Você está na página 1de 24

LAPORAN PEMICU 3 MODUL SARAF DAN JIWA

Kelompok Diskusi 4
Ryan Arifin Minar Nur Cahyani Yudo Prabowo Agus Hendra Rao T. Grace Sheila Lames Esteria Roslina H. Desti Eryani Neneng Wulandari Novianus Erik Gibson Mulyadi Rosalinda (I11110011) (I11110014) (I11110017) (I11110018) (I11110021) (I11110033) (I11110044) (I11110049) (I11110063) (I11110069) (I11109093)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2013

Pemicu 3 (Strategy problem)


Seorang laki-laki berusia 28 tahun dibawa ke UGD dengan keluhan kedua tungkai tidak dapat digerakkan, berat badan dan nafsu makan menurun sejak 2 bulan yang lalu. Kadang-kadang disertai keringat malam. Keluhan diawali dengan rasa nyeri di daerah punggung 6 bulan yang lalu. Nyeri terkadang dirasakan menjalar ke paha kanan. Sejak 4 bulan yang lalu kedua tungkai sering kesemutan dan mulai baal. Baal dirasakan dari daerah perut sampai ke bawah Dua bulan yang lalu pasien mulai merasakan kedua tungkainya lemah. Makin lama makin berat sampai akhirya tidak dapat digerakkan. Dua minggu terakhir pasien mulai sulit buang air besar dan buang air kecil. Satu tahun sebelum pasien mengalami gejala ini, ia dipecat dari tempat kerjanya. Sejak saat itu pasien dilaporkan bahwa ia mudah tersinggung dan menjadi marah. Dengan adanya gejala di atas, reaksi emosi pasien menjadi lebih labil dan membuat keluarganya menjadi resah. Pada pemeriksaan fisik di sekitar vertebra torakal tampak benjolan yang teraba keras, terfiksir dan tidak ada nyeri tekan. Pada pemeriksaan neurologis didapatkan hipestesi terhadap rasa raba dan nyeri setinggi dermatom T10 ke bawah. Prorioseptif dan rasa vibrasi kedua tungkai terganggu. Kekuatan motorik kedua tungkai 0. Klonus patela dan akiles +/+. Rossolimo dan MendelBechtrew +/+. Pemeriksaan status mental didapatkan mood yang iritabel, afek gelisah dan serasi. Tidak dijumpai adanya gangguan persepsi dan isi pikir pasien lebih banyak didominasi oleh kekecewaan pasien akan kondisi dirinya yang mengalami sakit seperti itu.

Klarifikasi dan Definisi


a. Hipestesi adalah penurunan sensitivitas atau kepekaan secara abnormal. b. Klonus adalah tanda fisik yang terjadi pada pergelangan kaki ketika pemeriksa melakukan dorsofleksi dipertahankan beberapa saat yaitu lutut pasien sedikit ekstensi sehingga terjadi plantarfleksi dan dorsofleksi secara bergantian dan ritmis. c. Prorioseptif adalah sensasi yang berasal dari dalam tubuh yaitu terdapat pada otot, ligamen, sendi dan reseptor yang berhubungan dengan tulang. d. Terfiksir yaitu melekat pada jaringan di atas atau di bawahnya sehingga sulit digerakkan. e. Afek adalah ekspresi emosi sementara yang teramati.

f. Serasi adalah penggambaran keadaan normal dari ekspresi emosi yang terlihat yaitu keserasian antara ekspresi emosi dan suasana yang dihayatinya.

Keyword
Parastesi tungkai, hiperhidrosis nokturnal, paraplegi

Analisis Masalah
Laki-laki 28 tahun dengan keluhan paraplegia, kehilangan nafsu makan sejak 2 bulan disertai hiperhidrosis nokturnal, memiliki riwayat nyeri pada daerah punggung yang menjalar ke daerah paha kanan, tampak benjolan yang tidak nyeri pada vertebra torakal serta sulit buang air besar dan kecil.

Hipotesis
Laki-laki 28 tahun memiliki gejalan yang mengarah pada Guillain Barre Sindrom et causa spondilitis TB yang dipicu oleh faktor psikogenik.

