Você está na página 1de 16

Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia

Murry Harmawan Saputra Universitas Muhammadiyah Purworejo

Abstraksi Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Artikel ini memberikan paparan mengenai analisis persaingan dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan five force Porters analysis. Dalam industri domestik maupun internasional, baik menghasilkan barang ataupun jasa, analisis persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Keywords: industri rokok ktretek, five force Porters analisys PENDAHULUAN negeri (Wibowo, 2003). Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut Sebagai salah satu sumber telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun atau menyumbang sebesar 7,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Pada tahun 2003, penerimaan cukai

penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan cukai dipungut dari tiga jenis barang yaitu etil alkohol, minuman yang

ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri selama kurang dari 10 tahun telah meningkat lebih dari 100%. Dari penerimaan cukai tersebut, 95% berasal dari cukai hasil tembakau

mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Pada tahun 1990/1991,

penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8 triliun atau memberikan kontribusi

sekitar 4 persen dari penerimaan dalam

13

yang diperoleh dari jenis hasil tembakau (JHT) berupa rokok sigaret kretek mesin, rokok sigaret tangan, dan rokok

sigaret putih mesin yang dihasilkan oleh industri rokok (Wibowo, 2003).

Meskipun demikian menurut Direktur Industri Minuman dan Tembakau Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (Deperrin), Imam

produksinya terus merosot. Jika tahun lalu volume produksinya turun hampir 2%, pada 2005 diperkirakan berlanjut bahkan sampai 8% (Warta Ekonomi, 2005). Dari sisi penguasaan pasar,

Haryono, produksi pengguna cukai hanya diraih sebesar 95 juta batang sampai Juni 2006. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu turun sebesar 12% dari 108 miliar batang. Belakangan kinerja produksi industri rokok nasional memang kurang

selama 2004 rokok kretek jelas masih perkasa dengan merebut pangsa hampir 92%. Sisanya, dinikmati oleh rokok putih. Pada kelompok rokok kretek ini, pasar terbesar selama bertahun-tahun masih dikuasai oleh Gudang Garam dengan penguasaan pangsa 30,3%, atau setara 64,7 miliar batang. Peringkat kedua kini ditempati oleh Sampoerna, yang menggeser Djarum (39 miliar batang, atau setara 18,2%). Sementara jarak dengan peringkat ke-4, Bentoel, 14

menggembirakan. Meski tahun lalu volume produksi rokok kretek tumbuh 11,5%, dari 175,9 miliar batang ke 196,2 miliar batang, untuk 2005

diperkirakan bakal stagnan. Sementara itu, rokok putih nasibnya malah lebih buruk lagi, karena sejak 2002 volume

memang terlalu jauh. Saat ini Bentoel baru memproduksi 4,1 miliar batang, atau setara 1,9% (Warta Ekonomi, 2005). Industri rokok Indonesia

menempati peringkat ke-5. Akan tetapi, jika dilihat dari sisi peningkatan data

konsumsi

rokoknya,

menurut

World Health Organization (WHO), selama kurun waktu 1990-2001,

agaknya masih akan mengandalkan pasar domestik. Itu sebabnya, meski sejumlah produsen sudah melakukan ekspor, angkanya belum terlalu

Pakistan-lah yang menempati peringkat teratas dengan tingkat pertumbuhan 65%. Peringkat kedua ditempati oleh Turki, lalu Bulgaria, dan Indonesia di posisi keempat (Warta Ekonomi, 2005).

signifikan. Dalam kurun waktu delapan tahun terakhir, ekspor rokok terbesar terjadi pada 2004 dengan nilai

PERKEMBANGAN ROKOK Berdasarkan data

INDUSTRI

US$185,9 jutameski secara umum nilainya cenderung berfluktuasi.

