Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Abstraksi Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Artikel ini memberikan paparan mengenai analisis persaingan dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan five force Porters analysis. Dalam industri domestik maupun internasional, baik menghasilkan barang ataupun jasa, analisis persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Keywords: industri rokok ktretek, five force Porters analisys PENDAHULUAN negeri (Wibowo, 2003). Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut Sebagai salah satu sumber telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun atau menyumbang sebesar 7,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Pada tahun 2003, penerimaan cukai
penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan cukai dipungut dari tiga jenis barang yaitu etil alkohol, minuman yang
ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri selama kurang dari 10 tahun telah meningkat lebih dari 100%. Dari penerimaan cukai tersebut, 95% berasal dari cukai hasil tembakau
13
yang diperoleh dari jenis hasil tembakau (JHT) berupa rokok sigaret kretek mesin, rokok sigaret tangan, dan rokok
sigaret putih mesin yang dihasilkan oleh industri rokok (Wibowo, 2003).
Meskipun demikian menurut Direktur Industri Minuman dan Tembakau Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (Deperrin), Imam
produksinya terus merosot. Jika tahun lalu volume produksinya turun hampir 2%, pada 2005 diperkirakan berlanjut bahkan sampai 8% (Warta Ekonomi, 2005). Dari sisi penguasaan pasar,
Haryono, produksi pengguna cukai hanya diraih sebesar 95 juta batang sampai Juni 2006. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar 12% dari 108 miliar batang. Belakangan kinerja produksi industri rokok nasional memang kurang
selama 2004 rokok kretek jelas masih perkasa dengan merebut pangsa hampir 92%. Sisanya, dinikmati oleh rokok putih. Pada kelompok rokok kretek ini, pasar terbesar selama bertahun-tahun masih dikuasai oleh Gudang Garam dengan penguasaan pangsa 30,3%, atau setara 64,7 miliar batang. Peringkat kedua kini ditempati oleh Sampoerna, yang menggeser Djarum (39 miliar batang, atau setara 18,2%). Sementara jarak dengan peringkat ke-4, Bentoel, 14
menggembirakan. Meski tahun lalu volume produksi rokok kretek tumbuh 11,5%, dari 175,9 miliar batang ke 196,2 miliar batang, untuk 2005
diperkirakan bakal stagnan. Sementara itu, rokok putih nasibnya malah lebih buruk lagi, karena sejak 2002 volume
memang terlalu jauh. Saat ini Bentoel baru memproduksi 4,1 miliar batang, atau setara 1,9% (Warta Ekonomi, 2005). Industri rokok Indonesia
menempati peringkat ke-5. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi peningkatan data
konsumsi
rokoknya,
menurut
agaknya masih akan mengandalkan pasar domestik. Itu sebabnya, meski sejumlah produsen sudah melakukan ekspor, angkanya belum terlalu
Pakistan-lah yang menempati peringkat teratas dengan tingkat pertumbuhan 65%. Peringkat kedua ditempati oleh Turki, lalu Bulgaria, dan Indonesia di posisi keempat (Warta Ekonomi, 2005).
signifikan. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, ekspor rokok terbesar terjadi pada 2004 dengan nilai
INDUSTRI
Statistik
Penyebabnya, antara lain, kekhawatiran konsumen di negara-negara Eropa dan Amerika terhadap tingginya kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek. Di pasar domestik, kekuatan industri
Industri Besar dan Sedang (BPS), pada tahun 1981 industri rokok hanya
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek dengan kode 31420 dan industri rokok putih dengan kode 31430. Mulai tahun 1990, industri rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), serta industri rokok lainnya (31440) yang terdiri dari rokok klembag menyan, rokok klobot, dan cerutu (Wibowo, 2003). Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 19812002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan
tercermin dari sumbangannya terhadap target penerimaan cukai pemerintah, yang sejak 1997 hingga 2004 terus tumbuh secara signifikan. Tahun lalu kontribusi cukai rokok terhadap pos penerimaan di APBN mencapai Rp28,8 triliun, sementara menjadi gambaran, pada 2005 ini
ditargetkan Sekadar
Rp30 pada
triliun. 2004,
konsumen rokok terbesar di dunia masih Cina dengan 1.798 miliar batang, disusul oleh Rusia yang cuma 20%-nya, AS, Jepang, dan Indonesia yang
15
yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Tahun berikutnya mengalami
berkisar
244
sampai
dengan
247
perusahaan. Dari total industri rokok tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari industri rokok kretek (31420), sebesar 4,1 persen merupakan industri rokok putih (31430), dan sebesar 11,3 persen dari industri rokok lainnya (31440). Dilihat dari pertumbuhan, secara total industri rokok tumbuh rata-rata 3,2 persen per tahun. Perusahaan rokok kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64 persen per tahun, industri rokok putih (31430) tumbuh sebesar 1,01 persen per tahun, serta industri rokok lainnya (31440) tumbuh sebesar 1,98 per tahun (Wibowo, 2003).
