Você está na página 1de 38

BPJS

Sejarah Perjalanan UU BPJS


SEJARAH PERJALANAN JAMINAN SOSIAL DI INDONESIA

Tidak Ada Orang Kaya Dalam Dunia Kesehatan

Perjalanan Panjang UU SJSN

Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin seperti hemodialisa atau biaya operasi yang sangat tinggi. Hal ini berpengaruh pada penggunaan pendapatan seseorang dari pemenuhan kebutuhan hidup pada umumnya menjadi biaya perawatan dirumah sakit, obat-obatan, operasi, dan lain lain. Hal ini tentu menyebabkan kesukaran ekonomi bagi diri sendiri maupun keluarga. Sehingga munculah istilah SADIKIN, sakit sedikit jadi miskin. Dapat disimpulkan, bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang, dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Begitu pula dengan resiko kecelakaan dan kematian. Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan namun mungkin saja terjadi kapan saja dimana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun kematian karenanya kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun permanen. Belum lagi menyiapkan diri pada saat jumlah penduduk lanjut usia dimasa datang semakin bertambah. Pada tahun Pada 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang. 70 juta diantaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2030 terdapat 25% penduduk Indonesia adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degenerative yang akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak aday ang menjamin hal ini maka suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang besar Seperti menemukan air di gurun, ketika Presiden Megawati mensahkan UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 19 Oktober 2004, banyak pihak berharap tudingan Indonesia sebagai negara tanpa jaminan sosial akan segera luntur dan menjawab permasalahan di atas. Munculnya UU SJSN ini juga dipicu oleh UUD Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002 dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 34 ayat (1)

dan ayat (2) mengamanatkan untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional. Hingga disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004. Diawali dengan Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, dimana Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang Pengembangan Konsep SJSN. Pernyataan Presiden tersebut direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional). Sejalan dengan pernyataan Presiden, DPA RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera. Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/ MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR RI yang menugaskan Presiden RI Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh danterpadu. Pada tahun 2001, Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretaris Wakil Presiden RI membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik SJSN (NA SJSN). Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN - Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002). NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN, ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu. Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR RI pada tanggal 26 Januari 2004. Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR RI hingga diterbitkannya UU SJSN, RUU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Maka dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 (lima puluh enam) kali. UU SJSN tersebut secara resmi diterbitkan menjadi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN pada tanggal 19 Oktober Tahun 2004.

Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 . Lanjutan Implementasi UU SJSN hingga ke UU BPJS Setelah resmi menjadi undang-undang, 4 bulan berselang UU SJSN kembali terusik. Pada bulan Januari 2005, kebijakan ASKESKIN mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial. 4 bulan kemudian, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD). Putusan MK semakin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008. Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Tim Kerja Menko Kesra dan Tim Kerja Meneg BUMN, yang notabene keduanya adalah Pembantu Presiden, tidak mencapai titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati. Seluruh perhatian tercurah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun. Tahun berganti. DPR mengambil alih perancangan RUU BPJS pada tahun 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada bulan Juli 2010. Bahkan area perdebatan bertambah, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tengah berseteru menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal tengah diperdebatkan dengan sengit.

Pro dan kontra keberadaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) akhirnya berakhir pada 29 Oktober 2011, ketika DPR RI sepakat dan kemudian mengesahkannya menjadi UndangUndang. Setelah melalui proses panjang yang melelahkan mulai dari puluhan kali rapat di mana setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Sementara di kalangan operator hal serupa dilakukan di lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial meliputi PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes. Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yang

bahkan semestinya telah dapat dioperasionalkan sejak 9 Oktober 2009 dua tahun lampau. Perjalanan tak selesai sampai disahkannya BPJS menjadi UU formal, jalan terjal nan berliku menanti di depan. Segudang pekerjaan rumah menunggu untuk diselesaikan demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial. Sebuah kajian menyebutkan bahwa saat ini, berdasarkan data yang dihimpun oleh DPR RI dari keempat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berstatus badan hukumnya adalah Persero tersebut, hanya terdapat sekitar 50 juta orang di Indonesia ini dilayani oleh Jaminan Sosial yang diselenggarakan oleh 4 BUMN penyelenggara jaminan sosial. Pasca Sah UU BPJS Perubahan dari 4 PT (Persero) yang selama ini menyelenggarakan program jaminan sosial menjadi 2 BPJS sudah menjadi perintah Undang-Undang, karena itu harus dilaksanakan. Perubahan yang multi dimensi tersebut harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar berjalan sesuai dengan ketentuan UU BPJS. Pasal 60 ayat (1) UU BPJS menentukan BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014. Kemudian Pasal 62 ayat (1) UU BPJS menentukan PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 BPJS Ketenagakerjaan dan menurut Pasal 64 UU BPJS mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015. Pada saat mulai berlakunya UU BPJS, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditugasi oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan. Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari kedua BUMN ini, BUMN yang dipercaya mengemban tugas menyiapkan perubahan tersebut. Sebagai professional tentu mereka paham bagaimana caranya mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam proses perubahan tersebut, dan bagaimana harus bertindak pada waktu yang tepat untuk membuat perubahan berjalan tertib efektif, efisien dan lancar sesuai dengan rencana. Tahun 2012 merupakan tahun untuk mempersiapkan perubahan yang ditentukan dalam UU BPJS. Perubahan yang dipersiapkan dengan cermat, fokus pada hasil dan berorientasi pada proses implementasi Peraturan Perundang-undangan secara taat asas dan didukung oleh pemangku kepentingan, akan membuat perubahan BPJS memberi harapan yang lebih baik untuk pemenuhan hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial.

Profil 4 BPJS PT Askes (Persero) Berubah menjadi BPJS Kesehatan dan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 60 ayat (1) UU BPJS) PT Askes (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang ditugaskan khusus oleh pemerintah untuk menyelenggarakan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun PNS dan TNI/POLRI, Veteran, Perintis Kemerdekaan beserta keluarganya dan Badan Usaha lainnya. Sejarah singkat penyelenggaraan program Asuransi Kesehatan sebagai berikut : 1968 Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai embrio Asuransi Kesehatan Nasional. 1984 Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1984 tentang Pemeliharaan Kesehatan bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti. 1991 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1991, kepesertaan program jaminan pemeliharaan kesehatan yang dikelola Perum Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta sukarela. 1992 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status Perum diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri. 2005 Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1241/Menkes/XI/2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT Askes (Persero) mendapat penugasan untuk mengelola kepesertaan serta pelayanan kesehatan dasar dan rujukan

