Você está na página 1de 25

I.

PENDAHULUAN Obat penghilang rasa nyeri (Analgetik) merupakan obat yang diresepkan

untuk mengurangi atau menekan rasa sakit. Obat analgesik antipiretik serta obat anti inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. WAlaupun demikian obat obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping (Freddy dan Sulistia, 2007). Nyeri merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan penderita sehingga untuk mengurangi diperlukan analgetika.Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi memberi tanda tentang adanya gangguan gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsangan mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantar). .(Tjay, 2002). Obat penghilang rasa nyeri (Analgetik) ialah obat yang digunakan untuk mengurangi atau menekan rasa sakit misalnya sakit kepala, otot, perut, gigi dan lainnya. Atas dasar kerja farmakologinya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni : 1. Analgetika Perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang ternasuk kelompok ini. 2. analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker.(Tjay, 2002) Nyeri merupakan suatu perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, tidak berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit ( kepala ) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri.(Tjay, 2002) Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. .(Tjay, 2002)

II.

Tujuan Percobaan 1. Untuk mengetahui efek morfin terhadap nilai ambang nyeri yang disebabkan oleh asam asetat 3 % 2. Untuk mengetahui efek antalgin terhadap nilai ambang nyeri yang disebabkan oleh asam asetat 3 % 3. Untuk membandingkan efek morfin dan antalgin dalam menahan rasa sakit yang disebabkan oleh asam asetat dan reaksi nyeri yang disebabkan oleh Infra merah.

III.

Prinsip Percobaan Membandingkan efek analgetik dari antalgin dan morpin dengan

pemberian dosis yang berbeda serta mengetahui efek analgesia pada nilai ambang sakit yang disebabkan senyawa kimia (asam asetat) dan nyeri yang di sebabkan oleh Infra red sebagai stimulus nyeri sentral.

IV.

TINJAUAN PUSTAKA Impuls eksogen diterima oleh sel-sel penerima (reseptor) untuk kemudian

diteruskan ke otak atau sumsum tulang belakang. Rangsangan dapat berupa perangsang (stimuli) nyeri, suhu , perasaan, penglihatan, pendengaran dan lainlain. Impuls syaraf yang berhubungan dengan pusat nyeri di otak, pusat tidur di hipotalamus dan kapasitas mental, yang menjadi fungsi kulit otak (cortex). (Tjay, 2007). Kesadaran akan perasaan sakit terbentuk dari dua proses, yakni penerimaan perangsang nyeri di otak besar dan reaksi emosional dari individu terhadapnya. Analgetika memengaruhi proses pertama dengan jalan meningkatkan ambang-kesadaran akan perasaan sakit, sedangakan narkotika menekan reaksi psikis yang diakibatkan oleh perangsang nyeri itu (Tjay, 2007).. Analgetika atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan anestetika umum) (Tjay, 2007). Nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tidak nyaman, berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. keadaan psikis sangat mempengaruhi nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. nyeri merupakan suatu perasaan seubjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45C (Tjay, 2007). Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay, 2007). Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala yang berfungsi melindungi tubuh. Nyeri harus dianggap sebagai isyarat bahaya tentang adanya ganguan di jaringan, seperti peradangan, infeksi jasad renik, atau kejang