jumlah
perusahaan
penurunan sampai dengan tahun 1990 yang merupakan pada titik terendah, dengan jumlah perusahaan sebanyak 170. Pada tahun 1990, industri rokok mulai bangkit kembali, dan terus
berkembang hingga sampai tahun 1995 dengan jumlah perusahaan mencapai 244 perusahaan. Tahun 1996, industri rokok kembali lesu, sehingga hanya 228 perusahaan. Setelah tahun 2000, industri rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang jumlahnya
16
Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. menurun, Daya tarif beli cukai
secara
total
mengalami
penurunan
(Sumarno, 2002). Perkembangan industri rokok di Indonesia mulai kurun waktu tahun 1981 sampai tahun 2002, secara ratarata berdasarkan jenis hasil tembakau (JHT) paling tinggi adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM), dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11,08 persen. Pertumbuhan tertinggi berikutnya
masyarakat
merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan perkembangan industri rokok di
diikuti oleh Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 4,19 persen, dan rokok Klobot (KLB) sebesar 3,04 persen. Rokok Klembak (KLM) secara ratarata, pertumbuhannya sebesar mengalami 2,39 persen 2003).
Indonesia dari tahun 1996 2001 yang terdiri dari rokok kretek, rokok putih, dan klobot/klembak. Pada tabel terlihat bahwa perkembangan produksi rokok mengalami kenaikan dari tahun 1996 hingga pada puncaknya pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi rokok
penurunan (Wibowo,
Dilihat
produksi produksi
secara rokok
dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang dengan nilai sebesar Rp. 22, 09 Triliun. Setelah tahun tersebut,
keseluruhan
17
total kemudian mengalami penurunan, tahun 1999 sebesar 254,17 miliar batang dengan nilai sebesar Rp. 30,32 Triliun. Walaupun secara produksi sampai tahun 2001 terus mengalami penurunan, tetapi secara nilai pada tahun 2001 masih
menunjukkan peningkatan dengan nilai sebesar Rp. 54,79 Triliun. Berdasarkan estimasi BPS, produksi rokok tahun 2002 sebesar 207,6 miliar batang, dengan nilai produksi sebesar Rp. 51,90 Triliun (Wibowo, 2003).
18
TENAGA KERJA DI INDUSTRI ROKOK Tenaga kerja industri rokok sebagian besar merupakan tenaga kerja industri rokok kretek yang terdiri dari SKM dan SKT. Dilihat dari penyerapan tenaga kerja, industri rokok kretek menyerap 96,45% dari total tenaga kerja industri rokok. Urutan kedua adalah industri rokok putih (31430) yang merupakan penghasil rokok putih
Dilihat penyerapan
dari tenaga
keseluruhan penyerapan tenaga kerja industri rokok tumbuh sebesar 2,69% per tahun. Untuk industri rokok kretek, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja
sebesar 2,77% per tahun. Pada industri rokok putih rata-rata pertumbuhan
tenaga kerja sebesar -1,03% per tahun, dan industri rokok lainnya rata-rata sebesar 0,54% (Wibowo, 2003).
