ataupun oral (PDPI, 2004). Steroid inhalasi lebih sering digunakan karena efek samping yang minimal, yaitu kandidiasis orofaring dan batuk (Santoso, 2008). Jika dengan steroid inhalasi asma tidak terkontrol, lebih baik ditambah dengan obot pengontrol lain daripada menaikkan dosis (PDPI, 2004). Dan steroid oral diberikan pada asma berat yang tidak terkontol dengan steroid inhalasi (PDPI, 2004). d. Kromolin Yang termasuk golongan kromolin adalah sodium kromoglikat dan nedokromil sodium. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pelepasan mediator dari sel mast. Kromolin diberikan secara inhalasi. Efek samping yang rimbul berupa batuk atau rasa obat yang tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004) e. Obat lain Adrenalin dapat diberikan pada serangan asma yang tidak tersedia 2-agonis. Sedangkan antikolinergik berfungsi sebagai bronkodilator pada serangan asma, namun kerjanya tidak terlalu poten dibandingkan 2agonis kerja cepat. Sebagai pengendali asma juga terdapat golongan antihistamin seperti ketotifen. Obat asma yang relatif baru adalah leukotriene modifiers yang mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis leukotrien dan memblok reseptor leukotrien. Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien) (PDPI, 2004). f. Imunoterapi Imunoterapi sangat membantu pada asma dengan trigger jelas atau asma dengan causa alergi, terutama pada anak meskipun pada orang dewasa penelitian yang dilakukan tidak menujukkan hasil yang signifikan. Imunoterapi tidak mempunyai peranan dalam manajemen asma akut tetapi berperan untuk mencegah reaksi anfilaksis. I. Pencegahan

Serangan eksaserbasi akut asma dapat dicegah dengan menghindari faktor pencetus asma yang tergantung pada penyebab asma masing-masing pasien. Identifikasi dan penghindaran alergen di rumah dan tempat kerja harus sebisa mungkin dilakukan. Penghindaran yang benar-benar terhadap paparan tungau debu rumah, hewan-hewan peliharaan, dan faktor pekerjaan berhubungan dengan perbaikan nyata pada gejala-gejala pernapasan, fungsi paru-paru dan hiperresponsivitas saluran napas. Membuang hewan peliharaan, terutama kucing, dari dalam rumah akan sangat efektif bila disertai pembersihan dan pencucian rumah untuk menghilangkan alergen yang mungkin tertinggal yang bisa tetap berada pada konsentrasi yang cukup untuk merangsang asma dalam waktu yang lama. J. Komplikasi Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah: 1. Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif. 2. Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. 3. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen 4. Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. 5. Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. K. Prognosis Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak

kanak kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29% akan mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan serangan terus menerus angka kematiannya 9%.

Você também pode gostar