2008 Pemerintah mengubah nama Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). PT Askes (Persero) berdasarkan Surat Menteri Kesehatan RI Nomor 112/Menkes/II/2008 mendapat penugasan untuk melaksanakan Manajemen Kepesertaan Program Jamkesmas yang meliputi tatalaksana kepesertaan, tatalakasana pelayanan dan tatalaksana organisasi dan manajemen. Sebagai tindak lanjut atas diberlakukannya Undang-undang Nomor 40/2004 tentang SJSN PT Askes (Persero) pada 6 Oktober 2008 PT Askes (Persero) mendirikan anak perusahan yang akan mengelola Kepesertaan Askes Komersial. Berdasarkan Akta Notaris Nomor 2 Tahun 2008 berdiri anak perusahaan PT Askes (Persero) dengan nama PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia yang dikenal juga dengan sebutan PT AJII 2009 Pada tanggal 20 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep38/KM.10/2009 PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia selaku anak perusahaan dari PT Askes (Persero) telah memperoleh ijin operasionalnya. Dengan dikeluarkannya ijin operasional ini maka PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia dapat mulai menyelenggarakan asuransi kesehatan bagi masyarakat. 2011 Terkait UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional di tahun 2011, PT Askes (Persero) resmi ditunjuk menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang meng-cover jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia yang tertuang dalam UU BPJS Nomor 24 tahun 2011. (sumber: www.ptaskes.com)

PT (Persero) JAMSOSTEK Berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014 (Pasal 62 ayat (1) UU BPJS) BPJS Ketenagakerjaan paling lambat mulai beroperasi pada tanggal 1 Juli 2015, termasuk menerima peserta baru (Pasal 62 ayat (2) huruf d UU BPJS)

Sejarah terbentuknya PT Jamsostek (Persero) mengalami proses yang panjang, dimulai dari UU No.33/1947 jo UU No.2/1951 tentang kecelakaan kerja, Peraturan Menteri Perburuhan (PMP) No.48/1952 jo PMP No.8/1956 tentang pengaturan bantuan untuk usaha penyelenggaraan kesehatan buruh, PMP No.15/1957 tentang pembentukan Yayasan Sosial Buruh, PMP No.5/1964 tentang pembentukan Yayasan Dana Jaminan Sosial (YDJS), diberlakukannya UU No.14/1969 tentang Pokok-pokok Tenaga Kerja, secara kronologis proses lahirnya asuransi sosial tenaga kerja semakin transparan. Setelah mengalami kemajuan dan perkembangan, baik menyangkut landasan hukum, bentuk

perlindungan maupun cara penyelenggaraan, pada tahun 1977 diperoleh suatu tonggak sejarah penting dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1977 tentang pelaksanaan program asuransi sosial tenaga kerja (ASTEK), yang mewajibkan setiap pemberi kerja/pengusaha swasta dan BUMN untuk mengikuti program ASTEK. Terbit pula PP No.34/1977 tentang pembentukan wadah penyelenggara ASTEK yaitu Perum Astek. Tonggak penting berikutnya adalah lahirnya UU No.3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK). Dan melalui PP No.36/1995 ditetapkannya PT Jamsostek sebagai badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek memberikan perlindungan dasar untuk memenuhi kebutuhan minimal bagi tenaga kerja dan keluarganya, dengan memberikan kepastian berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang, akibat risiko sosial. Selanjutnya pada akhir tahun 2004, Pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang berhubungan dengan Amandemen UUD 1945 dengan perubahan pada pasal 34 ayat 2, dimana Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah mengesahkan Amandemen tersebut, yang kini berbunyi: "Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan". Manfaat perlindungan tersebut dapat memberikan rasa aman kepada pekerja sehingga dapat lebih berkonsentrasi dalam meningkatan motivasi maupun produktivitas kerja. Kiprah Perseroan yang mengedepankan kepentingan dan hak normative Tenaga Kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini, PT Jamsostek (Persero) memberikan perlindungan 4 (empat) program, yang mencakup Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) bagi seluruh tenaga kerja dan keluarganya. Dengan penyelenggaraan yang makin maju, program Jamsostek tidak hanya bermanfaat kepada pekerja dan pengusaha tetapi juga berperan aktif dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian bagi kesejahteraan masyarakat dan perkembangan masa depan bangsa. (sumber : www.jamsostek.co.id)

PT (Persero) ASABRI Menyelesaikan pengalihan program ASABRI dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS) Semula prajurit TNI, anggota Polri dan PNS Dephan/Polri menjadi peserta Taspen (Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri) yang didirikan pada tanggal 17 April 1963 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1963.

Namun dalam perjalanannya, keikutsertaan prajurit TNI dan anggota Polri dalam Taspen mempengaruhi penyelenggaraan Program Taspen karena : 1. Perbedaan Batas Usia Pensiun (BUP) bagi prajurit TNI, anggota Polri yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1966 Pasal 1 dengan PNS yang berdasarkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1969 Pasal 9 2. Sifat khas prajurit TNI dan Polri memiliki risiko tinggi banyak yang berhenti karena gugur atau tewas dalam menjalankan tugas. 3. Adanya kebijaksanaan Pemerintah untuk mengurangi jumlah prajurit secara besar-besaran dalam rangka peremajaan yang dimulai pertengahan tahun 1971. 4. Jumlah iuran yang terkumpul pada waktu itu tidak sebanding dengan perkiraan klaim yang akan diajukan oleh para Peserta. Untuk menindaklanjuti hal-hal tersebut dan meningkatkan kesejahteraan Prajurit TNI, Anggota Polri dan PNS Dephan/Polri, maka Dephankam (saat itu) berprakarsa untuk mengelola premi sendiri dengan membentuk lembaga asuransi yang lebih sesuai, yaitu Perusahaan Umum Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Perum ASABRI) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1971 pada tanggal 1 Agustus 1971, dan selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi ASABRI.

Dalam perkembangannya untuk meningkatkan gerak usaha, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1991 bentuk usaha ASABRI dari Perusahaan Umum (Perum) dialihkan menjadi Perseroan Terbatas (PT), sehingga menjadi PT ASABRI (Persero). PT ASABRI (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara yang berbentuk Perseroan Terbatas dimana seluruh sahamnya dimiliki oleh negara yang diwakili oleh Menteri Negara BUMN selaku Pemegang Saham atau RUPS berdasarkan PP No. 64 Tahun 2001 tentang Pengalihan kedudukan, tugas, dan wewenang Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan (Persero), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Jawatan (Perjan) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. (sumber : www.asabri.co.id)

PT TASPEN (Persero) Menyelesaikan pengalihan program THT dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029 (Pasal 65 ayat (1) UU BPJS) Pembentukan Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1963 tentang Pembelanjaan Pegawai Negeri dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1963 tentang Tabungan Asuransi dan Pegawai negeri. Ketika itu PN Taspen memperoleh kantor sendiri di Jl. Merdeka no 64 Bandung.