otot. Nyeri yang disebabkan oleh rangsangan mekanis, kimiawi atau fisis dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan. Rangsangan tersebut memicu pelepasan zat-zat tertentu yang disebut mediator nyeri. Antara lain histamine, bradikinin, leukotrin dan prostaglandin(Tjay, 2007). Prostaglandin merupakan hormone local yang disintesis diberbagai organ dan bekerja ditempat itu juga. Prostaglandin dilepaskan ke peredaran darah dengan cepat saat terjadi kerusakan jaringan. Prostaglandin terlibat pada terjadinya nyeri yang berlangsung lama, proses peradangan dan timbulnya demam (Puspita,2003). Nyeri pertama dihantarkan oleh serabut nyeri jenis A delta yaitu serabut saraf dengan pembungkus lapisan bermielin, garis tengah 2-5m. Serabut nyeri jenis A delta ini menghantarknan isyarat nyeri lebih cepat dari saraf perifer ke medulla spinalis karena terjadi penghantaran rangsang secara saltatoris (gaya melompat) yaitu dari satu nodus Ranvier ke nodus lai, antar naodus-nodus ini dilewati oleh garis aliran listrik dan dengan penghantaran saltatoris ini dimungkinkan suatu laju penghantaran yang lebih cepat sampai dengan 120m/det (Puspita, 2003). Nyeri visceral merupakan nyeri yang berasal dari otot dan jaringan ikat organ-organ dalam, berlangsung lama dengan pembebasan prostaglandin. Salah satu nyeri dalam yang paling sering terjadi adalah nyeri abdomen yang terjadi pada tegangan abdomen, kejang otot polos dalam abdomen, aliran darah ke abdomen kurang dan penyakit yang disertai radang (Puspita,2003). Mediator nyeri itu merangsang reseptor nyeri (Nociceptor) di ujung-ujung saraf bebas di kulit, yang mengaktivasi reseptor nyeri di ujung saraf bebas di kulit, mukosa dan jaringan lain dan demikian menimbulkan antara lain dapat mengakibatkan reaksi radang dan kejang-kejang. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari sini rangsangan di salurkan ke otak melalui jaringan lebat dari tajuk-tajuk neuron dengan amat benyak sinaps via sumsumtulang belakang, sumsum lanjutan, dan otak tengah. Dari thalamus impuls kemudian diteruskan ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2007).

Mediator nyeri kini juga disebut autacoida dan terdiri dari antara lain histamin, serotonin, bradykinin, leukotrien, dan prostatglandin. Bradykinin adalah polipeptida yang dibentuk dari protei plasma. Prostatglandin mirip strukturnya dengan asam lemak dan terbentuk dari asam arachidonat. Menurut perkiraan, zatzat ini menigktkan kepekaan ujung saraf sensoris bagi rangsangan nyeri yang diakibatkan oleh mediator lainnya. Zat-zat ini, dan jiga bradykinin, berkhasiat vasodilatasi kuat dan memperbesar permeabilitas kapiler yang mengakibatkan radang dan udema. Berhubung kerjanya dan inaktivasinya pesat dan bersifat lokal, maka juga dinamakan hormon lokal (Tjay, 2007). Sensasi nyeri, tak perduli apa penyebabnya, terdiri dari masukan isyarat bahaya ditambah reaksi organisme ini terhadap stimulus. Sifat analgesik opiat berhubungan dengan kesanggupannya merubah persepsi nyeri dan reaksi pasien terhadap nyeri. Penelitian klinik dan percobaan menunjukkan bahwa analgesik narkotika dapat meningkatkan secara efektif ambang rangsang bagi nyeri tetapi efeknya atas komponen reaktif hanya dapat diduga dari efek subjektif pasien. Bila ada analgesia efektif, nyeri mungkin masih terlihat atau dapat diterima oleh pasien, tetapi nyeri yang sangat parah pun tidak lagi merupakan masukan sensorik destruktif atau yang satu-satunya dirasakan saat itu (Howard,dkk.1986). Atas dasar kerja farmakologisnya, analgetika dibagi dalam dua kelompok besar, yakni : a. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Analgetika antiradang termasuk kelompok ini b. Analgetika narkotik khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker (Tjay, 2007).

Secara kimiawi analgetika perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni : a. Parasetamol b. Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat c. Penghambat prostaglandin (NSAIDs) : ibuprofen, dll d. Derivat-antranilat : mefenaminat, glafenin

e. Derivat-pirazolon : propifenazon, isopropilaminofenazon, dan metamizol f. lainnya : benzidamin (Tantum) (Tjay, 2007).