Statistik

Penyebabnya, antara lain, kekhawatiran konsumen di negara-negara Eropa dan Amerika terhadap tingginya kandungan tar dan nikotin pada rokok kretek. Di pasar domestik, kekuatan industri

Industri Besar dan Sedang (BPS), pada tahun 1981 industri rokok hanya

dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek dengan kode 31420 dan industri rokok putih dengan kode 31430. Mulai tahun 1990, industri rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM), serta industri rokok lainnya (31440) yang terdiri dari rokok klembag menyan, rokok klobot, dan cerutu (Wibowo, 2003). Dilihat dari jumlah perusahaan secara total, pada periode tahun 19812002 industri rokok cukup dinamis. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan

tercermin dari sumbangannya terhadap target penerimaan cukai pemerintah, yang sejak 1997 hingga 2004 terus tumbuh secara signifikan. Tahun lalu kontribusi cukai rokok terhadap pos penerimaan di APBN mencapai Rp28,8 triliun, sementara menjadi gambaran, pada 2005 ini

ditargetkan Sekadar

Rp30 pada

triliun. 2004,

konsumen rokok terbesar di dunia masih Cina dengan 1.798 miliar batang, disusul oleh Rusia yang cuma 20%-nya, AS, Jepang, dan Indonesia yang

15

yang bergerak pada industri rokok kurun waktu tersebut telah mencapai 201 perusahaan. Tahun berikutnya mengalami

berkisar

244

sampai

dengan

247

perusahaan. Dari total industri rokok tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari industri rokok kretek (31420), sebesar 4,1 persen merupakan industri rokok putih (31430), dan sebesar 11,3 persen dari industri rokok lainnya (31440). Dilihat dari pertumbuhan, secara total industri rokok tumbuh rata-rata 3,2 persen per tahun. Perusahaan rokok kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64 persen per tahun, industri rokok putih (31430) tumbuh sebesar 1,01 persen per tahun, serta industri rokok lainnya (31440) tumbuh sebesar 1,98 per tahun (Wibowo, 2003).

jumlah

perusahaan

penurunan sampai dengan tahun 1990 yang merupakan pada titik terendah, dengan jumlah perusahaan sebanyak 170. Pada tahun 1990, industri rokok mulai bangkit kembali, dan terus

berkembang hingga sampai tahun 1995 dengan jumlah perusahaan mencapai 244 perusahaan. Tahun 1996, industri rokok kembali lesu, sehingga hanya 228 perusahaan. Setelah tahun 2000, industri rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang jumlahnya

16

Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. menurun, Daya tarif beli cukai

secara

total

mengalami

penurunan

(Sumarno, 2002). Perkembangan industri rokok di Indonesia mulai kurun waktu tahun 1981 sampai tahun 2002, secara ratarata berdasarkan jenis hasil tembakau (JHT) paling tinggi adalah Sigaret Kretek Mesin (SKM), dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 11,08 persen. Pertumbuhan tertinggi berikutnya

masyarakat

merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Tabel di bawah ini menunjukkan perkembangan industri rokok di

adalah Sigaret Putih Mesin (SPM), dengan pertumbuhan 6,70 persen,

diikuti oleh Sigaret Kretek Tangan (SKT) sebesar 4,19 persen, dan rokok Klobot (KLB) sebesar 3,04 persen. Rokok Klembak (KLM) secara ratarata, pertumbuhannya sebesar mengalami 2,39 persen 2003).

Indonesia dari tahun 1996 2001 yang terdiri dari rokok kretek, rokok putih, dan klobot/klembak. Pada tabel terlihat bahwa perkembangan produksi rokok mengalami kenaikan dari tahun 1996 hingga pada puncaknya pada tahun 1998. Pada tahun 1999 produksi rokok

penurunan (Wibowo,

Dilihat

dari total JHT,

produksi produksi

secara rokok

dengan total produksi sebanyak 269,85 miliar batang dengan nilai sebesar Rp. 22, 09 Triliun. Setelah tahun tersebut,

keseluruhan

mencapai puncaknya pada tahun 1998

17

total kemudian mengalami penurunan, tahun 1999 sebesar 254,17 miliar batang dengan nilai sebesar Rp. 30,32 Triliun. Walaupun secara produksi sampai tahun 2001 terus mengalami penurunan, tetapi secara nilai pada tahun 2001 masih

menunjukkan peningkatan dengan nilai sebesar Rp. 54,79 Triliun. Berdasarkan estimasi BPS, produksi rokok tahun 2002 sebesar 207,6 miliar batang, dengan nilai produksi sebesar Rp. 51,90 Triliun (Wibowo, 2003).

Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok per JHT

Tabel 3. Perkembangan Produksi Rokok per JHT

18

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Nilai Rokok

TENAGA KERJA DI INDUSTRI ROKOK Tenaga kerja industri rokok sebagian besar merupakan tenaga kerja industri rokok kretek yang terdiri dari SKM dan SKT. Dilihat dari penyerapan tenaga kerja, industri rokok kretek menyerap 96,45% dari total tenaga kerja industri rokok. Urutan kedua adalah industri rokok putih (31430) yang merupakan penghasil rokok putih

Dilihat penyerapan

dari tenaga

pertumbuhan kerja, secara

keseluruhan penyerapan tenaga kerja industri rokok tumbuh sebesar 2,69% per tahun. Untuk industri rokok kretek, rata-rata pertumbuhan tenaga kerja

sebesar 2,77% per tahun. Pada industri rokok putih rata-rata pertumbuhan

tenaga kerja sebesar -1,03% per tahun, dan industri rokok lainnya rata-rata sebesar 0,54% (Wibowo, 2003).

(SPM) sebesar 2,09%, dan industri rokok lainnya sebesar 1,46%. Gambar 4. Perkembangan Pekerja Industri Rokok

19

EKSPOR-IMPOR INDONESIA Produksi Indonesia tidak

ROKOK

DI

terbesar adalah pada tahun 2000. Ekspor rokok khususnya rokok kretek

rokok hanya

kretek

di

Indonesia sudah mencapai berbagai negara tujuan. Negara yang paling besar menjadi tujuan ekspor rokok kretek Indonesia adalah Malaysia dengan

menjadi

konsumsi masyarakat Indonesia saja, tetapi sudah diekspor ke mancanegara. Pada Tabel 4 dapat dilihat di

volume 5.041.217 kg dengan nilai US$ 61.184.464. dan beberapa negara di kawasan Asia, di antaranya adalah Thailand, (Sumarno, Kamboja dan Jordan 2002).

perkembangan

ekspor

rokok

Indonesia dari tahun 1996 2001 (sampai bulan Juni). Pada tahun 1997 volume ekspor rokok mencapai

puncaknya tetapi dalam US$ yang

Tabel 4. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia, 1996-2001

Gambar 5. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia

20 20

Bila

dibandingkan

dengan

ekspor,

terjadi pada tahun 2000 yang mencapai 562 ton dengan nilai sebesar US$ 1,7 juta (Sumarno, 2002).

volume impor rokok Indonesia relatif lebih kecil. Volume impor tertinggi

Tabel 5. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 2000.

Gambar 6. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 2000

FIVE

COMPETITIVE

FORCES

hasil dari tren sosial yang telah berjalan lama dan dipengaruhi oleh kekuatan

ANALYSIS Untuk menganalisis lima

kompetitif.

Lima

kekuatan

yang

kekuatan kompetitif digunakan buku dari Porter yaitu Competitive Strategy, buku dari Thompson et al. dan artikel dari Purdue University. Struktur

mempengaruhi struktur industri adalah: 1. Bargaining power of suppliers 2. Bargaining power of buyers 3. Threat of new entrants 4. Threat of substitutes 5. Rivalry among competitors Dalam gambar adalah sebagai berikut: 21

ekonomi suatu industri tidak datang begitu saja. Itu yang terjadi di industri rokok. Kompleksitas yang ada adalah

Gambar 7. Porters Five Competitive Forces


Pendatang baru Potensial Ancaman pendatang baru Daya tawar menawar pemasok Pemasok Persaingan diantara Perusahaan yang ada Para Pesaing Industri Pembeli Daya tawar menawar pembeli

Ancaman produk atau jasa substitusi

Produk Pengganti

Lima kekuatan tersebut menentukan potensi keuntungan didalam sebuah industri dengan mempengaruhi harga, biaya, dan investasi yang dibutuhkan dalam bisnis. Faktor penentu

domestik atau internasional, apakah menghasilkan barang atau jasa, aturan persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawarmenawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara

fundamental dari profitabilitas suatu perusahaan adalah daya tarik industri. Strategi bersaing harus mencerminkan pemahaman yang komprehensif

perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Kemampuan kolektif dari

mengenai rule of the game dari sebuah persaingan yang menentukan daya tarik industri. Tujuan akhir dari sebuah persaingan adalah menghadapi dan mengubah aturan main persaingan

kelima faktor persaingan ini akan menentukan kemampuan perusahaan dalam suatu industri untuk memperoleh, secara rata rata, tingkat pengembalian investasi yang melebihi biaya

sesuai dengan kepentingan perusahaan. Dalam industri manapun, apakah

modalnya. Kekuatan kolektif kelima faktor persaingan ini berbeda pada 22

masing masing industri, dan dapat berubah dengan berubahnya industri bersangkutan. Dalam studi empiris mengenai struktur industri, biasa digunakan dua indikator konsentrasi perusahaan, yaitu rasio konsentrasi dan (IHH). Indeks Rasio

konsentrasi menunjukkan perusahaan

perusahaan pangsa tersebut

tertentu penjualan total

terhadap

penjualan industri. Struktur industri rokok kretek diamati metode CR4, dengan CR8,

menggunakan

maupun indeks Herfindahl (Sumarno, 2002).