Adapun proses pembentukan program pensiun pegawai negeri ditetapkan dengan Undangundang No 11 tahun 1956 tentang pembelanjaan Pensiun dan Undang-undang No 11 tahun 1969 tentang pensiun pegawai dan pensiun janda/duda serta undang-undang No 8 tahun 1974 tentang Pokok-pokok kepegawaian. Selanjutnya dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1981 tentang Asuransi Sosial PNS maka dilakukan proses penggabungan program kesejahteraan pegawai negeri yang terdiri dari Program Tabungan Hari Tua dan Pensiun yang dikelola PN Taspen. Dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 9 tahun 1969 tentang bentuk-bentuk perusahaan negara, PN Taspen diubah menjadi Perum Taspen yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP.749/MK/V/II/1970. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1981, badan hukum Perum Taspen diubah menjadi PT Taspen (Persero) sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar PT Taspen (Persero) Nomor 3 tahun 1982 tanggal 4 Januari 1982 yang mengalami beberapa kali perubahan, terakhir dengan Akta Notaris Imas Fatimah, S.H. Nomor 53 tanggal 17 Maret 1988 dan telah diperbaiki dengan Akta Nomor 10 tahun 1998 tanggal 2 Juli 1998 di hadapan Zulkifli Harahap, S.H., pengganti notaris Imas Fatimah, S.H. Perubahan Anggaran Dasar dimaksud dalam rangka penyesuaian terhadap Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang menetapkan tambahan modal dasar yang disetor, semula sebesar Rp 10 miliar ditingkatkan menjadi sebesar Rp 12,50 miliar untuk memenuhi modal disetor 25% dari modal dasar sebesar Rp 50 miliar. Perubahan terakhir ini memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia dengan Surat Keputusan Nomor C.2-14096-HT.01.04 Th 98 tanggal 17 September 1998 dan telah dimuat dalam Berita Negara RI Nomor 31 tahun 1999, Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun 1999, Tambahan Berita Negara RI Nomor 2207 tahun 1999 Berdasarkan persetujuan pemegang saham dengan Nomor: KEP-17/DI.MBU/2008, dilakukan perubahan anggaran dasar yang merupakan penyesuaian modal dasar yang disetor 25% dari modal dasar sebesar Rp 400 miliar. Berkas anggaran dasar telah disampaikan ke notaris dan telah disampaikan ke notaris dan telah dibuatkan akta notaris pada tanggal 24 November 2008 dengan nomor akta 06 dan saat ini masih menunggu persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM (sumber : www.taspen.com)

Askes Road to BPJS


HARAPAN rakyat Indonesia yang menginginkan adanya jaminan sosial bagi kehidupan mereka, bakal segera terwujud pasca diundangkannya BPJS untuk menyelenggarakan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Keinginan ini, diilhami oleh negara lain, seperti Kanada dan Jerman. Di negara-negara yang sudah lebih dahulu memberlakukan UU Jaminan Sosial itu, rakyat telah mendapatkan jaminan kesehatan, pensiun dan ketenagakerjaan. Bahkan, beberapa negara di antaranya juga memberi jaminan bagi mereka yang tidak mempunyai pekerjaan. Karena itu, kehadiran UU BPJS ini yang disambut gembira oleh sejumlah masyarakat, tentu saja dapat dimaklumi. Sebab idealnya seluruh rakyat Indonesia akan terlindungi ke dalam jaminan sosial Harapan ini, tentu saja masuk akal, sebab, rakyat sudah bosan setiap kali mendengar dan menyaksikan di berbagai media perihal masih adanya rakyat miskin yang ditolak oleh pihak rumah sakit untuk berobat karena tiadanya biaya dari sang pasien. Kita pun sudah tidak ingin mendengar lagi manakala ada pensiunan yang terpaksa harus kembali menjadi pekerja kasar di hari tuanya. Ditambah dengan banyaknya masyarakat menengah yang jatuh miskn karena menderita penyakit, menjual apa yaBahkan sebutan dan plesetan "jamila" alias jatuh miskin lagi, yang dialamatkan kepadanya, rasanya terlalu sedih untuk kembali dimunculkan ke permukaan. Karena itu, dengan disahkannya UU BPJS ini, dambaan dari seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan harapan baru di tengah kehausan sebuah belaian nyata dari negara dalam bentuk jaminan sosial mendekati kenyataan. Pemerintah mempunyai tugas meyiapkan peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (Perpres) sebagai petunjuk pelaksanaan UU BPJS yang baru saja disahkan. Harus diakui, dengan adanya UU BPJS maka akan sangat membantu memberikan akses bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayan kesehatan, untuk jaminan hari tua, jaminan pensiunnya bahkan jaminan kematian. Namun itu semua akan dapat terlaksana apabila semua bertekad secara sungguh-sungguh, melaksanakan amanat undang undang dengan penuh komitmen. Sudah berubah Pasca Terbitnya UU SJSN Bagi PT Askes (Persero), kesungguhan komitmen menjadi penyelenggara jaminan sosial di bidang kesehatan bukan terjadi pada saat ini saja, pada saat telah diketuknya UU BPJS. Kebulatan tekad untuk berubah sudah terjadi sejak tahun 2004, saat terbitnya UU SJSN yang menyebutkan PT Askes (Persero) adalah pengelola jaminan sosial di bidang kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, di Indonesia. Momentum itu menjadi titik balik perusahaan yang kini berusia 44 tahun ini untuk bertransformasi dan mempersiapkan diri. Dari masa ke masa, PT Askes (Perero) terus berbenah menyesuaikan diri seiring perkembangan situasi dan kondisi baik secara bisnis asuransi maupun kebijakan pemerintah karena dalam hal ini status perusahaan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Oleh karena itu sebagai BUMN, PT Askes (Persero) melakukan serta menunjang program maupun kebijakan pemerintah

di bidang ekonomi dan pembangunan nasional, terutama dalam penyelenggaraan asuransi sosial melalui penyediaan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi pegawai negeri sipil (PNS), penerima pensiunan, veteran dan perintis kemerdekaan beserta keluarganya juga masyarakat umum. Dinamika bisnis pun turut serta mewarnai perjalanan PT Askes (Persero) sepanjang berdirinya perusahaan ini sejak tahun 1968. Termasuk pada saat ini penerapan UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengisyaratkan PT Askes (Persero) sebagai badan penyelenggara, diyakini akan mendukung upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan derajat hidup masyarakat Indonesia. PT Askes (Persero) telah dan terus mempersiapkan diri mendukung pencapaian target pemerintah untuk mewujudkan universal coverage diranah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014 nanti. Universal coverage JKN bisa dibilang adalah benang merah bagaimana cita-cita awal perusahaan ini saat didirikan tahun 1968. Pada saat mendirikan BPDPK menteri kesehatan saat itu GA. Siwabessy berpikir kesehatan suatu saat akan menjadi masalah dalam kehidupan manusia apabila tidak dikelola secara asuransi. Dan benar saja dengan apa yang terjadi sekarang, dengan pola pembiayaan yang out of pocket yang mencapai 60-70 persen dari total pelayanan kesehatan maka sebagian besar rakyat kita dengan pola pembayaran fee for services atau dibayar langsung oleh pasien maka sudah jelas masyarakat kita tidak mampu mendapatkan pelayanan kesehatan. Cita-cita Siwabessy itu kalau kita kaitkan dengan kondisi sekarang adalah benar, jelas Direktur Utama PT Askes (Persero) I Gede Subawa. PT Askes (Persero) memang telah mengalami berbagai pergantian status perusahaan, mulai dari sebuah badan yang berada dibawah komando Kementerian Kesehatan pada saat itu disebut Badan Pengelola Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), lalu berubah mejadi Perusahaan Umum Husada Bakti berdasarkan Peraturan Pemerintah No.22 dan 23 tahun 1984 dan berstatus BUMN. Kemudian pada tahun 1992 masih berstatus BUMN terjadi pengalihan menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan PP No.6 Tahun 1992 hingga saat ini. Perubahan demi perubahan memang harus dilakukan PT Askes (Persero), karena perusahaan ini adalah milik negara, milik masyarakat , sehingga harus terus bermanfaat bagi masyarakat. PT Askes (Persero) memang telah mengalami berbagai perubahan secara signifikan, mulai dari status perusahaan, bisnis proses yang sedari tahun 70-an diubah dan terus tumbuh-kembangkan hingga sekarang, dan kini hampir mencapai puncaknya menuju Jaminan Kesehatan Nasional yang terpatri dalam UU SJSN. Saya harap Duta Askes tidak pernah lelah dan gentar dalam upaya menuju masyarakat Indonesia yang sehat dan lebih baik, harap Sulastomo, salah satu mantan Direksi PT Askes (Persero) di era 70-80 an. Transformasi Kesiapan Askes Pada perkembangannya, pada tahun 2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) dan bertugas mengelola kepesertaan serta pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Program ini pada tahun 2008 berubah nama menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Dalam hal ini memperoleh amanah untuk mengelola tatalaksana kepesertaan, pelayanan dan organisasi dan manajemen.