(SPM) sebesar 2,09%, dan industri rokok lainnya sebesar 1,46%. Gambar 4. Perkembangan Pekerja Industri Rokok
19
ROKOK
DI
terbesar adalah pada tahun 2000. Ekspor rokok khususnya rokok kretek
rokok hanya
kretek
di
Indonesia sudah mencapai berbagai negara tujuan. Negara yang paling besar menjadi tujuan ekspor rokok kretek Indonesia adalah Malaysia dengan
menjadi
konsumsi masyarakat Indonesia saja, tetapi sudah diekspor ke mancanegara. Pada Tabel 4 dapat dilihat di
volume 5.041.217 kg dengan nilai US$ 61.184.464. dan beberapa negara di kawasan Asia, di antaranya adalah Thailand, (Sumarno, Kamboja dan Jordan 2002).
perkembangan
ekspor
rokok
Indonesia dari tahun 1996 2001 (sampai bulan Juni). Pada tahun 1997 volume ekspor rokok mencapai
20 20
Bila
dibandingkan
dengan
ekspor,
terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 562 ton dengan nilai sebesar US$ 1,7 juta (Sumarno, 2002).
volume impor rokok Indonesia relatif lebih kecil. Volume impor tertinggi
FIVE
COMPETITIVE
FORCES
hasil dari tren sosial yang telah berjalan lama dan dipengaruhi oleh kekuatan
kompetitif.
Lima
kekuatan
yang
kekuatan kompetitif digunakan buku dari Porter yaitu Competitive Strategy, buku dari Thompson et al. dan artikel dari Purdue University. Struktur
mempengaruhi struktur industri adalah: 1. Bargaining power of suppliers 2. Bargaining power of buyers 3. Threat of new entrants 4. Threat of substitutes 5. Rivalry among competitors Dalam gambar adalah sebagai berikut: 21
ekonomi suatu industri tidak datang begitu saja. Itu yang terjadi di industri rokok. Kompleksitas yang ada adalah
Produk Pengganti
Lima kekuatan tersebut menentukan potensi keuntungan didalam sebuah industri dengan mempengaruhi harga, biaya, dan investasi yang dibutuhkan dalam bisnis. Faktor penentu
domestik atau internasional, apakah menghasilkan barang atau jasa, aturan persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawarmenawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara
fundamental dari profitabilitas suatu perusahaan adalah daya tarik industri. Strategi bersaing harus mencerminkan pemahaman yang komprehensif
mengenai rule of the game dari sebuah persaingan yang menentukan daya tarik industri. Tujuan akhir dari sebuah persaingan adalah menghadapi dan mengubah aturan main persaingan
kelima faktor persaingan ini akan menentukan kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk memperoleh, secara rata rata, tingkat pengembalian investasi yang melebihi biaya
masing masing industri, dan dapat berubah dengan berubahnya industri bersangkutan. Dalam studi empiris mengenai struktur industri, biasa digunakan dua indikator konsentrasi perusahaan, yaitu rasio konsentrasi dan (IHH). Indeks Rasio
terhadap
penjualan industri. Struktur industri rokok kretek diamati metode CR4, dengan CR8,
menggunakan
Herfindahl-Hirschman
Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata konsentrasi industri rokok kretek di Indonesia adalah 77,56% untuk metode CR4 dan 88,15% untuk metode CR8. Dari hasil tersebut, industri rokok kretek di Indonesia dapat dikategorikan
terbesar dalam negeri memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang.
sebagai struktur oligopoli (Sumarno, 2002) dan dengan tingkat konsentrasi tinggi. Artinya 4 perusahaan menguasai 72% pangsa pasar rokok di Indonesia. Laporan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menunjukkan dominasi 4 perusahaan rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek
1. Kekuatan Pemasok Semua bisnis memerlukan input baik tenaga kerja, raw materials, dan jasa. Biaya input ini memiliki dampak yang signifikan terhadap keuntungan perusahaan. Pemasok cenderung ingin menjual dengan harga tertinggi. Jika kekuatan mereka lemah, perusahaan 23
dapat menegosiasi harga. Jika kekuatan pemasok kuat, perusahaan cenderung hanya dapat menerimanya. Pemasok memiliki kekuatan yang sangat kuat apabila barang yang mereka pasok hanya dapat didapatkan dari mereka, barang unik, perusahaan bukan
memiiki bargaining power yang tinggi terhadap industri rokok, karena tanpa cengkeh, mereka tidak bisa berproduksi. Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh ialah perubahan
kebijakan tataniaga yang menimbulkan perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh. Pertama, pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 (kesepakatan dengan IMF). Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor cengkeh Indonesia
perusahaan tidak memiliki pemahaman penuh akan pasar pemasok (Ehmke, et al.). Untuk mengurangi kekuatan
dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar 20.000 ton/tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia langsung
pemasok langkah-langkah yang dapat dilakukan partnership antara lain melakukan pemasok.