Pertanyaan Diskusi
1. Sindrom Guillain Barre 2. Spondilitis TB 3. Hubungan SGB dan spondilitis TB 4. Mekanisme kelumpuhan ekstremitas 5. Perbedaan lesi UMN dan LMN 6. Diagnosis banding untuk paraplegia 7. Hubungan faktor psikogenik dengan penyakit pasien 8. Kemungkinan tumor pada pasien 9. Interpretasi pemeriksaan neurologis dan mental pada pasien 10. Patofisiologi sulit BAB dan BAK

Pembahasan 1. Sindrom Guillain Barre


a. Definisi SGB Sindrom Guillain Barre ialah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah terjadi infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang. Periode laten antara infeksi dan gejala polyneuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelaianan yang terdapat disebabkan oleh suatu respone terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan. Kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut saraf spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medulla spinalis dan medulla oblongata. Secara patologis ditemukan degenerasi myelin dengan edema yang terdapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Sindroma GuillainBarre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik. b. Etiologi SGB Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: i. Infeksi (Chlamydia, Campylobacter jejuni, Hepatitis B, Micoplasma

pneumoniae, Cytomegalovirus, Epstei-barr virus, Human immunodeficiency virus) ii. Vaksinasi (Group A streptococc, Rabies, Infuenza) iii. Pembedahan iv. Penyakit sistematik (keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison) v. Kehamilan atau dalam masa nifas SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1

sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas infeksi gastrointestinal. Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan SGB. Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia dimana demam tifoid masih merupakan penyakit menular yang besar.

c. Patofisiologi Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu; namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat

sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B

akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin. Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih. Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif, ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer. GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.

Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung

myelin, yang sembuh lebih cepat. Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat. d. Gejala Klinis i. Kelemahan otot yang simetris (tanda neurologi utama) dan muncul pertama pada tungkai (tipe asenden) kemudian meluas ke lengan serta mengenai nervus fasialis dalam 24-72 jam akibat terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf anterior ii. Kelemahan otot yang pertama terasa pada lengan (tipe desenden) atau terjadi sekaligus pada lengan dan tungkai akibat terganggunya transmisi impuls melalui radiks saraf anterior iii. Tidak terdapat kelemahan otot atau hanya mengenai nervus fasialis (pada bentuk yang ringan) iv. Parastesia yang kadang kadang mendahului kelemahan oto, tapi menghilang dengan cepat, karena gangguan transmisi impuls lewat radiks saraf dorsalis

v. Diplegia mungkin disertai oftalmoplegia (paralisis okuler) karena terganggunya transmisi impuls lewat radiks saraf motorik dan terkenanya nervus kranialis III, IV, dan VI vi. Disfagia atau disartria karena kelemahan nervus XI vii. Hipotonia dan areflexia akibat terganggunya lengkung refleks e. Diagnosis
Diagnosis SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. Kriteria diagnostik SGB menurut The National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke ( NINCDS) Gejala utama : 1. Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas 2. Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general Gejala tambahan : 1. Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu. 2. Relatif simetris. 3. Gejala gangguan sensibilitas ringan. 4. Gejala saraf kranial, 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain. 5. Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai beberapa bulan. 6. Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor. 7. Tidak ada demam saat onset gejala neurologis Pemeriksaan LCS : 1. Peningkatan protein 2. Sel MN < 10 /ul Pemeriksaan elektrodiagnostik : terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

f. Tata laksana
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah : 1. Fisioterapi. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. 2. Plasma exchange therapy (PE). Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange. 3. Imunoglobulin IV. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi autoantibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan

dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. 4. Kortikosteroid. Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

g. Komplikasi Paralysis yang persisten, kegagalan pernafasan, ventilasi mekanik, hipotensi atau hipertensi, tromboembolisme, pneumonia, kulit yang pecah, aritmia kardial, ieus, aspirasi, retensi urinae, problem psikiatrik (seperti : depresi dan ansietas).