Dengan hadirnya UU Nomor 40 Tahun 2004 yang menunjuk PT Askes (Persero) sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), maka secara proaktif PT Askes (Persero) mempersiapkan diri untuk memenuhi amanat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 52 UU SJSN. PT Askes (Persero) telah melakukakan berbagai perubahan dan penyesuaian yang mengacu pada prinsip penyelenggaraan asuransi sosial. I Gede Subawa melanjutkan bahwa transformasi yang dilakukan semata-mata menunjukkan bahwa PT Askes (Persero) siap sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional. Transformasi ini diawali dengan perubahan Anggaran Dasar Perseroan menjadi perseroan yangnirlaba yang menjalankan fungsi sosial seperti tercantum dalam pasal 26 Anggaran Dasar Perseroan. Perubahan inipun telah disetujui oleh pemegang saham dan disahkan oleh notaris. "Kebijakan pemegang saham menetapkan PT Askes (Persero) tidak lagi menyetorkan deviden dan surplus akhir tahun, dana yang dikembalikan itu digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Jadi PT Askes (Persero) saat ini benar-benar hanya menyelenggarakan jaminan kesehatan sosial karena bisnis Askes komersial telah ditangani oleh PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia yang beroperasi sejak 1 April 2009," ujar I Gede Subawa. Selain itu, pihaknya telah melakukan perubahan struktur organisasi berbasis fungsi, memperkuat organisasi pada tingkat cabang, kabupaten/kota, dan membangun Askes Center di tiap-tiap rumah sakit yang melayani peserta Askes. Tentu saja hal itu diikuti dengan peningkatan kompetensi SDM dan kemampunan Sistem Informasi Manajemen dengan master file nasional yangrealtime on line. Tidak berhenti sampai disitu, transformasi yang dilakukan PT Askes (Persero) dengan menyesuaikan beberapa 9 prinsip SJSN dalam penyelenggaran program perusahaan juga dilakukan si semua titik. Prinsip-prinsip SJSN sudah menjadi bagian dari bisnis proses dalam menjalankan perusahaan. Peserta harus mendapatkan menfaat yang bersifat komprehensif (prinsip ekuitas), dan juga dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di luar wilayah domisili atau tempat tinggal peserta (prinsip portabilitas), tegas I Gede Subawa. Tahun 2010, bisa dibilang adalah tahun terakhir fase transformasi. Dan sepanjang tahun 2009, semua penyesuaian telah dilakukan PT Askes (Persero) demi menunjang kebijakan pemerintah setelah hadirnya UU No.40 tahun 2004. Sepanjang tahun 2009 pula, manajemen PT Askes (Persero) juga menempatkan tiga titik penting yang menjadi fokus pengembangan, perbaikan, dan penajaman pelayanan (hospitality), teknologi Informasi, dan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam hal pelayanan, kami menjadikan program preventif sebagai salah satu strategi kunci untuk mempertahankan kinerja perusahaan sebagai bagian dari kampanye hidup sehat. Dengan mempertajam sisi diagnosis dan pemeriksaan kesehatan secara berkala, jumlah kunjungan perawatan kesehatan di semua lini, baik rawat jalan maupun rawat inap, yang menurun dibanding tahun sebelumnya, papar I Gede Subawa.

Roadmap Askes Menuju BPJS


Perlu ditekankan bahwa Proses tranformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan, diperlukan hal-hal sebagai berikut: 1. Menyusun sistem dan prosedur aspek strategik dan aspek operasional untuk operasionalisasi BPJS Kesehatan 2. Menyusun berbagai konsep untuk masukan dan usulan bagi penyusunan peraturan dan perundangan yang dibutuhkan dalam implementasi BPJS Kesehatan 3. Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait 4. Menyiapkan SDM yang handal untuk masa depan Di tahun 2012, PT Askes (Persero) akan secara proaktif memberi masukan kepada pemerintah sebagai regulator yang terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden. Berikut adalah peraturan perundangan yang dibutuhkan sebagai payung hukum BPJS sebagai Jaminan Kesehatan Nasional 2014. Peraturan Pemerintah : 1. Tata Cara Pengalihan Program (UU BPJS Ps 66) 2. Tata Kelola Aset Dana Jaminan Sosial (UU BPJS Ps 43 ayat 3) 3. Tata Kelola Aset BPJS Kesehatan (UU BPJS Ps 41 ayat 3) 4. Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Peserta (UU BPJS Ps 17 ayat 5) 5. Tata Cara Hubungan AntarLembaga (UU BPJS Ps 51 ayat 4) 6. Penyertaan Modal Pemerintah (UU BPJS Ps 45 ayat 2) 7. Tata cara Pengenaan Sanksi Administratif Dewas & Direksi (UU BPJS Ps 53 ayat 4) 8. Penerima Bantuan Iuran (UU 40 Ps 27 ayat 5) Peraturan Presiden : 1. Pentahapan Kepesertaan (UU BPJS Ps 15 ayat 3) 2. Besaran dan tata Cara Pembayaran Iuran (UU BPJS Ps 19 ayat 5 huruf a) 3. Tata cara Pemilihan dan penetapan Dewas & Direksi (UU BPJS Ps 31) 4. Pelayanan Kesehatan Tertentu bagi TNI & Polri (UU BPJS Ps 60 ayat 2 huruf b) 5. Gaji, Upah, dan Insentif bagi Dewas & Direksi (UU BPJS Ps 44 ayat 8) 6. Teknis Jaminan Kesehatan (UU 40 Ps 19-28) Keputusan Presiden : 1. Keanggotaan Pansel Dewas & Direksi (UU BPJS Ps 28 ayat 3) Direktur Utama Askes I Gede Subawa mengungkapkan, Askes berkomitmen untuk menyelesaikan rancangan materi tersebut sebelum November 2012. "Nanti, perseroan yang menyiapkan materinya, pemerintah yang buat regulasinya. Diharapkan, tahun berikutnya, yakni 2013 sudah bisa disosialisasikan," ujarnya.