Herfindahl-Hirschman

Tabel 6. Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia

Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata konsentrasi industri rokok kretek di Indonesia adalah 77,56% untuk metode CR4 dan 88,15% untuk metode CR8. Dari hasil tersebut, industri rokok kretek di Indonesia dapat dikategorikan

terbesar dalam negeri memproduksi 164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri dari rokok kretek yang digulung dengan tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar batang, rokok kretek yang dihasilkan dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar batang dan rokok klobot 253 juta batang.

sebagai struktur oligopoli (Sumarno, 2002) dan dengan tingkat konsentrasi tinggi. Artinya 4 perusahaan menguasai 72% pangsa pasar rokok di Indonesia. Laporan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menunjukkan dominasi 4 perusahaan rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek

1. Kekuatan Pemasok Semua bisnis memerlukan input baik tenaga kerja, raw materials, dan jasa. Biaya input ini memiliki dampak yang signifikan terhadap keuntungan perusahaan. Pemasok cenderung ingin menjual dengan harga tertinggi. Jika kekuatan mereka lemah, perusahaan 23

dapat menegosiasi harga. Jika kekuatan pemasok kuat, perusahaan cenderung hanya dapat menerimanya. Pemasok memiliki kekuatan yang sangat kuat apabila barang yang mereka pasok hanya dapat didapatkan dari mereka, barang unik, perusahaan bukan

memiiki bargaining power yang tinggi terhadap industri rokok, karena tanpa cengkeh, mereka tidak bisa berproduksi. Oleh karena itu, akar penyebab gejolak harga cengkeh ialah perubahan

kebijakan tataniaga yang menimbulkan perubahan mendasar pada struktur pasar cengkeh. Pertama, pencabutan hak monopsonistik dan monopolistik Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) serta liberalisasi perdagangan cengkeh pada akhir tahun 1998 (kesepakatan dengan IMF). Kebijakan ini mendorong meningkatnya impor cengkeh Indonesia

termasuk pelanggan terbesar pemasok, pemasok dapat menjual langsung

barang ke konsumen perusahaan, sulit berpindah ke pemasok lain, dan

perusahaan tidak memiliki pemahaman penuh akan pasar pemasok (Ehmke, et al.). Untuk mengurangi kekuatan

dari sebelumnya tidak ada menjadi sekitar 20.000 ton/tahun atau sekitar 70 persen dari volume perdagangan dunia. Akibatnya harga dunia langsung

pemasok langkah-langkah yang dapat dilakukan partnership antara lain melakukan pemasok.

dengan

Kerjasama yang dapat dilakukan antara lain mengurangi biaya persediaan, yang

melonjak tajam dari US $ 0,99/kg tahun 1997 menjadi US $ 7,8/kg pada awal tahun 2002 sehingga harga cengkeh dalam negeri sempat mencapai Rp. 80.000/kg. Kedua, pembatasan

meningkatkan

nilai

barang

dipasok, dan meningkatkan kecepatan adopsi teknologi. Cara lain yang dapat dilakukan adalah bergabung dengan pembeli pemasok lain sehingga kepada membuat aliansi

importir cengkeh hanya oleh importir produsen dan importir terbatas

tunduk

(Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 528/ MPP/Kep/7/2003 tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari, kebijakan ini memberikan hak

pembeli. Selain itu bisa juga dengan melakukan backward integration. Bahan baku utama dari rokok adalah cengkeh. Bahan baku ini

oligopsonistik kepada pabrik rokok sehingga mampu mengendalikan harga cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya

sangatlah vital bagi industri rokok, sehingga para petani cengkeh harusnya

24

seperti BPPC pada periode tahun 1990 1998. Dengan rasional untuk meraih laba sebesar-besarnya, pabrik rokok menghentikan impor cengkeh yang menjadi hak eksklusifnya, sehingga harga cengkeh dunia anjlok dan

