Você está na página 1de 12

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

Jurnal Sosialita, Vol. 9 No. 1 Juni 2011: 77-88 FIS UNJ ISSN: 1411-7134

PROSES SOSIAL SEBAGAI MEDIUM PEMBELAJARAN: Konseptualisasi Habitus untuk Sosiologi-Pedagogis Robertus Robet dan U. Abdul Rozak R Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, Jl. Rawamangun Muka, Jakarta, 13220, Indonesia Email: robertusrobet@yahoo.co.uk iwa_inzagi@yahoo.co.id

Abstrak Tulisan berikut bermaksud menjawab pertanyaan: sejauh mana sosiologi bisa sekaligus teori pedagogi? Untuk menjawab itu, tulisan ini diawali dengan kritik terhadap pandangan pembangunan yang menganut determinasi ekonomis dan politis. Paham itu harus digeser menjadi determinasi antropologis. Untuk mencapai tujuan itu, tulisan ini mengambil bantuan dari pandangan sosiologis Pierre Bourdieu. Pierre Bourdieu menekankan bahwa pemikiran mengenai struktur sekaligus adalah pembicaraan mengenai kompleksitas praktik, sejarah dan relasi atau habitus. Di dalam Bourdieu teori mengenai masyarakat adalah dapat sekaligus dimengerti sebagai teori mengenai tindakan manusia. Dengan demikian melalui Bourdieu kita dapat menemukan bahwa teori sosiologi sekaligus adalah pedagogi. Kata kunci: dualisme, sosiologi, paedagogi, habitus, praktik.

Abstrack To what extend is a sociological theory is learning theory? This essay is begun with a critical assessment on economic and political determinism in development. In order to achieve a unified body of sociology and pedagogy, economic and political determinism should be replaced by anthropological determinism. To do that, this essay takes Pierre Bourdieus sociological theory especially his concept on habitus and practices. In Bourdieus position, a theory on structure should also a theory on human practices in historical complexity and specifity. Through Bourdieu conceptual framework there is a possibility to construct sociology as pedagogy. Keywords: dualisme, sosiologi, paedagogi, habitus, praktik.

Pendahuluan Transformasi manusia dan masyarakat Indonesia adalah obsesi yang telah muncul semenjak kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Untuk mencapai tujuan itu, sejarah masyarakat Indonesia memperlihatkan bahwa banyak pemerintahan mempertahankan konsep dan kebijakan yang meskipun beragam di tingkat akstentuasi namun secara paradigmatis sama. Konsep itu adalah dualisme antara pendidikan dan proses sosial. Semua kebijakan memandang transformasi masyarakat bisa dijalankan secara terpisah dengan transformasi manusianya.
Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta 77

Keterpisahan itu terefleksi ke dalam praktik yang memisahkan tujuan transformasi itu ke dalam bidang yang berbeda-beda: transformasi manusia diarahkan pada institusi dan formalisasi pendidikan, sementara transformasi masyarakat dipusatkan pada kalau bukan politik-ideologi (era Soekarno), pada pembangunan ekonomi (era Soeharto). Pemisahan atau dualisme ini nampak dari pandangan yang telah menjadi konsensus dari semua pihak yakni bahwa misalnya pembangunan ekonomi atau kemajuan ekonomi perlu diupayakan sehingga dengan itu bisa membiayai pendidikan atau meningkatkan taraf pendidikan. Pemisahan yang sama juga bisa ditemukan dalam gagasan mengenai politik yang mengambil posisi misalnya demokrasi hanya bisa matang dan produktif dalam masyarakat yang lebih terdidik. Pemisahan ini menimbulkan beberapa kesalahan besar: kesalahan pertama adalah dengan mengatakan bahwa transformasi masyarakat terpisah dengan pendidikan atau transformasi manusia, maka pemikiran ini menerima pandangan yang keliru bahwa seakan-akan proses ekonomi dan politik tidak memiliki akibat-akibat langsung maupun tak langsung terhadap pembentukan manusia/transformasi manusia. Atau yang kedua, dengan pemisahan itu, pendidikan atau transformasi manusia bisa dipikirkan sebagai resultan setelah sosial atau politik tertentu terlaksana. Akibatnya yang ketiga pandangan ini menghasilkan suatu ide mekanis mengenai pendidikan manusia. Ia gagal melihat bahwa manusia bertindak dan berubah di dalam proses. Manusia adalah proses kehidupan, dan proses itu berlangsung selama manusia hidup. Dengan demikian selama proses-proses sosial berlangsung selama itu pula akibat-akibat langsung maupun tak langsungnya akan berpengaruh/dipengaruhi oleh manusia. Dalam segi praktisnya, kesalahan itu kemudian muncul dalam kecanggungan yang menunjukkan diskrepansi antara pandangan-pandangan ideal dalam pendidikan dengan mekanisasi dalam pendidikan. Di satu sisi pendidikan masih tersebut dalam nuansa abstrak normatifnya (luhur, mulia, kelanjutan bangsa, regenerasi budaya) akan tetapi di sisi yang lain, secara praktis ia tidak lebih dari produk atau teknik birokratisasi. Pada tahap yang lebih luas muncul kebiasaan untuk memandang pendidikan sebagai bidang terbatas, seksional bahkan terbirokratisasi pada satu segmen saja. Yakni bahwa pendidikan itu diurus departemen a, dilaksanakan di gedung sekolah b, diajarkan guru c dengan kurikulum d. Sementara di sisi lain, bidang-bidang seperti ekonomi dan politik juga tidak dipandang sebagai bidang yang berefek mendidik. Politik, ekonomi dan dunia sosial lainnya dilepaskan dari fungsi edukatifnya. Pada akhirnya, kita hanya meletakkan tujuan transformasi manusia semata-mata pada buku pelajaran dan sekolah, dan gagal memahami bahwa justru dunia sosial serta proses sosial di dalamnya diam-diam juga membentuk dan mengarahkan kemana manusia itu pergi. Di sini, kita mengalami tiga kerugian besar; pertama dunia pendidikan menjadi sangat terbatas dan terspesialisasi secara birokratik. Kedua dunia sosial kehilangan dimensi edukatifnya, sementara edukasi dipisahkan dari kehidupan. Ketiga, dunia pendidikan dan pendidik diposisikan ke dalam bidang-bidang yang kalau bukan abstrakpsikologis maka teknis-instrumentalis. Pendidikan tidak dianggap sebagai bidang makro-strategis. Salah satu isu yang bisa dijadikan bukti meskipun sedikit bernuansa teknokratis dalam menunjukkan pemisahan/dualisme ini adalah berlakunya pandangan serta kebijakan, misalnya, kebiasaan menetapkan semua ketua Bappenas dan Menkoekuin adalah orang yang mengerti ekonomi. Intinya semua jabatan-jabatan itu biasanya diberikan kepada ekonom atau insinyur yang menjadi ekonom. Kebiasaan semacam ini menunjukkan bahwa tujuan-tujuan pendidikan masih dipandang terpisah dari proses ekonomi. Dan bahwa ekonomilah yang mendikte pembangunan pendidikan/transformasi manusia. Padahal kalau diterima posisi normatif bahwa tujuan pembangunan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa maka bukankah tujuan-tujuan ekonomi yang mestinya menyesuaikan dengan tujuan pendidikan? Dengan mempertimbangkan persoalan di atas maka penelitian ini bermaksud memberikan jalan keluar untuk mengatasi pemisahan antara dunia sosial dengan pendidikan melalui sebuah refleksi teoritis. Permasalahan utama dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, bagaimana mungkin menjadikan totalitas proses sosial sebagai basis utama bagi proses pembelajaran? Kedua, jika memang memungkinkan, lantas apa saja prasyarat teoritis-taktis yang diperlukan guna mengimplementasikannya?