Analgetik narkotik, kini disebut juga opioida (=mirip opioat) adalah obatobat yang daya kerjanya meniru opioid endogen dengan memperpanjang aktivasi dari reseptor-reseptor opioid (biasanya -reseptor) (Tjay, 2007). Efek utama analgesik opioid dengan afinitas untuk resetor terjadi pada susunan saraf pusat; yang lebih penting meliputi analgesia, euforia, sedasi, dan depresi pernapasan. Dengan penggunaan berulang, timbul toleransi tingkat tinggi bagi semua efek (Howard,dkk.2002). Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat ini dapat menimbulkan analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Hedi, 2007). Reseptor opioid, ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan kappa. Ketiga jenis reseptor termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan memiliki sub tipe mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1, kappa2, dan kappa3 karena suatu opioid dapat berfungsi dengan potensi yang berbeda sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau antogonis pada lebih dari satu jenis reseptor maka senyawa yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam (Hedi, 2007). Berdasarkan perbedaan pada afinitas opioid yang dikenal dengan terjadinya ikatan pada preparat reseptor, antara lain : Reseptor : analgesia supraspinal (-endorfin ) Reseptor : analgesia spinal (dinorfin) Reseptor : disfori (-endorfin ). (Schmitz,2008)

Reseptor memperantarai efek analgetik mirip morpin, euforia, depresi napas, miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor diduga memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan depresi napas yang tidak sekuat agonis . Selain itu di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor (epsilon) yang sangat selektif terhadap beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkefalin (Hedi, 2007). Klasifikasi obat golongan opioid. Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi: a. Agonis penuh (kuat), b. Agonis parsial (agonis sampai sedang),

c. Campuran agonis dan antagonis, d. Antagonis Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dri ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek agonis pada subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya. Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat fenantren,

fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan (Hedi, 2007). Titik tangkap analgesic opioid yang terutama bekerja sentral atau peptide opioid adalah system saraf pusat yaitu system penghambat nyeri endogen, yana terutama terlokalisir dibatang otak dan sumsum tulang belakang. Ditempat tersebut terdapat reseptor opiate atau reseptor enkefalonergik,tempat endogen penghambat nyeri yang berikatan(Schmitz,2008). Obat obat golongan analgetik non opioid disebut juga analgetika perifer karena tidak mempengaruhi Susunan saraf Pusat (SSP), tidak menurunkan kesadaran, tidak menyebabkan ketagihan (Tjay, 2007).

Disamping berkhasiat analgetik juga berkhasiat antipiretik sehingga disebut analgetik-antipiretik Non Steroid. Dan golongan ini dapat juga obat-obat yang berkhasiat anti-inflamasi atau antiradang ada yang golongan steroid dan non-steroid. Karena obat golongan ini termasuk golongan non-steriod sehingga disebut Analgetika Anti-Inflamasi Nonsteroid (AINS) (Tjay, 2007). Obat analgesik-antipiretik serta obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) lainnya merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa diantaranya sangat berbeda secara kimia. Obat-obat ini mempunyai persamaan dalam efek terapi dan efek samping (Tjay, 2007). Pengujian aktivitas analgetik dilakukan dengan dua metode yaitu induksi nyeri cara kimiawi dan induksi nyeri cara termik. Daya kerja analgetik dinilai pada hewan dengan mengukur besarnya peningkatan stimulus nyeri yang harus diberikan sampai ada respon nyeri atau jangka waktu ketahanan hewan terhadap stimulus nyeri. Rasa nyeri setelah induksi nyeri cara kimiawi pada hewan uji ditunjukkan dalam bentuk gerakan geliat, frekuensi gerakan ini dalam waktu tertentu menyatakan derajat nyeri yang dirasakannya,sedangkan rasa nyeri setelah induksi nyeri cara termik pada hewan uji ditunjukkan dengan menjilat kaki belakang atau atau meloncat di atas hot plate (Puspita,2003). Morphin Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah dikeringkan. Alkaloid asal secara kimia dibagi dalam dua golongan: (1) golongan fenantren, misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin. Dari alkaloid derivat fenantren yang alamiah telah dibuat berbagai derivat semisintetik(Hedi, 2007). R1-O pada morfin berupa gugus OH, yang bersifat fenolik, sehingga disebut sebagai OH fenolik, sedangkan OH pada R2-O bersifat sebagai OH alkoholik. Atom hidrogen pada kedua gugus itu dapat diganti oleh berbagai gugus membentuk berbagai alkaloid opium(Hedi, 2007). Efek farmakologik masing-masing derivat secara kualitatif sama tetapi berbeda secara kuantitatif dengan morphin. Gugus OH fenolik bebas berhubungan