2. Spondilitis TB
a. Definisi Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen. Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.

b. Etiologi Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile (tahanterhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga sebagai Basil/bakteri Tahan Asam (BTA))dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional. Dipergunakanteknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara lambat dalam media eggenriched dengan periode 6-8 minggu. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis. Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular flu. c. Patofisiologi Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang corpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial corpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan corpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan corpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan

infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah cervical, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau cavum pleura. Abses pada vertebra thoracalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum scarpei atau regio glutea. Menurut Gilroy dan Meyer, abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra thoracalis atas dan tengah, tetapi menurut Bedbrook paling sering pada vertebra thoracalis 12 dan bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis 10 sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen thoracal paling sering terdapat pada vertebra thoracal 8-lumbal 1 sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan canalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra thoracalis 10, sedang canalis vertebralis di daerah tersebut relative kecil. Pada vertebra lumbalis 1, canalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra thoracal 10. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu : 1. Penekanan oleh abses dingin

2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis 3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya 4. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium yaitu : 1. Stadium implantasi. Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra. 2. Stadium destruksi awal, Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi corpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu. 3. Stadium destruksi lanjut. Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sequestrum serta kerusakan discus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan corpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. 4. Stadium gangguan neurologis. Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra thoracalis mempunyai canalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu : Derajat I : kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris. Derajat II : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. Derajat III : terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. Derajat IV : terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit

yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. 5. Stadium deformitas residual. Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan. d. Gambaran Klinis 1) Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun 2) Suhu subferbil terutama pada malam hari dan sakit/kaku pada punggung 3) Dijumpai nyeri interkostal yang menjalar dari tulang belakang kegaris atas tengah atas dada melalui ruang interkostal, hal ini disebabkan oleh tertekannya radiks dorsalis ditingkat torakal 4) Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal 5) Deformitas pada punggung (gibbus) 6) Pembengkakan setempat (abses) 7) Adanya proses TB 8) Kelainan neurologis berupa paraplegia, paparesis atau nyeri radiks saraf akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri 9) Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas deficit sensorik setempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal e. Diagnosis
Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.

f. Tata laksana Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu: 1. Pemberian obat antituberkulosis. 2. Dekompresi medula spinalis. 3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi. 4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft). Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari: 1. Terapi konservatif a. Tirah baring (bed rest). b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra. c. Memperbaiki keadaan umum penderita. d. Pengobatan antituberkulosa. Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu: i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+). a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). b. Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama 4 bulan (54 kali). ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh. 1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500 mg, danEtambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali). 2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat tuberkulostatik. b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka, debrideman, dan bone graft. c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005). Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.

3. Hubungan Spondilitis dan SGB


GBS dan spondilitis adalah 2 penyakit yang berbeda. Antara keduanya tidak mempunyai hubungan langsung. GBS memang dapat dipicu oleh infeksi termasuk infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang adalah penyebab Spondilitis tuberkulosa tapi hal ini sangatlah jarang. Dari sumber yang ada, mengatakan bahwa penyebab infeksi tersering yang dapat memicu GBS yaitu virus (CMV, EBV) dan dari golongan bakterinya yang tersering yaitu Campylobacter jejeni, Mycoplasma penumonia.

Berikut hubungan tidak langsung antara Spondilitis dengan SGB:

4. Mekanisme kelumpuhan ekstremitas


Lesi di segmen lumbal paling bawah dan sacral merusak motoneuron-motoneuron berikut dengan terminalia serabut-serabut kortikospinal, sehingga kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi itu bersifat LMN.

Kelumpuhan misalnya disebabkan oleh infeksi (mielitis transversa) yang dapat merusak 1-2 segmen medulla spinalis sekaligus.

Infeksi langsung emboli septic, luka terbuka pada tulang belakang, penjalaran osteomielitis

Reaksi imunologik dapat timbul di medulla spinalis

Setelah beberapa minggu sembuh dari penyakit viral

Dalam masa itu, sarang imunologik dapat timbul di medulla spinalis sehingga dijuluki mielitis diseminata difusa.