78

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

Metode Penelitian Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut, penelitian ini akan dilakukan dengan strategi sebagai berikut: Pertama, mencari berbagai penjelasan teoritis yang paling memadai untuk menjelaskan kesatuan antara pendidikan dan proses sosial. Di titik ini bidang-bidang yang dipisahkan dengan pendidikan (ekonomi dan politik) akan disatukan dalam konsep proses sosial. Dengan itu penelitian ini pada akhirnya juga mau menunjukkan bagaimana teori social, dalam hal ini teori sosiologi, bisa sekaligus dijadikan teori pendidikan (integrasi/dualitas teori). Kedua, rekonseptualisasi teori-teori tersebut dengan menjelaskan makna edukatifnya. Untuk itu, penelitian ini akan dilakukan dengan metode hermeneutis dalam bidang sosiologi pengetahuan. Hermeneutika yang digunakan di sini berbasis pada metode Richard Rorty mengenai historical reconstructives terhadap teks-teks. Teks ditafsirkan untuk kemudian diproblematisasi dengan persoalan-persoalan di luar teks untuk kemudian dicari kesimpulan-kesimpulan (1984). Hasil dan Pembahasan 1. Dualisme dan Ekonomisasi Proses Sosial dan Pendidikan Masa-masa pasca kemerdekaan awal (1945-1969) merupakan masa yang seringkali disebut sebagai era intabilitas politik. Masa ini ditandai dengan tujuh kali jatuh bangunnya kabinet dengan rerata 14 bulan per masa pemerintahan (Syamdani, 2001: 79). Meskipun demikian, di masa ini pun terdapat empat dokumen perencanaan pembangunan. Masing-masing adalah: 1) Siasat Pembangunan Ekonomi, 1947, diketuai Muhammad Hatta. 2) Rencana Urgensi Perekonomian, 1951. 3) Rencana Djuanda, 1955. 4) Pembangunan Nasional Semesta Berencana, 1960-1969. Prof. Mubyarto menyebut periode ini dengan sebutan yang tepat, tapi dalam intensi yang sinis. Menurutnya periode hingga tahun 1965 tidak ada pemikiran ekonomi karena ekonomi berada di bawah subordinasi politik. Dengan politik sebagai panglima maka ekonomi dianggap hilang (P. G. Suroso, 1994). Pandangan Mubyarto ini pada dasarnya mengawali suatu penalaran baru dalam ekonomi yang kemudian dilanjutkan oleh Orde Baru yakni penalaran mengenai ekonomi yang steril. Ekonomi yang mengabdi semata-mata untuk ekonomi. Dalam turunannya, inilah ekonomi kapitalis sejati yang sebenarnya turut ditentang oleh pandangan Ekonomi Pancasila Mubyarto. Pandangan era Soekarno yang memposisikan ekonomi sebagai aparatus, pada dasarnya secara moral tepat. Karena dalam tujuan negara manapun, tujuan-tujuan ekonomi tunduk di bawah tujuan negara. Pandangan Soekarno bahwa politik sebagai panglima di sini mesti ditafsirkan bahwa dunia ekonomi, industri dan bisnis harus tunduk pada regulasi dan politik negara. Yang jadi soal kemudian adalah sejauh mana derajat pengendalian negara itu dimungkinkan untuk mencapai ekonomi yang sehat dan kreatif? Kita tentu saja boleh berargumen bahwa ekonomi di bawah Soekarno tidak mampu mencapai keadilan, namun di masa itu debat mengenai mazhab, ideologi dan proses ekonomi terjadi secara terbuka dan hidup. Dengan posisi semacam itu maka jelaslah, bahwa di era Soekarno, bukan ekonomi yang dianggap mampu mentransformasikan manusia melainkan dunia dan aktivitas politik. Khususnya lagi aktivitas politik kolektif. Lantas di mana tempat pendidikan dalam ketegangan ekonomi versus politik yang keras itu? Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan pendidikan dalam era ini terkait erat dengan tujuan-tujuan nasionalisme Indonesia. Pendidikan menjadi bagian inheren dari proyek nation and character buiding. Dengan kata lain pendidikan diintegrasikan kedalam dan tunduk di bawah tujuantujuan kepolitikan. Peralihan dari Orde Lama menuju Orde Baru sendiri merupakan salah satu tikungan curam dalam kepolitikan kita yang ditandai dengan propaganda pemerintahan baru untuk menggantikan jargon politik sebagai panglima dengan ekonomi sebagai panglima. Jargon metaforik ini pada dasarnya merupakan efisiensi simbolik yang meringkaskan persepsi umum bahwa politik dinilai gagal menterjemahkan amanat konstitusi 1945. Sebagai gantinya, pemerintahan Orde Baru mengusung proyek jangka panjang pembangunan ekonomi sebagai anti tesis sekaligus peta jalan baru untuk mengantarkan Indonesia ke dalam cita-cita konstitusionalnya (Ali Moertopo 1972). Penerimaan luas atas peralihan efisiensi simbolik seperti ini dinilai cukup wajar mengingat indikator ekonomi-politik saat itu menunjukkan bahwa Indonesia yang merupakan negara baru
Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta 79