KESADARAN NASIONAL : Jaminan Sosial Sebagai Investasi Diri


Jakarta : Persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang Kesehatan tinggal setahun lagi. Namun, banyak aturan penunjang yang belum rampung dan disosialisasikan. Pemerintah harus menggalang kesadaran publik melalui gerakan nasional sadar jaminan sosial agar masyarakat mau menjadi peserta dan rela mengiur demi menikmati manfaat. Demikian yang disampaikan dalam diskusi terbatas di Universitas Paramadina (2/11). Sosialisasi kepada masyarakat tentang BPJS, fasilitas kesehatan, dan tata cara pembayaran iuran adalah pokok utama. Sosialisasi masih menjadi persoalan karena kita tahu pengetahuan masyarakat tentang jaminan sosial masih sangat rendah. Misalnya, dulu kita kenal Keluarga Berencana (KB) sebagai gerakan nasional. Nah, jaminan sosial juga harus menjadi gerakan nasional, supaya semua lapisan masyarakat tahu hak dan kewajiban, ulas Haris E. Santoso, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional. Sementara itu, Direktur Utama PT Askes (Persero) I Gede Subawa mengemukakan, bahwa sosialisasi BPJS Kesehatan secara makro sudah mulai dilakukan oleh korporat. Namun, menurut dia, PT Askes (Persero) belum bisa mensosialisasikan secara gencar dan detil misalnya tentang berapa iuran, tata cara pendaftaran dan pembayaran karena berbagai peraturan turunan UU BPJS No. 24 tahun 2011 belum satupun disahkan. PP turunan ini penting menjadi pegangan kami, supaya kami bisa berkampanye manfaat jaminan sosial sesuai ketentuan yang ada, ujar I Gede Subawa. Menurut Pengamat Jaminan Sosial, Odang Mochtar, yang ditakutkan, tanpa adanya sosialisasi yang baik dan mendalam, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan dipandang sebagai komponen biaya, yang meredusir apa makna jaminan sosial ini. Masih banyak pengusaha (yang ke depan akan menjadi penyetor wajib iuran pekerja-pekerjanya) memandang jaminan sosial menjadi instrument biaya, bukan instrument penyangga resiko. Jaminan sosial akan gagal jika hanya 40 persen masyarakat suatu bangsa memiliki paham atau mindset yang baik akan jaminan sosial. Padahal jaminan sosial khusus-nya pekerja yang mengiur untuk jaminan hari tua (JHT) seperti sedang berinvestasi untuk hari tua. Ini setara dengan orangorang yang bekerja di Bursa Efek, jelas Odang. Untuk itu, Odang juga menambahkan perlunya sosialiasi yang mendalam serta edukasi yang baik soal jaminan sosial. Apalagi jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Kesehatan menjadi momok yang akan terus meneror masyarakat kita yang sangat rentan angka kesakitannya. Dengan jaminan kesehatan, setidaknya akan melindungi mereka yang sulit mengakses pelayanan kesehatan akibat tidak ada biaya.

Telah disiapkan Sementara itu, Pemerintah menyiapkan 10 aturan pelaksana untuk memberlakukan Sistem Jaminan Sosial Nasional per 1 Januari 2014. Sementara soal anggaran yang berkaitan dengan premi peserta dan jumlah penerima bantuan iuran tengah dihitung. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengadakan rapat koordinasi di Kementerian Keuangan, di Jakarta, Jumat (9/11), bersama Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, serta Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Rapat yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut membahas aturan pelaksana, perhitungan keuangan, dan infrastruktur. Menurut Muhaimin Iskandar, terdapat 10 aturan pelaksana yang tengah disiapkan. Aturan itu meliputi 5 rancangan peraturan pemerintah (RPP), 4 peraturan pemerintah, dan 1 keputusan presiden. Nafsiah Mboi menyatakan, RPP tentang Penerima Bantuan Iuran sudah ditandatangani semua pemangku kepentingan. Sementara RPP tentang Jaminan Kesehatan masih dalam proses harmonisasi. Agung Laksono menyatakan, selain membahas aturan pelaksana, tim yang terdiri atas tim kesehatan dan tim ketenagakerjaan juga membahas infrastruktur dan anggaran. Dalam hal infrastruktur kesehatan, misalnya, tim membahas kebutuhan rumah sakit, bidan, dokter umum, dan dokter spesialis.

Sosialisasi Asuransi Kesehatan, Perlu!


Jakarta : Anggota Komisi IX DPR RI, Zuber Safawi mendorong pemerintah melalui Kementerian kesehatan melakukan sosialisasi besaran premi (iuran) jaminan kesehatan bagi masyarakat sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal ini menurutnya penting guna menyerap aspirasi publik terkait beban pengeluaran tambahan yang harus ditanggung masyarakat nantinya. Sehingga premi (iuran) jaminan kesehatan yang terjangkau bagi masyarakat sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bisa didapat. Karena itu, Zuber secara khusus meminta Kementerian Kesehatan mensosialisasikan kepada publik mengenai estimasi besaran iuran Jaminan Kesehatan. Karena pada prinsipnya, asuransi sosial memungkinkan subsidi yang luas, sehingga perhitungan biaya premi secara aktuaria pun rendah, kata Zuber, usai rapat kerja dengan Wamenkes, Ikatan Dokter Indonesia, dan Asosiasi rumah sakit di DPR, Senin (1/10/2012).