Serabut-serabut asendens dan desendens panjang dapat terputuss oleh salah satu lesi yang tersebar luas tersebut

Timbul kelumpuhan parsial dan defisit sensori yang tidak massif di sekujur badan atau di bagian bawah saja (paralisi)

Distribusi paralisis memberikan syarat yang penting untuk bagian saraf yang rusak. Hemiplegia disebabkan kerusakan otak pada sisi berlawanan dengan paralysis, biasanya dari stroke. Paraplegia terjadi setelah injuri pada bagian bawah batang otak , dan quadriplegia terjadi setelah kerusakan bagian atas batang otak pada tingkat bahu

atau lebih tinggi ( saraf yang mengontrol lengan sejajar tulang belakang ). Diplegia biasanya mengindikasikan kerusakan otak, lebih sering karena serebral palsy. Monoplegia mungkin disebabkan pemisahan kerusakan diantara system saraf pusat atau saraf perifer. Kelemahan atau paralysis hanya dapat terjadi pada lengan dan kaki dapat mengindikasikan penyakit diemelinisasi.

5. Perbedaan lesi UMN dan LMN


UMN Pola kelemahan Kelemahan ekstremitas biasanya tidak sempurna, mempengaruhi gerakan motorik kasar. Paling jelas pada ekstensor ekstremitas atas dan fleksor ekstremitas bawah. Distribusi Ekstremitas superior : Distribusi segmental yang tipikal Lokasi lesi dapat diketahui dari insformasi distribusi kelemahan/kelumpuhan otot. LMN Biasanya jelas, mengenai sekelompok otot spesifik, kecuali pada polineuropati difus. Makin ke distal makin berat.

kelemahan/kelumpuhan abductor, eksternal rotator dan otot ekstensor Ekstremitas inferior : fleksor, internal rotator dan dorsofleksi, akibatnya terjadi spasticity posture (tangan dan pergelangan tangan fleksi, kaki ekstensi). Lesi di atas dekusasio pyramidal : efek pada sisi kontralateral Lesi di bawah dekusasio pyramidal : efek pada sisi ipsilateral. Otot midline/aksial : tidak berefek melainkan lesi bilateral. Tonus Spastisitas : resistensi terhadap gerak yang tergantng

Menurun

kecepatan. Refleks pisau lipat, klonus. Refleks Meningkat Lesi kronik : hiperrefleksi pada deep tendon refleks (refleks arc masih ada), juga terjadi refleks patologis babinski dan klonus. Lesi akut : tidak atau lemahnya deep tendon refleks. Tampilan otot Atrofi karena tidak dipakai setelah mengalami kelemahan yang lama, namun tidak betul0betul lumpuh. Fasciculation (tanda- Tidak ada Ada Kelumpuhan segmental, fasikulasi bila lesi setinggi sel kornu anterior. Menurun/tidak ada Tidak ada deep tendon refleks (bagian eferen refleks arc berkurang) Refleks abnormal tidak bernah ada.

tanda diinervasi)

6. Diagnosis banding untuk paraplegia


Paraplegia nunjukkan kondisi kelemahan/paralisis dari kedua ekstremitas bawah dengan ekstremitas atas tetap baik. Paling sering terjadi penyakit pada medulla spinalis, radiks spinalis dan saraf perifer, di antara sebab-sebab serebral, tumor parasagitas dan hidrosefalus menyebabkan kelemahan tungkai bawah. Jika timbulnya akut, mungkin sulit untuk membedakan paralisis yang disebabkan spinalis dari saraf perifer/radiks karena kerusakan salah satu dari ini menyebabkan flasdisitas dan hilangnya refleks. Pada penyakit medulla spinalis akut paralisis mengenai seluruh otot di bawah tingkat yang ditentukan, seringkali jika substansia grisea rusak secara luas, hilangnya sensoris di bawah tingkat tertentu digabungkan (hilangnya rasa nyeri dan temeratur akibat terkena traktus spinotalamikus dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi akibat kerusakan kolumna posterior). Juga pada penyakit bilateral dari medulla spinalis, sfingter kandung kemih dan usus mengalami paralisis atau hanya perubahan fungsi yang singkat.