dengan efek analgetik, hipnotik, depresi napas dan obstipasi. Gugus OH alkoholik bebas merupakan lawan efek gugus OH bebas disertai efek konvulsif dan efek emetik yang tidak begitu kuat. Substitusi H mengakibatkan berkurangnya efek analgetik, efek depresi napas dan efek spasmodik terhadap usus, sebaliknya terjadi penambahan efek stimulasi SSP. Substitusi pada H-2 mengakibatkan

bertambahnya efek opioid dan efek depresi napas (Hedi, 2007). Pengaruh Sistem Organ terhadap Morphine dan Penggunaannya. Aksi kerja berikut ini adalah untuk morphine, prototipe agonis opioid, juga observasi pada semua agonis yang lain. Agen dengan agonis parsial atau efek-efek reseptor campuran ketika diberikan pada seseorang pasien yang lama tidak menerima agen agonis, juga menghasilkan analgesik tapi efeknya sedikit bervariasi. 1. Efek sistem saraf pusat. Efek utama dari analgesik opioid terhadap afinitas untuk reseptor mu pada sistem saraf pusat; diantaranya yang penting adalah analgesi, euforia, sedasi dan depresan napas. a. Analgesi, rasa nyeri yang terdiri atas komponen sensorik maupun komponen afektif (emosional). Opioid dapat mengubah kedua aspek dari pengalaman rasa nyeri. Dalam banyak kasus obat-obat ini mempunyai efek yang relatif besar pada komponen-komponen afektif. b. Euforia, setelah mengkonsumsi satu dosis morphine, seorang pasien tipikal yang menderita nyeri atau seseorang pecandu mengalami sensasi terbang (mengapung) menyenangkan dan terbebas dari kegelisahan dan tekanan. Tetapi pasien-pasien lain dan beberapa penderita yang normal (tidak mengalami nyeri) mengalami efek disforia dan bahkan efek-efek menyenangkan setelah menggunakan suatu dosis analgesik opioid. Disforia adalah suatu keadaan yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan kegelisahan dan suatu perasaan tidak nyaman pada tubuh. Secara umum, jika terdapat suatu indikasi medis pemberian analgesik opioid, rspons afektif yang paling umu adalah euforia. c. Sedasi, perasaan kantuk dan pengaburan ingatan (mentasi) merupakan hal yan bersamaan terjadi pada kerja opioid. Terdapat sedikit amnesia atau tidak sama sekali. Manula lebih sering mengkonsumsi obat-obat opioid untuk menginduksi