agen-agen jauh sebelum musim panen sehingga pedagang perantara tersingkir. Dengan begitu pabrikan rokok leluasa menekan harga cengkeh hingga tingkat minimal yakni hanya cukup menutup ongkos panen seperti yang terjadi saat ini. Harga cengkeh yang amat rendah selama dua tahun terakhir merupakan hasil dari praktek persaingan tidak sehat akibat praktek eksploitasi oleh pabrikan rokok. Akar masalahnya ialah kekuasan pabrikan rokok dikukuhkan melalui kebijakan pemerintah

bertahan sekitar US $ 1,8/kg, yang berarti sepadan dengan harga di tingkat petani Rp. 15.000/kg pada akhir-akhir ini. Dunia perdagangan komoditi

cengkeh mengalami kemelut. Di pasar domestik, pabrikan rokok melakukan pembelian langsung dari petani melalui

2. Kekuatan Pembeli Kekuatan mendeskripsikan terhadap efek pembeli konsumen perusahaan.

perusahaan tidak unik dan dapat dibeli dari pemasok lain, membuat produk itu pembeli dapat sendiri, dan

keuntungan

pembeli dapat berganti produk dengan mudah. Untuk mengurangi kekuatan pembeli, perusahaan harus

Pembeli memiliki kekuatan jika mereka pembeli besar dan membeli sebagian besar produksi perusahaan. Pembeli jika bergabung juga dapat memiliki

meningkatkan loyalitas pembeli. Dalam industri rokok daya tawar pembeli relatif kecil, hal tersebut

kekuatan yang besar. Pembeli juga memiliki kekuatan yang berbeda-beda tergantung ukuran. Pembeli akan

disebabkan karena: (1) konsumen rokok bukan merupakan pembeli yang akan melakukan pembelian dalam jumlah yang besar tetapi lebih cenderung merupakan pembelian secara individual, (2) nilai pembelian relatif kecil, (3) produk rokok merupakan produk yang langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir, bukan merupakan bahan baku

memiliki kekuatan lebih jika industri memiliki banyak perusahaan kecil yang memasok produk dan pembeli

berjumlah sedikit, produk perusahaan adalah pengeluaran besar bagi pembeli, pembeli dapat memiliki akses dan mengevaluasi informasi pasar, produk

25

untuk industri lainnya. Hal hal seperti kecilnya switching cost, ancaman

baru perusahaan, terutama perusahaan rokok, harus meningkatkan citra

pembeli untuk melakukan integrasi, sifat produk rokok yang standar dan kelengkapan informasi yang dimiliki oleh pembeli menjadi kurang relevan untuk menjadi faktor faktor yang mempengaruhi menawar pembeli. kekuatan tawar

perusahaan atau merek, menggunakan paten, dan menciptakan aliansi dengan produk-produk tertentu. Menentukan harga dan keuntungan secara wajar juga dapat mengurangi ancaman pendatang baru. Para pemain pemain lama yang meliputi Gudang Garam, Djarum,

3. Ancaman Pendatang Baru Kesuksesan suatu perusahaan pasti menarik pesaing baru untuk masuk ke industri tersebut. Menganalisis baru adalah

Sampoerna

dan

Bentoel

sudah

mempunyai share yang besar dengan skala produksi mencapai jutaan hingga miliaran batang per tahun. Dengan kapasitas produksi yang besar serta pencapaian sebuah learning curve

ancaman

pendatang

memeriksa hambatan masuk dan reaksi yang diharapkan dari perusahaan lama terhadap kompetitor baru. Hambatan masuk antara lain biaya dan aspek hukum untuk memasuki suatu industri. Faktor-faktor yang mempengaruhi

masing masing perusahaan sudah mencapai economics of scale dengan kapasitasnya masing masing. Dengan demikian sulit bagi para pendatang baru untuk mengancam empat perusahaan besar industri rokok di Indonesia saat ini. Hal ini diperkuat dengan tingkat loyalitas pembeli yang cukup kuat pada rokok merek tertentu.

ancaman pendatang baru antara lain proses industri atau tidak paten, dilindungi pembeli

pemerintah

memiliki loyalitas yang rendah, biaya mendirikan perusahaan baru sangat rendah, produk yang ada tidak unik, biaya berpindah rendah, proses produksi mudah dipelajari, akses ke input mudah, akses ke konsumen mudah, dan