Hilangnya sensori, jika ada lebih mungkin terdiri dari kerusakan distal pada rasa sentuhan, vibrasi, posisi, dengan rasa nyeri dan temperature tetap baik pada beberapa keadaan. Paraplegia akut paling sering terjadi dalam hubungannya dengan setelah terjadinya trauma, atau dalam hubungan dengan neoplasia metastatic. Paraplegia subakut atau kronik pada orang dewasa akibat penyakit umum seperti spondilitis cervical dan multipel sklerosis. Sebab-sebab lain : degenerasi gabungan subakut, tumor medulla spinalis, diskus servikalis yang rupture, meningomielitis sifilis, infeksi epidural kronik (penyakit fungus dan granulomatosa lainnya), penyakit system motorik dab siringomielia. Beberapa polyneuritis, termasuk Guliian Bare sindrom harus dipertimbangkan pada paraplegia. Paraplegia juga mugkin disebabkan oleh lesi pada area tungkai bawah dari koteks motoik. Paraplegia dapat disebabkan: a. Lesi Piramidal (UMN) yang menyebabkan paraplegi spastik b. Lesi Lower Motor Neuron (LMN) yang menyebabkan flaccid paraplegi Spastic Paraplegi Spastic Paraplegi merupakan paralisis / kerusakan pada 2 tungkai karena adanya lesi traktus piramidal bilateral. Biasanya pada medulla spinalis (spinal paraplegia) dan jarang terjadi lesi di brain stem (cerebral paraplegia) Penyebab Paraplegia Spinal a. Fokal 1) Vertebral. Fraktur /dislokasi vertebra, spondylosis, Potts Disease, penyakit tumor/neoplastic, deformitas columna vertebra 2) Meningeal - Deposit leukosit ekstradural - Meningioma - Neurofibroma 3) Intramedullar (syringomyelial) 4) Inflamasi - Transverse myelitis, Myelomeningitis, Myeloradiculitis 5) Vaskular - Oklusi arteri spinal anterior

b. Sistemik Penyakit sistemik di neurologi merupakan penyakit yang dapat berefek satu / lebih sistem selektif dan biasanya bilateral dan simetris. Ketika penyakit sistemik menyebabkan lesi pada traktus pyramidal, maka paraplegia dapat terjadi.

Penyebab Paraplegi Cerebral a. Penyebab di regio parasagital 1) 2) 3) 4) 5) Trauma Hematoma Subdural Vaskular Trombosis sinus sagitalis superior Inflamasi Enchepalitis Neoplastik parasagital meningioma Degenaratif Cerebral Palsy

b. Penyebab di Brain Stem Syringiobulbia dan tumor midline

7. Hubungan faktor psikogenik dengan penyakit pasien


Responsivitas sistem imun terhadap stres menjadi konsep dasar psikoneuroimunologi. Mekanisme hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis limbik hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat menurunkan respon imun seperti aktifitas sel natural killer (NK), interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN - ). Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti. Dalam beberapa tahun terakhir, pemahaman kita tentang interaksi antara hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis, dan reaksi inflamasi yang dimediasi imun dan sistem stress telah berkembang luas.

Dari pemicu dikatakan bahwa pasien mudah tersinggung dan menjadi marah serta emosi lebih labil sejak dipecat dari tempat kerjanya setahun yang lalu. Tidak terdapat hubungan langsung antara faktor psikogenik dengan spondilitis tuberkulosa yang dialami laki laki 28 tahun ini. Kemungkinan faktor psikogeniknya hanya memperberat rasa nyeri punggung yang dirasakan. Punggung adalah bagian yang sangat sensitive terhadap ketegangan otot akibat stress sehari-hari. Dalam keadaan lemah dan kaku, otot punggung mengalami spasme (kejang). Kondisi ini menyebabkan aliran darah yang mengangkut oksigen menjadi terhambat, sehingga otot kekurangan oksigen. Akibatnya, penderita mengalami nyeri yang semakin parah.

8.

Kemungkinan tumor pada pasien


Kemungkinan tumor pada penderita dapat kita hilangkan, karena pada palpasi masa keras tidak terasa nyeri, massa keras merupakan gibbus.