tidur daripada orang muda yang sehat. Biasanya pasien akan lebih mudah terbangun dari tidur seperti ini. Meskipun demikian, kombinasi morphine dengan obat-obat depresan sentral lainnya seperti sedatif-hipnotika dapat menimbulkan tidur yang sangat puas. d. Depresi napas, semua jenis analgesik opioid dapat menimbulkan depresi napas yang serius dengan menghambat mekanisme pernapasan batang otak. PCO2 alveoler akan meningkat, tetapi indikator yang paling tepat dari depresi ini adalah depresi terhadap pertukaran karbondioksida. Depresi napas ini tergantung pada dosis dan dipengaruhi oleh tingkat masukan sensorik yang terjadi saat ini. e. Penekan batuk, dapat menekan reflek batuk merupakan khasiat utama opioid. Codeine, khusunya telah digunakan untuk menolong penderita batuk patologis dan pada pasien yang harus tetap dijaga pertukaran udara lewat suatu lubang endotrakeal. f. Miosis, kontraksi pupil dapat terlihat secara nyata dengan semua agonis opioid. Miosis juga merupakan juga kerja farmakologis dimana hanya sedikit atau tanpa toleransi yang berkembang, sehingga untuk itu sangat berguna dalam mendiagnosis overdosis opioid (Howard,dkk.2002). ANTALGIN Antalgin adalah salah satu obat penghilang rasa sakit (analgetik) turunan NSAID, atau Non-Steroidal Anti Inflammatory Drugs. Umumnya, obat-obatan analgetik adalah golongan obat antiinflamasi (antipembengkakan), dan beberapa jenis obat golongan ini memiliki pula sifat antipiretik (penurun panas), sehingga dikategorikan sebagai analgetik-antipiretik. Golongan analgetik-antipiretik adalah golongan analgetik ringan. Contoh obat yang berada di golongan ini adalah parasetamol. Tetapi Antalgin lebih banyak sifat analgetiknya. (Anonim 4, 2009) Umumnya, cara kerja analgetik-antipiretik adalah dengan menghambat sintesa neurotransmitter terentu yang dapat menimbulkan rasa nyeri & demam. Dengan blokade sintesa neurotransmitter tersebut, maka otak tidak lagi

mendapatkan menghilang.

"sinyal"

nyeri,

sehingga

rasa

nyerinya

berangsur-angsur

Gangguan Pada Membran Sel

Fospolipid

Trauma / Luka pada sel

Dihambat kortikosteroid

Enzim Fosfolipase

Asam Arakidonat

Enzim lipoksigenase

Enzim siklooksigenase

Dihambat Obat AINS Hidroperoksid Endoperoksid

Leukotilen

prostasiklin PGE2, PGF2, PGD2 Tromboksan A2

Biosintesis Prostaglandin

V.

METODE PERCOBAAN V. 1 ALAT a. Timbangan elektrik b. Spuit 1 ml c. Oral sonde d. Stopwatch e. Plantar test V. 2 BAHAN a. b. c. d. Aquadest Asam asetat 3% Antalgin konsentrasi2 % Morfin SO4 konsentrasi 0,1%

V. 3 HEWAN PERCOBAAN Mencit 3 ekor V. 4 PEMBUATAN LARUTAN OBAT a. Morfin SO4 Kosentrasi 0,1% Ditimbang morfin 0,25 gram Dilarutkan dengan akuades dalam labu tentukur 25 mL b. Antalgin Kosentrasi 2% Ditimbang antalgin 0,250 gram Dilarutkan dengan akuades dalam labu tentukur 50 mL c. Asam asetat 3% Dipipet 10 mL asam asetat Dilarutkan dalam 15% akuades dalam labu tentukur 50 mL V. 5 PROSEDUR KERJA a. Metode Asam asetat
1. Hewan ditimbang dan ditandai. 2. Dihitung dosis dengan pemberian :

Mencit 1 : Kontrol aquadest dosis 1 % BB (i.p)