Sebelumnya Kemenkes mengusulkan dua skenario besar iuran, yakni (1) moderat atau paling rendah dan (2) paling tinggi. Skenario pertama mengusulkan premi kesehatan sebesar Rp. 19.286 per orang per bulan, sedangkan skenario kedua (tinggi) diusulkan premi sebesar Rp. 22.201 per orang per bulan. Skenario tersebut adalah besaran iuran yang ditanggung penuh oleh negara untuk masyarakat tidak mampu atau penerima bantuan iuran (PBI). Adapun komponen utama yang dihitung dalam estimasi tersebut meliputi : (1) Biaya rawat jalan tingkat I (puskesmas dan dokter umum per kapitasi); (2) biaya rawat jalan tingkat lanjut di RS medis termasuk obat dan medis; (3) biaya rawat inap rumah sakit termasuk obat, pelayanan medis, ICU, ICCU, HCU dan akomodasi perawatan; (4) Penyesuaian Resiko Umur Populasi; (5) penyesuaian pergeseran penyakit; (6) biaya manajemen sebesar 5 persen; serta (6) biaya cadangan sebesar 5 persen. "Saya menilai dasar perhitungan tersebut juga berlaku bagi peserta umum atau non-PBI, imbuhnya. Lebih lanjut Politis PKS ini menegaskan tidaklah realistis protes Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang meminta premi/ iuran jaminan kesehatan sebesar Rp. 50.000- 60.000 per orang per bulan. Alasannya, bahwa besaran premi Jamkesmas sekarang saja hanya Rp 6.500 per kepala per bulan. Sedangkan premi Askes per orang per bulan Rp 39.000. karenanya, menurutnya seharusnya perhitungan iuran jaminan kesehatan (BPJS Kesehatan) juga tidak lebih dari Askes. Apalagi, tegas dia, praktik asuransi sosial memungkinkan untuk lebih murah. Karena bebas biaya administrasi operasional untuk analisa data nasabah (kepesertaan wajib menurut UU/ sudah pasti), bebas biaya rancangan paket asuransi (karena biasanya paket tunggal yang ditawarkan), dan bebas biaya pemasaran yang mahal. Askes Mulai Mencicil Sejumlah Pekerjaan Menjelang beroperasinya badan pengelola jaminan sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Januari 2014, PT Askes (Persero) mulai mencicil pekerjaan. Bekerja sama dengan pemerintah daerah, kantor Divisi Regional Askes yang tersebar di seluruh Indonesia sudah melakukan pendataan warga, terutama mereka yang sudah terlayani lewat Jamkesmas, Askes, TNI/Polri, dan asuransi lainnya. "Saat ini sebenarnya ada sekitar 130 juta penduduk Indonesia yang terlayani pelayanan kesehatannya, baik melalui program Jamkesmas maupun program asuransi lainnya. Jika data sudah rapi, maka 2014 kita bisa langsung jalan," kata Dirut Askes I Gede Subawa di sela acara "Jalan Sehat Askes Bersama Dahlan Iskan" di Semarang, Minggu (23/9). Gede menjelaskan, pendataan sangat penting karena tahap berikutnya Askes makin mudah dalam mendata penduduk yang menerima bantuan iuran dari pemerintah, termasuk pekerja formal yang iurannya ditanggung oleh pemberi kerja serta sektor informal.

Gede mengaku, pekerjaan pendataan penduduk untuk BPJS tidak terlalu sukar karena selama ini ada lebih dari 234 kabupaten/kota yang sudah menyerahkan pengelolaannya kepada Askes. Dengan ini, data penduduk sudah tersedia di kantor regional Askes di wilayah masing-masing. "Untuk kabupaten/kota yang belum bekerja sama dengan Askes, kami akan lakukan pendekatan yang lebih intensif agar data tersebut bisa selesai sebelum 2014. Sosialisasi akan terus kami lakukan," ujar mantan Kepala Divisi Regional Jawa Tengah tersebut. Untuk memudahkan pendataan, lanjut Gede, pihaknya akan memanfaatkan nomor induk kependudukan (NIK) sehingga tidak ada duplikasi data. "Untuk peserta Jamkesmas atau penerima bantuan iuran datanya sudah ada, data pekerja di sektor formal juga sudah jelas. Sementara sektor non formal baru akan didata kemudian, karena di sektor nonformal itu banyak juga yang mampu secara ekonomi," tutur Gede. Dengan demikian, menurut Gede, maka kepesertaan BPJS akan segera terpenuhi. Bupati, wali kota, dan gubernur pun dapat mendorong pemda untuk membayar iur premi bagi seluruh masyarakatnya seperti telah dilakukan di 230 kabupaten/kota. Pada kesempatan ini, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan memuji kinerja Askes dan yakin bisa bertransformasi sebagai BPJS Kesehatan pada 2014 untuk melayani jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia. "Kinerja Askes selama mengelola layanan kesehatan di 230 kabupaten/kota bisa menjadi langkah yang tepat menuju BPJS 2014," ujar Dahlan. Dia lantas meminta seluruh jajaran di Askes untuk makin sering turun ke lapangan guna mendengar masukan dari masyarakat, tentunya agar harapan masyarakat terhadap eksistensi BPJS Kesehatan bisa terpenuhi.

Iuran BPJS Pengaruhi Kualitas Pelayanan


JAKARTA Pemerintah diminta mempertimbangkan kembali besaran iuran untuk jaminan kesehatan nasional. Pasalnya, besaran akan berpengaruh terhadap standar pelayanan kesehatan diterima peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pengamat kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany mengatakan, iuran peserta BPJS diperhitungkan berdasarkan rencana pengeluaran untuk penerima bantuan iuran (PBI). Pengeluaran untuk membayar dokter dan puskesmas yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp22.202 dinilai cukup, jika peserta hanya mendapat layanan di puskesmas dan rumah sakit kelas III. Layanan kelas III itu di rumah sakit pemerintah, ungkap Thabrany di Jakarta kemarin. Menurut dia, besaran iuran untuk PBI akan memengaruhi kualitas dan standar layanan kesehatan, yang nantinya akan diterima peserta yang ditanggung pemerintah. Karena itu, peserta PBI tidak

bisa berharap bakal mendapat kualitas layanan yang memadai jika besaran iuran hanya diteta-kan senilai Rp22.202 per orang setiap bulan. Pemerintah jangan berharap akan mendapat kualitas layanan yang memadai untuk peserta PBI. Jadi,saya begitu komprominya jika tetap bersikukuh di angka Rp22.202,ujarnya. Thabrany menjelaskan, pada dasarnya pemerintah punya anggaran yang memadai untuk menaikkan besaran subsidi bagi peserta PBI, dengan catatan mengurangi pemborosan belanja serta mencabut subsidi BBM dan listrik. Dia mencontohkan sejumlah negara yang lebih memprioritaskan pemberian subsidi pada sektor layanan kesehatan dan pendidikan ketimbang subsidi BBM. Di negara-negara lain umumnya yang disubsidi itu bukan BBM, melainkan layanan kesehatan dan sektor pendidikan, terangnya. Dia menilai,tuntutan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) agar pemerintah menaikkan iuran untuk PBI sebesar Rp60.000 terbilang rendah jika dibandingkan dengan negara yang menerpakan model serupa. Thailand, lanjut Thabrany, membayar iuran untuk penduduk sektor informal beserta keluarga sekitar Rp75.000.Dengan iuran sebesar itu, layanan kesehatan bisa diberikan seluruh dokter praktik swasta dan hampir semua rumah sakit swasta. Pendapatan dokter praktik mencapai Rp2025 juta per bulan,ucapnya. Thabrany menambahkan, langkah terbaik mengatasi polemik besaran iuran antara pemerintah dan IDI adalah meminta pemerintah daerah menaikkan anggaran kesehatan langsung ke puskesmas RSUD, untuk keperluan membeli obat dan bahan habis pakai. Dengan demikian, iuran BPJS bisa lebih banyak dialokasikan untuk membayar upah dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang bertugas di klinik BPJS. Selama ini umumnya upah dokter dan tenaga kesehatan lainnya masih jauh di bawah upah layak,imbuhnya. Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihaknya membuka ruang bagi IDI serta pihak lain yang keberatan untuk mendiskusikan besaran iuran yang dipatok pemerintah sebelum ditetapkan dalam peraturan pemerintah (PP). Namun, pemerintah mengaku tidak punya waktu banyak untuk membicarakan masalah tersebut lebih lama, karena ketentuan besaran iuran yang diatur dalam PP itu ditargetkan terbit akhir tahun ini. Masih bisa didiskusikan, tapi jangan terlalu lama,kata Ali. Menurut dia, pihaknya selalu membuka masukan dari berbagai pihak terkait persiapan pelaksanaan BPJS Kesehatan, termasuk soal ketentuan besaran iuran untuk PBI. Bahkan, pihaknya mengaku sudah kerap kali melakukan komunikasi dengan IDI. Namun, dia menekankan agar IDI melihat sudut pandang dan hasil perhitungan yang dilakukan pemerintah, sehingga ada kesamaan persepsi mengenai besaran iuran untuk peserta PBI.Saya kira kita perlu melihat sudut pandang dan perhitungannya, tuturnya. Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, penetapan besaran iuran PBI seharusnya tidak diputuskan sepihak karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Selain dokter, masyarakat penerima layanan kesehatan BPJS juga akan merasakan langsung dampak kebijakan itu. Dia membantah jika masalah besaran iuran hanya terkait dengan kepentingan dokter. Kita