4. Ancaman Produk Substitusi Produk industri tertentu dapat digantikan produk dari industri lain. Substitusi dapat datang dari berbagai perusahaan. Misalnya permen dapat menggantikan rokok. Faktor-faktor

economies of scale yang minimal. Untuk mengurangi ancaman pendatang

26

yang mempengaruhi ancaman produk substitusi antara lain produk perusahaan tidak memberikan manfaat yang nyata dibandingkan produk lain, mudah bagi konsumen untuk berpindah, dan

bisnis yang seolah olah sangat jauh terpisah dari industrinya.

5. Rivalitas antar Pesaing yang Ada Persaingan bisa jadi adalah

loyalitas yang rendah dari konsumen. Untuk mengurangi ancaman produk substitusi produsen dapat meningkatkan hubungan dengan konsumen dan

kekuatan terkuat dari lima kekuatan kompetitif Porter tetapi hal ini juga melihat struktur industri yang ada. Jika persaingan lemah maka perusahaan dapat dengan mudah meningkatkan harga dan mendapatkan lebih banyak profit. Jika kompetisi cukup intens maka perusahaan perlu untuk

mengetahui keinginan konsumen. Salah satu cara yang ditempuh oleh para produsen rokok adalah dengan beriklan. Diferensiasi juga dapat ditempuh.

Hingga saat ini dalam industri rokok, belum ditemukan produk dari industri lain yang mempunyai karakteristik

meningkatkan kualitas produk untuk menjaga konsumen yang telah mereka miliki. Persaingan terjadi dikarenakan sebuah perusahaan berusaha menjadi pemimpin pasar, pertumbuhan pasar cukup lambat, tingginya biaya tetap produksi, produk mudah rusak dan harus segera laku, produk tidak unik atau homogen, konsumen dapat mudah berpindah, dan tingginya biaya untuk keluar dari industri. perusahaan beberapa adalah Untuk dapat taktik.

produk dan fungsi produk yang bisa mensubstitusikan rokok. Kalaupun

produk rokok tradisonal serta cerutu dimasukkan sebagai produk substitusi, keberadaannya tidak begitu

mempengaruhi sebuah industri rokok. Produk rokok karakteristiknya cukup unik, sehingga peluang muncul produk substitusi cukup terbatas. Mengenali produk produk substitusi adalah persoalan mencari produk lain yang dapat menjalankan fungsi yang sama seperti produk dalam industri. hal ini

menguranginya menggunakan Diantaranya

memberikan

diferensiasi pada produk dan atau fokus pada satu segmen konsumen tertentu. Untuk industri rokok pangsa pasar masing dikuasai oleh Gudang Garam, disusul oleh HM Sampoerna, Djarum

Kadangkala

melakukan

merupakan hal yang pelik, dan tugas yang membawa analis kepada bisnis

27

dan Bentoel, baru disusul oleh produk produk rokok lainnya. Pangsa pasar rokok putih terlihat masih relatif kecil dibandingkan rokok kretek. Ketiadaan switching persaingan cost tidak kemudian menyebabkan menjadi

Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Universitas Gadjah Mada, 2002. Warta Ekonomi. Edisi April 2005. Wibowo, Tri. Potret Industri Rokok di Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2., 2003.

meningkat, karena faktor cita rasa dan selera masih menjadi faktor utama mengkonsumsi rokok. Pertumbuhan

industri memang lambat, karena citra rokok sebagai produk terlarang untuk dikonsumsi. Banyak peraturan

peraturan pemerintah atau dunia yang menghambat perkembangan industri

rokok. Tetapi hal ini ternyata tidak kemudian untuk karena menyurutkan masyarakat rokok. Oleh

mengkonsumsi itu tidak menjadi

menyebabkan tajam untuk yang

persaingan

memperebutkan pangsa pasar

semakin sedikit atau sangat terbatas hingga mendorong untuk melakukan perang harga.

DAFTAR PUSTAKA Emhke, et al. Industry Analysis: The Five Forces. PURDUE

University. Sumarno, S.B., dan Mudradjad

Kuncoro. Struktur, Kinerja, dan Kluster Industri Rokok Kretek: Indonesia, 1996 1999. Jurnal

28

Você também pode gostar