Mencit 2 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 10 mg/kg BB (i.p) Mencit 3 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB (i.p) Mencit 4 : Antalgin [ ] 2 % dosis 300 mg/kg BB (i.p) Mencit 5 : Antalgin [ ] 2 % dosis 400 mg/kg BB (i.p) 3. Setelah 30 menit, masing-masing mencit disuntikkan asam asetat 3 % dengan dosis 1 % BB secara i.p. 4. Diamati dan dihitung geliat mencit selang waktu 10 menit sampai 90 menit. 5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu. b. Metode Plat Panas Infa Red (IR) 1. Hewan ditimbang dan ditandai. 2. Dihitung dosis dengan pemberian : Mencit 1 : Kontrol aquadest dosis 1 % BB (i.p) Mencit 2 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 10 mg/kg BB (i.p) Mencit 3 : Morfin SO4 [ ] 0,1 % dosis 15 mg/kg BB (i.p) Mencit 4 : Antalgin [ ] 2 % dosis 300 mg/kg BB (i.p) Mencit 5 : Antalgin [ ] 2 % dosis 400 mg/kg BB (i.p) 3. Hewan diletakkan ke dalam kotak, kemudiaan arahkan panas IR tepat ke telapak kaki hewan 4. Diamati dan dihitung geliat mencit selang waktu 10 menit sampai 90 menit. 5. Dibuat grafik jumlah geliat vs waktu. c. PERHITUNGAN DOSIS Dosis mencit I Berat mencit : 26,9 gr, 32,5 gr, 16 gr Dosis : Kontrol aquadest 1 % BB (i.p) Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01 ml) 1. Jumlah larutan obat = 1 / 100 x 26,9 gr = 0,269 ml Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,269ml / 0,01 ml =26,9 skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 26,9 gr = 0,269 ml 2. Jumlah larutan obat =1/100 x 32,5 gr = 0,325 ml Jumlah obat yang disuntikan : = 0,325/0,01 ml = 32,5 skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 32,5 gr = 0,325 ml 3. Jumlah larutan obat =1/100 x 16 gr = 0,16 ml Jumlah obat yang di suntikan : = 0,16/0,01 ml = 16 ml Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 16 gr = 0,16 ml Dosis mencit II Berat mencit : 18,9 gr, 25,8 gr, 24,9 gr, 28,2 gr Dosis : Morphin SO4 0,1 % dosis 10 mg/Kg BB secara i.p Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01ml) 1. Jumlah obat yang diberikan : =

10 mg / KgBB x18,9 gr 0,189 mg 0,000189 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml

= 0,000189 x 100/0,1 =0,189 ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,189 ml / 0,01 ml = 18,9 skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 18,9 gr = 0,189 ml 2. Jumlah obat yang diberikan : =

10 mg / KgBB x 25,8 gr 0,258 mg 0,000258 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml = 0,000258 x 100/0,1 =0,258 ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,258 ml / 0,01 ml = 25,8 skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 25,8 gr = 0,258 ml 3. Jumlah obat yang diberikan : =

10 mg / KgBB x 24 ,9 gr 0,249 mg 0,000249 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml = 0,000249 x 100/0,1 =0,249 ml Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,249 ml / 0,01 ml = 24,9 skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 24,9 gr = 0,249 ml 4. Jumlah obat yang diberikan : =

10 mg / KgBB x 28,2 gr 0,282 mg 0,000282 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml = 0,000282 x 100/0,1 =0,282ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,282 ml / 0,01 ml = 28,2skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 28,2 gr = 0,282ml Dosis mencit III Berat mencit : 28,3gr, 26,5 gr, 21,6 gr Dosis : Morphin SO4 0,01% 15 mg / kg BB secara i.p Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01 ml) Jumlah obat yang diberikan : 1. Jumlah obat yang diberikan : =

15 mg / KgBB x 28,3gr 0,4245 mg 0,0004245 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml

= 0,0004245 x 100/0,1 =0,4245ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,4245 ml / 0,01 ml = 42,45skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 28,3 gr = 0,283 ml 2. Jumlah obat yang diberikan : =

15 mg / KgBB x 26 ,5 gr 0,3975 mg 0,0003975 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml = 0,0003975 x 100/0,1 =0,3975ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,3975 ml / 0,01 ml = 39,75skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 26,5 gr = 0,265 ml 3. Jumlah obat yang diberikan : =

15 mg / KgBB x 21,6 gr 0,324 mg 0,000324 gr 1000 g

Konsentrasi obat 0,1% = 0,1gr/100 ml = 0,000324 x 100/0,1 =0,324ml Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,324 ml / 0,01 ml = 32,4skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 21,6 gr = 0,216 ml Dosis mencit IV Berat mencit : 21,2 gr, 26,0 gr, 28,3 gr 31,2 gr Dosis : Antalgin 2%, 300 mg / kg BB secara i.p Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100= 0,01 ml) Jumlah obat yang diberikan : 1. Jumlah obat yang diberikan : =