memang belum mampu mencapai esensi kemerdekaannya yang paling subtil. Indikatornya bisa dilihat melalui data statistik berikut dimana kondisi ekonomi menjelang saat-saat pergantian kekuasaan memburuk, yang ditandai dengan tingginya angka inflasi mencapai 732 persen antara tahun 1964-1965 dan masih bertahan pada kisaran 636 persen untuk tahun 1965-1966 (Booth and McCawley, 1981b:108). Beban hutang luar negeri pun begitu berat, yakni berada pada angka 2.358 juta US$ yang membuat prospek pemulihan dan pembangunan ekonomi begitu suram (Pang Lay Kim & H. W. Arndt, 1996:5). Di bidang politik, silih bergantinya sistem pemerintahan dan jatuh bangunnya pemerintahan menjadi indikator penting untuk melihat betapa tidak stabilnya situasi politik di masa ini. Ancaman keamanan dan disintegrasi datang dari dalam maupun luar negeri. Puncak dari ekspresi kekecewaan atas situasi ekonomi politik ini pada akhirnya berujung pada pergantian pucuk pimpinan Indonesia pada bulan Maret 1967 dimana Jenderal Soeharto dilantik menjadi Pejabat Presiden oleh MPRS. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Soeharto mewarisi keadaan ekonomi yang hampir ambruk. Hutang luar negeri yang besar, kondisi infrastruktur yang berantakan, kapasitas produksi sektor-sektor industri dan ekspor merosot (430 juta US$) dan pengawasan atas anggaran serta penarikan pajak sudah tidak berfungsi lagi (Pang Lay Kim & H. W. Arndt, 1996:4). Menghadapi kekacauan ekonomi seperti ini pemerintahan baru, berkonsentrasi membenahi sektor ekonomi dan dalam saat yang sama mengupayakan stabilitas politik yang lebih kukuh dalam rangka memungkinkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Dua poin terakhir pada gilirannya diketahui menjadi dua dari tiga pilar utama yang memutar poros trilogi pembangunan Indonesia (stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan). Langkah-langkah strategis-taktis yang ditempuh pemerintahan baru ternyata berdampak efektif terhadap penyusutan hiper inflasi. Tercatat dalam kurun waktu empat tahun angka inflasi turun ke kisaran 112 persen di tahun 1967, turun lagi ke angka 85 persen pada 1968, menyusut drastis ke kisaran 10 persen pada 1969 dan turun secara moderat ke angka 9 persen di tahun 1970. Prestasi berupa penyusutan angka-angka ini pun berjalin berkelindaan dengan dicapainya berbagai kesepakatan moratorium utang luar negeri dalam bentuk penjadwalan ulang maupun pembebasan utang. Kesuksesan langkah-langkah yang diambil pemerintahan baru inilah yang di kemudian hari menjadi justifikasi sekaligus legitimasi politik pemerintahan Orde Baru untuk mempertegas visi pembangunan ekonominya di sepanjang 32 tahun masa kepemimpinannya. Dengan kepercayaan yang tinggi pada pertumbuhan ekonomi sebagai penyelamat krisis, kepercayaan bahwa transformasi manusia bisa dimulai melalui jalan ekonomi menjadi tak terhindarkan. Setelah Soekarno jatuh, pikiran dan kritik Mubyarto menemukan jalan keluarnya. Sejak tahun 1969, terminologi pembangunan ekonomi merupakan terma yang secara konsisten dipilih pemerintah Orba. Sejak itu ekonomi ditempatkan sebagai titik artikulasi yang diharapkan dapat memberi pendasaran atas berbagai gerak penetrasi menuju the good society (John Kenneth Galbraith, 1996:4). Dengan kata lain, dalam konteks keindonesiaan, terma pembangunan ekonomi tidak hanya dipercaya sebagai jalan menuju realisasi the good society, melainkan telah sedemikian rupa direifikasi dan dalam prakteknya dipuja sebagai fundamental yang dipandang akan menopang tegaknya masyarakat yangbaik. Di titik ini, tak syak lagi kita tengah dihadapkan dengan satu set disiplin pikir fundamentalisme pembangunan ekonomi yang menginginkan totalisasi ekonomi di setiap inci kehidupan sosial. Cara berpikir deterministik seperti ini pada gilirannya kemudian bisa juga dibaca sebagai upaya yang mencoba menawarkan sebentuk skenario bahwa masyarakat yang-baik pada akhirnya hanya akan lahir pasca kemakmuran ekonomi tercipta. Inilah lajur rasionalisasi penyelenggaraan pemerintahan yang secara resmi dibentangkan sejak 1969. Gagasan ini membentuk satu skema pikir kolektif mengenai apa yang sebenarnya menjadi prioritas bersama terkait apa yang pertama-tama harus dilakukan, yakni: bagaimana menciptakan struktur sosial yang mampu memberi landasan bagi kelimpahan ekonomi karena kelimpahan ekonomi adalah kontinum pertama yang dianggap akan mengantarkan negara pada kontinum keberhasilan lainnya (W. W. Rostow, 1960 hal:6). Setelah keterangan seperti ini diterima secara luas, maka sejak saat itu pula kita semua mulai meng-ekonomikan setiap segi dan sendi-sendi terpenting dari keindonesiaan kita. Hasilnya, dengan meminjam terminologi Bourdieu, struktur sosial objektif yang kita miliki saat ini telah dan sedang bersifat sedemikian ekonomistik.

80

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

2.

Mimesis Struktur Mental Ekonomistik ke dalam Struktur Mental Subyektif Jika struktur sosial objektif Indonesia telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik lantas bagaimana sesungguhnya kedalaman strukur mental kognitif warga secara individual? Memanfaatkan teorisasi Pierre Bourdieu mengenai dialektika agen-struktur kita akan mendapati bahwa kedua ranah ini pada dasarnya bersifat saling melengkapi, meneguhkan dan reproduktif satu sama lain. The analysis of objective structures those of different fields is inseparable from the analysis of the genesis, within biological individuals, of mental structures which are to some extent the product of the incorporation of social structures; inseparable, too, from the analysis of these social structures themselves: the social space, and the groups that occupy it, are the product of historical struggles (in which agents participate in accordance with their position in the social space and with the mental structures through which they apprehend this space (Pierre Bourdieu, 1990:14). Melalui kutipan di atas kita diberi tahu bahwa analisis terkait struktur sosial objektif akan mengantarkan kita pada suatu simpulan bahwa terdapat kemenyatuan yang logis antara struktur sosial objektif dengan struktur mental individual yang terpresentasi melalui praktik. Namun, Bourdieu tidak lantas berhenti disini dan melanjutkan dengan menyebut bahwa baik habitus maupun struktur sosial objektif secara mendasar memadai dibaca sebagai produk gabungan dari perjuangan historis. Mempertegas hal ini, Bourdieu dalam Outline of a Theory and Practice mengatakan: In short, the habitus, the product of history, produces individual and collective practices, and hence history, in accordance with the schemes engendered by history. The system of dispositions - a past which survives in the present and tends to perpetuate itself into the future by making itself present in practices structured according to its principles, an internal law relaying the continuous exercise of the law of external necessities (irreducible to immediate conjunctural constraints) - is the principle of the continuity and regularity which objectivism discerns in the social world without being able to give them a rational basis (Pierre Bourdieu, 1977:82). Habitus atau skema-skema kognitif agen/warga, dalam terang teori Bourdieu, merupakan produk historis yang menciptakan tindakan individu dan kolektif. Di sini, dengan langsung mengkontekskannya kedalam struktur mental individual warga di masa Orba dan masa-masa setelahnya, maka struktur mental individual warga pada dasarnya memadai dibaca sebagai struktur yang dihidupi oleh struktur sosial objektif yang telah bertransformasi menjadi sedemikian ekonomistik. Modus bolak-balik antara struktur obyektif dan struktur mental ini secara unik dapat dilihat dalam narasi politik Orde Baru mengenai Pembangunan di GBHN. Di dalam GBHN selalu dikatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.... (Sastrapratedja dkk, 1986: Ix). Di sini bagi pembaca yang kurang teliti, akan dengan segera menganggap bahwa pembangunan Orde Baru dilaksanakan dengan mengedepankan manusia (baca: pendidikan). Tapi bagi pembaca yang kritis, dengan mudah dapat mengetahui bahwa manusia dalam konstruksi politik Ode Baru sudah bukan lagi manusia dalam pengertian humanitasnya yang otonom melainkan telah terlebih dahulu dideterminasi oleh ekonomi, yakni ketika ia disebut dengan istilah manusia pembangunan. Di titik inilah pembangunan berubah menjadi apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai otoritas paedagogik. Dalam konteks penggeseran pendidikan di bawah ekonomi-politik Orde Baru, proses yang dijelaskan Bourdieu itu dapat dengan lugas menegaskan bahwa melalui politik pembangunan ORde Baru mentransformasin struktur mental individual sepenuhnya dalam ekonomisasi. Di sini terjadi proses mimesis di mana identitas/struktur terbentuk dalam identitas individu, sebagaimana struktur sosial objektif menghendakinya. Mimesis ini tergelar dalam diskursus mengenai manusia pembangunan. Di dalam konsep ini jelaslah bahwa tujuan-tujuan pendidikan diletakkan sebagai abdi dari tujuan-tujuan pembangunan ekonomi. Meminjam istilah Bourdieu, pembangunan dan ekonomisme menjadi doxa yang di-copy dalam kesadaran individu sebagai model (1977:82).