bersedia untuk mendiskusikan masalah ini karena menyangkut kepentingan orang banyak, kata Prijo. Pepres Segera Keluar Pemerintah menargetkan peraturan presiden (perpres) tentang petunjuk pelaksana pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, terbit paling lambat akhir tahun ini. Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti mengatakan,Perpres BPJS merupakan petunjuk pembiayaan jaminan kesehatan seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 24/2011 tentang BPJS. Pembahasan perpres di tingkat menteri koordinator bidang kesejahteraan rakyat sudah hampir rampung.Saat ini tinggal beberapa poin penting yang belum selesai.Kami harap sudah terbit pada akhir tahun ini, ungkap Wamenkes saat dihubungi SINDOkemarin. Menurut dia, ada sejumlah poin penting yang diatur dalam perpres tersebut, di antaranya soal besaran dan persentase iuran BPJS.Wamenkes menyebutkan, untuk penerima bantuan iuran (PBI) sudah disepakati sebesar Rp22.202 per orang setiap bulan. Jumlah tersebut dinilai sudah sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dan kemampuan negara.Jumlah iuran khusus peserta yang ditanggung pemerintah diperoleh dari hasil penelitian dan fakta yang ada, ujarnya.

KESADARAN NASIONAL : Jaminan Sosial Sebagai Investasi Diri


Jakarta : Persiapan pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang Kesehatan tinggal setahun lagi. Namun, banyak aturan penunjang yang belum rampung dan disosialisasikan. Pemerintah harus menggalang kesadaran publik melalui gerakan nasional sadar jaminan sosial agar masyarakat mau menjadi peserta dan rela mengiur demi menikmati manfaat. Demikian yang disampaikan dalam diskusi terbatas di Universitas Paramadina (2/11). Sosialisasi kepada masyarakat tentang BPJS, fasilitas kesehatan, dan tata cara pembayaran iuran adalah pokok utama. Sosialisasi masih menjadi persoalan karena kita tahu pengetahuan masyarakat tentang jaminan sosial masih sangat rendah. Misalnya, dulu kita kenal Keluarga Berencana (KB) sebagai gerakan nasional. Nah, jaminan sosial juga harus menjadi gerakan nasional, supaya semua lapisan masyarakat tahu hak dan kewajiban, ulas Haris E. Santoso, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional. Sementara itu, Direktur Utama PT Askes (Persero) I Gede Subawa mengemukakan, bahwa sosialisasi BPJS Kesehatan secara makro sudah mulai dilakukan oleh korporat. Namun, menurut dia, PT Askes (Persero) belum bisa mensosialisasikan secara gencar dan detil misalnya tentang

berapa iuran, tata cara pendaftaran dan pembayaran karena berbagai peraturan turunan UU BPJS No. 24 tahun 2011 belum satupun disahkan. PP turunan ini penting menjadi pegangan kami, supaya kami bisa berkampanye manfaat jaminan sosial sesuai ketentuan yang ada, ujar I Gede Subawa. Menurut Pengamat Jaminan Sosial, Odang Mochtar, yang ditakutkan, tanpa adanya sosialisasi yang baik dan mendalam, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan dipandang sebagai komponen biaya, yang meredusir apa makna jaminan sosial ini. Masih banyak pengusaha (yang ke depan akan menjadi penyetor wajib iuran pekerja-pekerjanya) memandang jaminan sosial menjadi instrument biaya, bukan instrument penyangga resiko. Jaminan sosial akan gagal jika hanya 40 persen masyarakat suatu bangsa memiliki paham atau mindset yang baik akan jaminan sosial. Padahal jaminan sosial khusus-nya pekerja yang mengiur untuk jaminan hari tua (JHT) seperti sedang berinvestasi untuk hari tua. Ini setara dengan orangorang yang bekerja di Bursa Efek, jelas Odang. Untuk itu, Odang juga menambahkan perlunya sosialiasi yang mendalam serta edukasi yang baik soal jaminan sosial. Apalagi jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Kesehatan menjadi momok yang akan terus meneror masyarakat kita yang sangat rentan angka kesakitannya. Dengan jaminan kesehatan, setidaknya akan melindungi mereka yang sulit mengakses pelayanan kesehatan akibat tidak ada biaya. Telah disiapkan Sementara itu, Pemerintah menyiapkan 10 aturan pelaksana untuk memberlakukan Sistem Jaminan Sosial Nasional per 1 Januari 2014. Sementara soal anggaran yang berkaitan dengan premi peserta dan jumlah penerima bantuan iuran tengah dihitung. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengadakan rapat koordinasi di Kementerian Keuangan, di Jakarta, Jumat (9/11), bersama Menteri Keuangan Agus DW Martowardojo, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, serta Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi. Rapat yang berlangsung sekitar tiga jam tersebut membahas aturan pelaksana, perhitungan keuangan, dan infrastruktur. Menurut Muhaimin Iskandar, terdapat 10 aturan pelaksana yang tengah disiapkan. Aturan itu meliputi 5 rancangan peraturan pemerintah (RPP), 4 peraturan pemerintah, dan 1 keputusan presiden. Nafsiah Mboi menyatakan, RPP tentang Penerima Bantuan Iuran sudah ditandatangani semua pemangku kepentingan. Sementara RPP tentang Jaminan Kesehatan masih dalam proses harmonisasi.