300 mg / KgBB x 21,6 gr 6,36 mg 0,00636 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml = 0,00636 x 100/2 =0,318ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,318 ml / 0,01 ml = 31,8skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 21,6 gr = 0,216 ml 2. Jumlah obat yang diberikan : =

300 mg / KgBB x 26 ,0 gr 7,8mg 0,0078 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml

= 0,0078x 100/2 =0,39ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,39 ml / 0,01 ml = 39skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 26 gr = 0,26 ml 3. Jumlah obat yang diberikan : =

300 mg / KgBB x 28,3gr 8,49 mg 0,00849 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml = 0,00849 x 100/2 = 0,4245ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,4245 ml / 0,01 ml = 42,45skala Asam asetat 3%

Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 28,3 gr = 0,283 ml 4. Jumlah obat yang diberikan : =

300 mg / KgBB x 31,2 gr 9,36 mg 0,00936 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml = 0,00936 x 100/2 = 0,468ml Jumlah obat yang disuntikkan :

= 0,468 ml / 0,01 ml = 46,8skala Dosis mencit V Berat mencit : 29,4 gr, 33,6 gr, 18,2 gr Dosis : Antalgin 2%, 400 mg / kg BB secara i.p Syringe : 100 skala (1 skala = 1 / 100 = 0,01 ml) Jumlah obat yang diberikan : 1. Jumlah obat yang diberikan : =

400 mg / KgBB x 29 ,4 gr 11,76 mg 0,01176 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml = 0,01176 x 100/2 = 0,588ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,588 ml / 0,01 ml = 58,8skala Asam asetat 3% Volume Asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 29,4gr = 0,294 ml 2. Jumlah obat yang diberikan : =

400 mg / KgBB x 33,6 gr 13,44 mg 0,01344 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml = 0,01344 x 100/2 = 0,672ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,672 ml / 0,01 ml = 67,2skala

Asam asetat 3% Volume Asam Asetat yang disuntikan (ml) =1% x33,6 gr = 0,336 ml

3. Jumlah obat yang diberikan : =

400 mg / KgBB x 18,2 gr 7,28 mg 0,00728 gr 1000 g

Konsentrasi obat 2% = 2gr/100 ml = 0,00728x 100/2 = 0,364ml Jumlah obat yang disuntikkan : = 0,364 ml / 0,01 ml = 36,4skala Asam asetat 3% Volume asam asetat yang disuntikan (ml) = 1% x 18,2 gr = 0,182 ml

VI.

HASIL dan PEMBAHASAN

1. HASIL Terlampir 2. PEMBAHASAN Analgetika adalah obat atau senyawa yang dipergunakan untuk mengurangi atau menghalau rasa sakit atau nyeri. Tujuan dari percobaan kali ini adalah mengenal, mempraktekkan, dan membandingkan daya analgetika dari obat Morfin sulfat dan antalgin menggunakan metode rangsang kimia. Percobaan ini dilakukan terhadap hewan percobaan, yaitu mencit (Mus muscullus). Metode rangsang kimia digunakan berdasar atas rangsang nyeri yang ditimbulkan oleh zat-zat kimia yang digunakan untuk penetapan daya analgetika. Percobaan menggunakan metode Witkins yang ditujukan untuk melihat respon mencit terhadap asam asetat yang dapat menimbulkan respon menggeliat dari mencit ketika menahan nyeri pada perut. Langkah pertama yang dilakukan adalah pemberian obat-obat analgetik pada tiap mencit. Setelah 5 menit I, mencit II, dan III, disuntik secara intraperitoneal dengan larutan induksi asam asetat 3 %. Pemberian dilakukan secara intraperitoneal karena untuk menncegah penguraian asam asetat saat melewati jaringan fisiologik pada organ tertentu. Dan laruran asam asetat dikhawatirkan dapat merusak jaringan tubuh jika diberikan melalui rute lain, misalnya per oral, karena sifat kerongkongan cenderung bersifat tidak tahan terhadap pengaruh asam. Larutan asam asetat diberikan setelah 30 menit karena diketahui bahwa obat yang telah diberikan sebelumnya sudah mengalami fase absorbsi untuk meredakan rasa nyeri. Selama beberapa menit kemudian, setelah diberi larutan asam asetat 3 % mencit menggeliat dengan ditandai perut kejang dan kaki ditarik ke belakang. Jumlah geliat mencit dihitung setiap 5 menit. Pengamatan yang dilakukan agak rumit karena praktikan sulit membedakan antara geliatan yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari obat atau karena mencit merasa kesakitan akibat penyuntikan