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

81

Dalam habitus ini, aspek interior seperti makna, substansi, normatifitas maupun institusi pendidikan mengalami perubahan. Dalam habitus yang dikendalikan oleh ekonomisasi, lembaga pendidikan berubah dari lembaga atau ranah kebudayaan menjadi ranah ekonomi. Gejala perubahan ini secara teliti diperhatikan oleh Ruth MacVey yang menyajikan catatan mengenai gejala masuknya anak-anak kalangan militer dan birokrat kelas atas ke sekolah-sekolah bisnis semacam MBA ketimbang melanjutkan karir militer dan berkecimpung di birokrasi sebagai pegawai negeri. Disini, regenerasi politik mulai dipandang hanya bisa dilakukan melalui regenerasi dalam pemilikan dan akses kepada ekonomi. Di titik ini pikiran bahwa ekonomi menentukan politik dan pendidikan dengan sendirinya sudah dipraktikkan sebagai habitus. Ini pula yang kemudian memicu pertumbuhan sekolahsekolah bisnis mulai era pertengahan tahun 1980-an di Indonesia, dan pada akhirnya; bisnis dan ekonomi secara ironis membentuk pendidikan (B. Herry-Priyono, 2005). Lalu apa implikasi dari kesatuan individu dan struktur obyektif pembangunan ekonomi ini? Apa implikasinya terhadap cita-cita realisasi ideal the good society? Apa yang terjadi dengan pandangan pendidikan dan pandangan tentang manusia apabila struktur tindakan-tindakan yang ada dengan sengaja diorientasikan dan dioperasikan semata-mata dalam modus logika tindakan ekonomistik seperti ini? 3. Dominasi Ekonomi dan Hilangnya Dimensi Etis dalam Ekonomi dan Politik Metafora Galbraith mengenai good society dengan tepat menjelaskan implikasi-implikasi paling nyata dari proses ekonomisasi pendidikan dan ekonomisasi bidang-bidang kehidupan lainnya, yakni bahwa sejak itu: masyarakat yang-baik didefinisikan dalam kerangka ekonomi. Bukan hanya itu, manusia yang-baik juga pada kenyataannya (terlepas dari pendirian normatif yang disematkan di sekitar pendasaran legal mengenainya) didefinisikan dalam kerangka ekonomisasi. Dengan pergeseran ini maka pendidikan pada kenyataanya tidak lagi dipandang sebagai ranah kebudayaan melainkan ranah ekonomi. Maksudnya adalah meskipun masih terdapat sekolah dan lembaga pendidikan akan tetapi institusi-institusi itu tidak lagi bekerja di bawah pranata dan logika kebudayaan melainkan pranata atau logika ekonomi Akan tetapi, secara ironis invasi ekonomi dalam kebudayaan ini pada gilirannya juga merusak ekonomi sebagai pranata. Karena persis ketika seluruh dimensi kebudayaan dan humanitas di luar ekonomi ditelan dalam logikanya, maka ekonomi berjalan secara terpisah dengan tujuan-tujuan etisnya. Ekonomi menjadi mesin yang bekerja hanya bagi dirinya sendiri, sambil terus merusak pranata lain di sekitarnya. Di titik ini, dengan karakter invasionis semacam itu maka ekonomi sendiri mengalami pendangkalan dari ekonomi sebagai praktik fundamental manusia dalam berhadapan atau pengelolaan relasi manusia dan alam menjadi ekonomi semata-mata sebagai techne kapitalisasi. Dalam istilah Karl Polanyi ekonomi bergeser dari proses sosial yang dasar menjadi sekedar proses formal (Hans-Dieter Evers, 1988:107-137). 4. Terpisahnya Sosiologi dari Pendidikan Salah satu implikasi langsung dari bekerjanya cara pandang pemisahan aktor dengan struktur adalah terpisahnya bidang-bidang ilmu dengan obyeknya. Dalam hal ini adalah ilmu sosial, yang memang menjadi ranah bagi perkembangan pemikiran aktor-struktur, khususnya teori-teori sosiologi yang disebut Giddens sebagai penganjur konsensus ortodoks yakni teori-teori yang mewarisi pandangan struktur fungsi Parsons. Konsensus ortodoks dalam teori sosiologi mengajukan pandangan dualisme sebagai perantara dari kebertubuhan teori yang memisahkan sosiologi dengan subyek yang dikajinya. Salah satu akibat paling parah dari pemisahan antara struktur dengan aktor atau antara subyek dengan proses sosial adalah terpisahnya teori dengan kebutuhan praktis. Salah satu contoh yang penting kita kemukakan di sini adalah konsep sosiologi pendidikan. Istilah sosiologi pendidikan mengindikasikan terpisahnya teori sosiologi dengan pendidikan. Teori sosiologi pendidikan telah secara keliru mengikuti struktur logika teori-teori sosiologi lainnya misalnya teori sosiologi keluarga yang mengetengahkan konseptualisasi keluarga dan persoalan-persoalannya muncul sebagai cermin dari relasi dan proses sosial di dalamnya. Dengan itu teori sosiologi hanya bisa menyajikan argumenargumen relasional dengan basis sejarah dan kepentingan menyangkut kemunculan fenomena keluarga.
82 Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