dengan
Kerjasama yang dapat dilakukan antara lain mengurangi biaya persediaan, yang
melonjak tajam dari US $ 0,99/kg tahun 1997 menjadi US $ 7,8/kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat mencapai Rp. 80.000/kg. Kedua, pembatasan
meningkatkan
nilai
barang
dipasok, dan meningkatkan kecepatan adopsi teknologi. Cara lain yang dapat dilakukan adalah bergabung dengan pembeli pemasok lain sehingga kepada membuat aliansi
tunduk
(Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 528/ MPP/Kep/7/2003 tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak
pembeli. Selain itu bisa juga dengan melakukan backward integration. Bahan baku utama dari rokok adalah cengkeh. Bahan baku ini
oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya
sangatlah vital bagi industri rokok, sehingga para petani cengkeh harusnya
24
seperti BPPC pada periode tahun 1990 1998. Dengan rasional untuk meraih laba sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan
agen-agen jauh sebelum musim panen sehingga pedagang perantara tersingkir. Dengan begitu pabrikan rokok leluasa menekan harga cengkeh hingga tingkat minimal yakni hanya cukup menutup ongkos panen seperti yang terjadi saat ini. Harga cengkeh yang amat rendah selama dua tahun terakhir merupakan hasil dari praktek persaingan tidak sehat akibat praktek eksploitasi oleh pabrikan rokok. Akar masalahnya ialah kekuasan pabrikan rokok dikukuhkan melalui kebijakan pemerintah
bertahan sekitar US $ 1,8/kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp. 15.000/kg pada akhir-akhir ini. Dunia perdagangan komoditi
cengkeh mengalami kemelut. Di pasar domestik, pabrikan rokok melakukan pembelian langsung dari petani melalui
perusahaan tidak unik dan dapat dibeli dari pemasok lain, membuat produk itu pembeli dapat sendiri, dan
keuntungan
pembeli dapat berganti produk dengan mudah. Untuk mengurangi kekuatan pembeli, perusahaan harus
Pembeli memiliki kekuatan jika mereka pembeli besar dan membeli sebagian besar produksi perusahaan. Pembeli jika bergabung juga dapat memiliki
meningkatkan loyalitas pembeli. Dalam industri rokok daya tawar pembeli relatif kecil, hal tersebut
kekuatan yang besar. Pembeli juga memiliki kekuatan yang berbeda-beda tergantung ukuran. Pembeli akan
disebabkan karena: (1) konsumen rokok bukan merupakan pembeli yang akan melakukan pembelian dalam jumlah yang besar tetapi lebih cenderung merupakan pembelian secara individual, (2) nilai pembelian relatif kecil, (3) produk rokok merupakan produk yang langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir, bukan merupakan bahan baku
memiliki kekuatan lebih jika industri memiliki banyak perusahaan kecil yang memasok produk dan pembeli
berjumlah sedikit, produk perusahaan adalah pengeluaran besar bagi pembeli, pembeli dapat memiliki akses dan mengevaluasi informasi pasar, produk
25
untuk industri lainnya. Hal hal seperti kecilnya switching cost, ancaman
pembeli untuk melakukan integrasi, sifat produk rokok yang standar dan kelengkapan informasi yang dimiliki oleh pembeli menjadi kurang relevan untuk menjadi faktor faktor yang mempengaruhi menawar pembeli. kekuatan tawar
perusahaan atau merek, menggunakan paten, dan menciptakan aliansi dengan produk-produk tertentu. Menentukan harga dan keuntungan secara wajar juga dapat mengurangi ancaman pendatang baru. Para pemain pemain lama yang meliputi Gudang Garam, Djarum,
3. Ancaman Pendatang Baru Kesuksesan suatu perusahaan pasti menarik pesaing baru untuk masuk ke industri tersebut. Menganalisis baru adalah
Sampoerna
dan
Bentoel
sudah
mempunyai share yang besar dengan skala produksi mencapai jutaan hingga miliaran batang per tahun. Dengan kapasitas produksi yang besar serta pencapaian sebuah learning curve
ancaman
pendatang
memeriksa hambatan masuk dan reaksi yang diharapkan dari perusahaan lama terhadap kompetitor baru. Hambatan masuk antara lain biaya dan aspek hukum untuk memasuki suatu industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi
masing masing perusahaan sudah mencapai economics of scale dengan kapasitasnya masing masing. Dengan demikian sulit bagi para pendatang baru untuk mengancam empat perusahaan besar industri rokok di Indonesia saat ini. Hal ini diperkuat dengan tingkat loyalitas pembeli yang cukup kuat pada rokok merek tertentu.