intraperitoneal pada perut mencit.

Obat analgetik yang memiliki daya analgetik dari grafik yang tidak terlalu tinggi adalah morfin sulfat, Sedangkan analgetik yang

menunjukkan aktivitas paling tinggi adalah Antalgin. Dari hasil percobaan yang dilakukan juga terlihat perbedaan jelas antara pemberian Antalgin dengan Morphin SO4. Pemberian Antalgin pada dosis 300 mg/Kg BB jumlah geliatnya lebih banyak dibandingkan pemberian Morfin pada dosis 10 mg/Kg BB. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada, kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : Penggunaan spuit yang terlalu besar, tidak cocok dengan ukuran penyuntikan mencit. Kurang mengamati reaksi yang ditimbulkan mencit setelah pemberian obat, misalnya gerak geliat dari mencit.

Mencit yang diberikan morfin dan antalgin menunjukkan reaksi yang jauh berbeda, di mana hilangnya nyeri lebih cepat dirasakan oleh mencit yang diberikan morfin daripada yang diberikan antalgin. Hal ini disebabkan karena morfin merupakan obat analgetik yang bekerja langsung pada susunan saraf pusat dengan mengubah efek nyeri pada susunan saraf pusat, sehingga penderita tidak lagi merasakan sakit ataupun nyeri. Sedangkan antalgin merupakan obat analgetik non opioid yang bekerja dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase yang merupakan pemacu terlepasnya mediator nyeri, sehingga rasa nyeri berkurang karena pelepasan mediator nyeri telah dihambat. Namun, karena kerjanya pada perifer, maka efek terapinya lebih lama dibandingkan dengan analgetik opioid(Zunilda dan Elysabeth, 2007).

VII. KESIMPULAN dan SARAN VII. I Kesimpulan Efek pada nilai ambang sakit yang disebabkan oleh asam asetat pada mencit dapat ditandai dengan timbulnya respon geliat pada mencit tersebut. Pemberian antalgin dapat menghilangkan rasa nyeri tanpa mempengaruhi SSP ditandai dengan peningkatan jumlah geliat. Pemberian morfin dapat mengurangi rasa nyeri dengan kerja terhadap reseptor opioid khas di SSP, ditandai dengan jumlah geliat yang sedikit VII. 2 Saran

VIII.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara, Sulistia G (Ed), 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi IV. Balai Penerbit Falkultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. Katzung, Bertram G., 1986, Farmakologi Dasar dan Klinik, Salemba Medika, Jakarta. Tjay,Tan Hoan dan K. Rahardja, 2007, Obat-obat Penting, PT Gramedia, Jakarta. Schmitz, Gery ; Lepper,Hans ; Heidrich,Michael , 2008, FARMAKOLOGI dan TOKSIKOLOGI edisi 3, penerbit buku kedokteran.EGC. Jakarta. Puspitasari, Hesti dkk. 2003. Aktivitas analgetik ekstrak Umbi teki (Cyperus rotundus L. ) pada mencit putih ( Mus musculus L. ) jantan. http://biosains.mipa.uns.ac.id/F/F0102/F010203.pdf .20maret 2013 Seta, Linus Adi Nugraha . 2011. ANALGETIKA. http://september.ucoz.com/farmakologi/Analgetik.pdf 20maret 2013

Você também pode gostar