Dalam sosiologi pendidikan logika semacam ini juga muncul dalam beragam paradigma, misalnya dalam pandangan Marxisme mengenai pendidikan yang melihat pendidikan sebagai output dari relasi ekonomi produksi dan politik kelas, sehingga dengan itu sosiologi pendidikan memposisikan diri sebagai teori sosiologi yang membahas pendidikan (Jerome Karabel dan A.H. Halsey, 1977). Penelitian ini tidak ingin mengatakan bahwa teori sosiologi yang membahas pendidikan sebagai obyek di luar dirinya jelek apalagi keliru. Yang mau diupayakan disini adalah bagaimana mencari kemungkinan bagi teori sosiologi yang sekaligus adalah teori pendidikan atau teori sosiologi yang sekaligus menjelaskan apa itu pendidikan dan bagaimana pendidikan dilakukan. 5. Mencari Syarat-Syarat Teoritis Proses Sosial Sebagai Proses Pembelajaran Bersama Pierre Bourdieu Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, penyebab pokok dari invasi ekonomi terhadap pendidikan adalah karena logika yang memisahkan pendidikan dari proses sosial. Pemisahan antara ekonomi-politik dari pendidikan. Pemisahan ini menjadi biang keladi menyempitnya makna pendidikan dan kebudayaan menjadi semacam techne, yang dilanjutkan dengan terbentuknya mekanisasi pendidikan, dan akhirnya berujung pada tergerusnya esensi pendidikan untuk diubahnya menjadi ekonomi. Dengan mengatakan bahwa dualisme antara pendidikan dan proses sosial sebagai awal dari invasi ekonomi terhadap pendidikan, maka penelitian ini di satu segi mau mengatakan bahwa salah satu kunci utama untuk memahami bagaimana pemisahan ini terjadi hanya dapat diletakkan dalam kerangka bidang yang didefinisikan oleh Michel Foucault dengan istilah episteme. Episteme adalah instalasi di mana pengetahun dikukuhkan dan dikonstruksi secara sosial di dalam masyarakat. Foucault mengatakan bahwa: The episteme is the apparatus which makes possible the separation, not of the true from the false, but of what may from what may not be characterised as scientific (M. Foucault, 1980: 197). Dalam konteks Indonesia, dualisme antara pendidikan dengan proses sosial (ekonomi dan politik) terjadi melalui regenerasi dan perubahan kekuasaan politik dari satu rejim ke rejim yang lain. Akan tetapi arena di mana perubahan ditanamkan dan dikelola adalah pikiran atau episteme. Pendidikan adalah Kebudayaan. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan. Silsilah pernyataan ini dapat ditelusuri dari pandangan bahwa terma culture atau kebudayaan berasal dari kata colere (bahasa: latin) yang berarti mencocok tanamkan atau menempati (inhabit). Dengan demikian kebudayaan sedari awal telah dimaknai sebagai upaya manusia untuk menanamkan sesuatu dalam bidang pengalamannya. Di titik ini culture memiliki nuansa praktik dan ide sekaligus. Dengan itu bisa dikatakan bahwa kebudayaan dalam arti yang paling esensial sekaligus juga adalah pendidikan, karena hanya pendidikanlah satu-satunya bidang yang memiliki kemampuan menanamkan ideal dimaksud (Terry Eagleton, 2000:2). Senada dengan Eagleton, namun dalam rumusan yang lebih taktis, Berger menyebut kata kunci kebudayaan adalah transmisi pengetahuan, artinya kompleks pengetahuan yang ada pada satu generasi datang melalui jalur kebudayaan. (Peter Berger & Thomas Luckmann, 1979:85-89). Dengan memanfaatkan kedua pandangan ini, dapatlah disimpulkan bahwa secara umum pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Ia pada dasarnya adalah cara atau praktik pembentukan diri ( self) atau cara diri mengada melalui tindakan-tindakan yang dilangsungkan secara terus menerus di dalam masyarakat. Habitus dan Peluang Mendefinisikan Pendidikan/Kebudayaan Sebagai Proses Sosial. Secara sederhana, habitus adalah bidang di mana tindakan diproduksi. Menurut Bourdieu, habitus terdiri dari dua unsur pokok yakni pengalaman dan pengajaran, yang berkembang jatuh bangun terakumulasi dalam sejarah. The habitus which, at every moment, structures new experiences in accordance with the structures produced by past experiences, which are modified by the new experiences within the limits defined by their power of selection, brings about a unique integration, dominated by the earliest experiences, of the experiences statistically common to members of the same class (Pierre Bourdieu, 1980/1990).