9.

Patofisiologi sulit BAB dan BAK


Proses Miksi dimulai dari tekanan intramural m. detrusor

Keadaan tekanan intramural bergantung dengan keadaan fisik kandung kemih (penuh/tidak) Bila Vesica urinaria, maka tekanan intramural akan meningkatkan strecth reseptor Timbul impuls ke arah refleks miksi di medula spinalis (S2-4) Impuls diteruskan ke pusat yang tinggi yaitu inti talamus sebagai relay gyrus postcentralis Impuls juga ditteruskan ke ganglia basal, serebelum, pons, dan hipotalamus

Pada lesi di sumsum tulang belakang akibat spondylitis, impuls tidak dapat diteruskan dari strecth receptor menuju pusat refleks miksi pada pusat persarafan yang lebih tinggi (talamus, gyrus postcentralis, ke ganglia basal, serebelum, pons, dan hipotalamus ) Sehingga m. detrusor tidak mendapat impuls dari n. Vesikalis superior dan n. , Vesikalis inferior sehingga tidak terjadi kontraksi vesica urinaria dan menyebabkan manifestasi klinis kesulitan BAK

10. Interpretasi pemeriksaan neurologis dan mental pada pasien


Pemeriksaan Neurologi Pada Pemicu Interpretasi Pemeriksaan Neurologi

Hipestesi rasa raba dan nyeri setinggi Terdapat gangguan pada saraf sensorik. dermatom T10 ke bawah Kemungkinan lesi di vertebra torakal.

Torakal 10 berada di regio umbilikalis. Jika lesi di T10 sampai ke bawah, maka, hipestesi terjadi pada daerah umbilikalis kebawah. Kekuatan Motorik dua tungkai adalah 0 Menunjukkan tidak ada sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total Klonus Patella/akiles (+/+) Klonus adalah rentetan refleks regang otot yang disebabkan adanya lesi UMN (refleks patologis) Rossolimo Merupakan ditimbulkan refleks saat patologis diberikan yang rangsang

pengetukan pada telapak kaki dan terdapat respon fleksi sendi interfalangeal Mendel Beckthtrew Merupakan ditimbulkan refleks saat patologis diberikan yang rangsang

pengetukan pada dorsum pedis os kuboideum dan terdapat respon fleksi sendi

interfalangeal

Pemeriksaan

Status Interpretasi Status Mental

Mental Pada Pemicu Mood yang iritabel Afek Gelisah Ekspresi perasaan akibat mudah diganggu / dibuat marah Merupakan gangguan ekspresi emosi yang terlihat, namun tidak konsisten, gelisah dalam teori afek menunjukkan penanda afek negatif tinggi. Negatif menunjukkan bahwa pasien kecenderungan memiliki perasaan marah dan perasaan bersalah akibat tidak mampu menafkahi keluarga karena dipecat Afek Serasi Serasi (appropriate afect) memilki arti ekspesi yang

disampaikan pada pasien sesuai dengan pikirannya. Misalnya : Keadaan memiliki perasaan bersalah (gampang marah)

Kesimpulan
Laki-laki 28 tahun suspect spondilitis TB.

Referensi:
Adams RD, Victor M, Ropper AH. 2005. Principles of Neurology 8th Ed. USA :McGraw Hill. Davey, Patrick. 2002. At a Glance Medicine. Jakarta : EGC Harrison. 2007. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrison's Principles of Internal Medicine); Volume 1. Yogyakarta: EGC. Harsono. 2009. Buku Ajar Neurologi Klinis. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Ikatan Fisioterapi Indonesia Cabang Surabaya. Available from:

http://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Ite mid=7. Last update ; 2008. Lewis RA. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1172965-overview. Last update ; 2009. Mardjono, Mahar, Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Mayo Clinic Staff. Guillain Barre Syndrome. Available from:

http://www.mayoclinic.com/health/guillainbarresyndrome/DS004/. Last update : 2009. Sylvia A. Price, Latraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC. Wilkinson I, Lennox G. 2005. Essential Neurology 4th Ed. UK : Blackwell Publising.

Você também pode gostar