ancaman pendatang baru antara lain proses industri atau tidak paten, dilindungi pembeli
pemerintah
memiliki loyalitas yang rendah, biaya mendirikan perusahaan baru sangat rendah, produk yang ada tidak unik, biaya berpindah rendah, proses produksi mudah dipelajari, akses ke input mudah, akses ke konsumen mudah, dan
4. Ancaman Produk Substitusi Produk industri tertentu dapat digantikan produk dari industri lain. Substitusi dapat datang dari berbagai perusahaan. Misalnya permen dapat menggantikan rokok. Faktor-faktor
26
yang mempengaruhi ancaman produk substitusi antara lain produk perusahaan tidak memberikan manfaat yang nyata dibandingkan produk lain, mudah bagi konsumen untuk berpindah, dan
loyalitas yang rendah dari konsumen. Untuk mengurangi ancaman produk substitusi produsen dapat meningkatkan hubungan dengan konsumen dan
kekuatan terkuat dari lima kekuatan kompetitif Porter tetapi hal ini juga melihat struktur industri yang ada. Jika persaingan lemah maka perusahaan dapat dengan mudah meningkatkan harga dan mendapatkan lebih banyak profit. Jika kompetisi cukup intens maka perusahaan perlu untuk
mengetahui keinginan konsumen. Salah satu cara yang ditempuh oleh para produsen rokok adalah dengan beriklan. Diferensiasi juga dapat ditempuh.
Hingga saat ini dalam industri rokok, belum ditemukan produk dari industri lain yang mempunyai karakteristik
meningkatkan kualitas produk untuk menjaga konsumen yang telah mereka miliki. Persaingan terjadi dikarenakan sebuah perusahaan berusaha menjadi pemimpin pasar, pertumbuhan pasar cukup lambat, tingginya biaya tetap produksi, produk mudah rusak dan harus segera laku, produk tidak unik atau homogen, konsumen dapat mudah berpindah, dan tingginya biaya untuk keluar dari industri. perusahaan beberapa adalah Untuk dapat taktik.
produk rokok tradisonal serta cerutu dimasukkan sebagai produk substitusi, keberadaannya tidak begitu
mempengaruhi sebuah industri rokok. Produk rokok karakteristiknya cukup unik, sehingga peluang muncul produk substitusi cukup terbatas. Mengenali produk produk substitusi adalah persoalan mencari produk lain yang dapat menjalankan fungsi yang sama seperti produk dalam industri. hal ini
memberikan
diferensiasi pada produk dan atau fokus pada satu segmen konsumen tertentu. Untuk industri rokok pangsa pasar masing dikuasai oleh Gudang Garam, disusul oleh HM Sampoerna, Djarum
Kadangkala
melakukan
merupakan hal yang pelik, dan tugas yang membawa analis kepada bisnis
27
dan Bentoel, baru disusul oleh produk produk rokok lainnya. Pangsa pasar rokok putih terlihat masih relatif kecil dibandingkan rokok kretek. Ketiadaan switching persaingan cost tidak kemudian menyebabkan menjadi
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Universitas Gadjah Mada, 2002. Warta Ekonomi. Edisi April 2005. Wibowo, Tri. Potret Industri Rokok di Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2., 2003.
meningkat, karena faktor cita rasa dan selera masih menjadi faktor utama mengkonsumsi rokok. Pertumbuhan
industri memang lambat, karena citra rokok sebagai produk terlarang untuk dikonsumsi. Banyak peraturan
rokok. Tetapi hal ini ternyata tidak kemudian untuk karena menyurutkan masyarakat rokok. Oleh
persaingan
semakin sedikit atau sangat terbatas hingga mendorong untuk melakukan perang harga.
DAFTAR PUSTAKA Emhke, et al. Industry Analysis: The Five Forces. PURDUE
Kuncoro. Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996 1999. Jurnal
28