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

83

Untuk lebih memahami mengapa diri bisa terbentuk melalui tindakan maka ada baiknya untuk mengetengahkan terlebih dahulu makna tindakan dalam pemikiran Bourdieu. Di satu sisi tindakan disebutkannya mengantarai habitus dan kehidupan sosial obyektif, sedang di sisi lain habitus diciptakan melalui tindakan. Dengan demikian maka baik habitus, skema mental individual maupun struktur sosial obyektif secara generatif pada dasarnya adalah tindakan. Disini kita bisa rumuskan bahwa tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat memiliki peranan yang besar terhadap pembentukan diri. Practice always implies a cognitive operation, a practical operation of construction which sets to work, by reference to practical functions, system of classification (taxonomies) which organize perception and structure practice produced by the practice of successive generations, in conditions of existence of determinate type, these schemes of perception, appreciation, and action, which are acquired through practices and applied in their practical sense without acceding to explicit representation, the objective structures of which they are the product tend to reproduce themselves in practices. []The coherence to be observed in all products of the aplication of the same habitus has no other basis than the coherence which generative principle constituting that habitus owe to the social structures. [...] The pratical operators which constitute the habitus and which function in their practical state in gesture or utterance reproduce in a transformed form, inserting them into the structure of a system of symbolic relations... (Pierre Bourdieu,1977). Tindakan-tindakan yang dilangsungkan di dalam masyarakat ini pada fungsinya diproyeksikan menjadi semacam kode-kode sosial yang diharapkan direproduksi dari waktu ke waktu. Inilah yang dimaksud dengan dialektika dalam berkebudayaan, dimana suatu tindakan terjadi karena dipelihara melalui mekanisme pembelajaran atas suatu tindakan. Dalam rumusan seperti ini, maka pendidikan adalah medium bagi pembentukan diri yang mengada di dalam tindakan sosial yang dipelajari untuk kemudian ditampilkan lagi sebagai tindakan. Tindakan-tindakan dalam rumusan seperti ini umum kita sebut sebagai praktik sosial, dan rumusan seperti ini juga sekaligus memungkinkan kita merumuskan bahwa pada dasarnya pendidikan akan dengan sendirinya merujuk pada habitus. Dalam disiplin pemikiran Pierre Bourdieu, habitus secara generatif merupakan a dialectic of internalization of externality and the externalization of internality atau jika dilihat dari segi kausalitasnya habitus adalah hasil dari suatu proses internalisasi yang meliputi struktur persepsi, modus apresiasi, dan sistem-sistem klasifikasi tindakan kedalam diri seseorang, yang kemudian tereksternalisasi ulang dalam bentuk tindakan, yang pada gilirannya menjadi elemen-elemen pembentuk struktur sosial obyektif. Habitus terinternalisasi secara relatif lama dan kadang terlupakan dari sisi prosesnya. Dengan begitu maka habitus melibatkan proses kesejarahan yang panjang dan mendarah-daging, terinternalisasi seakan alami, meresap, terdisposisi, dan menjadi bagian inheren dari agen. Habitus juga merupakan proses internalisasi yang sama sekali tidak menihilkan peran agen yang memiliki kemampuan bernegosiasi dengan struktur. Dengan kalimat lain, agen yang menginternalisasi struktur tetap memiliki ruang-ruang refleksi atas pilihan-pilihan rasionalnya, prinsip-prinsip, strategi-strategi yang dijadikan saringan sebelum agen benar-benar menerima dan mengimprovisasikannya kembali. Secara ringkas habitus menempati fungsifungsi sebagai: (a) matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; (b) appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu; dan (c) action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu. Thus the representations of agents vary with their position (and with the interest associated with it) and with their habitus, as a system of schemes of perception and appreciation of practices, cognitive and evaluative structures which are acquired through the lasting experience of a social position. Habitus is both a system of schemes of production of practices and a system of perception and appreciation of practices. And, in both of these dimension, its operation expresses the social position in which it was elaborated. Consequently, habitus produces practices and representations which are available for classification, which are objectively differentiated; however, they are
84 Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

immediately perceived as such only by those agents who possess the code, the classificatory schemes necessary to understand their social meaning (Pierre Bourdieu, 1989: 19). Dengan begitu maka habitus bisa dirumuskan sebagai hamparan sistem skema-skema kognitif agen yang bermanifes di dalam tindakan. Dalam satu jalinan yang utuh tindakan-tindakan ini membentuk konfigurasi struktur sosial objektif dan melalui cara yang dialektis kemudian tampil kembali menyajikan varian sistem disposisi-disposisi yang mensuplay spesifikasi-spesifikasi preferensi kognitif ke dalam diri agen untuk bertindak secara tepat di berbagai ranah sosial yang berbeda-beda. Dan di dalam modus pemahaman ini pula habitus tampil sebagai efisiensi simbolik yang mewakili totalitas praktik sosial. Dengan kata lain, setiap praktik sosial kini bisa disebut sebagai habitus. Dari Bourdieu kita juga mendapat asupan perspektif untuk melihat habitus sebagai kunci bagi reproduksi sosial karena ia bersifat sentral dalam membangkitkan serta mengatur praktik-praktik yang membentuk kehidupan sosial. Di sini kita menemukan peranan penting dari habitus yang tampil sebagai regulator yang meregulasi praktik sosial sekaligus sarana yang menyediakan wawasan bagi terselenggaranya praktik-praktik sosial, karena sebagaimana Bourdieu nyatakan: habitus selalu berorientasi kepada fungsi praktis. The theory of practice as practice insists, contrary to positivist materialism, that the objects of knowledge are constructed, not passively recorded, and, contrary to intellectualist idealism, that the principle of this construction is the system of structuted, structuring dispositions, the habitus, which is constituted in practice and is always oriented towards practical functions (Pierre Bourdieu, 1980/1990:52). Satu hal lagi terkait dengan pembahasan mengenai habitus ialah kemampuannya mentransposisi struktur-struktur sosial obyektif dari beragam ranah sosial ke dalam struktur mental subyektif tindakan dan pikiran agen. Di titik ini habitus secara serta merta berimplikasi terhadap prilaku agen dan pada gilirannya mempengaruhi prilaku sosial, serta mempengaruhi karakter dari proses sosial itu sendiri. Dengan kemampuan seperti ini habitus yang diartikan sama dengan praktik sosial seharusnya memiliki dimensi pendidikan yang secara dialektis akan mentransposisi struktur mental subyektif ke dalam struktur sosial obyektif, dan juga sebaliknya, sehingga keduanya menghasilkan konfigurasi proses sosial yang diisi dengan praktik sosial yang mendidik. Dalam soal posisi pendidikan, melalui ini bisa dikatakan bahwa: oleh karena sifat hubungan dialektis dan dinamis diantara aktor dan struktur maka kehadiran proses sosial berdimensi pendidikan menjadi sangat penting dan strategis. Karena, segera setelah skema proses sosial memiliki dimensi paedagogis maka praktik-praktik sosial akan berimplikasi secara langsung terhadap terbentuknya struktur mental subyektif sekaligus terhadap struktur sosial obyektifnya. Implikasi Habitus terhadap Pemahaman Dualisme Pendidikan dan Proses Sosial. Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan beberapa hal penting untuk kita tarik dalam kebutuhan kita merumuskan pendidikan. Pertama, Kesatuan struktur-aktor. Habitus adalah praktik kehidupan yang berlangsung sejalan dengan struktur sosial yang memproduksinya. Dari situ, tindakan atau praktik muncul sebagai kemampuan yang nampak alamiah dan berkembang dalam ranah atau lingkungan sosial tertentu. Dari sini dengan memperhatikan dimensi historis mengenai bagaimana habitus terbentuk maka di dalam habitus, tindakan dan lingkungan obyektif berelasi dalam satu kesatuan. Bukan individu yang menentukan atau menciptakan tindakan (sebagaimana dibayangkan Weber), juga bukan struktur yang menentukan individu (sebagaimana dibayangkan Durkheim) melainkan struktur dan individu berelasi, saling membentuk serta saling meneguhkan di dalam praktik. Di titik ini Bourdieu, sebagaimana Giddens, menegaskan bahwa obyektifitas hanya bisa diungkap dalam praktik individu. Dengan kata lain, Bourdieu memercayai bahwa terdapat sebuah continual dialetic between objectivity and subjectivity. Agen-agen sosial adalah tubuh yang terinkorporasikan tapi sekaligus juga yang memiliki skema umum yang dioperasikan dan dioreintasikan kedalam tindakan sosial. Dengan demikian, disini muncul apa yang disebut dalam
Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta 85

sosiologi sebagai situasi reflektif atau reflektifitas. Aktor atau agen-agen menentukan struktur tapi secara bersamaan dirinya juga dibentuk oleh struktur. Di sini (secara epistemik) tidak bisa dipisahkan lagi mana agen dan mana struktur (Michael Grenfell dan David James, 1988:13). Kedua, kesatuan aspirasi subyektif dan pengalaman obyektif. Dengan kesatuan itu, maka pendapat yang mengatakan bahwa struktur atau dunia sosial menentukan individu atau sebaliknya, atau bahwa semata-mata ekonomi menentukan siapa manusia ataupun sebaliknya adalah pandangan yang absurd. Tidak pernah ada dalam realitas manusia hanya berposisi dalam satu arah saja terhadap realitas dan lingkungan yang melingkupinya. Di sini yang obyektif tidak dapat dipisahkan dengan yang subyektif. Keduanya hadir sebagai bidang pengalaman yang saling keluar masuk. Ketiga, pembicaran habitus adalah pembicaran tentang sebuah bidang irisan antara struktur obyektif dan struktur mental subyektif. Dalam bentuknya yang paling konkret habitus menempati bidang kebertubuhan sosial yang memiliki tiga makna: Kesatu, habitus hanya ada selama ia ada di dalam kepala aktor (atau inhabit in body). Kedua, habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara mereka dengan lingkungan yang melingkupinya: cara bicara, cara bergerak, cara merespon situasi. Ketiga, habitus juga berakar dalam taksonomi praktis perwujudan aneka kategori sensoris (Richard Jenkins, 1992). Dengan memahami bahwa dialektika yang obyektif dan subyektif, juga bahwa ia berada dalam tindakan, maka dari sini kita bisa merumuskan apa itu proses pembelajaran. Dengan pemikiran habitus ini maka pembelajaran atau lebih luasnya lagi pendidikan dapat dipahami sebagai praktik yang terdiri dari tiga hal utama: Pertama, pendidikan harus pertama-tama menempati dan membentuk suatu matrix of perception atau basis pijakan agen dalam berfikir atau mempersepsikan sesuatu, juga sebagai titik tolak dalam proses mempersepsikan sesuatu berdasarkan latar belakang agen; Kedua, pendidikan juga harus membentuk bentuk-bentuk appreciation atau habitus menjadi titik tolak dan menentukan bagaimana seseorang mengapresiasi atau menilai sesuatu. Ketiga, pendidikan harus mengarahkan orang kepada tindakan action atau habitus merupakan basis atau skema untuk memproduksi dan menghasilkan praktik bagi individu. Keempat, ringkasnya pendidikan adalah cara untuk membentuk atau mengubah dari suatu habitus menjadi habitus yang baru. Kelima, pendidikan adalah bisa dimulai dari irisan yang obyektif dan yang subyektif. Pendidikan tidak hanya bisa diarahkan pembentukan subyektifitas tetapi bisa juga diarahkan pada dunia obyektifnya. 6. Modal Modal Budaya, Kekerasan Simbolik dan Syarat Pendidikan dalam Kesetaraan Konsep Bourdieu lain yang perlu diklarifikasi adalah modal budaya (cultural capital). Selama ini konsep ini diperlakukan secara sederhana, semena-mena dan keliru: seakan-akan modal budaya adalah kemampuan estetik individu yang bisa diperdagangkan dan menghasilkan laba. Modal budaya dalam Bourdieu berakar pada penjelasan Bourdieu mengenai kuasa, modal dan posisi : In analytic term, a field may be defined as a network, or a configuration, of objective relations between positions. These positions are objectively defined, in their existence and in determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present or potential situation (situs) in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possession commands access to the specific profits that are at stake in the field, as well as by their objective relation to other positions (domination, subordination, homology, ect.) (Pierre Bourdieu and Loc J. D. Wacquant, 1992). Modal budaya adalah sebau hubungan sosial di dalam suatu sistem pertukaran makna-makna termasuk di dalamnya akumulasi pengetahuan dan estetika yang dikonversikan dengan kuasa dan status. Modal budaya dapat diklasifikan dan dibedakan (distinction) berdasarkan garis kuasa yang berakar pada pemilikan modal. Pendidikan misalnya adalah refleksi dari modal budaya, bukan karena dengan pendidikan orang bisa mencari kerja, tapi karena pendidikan mencerminkan kuasa dalam kelaskelas sosial. Perbedaan, strata dalam pendidikan mereflesikan strata kelas sosial. (Chris Barker, 2004, 37) Klasifikasi inilah yang kemudian melahirkan apa yang disebut sebagai kekerasan simbolik yakni kekerasan yang diakibatkan oleh perbedaan akses dalam kebudayaan olehkarena posisi kelas yang berbeda. Anak-anak kelas pekerja mengalami kekerasan simbolik ketika oleh karena akar kelas
86 Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Robet dan Rozak, Proses Sosial sebagai Medium Pembelajaran

keluarganya mereka misalnya tidak dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Dengan demikian, pada konsep ini Bourdiue bicara mengenai kebutuhan kode-kode sosial atau skema yang ditujukan pada negara. Apa yang mesti dilakukan negara terhadap pendidikan untuk mengatasi kekerasan simbolik?

Penutup Dengan memperlihatkan persoalan-persoalan pokok akibat pemisahan aktor struktur serta pemisahan proses sosial (ekonomi produksi, politik) dengan pendidikan, penelitian ini telah menunjukkan bahwa pada akhirnya pendidikan menjadi hilang akibat invasi dari ekonomisasi kebudayaan/pendidikan. Proses ini juga secara paradoksal mengakibatkan dampak yang sama buruknya kepada bidang dan praktik ekonomi/politik yang kehilangan dimensi edukatifnya. Pemisahan yang diikuti determinasi proses sosial terhadap pendidikan menjadikan proses sosial gagal dimengerti sebagai arena potensial bagi bidang pembelajaran. Namun demikian dari penelusuran dan refleksi teoritis terhadap pemikiran habitus Pierre Bourdieu, penelitian juga menemukan bahwa konsep habitus sebuah konsep sosiologi kontemporer bisa dijadikan sandaran untuk tidak hanya memahami kebersatuan proses sosial dengan proses belajar. Melalui konsep Bourdieu, kita bisa memahami bahwa proses sosial tidak dapat dipisahkan dari proses mental dalam subyek, dengan demikian struktur obyektif tidak dapat dipahami secara terpisah dengan struktur subyektif. Akibatnya apa yang terjadi pada struktur bisa berlaku pada aktor demikian pula sebaliknya. Pada tahap lanjut kita juga memahami bahwa dunia dan proses sosial merupakan mata air yang memproduksi tindakan-tindakan kita. Secara dialektis di dalam tindakan itu kita juga kemudian mereproduksi struktur. Dengan kata lain transformasi manusia tidak dapat semata-mata dilekatkan secara terbatas pada pikiran mengenai subyek akan tetapi harus diperluas pada proses sosial di mana subyek itu berada. Artinya, mengenai bagaimana pendidikan dilaksanakan tidak dapat lagi dipikirkan sebagai suatu bidang yang terpisah yang menempati subyek ke dalam ruang yang terisolasi (pada sekolah semata-mata) karena pada dasarnya struktur atau proses sosial telah terlebih dahulu dan memiliki kekuatan yang lebih hebat dalam mendeterminasi siapa itu manusia. Dalam kerangka ini bahkan bisa dikatakan bahwa sekolah itu sendiri bukanlah bidang yang otonom melainkan bidang yang merupakan mata rantai saja dari proses sosial dan kesejarahannnya. Dengan demikian, habitus adalah bidang yang menentukan seluruh orientasi tindakan dan transformasi subyek. Mendidik artinya adalah membentuk habitus. Dengan memahami mendidik sebagai mengubah atau mentransformasi habitus maka kita memahami bahwa mendidik bisa dilakukan dengan terlebih dahulu menyediakan prasyarat-prasyarat struktural dalam medan proses sosial yang memungkinkan tujuan-tujuan dalam habitus itu dimungkinkan. Lebih jauh lagi, dengan memahami mendidik sebagai mentransformasi habitus kita juga bisa mengarahkan bidang-bidang di luar pendidikan sebagai ikut bertanggung jawab atau menentukan isi dan bentuk dari pendidikan. Akhirnya dengan itu, sejauh kita bertujuan untuk membentuk masyarakat yang terdidik maka tidak dapat tidak diperlukan upaya untuk mentotalisasi seluruh bidang-bidang kehidupan ke dalam tujuan-tujuan pendidikan. Artinya bidang-bidang kehidupan yang lain seperti ekonomi, politik, hukum harus dipertanyakan dan diuji di bawah logika dan tujuan-tujuan pendidikan; sejauh mana ekonomi, politik dan hukum bisa menjadi medium pembelajaran. Untuk mencapai taraf itu, melalui Bourdieu kita juga menemukan bahwa ada kode-kode sosial yang dapat digunakan untuk mendorong proses sosial menjadi medium pembelajaran. Di titik ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan yakni pertama, negara mesti diarahkan untuk menyediakan kodekode yang bisa dipakai oleh dunia sosial kita sehingga proses sosial itu benar-benar menjadi edukatif. Salah satu hal yang mutlak mesti disediakan di sini adalah akses dan kesetaraan dalam dunia simbolik kita dalam hal ini bahasa dan modus-modus asosiasi sosial yang memungkinkan orang belajar satu sama lain dan menghayati dunia sosialnya secara reflektif. Hal kedua yang juga penting untuk dilakukan adalah kita perlu memperluas makna pendidikan. Pendidikan harus dikembalikan tidak pertama-tama sebagai kebudayaan, tetapi lebih luas lagi sebagai proses sosial itu sendiri.

Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

87

Pada akhirnya sejauh dalam kerangka menjawab pertanyaan mengenai pergeseran teori pendidikan, maka penelitian ini menemukan bahwa selain teori sosiologi mengenai pendidikan kita mulai bisa merekonstruksi teori sosiologi yang sekaligus teori pendidikan. Dari sosiologi yang mencoba memahami pendidikan sebagai obyek materialnya menjadi teori sosiologi yang menjadikan pendidikan sebagai tujuannya. Di titik inilah teori habitus Bourdieu bisa kita eksplorasi lebih jauh untuk menjadi teori yang menyediakan bagaimana pendidikan dilaksanakan.

Pustaka Acuan Ali Moertopo, Some Basic Thoughts on The Acceleration and Modernization of 25 Years Development (Jakarta, Yayasan Proklamasi CSIS, 1972). Anthony Giddens, Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (California: University of California Press, 1986). B. Herry-Priyono, Tata bahasa Uang dalam Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta, Penerbit Kompas Gramedia dan Yayasan Astra, 2005). Chris Barker, The Sage Dictionary of Cultural Studies, (London; Oxford; Sage Publsiher) Edward B. Taylor, Primitive Culture: researches into the development of mythology, philosophy, religion, art, and custom, (New York: Gordon Press,1871). M. Sastrapratedja. Peranan Etika Pembangunan dalam Sastrapratedja dkk (ed), Menguak Mitos-mitos Pembangunan: Telaah Etis dan Kritis (Jakarta: Gramedia, 1986). Pang Lay Kim & H. W. Arndt, Survey of Recent Development, dalam Bulletin of Economic Studies No. 4/Juni. Jerome Karabel dan A.H. Halsey (ed), Power and Ideology in Education (Oxford, Oxford University Press, 1977) John Kenneth Galbraith, The Good Society The Human Agenda, (New York: Houghton-Mifflin Trade and Reference, 1996). Michael Grenfell dan David James, Bourdieu and Education (Bristol: Farmer Press, 1988). Michele Foucault, Power/Knowledge (Sussex, Harvester Press, 1980) Peter Berger and Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality, (USA: Penguin Books, 1979). Pierre Bourdieu, Social Space and Symbolic Power, Sociological Theory, Vol 7/1, 1989. Pierre Bourdieu, The Logic of Practice, (California: Stanford University Press, 1980/1990). Pierre Bourdieu and Loc J. D. Wacquant, An Invitation to Reflexive Sociology, (Chicago: University Of Chicago Press, 1992). Pierre Bourdieu, In Other Words: Essays Toward a Reflexive Sociology, (Cambridge: Polity Press, 1990). Pierre Bourdieu, Outline of a Theory of Practice, (London: Cambridge University Press, 1977). P. G. Suroso, Perekonomian Indonesia, Buku Panduan Mahasiswa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994) Polanyi, Arensberg dan Pearson, Ekonomi Sebagai Proses Sosial dalam Hans-Dieter Evers, Teori Masyarakat: Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1988). Terry Eagleton, The Idea of Culture, (Oxford, Blackwell Publisher, 2000). Melville J. Herskovits, Man and His Works: The Science of Cultural Anthropology, (New York: Alfred A. Knopf, 1948). Richard Jenkins, Pierre Bourdie (London, Routledge, 1992). Richard Rorty, Philosophy in History, ed oleh Richard Rorty, J.B. Cheneewind dan Quentin Skinner (Cambridge: Cambridge University Press, 1984). Stephen Grenville, Monetary Policy and the Formal Financial Sectors, dalam Booth and McCawley (editors) The Indonesian Economy During Soeharto Era, (Petaling Jaya: Oxford University Press, 1981b). Syamdani, Kontrovesi Sejarah Di Indonesia, (Jakarta:Grasindo, 2001). W. W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, (England: Cambridge University Press, 1960).
88 Jurnal Sosialita Vol. 9 No. 1 Juni 2011, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta

Você também pode gostar