Agung Laksono menyatakan, selain membahas aturan pelaksana, tim yang terdiri atas tim kesehatan dan tim ketenagakerjaan juga membahas infrastruktur dan anggaran. Dalam hal infrastruktur kesehatan, misalnya, tim membahas kebutuhan rumah sakit, bidan, dokter umum, dan dokter spesialis. []

Rp 22.201 untuk Penerima Bantuan Iuran


Setelah melakukan pembahasan di Kementerian Kesehatan, akhirnya Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat memutuskan iuran per bulan bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebesar Rp 22.201 per orang per bulan. Angka itu merupakan satu dari tiga skenario yakni kenaikan moderat dengan besaran Rp 19.286 dan usulan DJSN sebesar Rp 27 ribu per orang per bulan. "Angka Rp 22.201 diperhitungkan komponen yang terurai mulai biaya obat, rumah sakit, dokter, rawat inap, akomodosi penyesuaian semua. Jumlah itu jauh lebih baik dibandingkan Jamkesmas yang hanya Rp 6500 per bulan per orang," tutur Agung Laksono usai rapat koordinasi tingkat Menteri tentang Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan Besaran Iuran Jaminan Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Jumat (31/8/2012). Pemerintah menetapkan untuk tahun 2014 mendatang pemerintah telah menetapkan 96,4 juta jiwa pemerintah harus menyediakan anggaran anggaran Rp 25,68 triliun. Ditegaskan, pemerintah hanya akan menanggung untuk kalangan fakir miskin dan tidak mampu, sedangkan yang tergolong mampu akan membayarkan iuran yang jumlahnya akan ditentukan kemudian. "Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menganut sistem asuransi sosial di mana perserta wajib beriuran kecuali orang miskin dan tidak mampu iurannya ditangggung pemerintah sebagaimana diatur dalam pasal 17 ayat 4 UU No 40/2004 tentang SJSN. Tahap pertama yang dibayarkan pemerintah adalah program jaminan kesehatan," tutur Agung. Dalam pertemuan itu Agung juga mengusulkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) mempertimbangkan usukan kenaikan untuk iuran untuk PNS seandainya yang ditanggung adalah 3 orang anak (UU SJSN) karena sampai saat yang ditanggung hanya dua orang anak dengan besaran iuran 4 persen yang masing-masing ditanggung pemerintah dan peserta. "Juga dengan TNI/Polri yang selama ini iurannya 2 persen dari gaji, sesuai dengan UU SJSN mengharuskan pemerintah untuk iuran juga sehingga perlu dianggarkan," tuturnya.

Terkait dengan Jaminan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan Jamsostek yakni sebesar iuran 3 persen untuk bujangan dan 6 persen bagi yang sudah berkeluarga yang semuanya dibayar pemberi kerja. JPK hanya berlaku selama bekerja, sementara Jaminan Kesehatan menurut UU 40/2004 harus dilaksanakan seumur hidup. "UU No 40/2004 mengharuskan iuran dibayarkan oleh pekerja dan pemberi kerja dengan demikian layanan BPJS harus lebih baik dibandingkan dengan yang dilakukan PT Jamsostek. Untuk itu kami mohon Kemenakertrans segera menyelenggarakan rapat Tripartit untuk menyepakati besaran iuran JK," tuturnya. Universal coverage atau cakupan universal bagi jaminan kesehatan akan dilaksanakan bertahap mulai tahun 2014 hingga tahun 2019. Tahun 2019 diharapkan seluruh warga negara Indonesia sudah memiliki jaminan tersebut. "Diharapkan juga dengan adanya penurunan tingkat kemiskinan maka besar iuran yang ditanggung pemerintah nilainya juga akan menurun," kata Agung. Sementara itu, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan, BPJS Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis penyakit, namun dengan melakukan upaya efisiensi, sehingga program tersebut mampu memberi jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. "Jadi, tetap harus ada upaya efisiensi, misalkan obat-obatan diberi yang paling murah, tetapi bermutu baik," kata Nafsiah.

APBN 2013 Sudah Mengakomodasi SJSN


Patut pula mendapat apresiasi, kebijakan belanja negara 2013 yang sudah mengakomodasi pelaksanaan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) dengan pengalokasian modal untuk pembentukan BPJS. Hai ini disampaikan oleh Anggota DPR RI Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam. Pemerintah diharapkan sungguh-sungguh untuk memastikan pelaksanaan SJSN melalui pembentukan BPJS tersebut agar dapat terealisasi secara efektif per 1 Januari 2014 dan dapat berkelanjutan, ujar Ecky, dalam keterangan pers-nya, di Jakarta, Rabu, 29 Agustus 2012. Menurutnya, untuk menjamin keberlanjutan SJSN dalam jangka panjang, DPR akan meminta agar pelaksanaan SJSN dimasukkan dalam Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan juga meminta pemerintah menyiapkan pra-kondisi untuk implementasi SJSN, yaitu memastikan efisiensi belanja kesehatan publik dan sistem kesehatan nasional, khususnya rumah sakit dan dokter, melalui mekanisme monitoring dan evaluasi yang ketat. Ecky menambahkan,kebijakan anggaran kesehatan perlu mendapatkan prioritas yang juga memadai. Berdasarkan UU No 36/2009 tentang Kesehatan, anggaran kesehatan seharusnya dialokasikan minimal sebesar 5% dari APBN di luar gaji.

Tetapi sampai saat ini, realisasi anggaran kesehatan dalam APBN hanya sekitar 2%. Hal ini perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut dari pemerintah, tambahnya.

Kelayakan Premi Untuk Jamkesnas Terus Dikaji


Kelompok Kerja (Pokja) Badan Penyelengara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyepakati penentuan persentase iuran premi yang harus dibayar pekerja formal, yakni sebesar 5% dari gaji. Rincian komposisi pembayaran itu terdiri dari 3% dibayar oleh pemberi kerja (majikan) dan 2% ditanggung pekerja.

"Iuran premi pekerja formal disepakati sebanyak 5%. Ini sudah menjadi kesepakatan final Pokja BPJS," ujar Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Selasa (29/6). Diharapkan hasil keputusan Pokja ini bisa diterima oleh semua pihak. Baik dari sisi buruh dan pengusaha, lanjut Ghufron yang juga menjabat sebagai Ketua Pokja BPJS Kesehatan. Prinsip keputusan ini berbeda dengan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yang dipakai PT Jamsostek. UU itu mengamanatkan jaminan sosial pekerja dibayarkan seluruhnya oleh pemberi kerja. Menanggapi hal itu, Wamenkes mengatakan iuran bersama merupakan jalan tengah agar setiap pihak tidak ada yang merasa diberi beban. Sebagai tambahan, yang termasuk dalam pekerja formal ialah pekerja swasta, PNS, dan TNI/Polri. Walau persentase iuran premi telah dicapai titik temu, hingga kini Pokja BPJS belum bisa menetapkan nilai nomimal dari premi yang harus dibayar. Sejatinya, kata Ghufron, dari pembahasan telah ditemukan nilai nominal premi yang harus dibayar oleh masyarakat sebanyak Rp27 ribu. Namun hingga kini, usulan itu mendapat tentangan dari beberapa pihak terkait. Adanya tarik ulur besaran premi diutarakan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Bambang Purwoko. Dia menuturkan menimbang kemampuan fiskal, Kementerian Keuangan meminta iuran premi cukup sebesar Rp6 ribu atau sama dengan premi yang dibayarkan pemerintah dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang tengah berjalan pada saat ini. Adapun Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan rumah sakit meminta agar premi peserta BPJS minimal Rp49 ribu. Nominal itu dinilai telah layak untuk membayar gaji dokter dan layanan rumah sakit. IDI sendiri tegas mengancam bakal melakukan demo jika bayaran dokter yang melayani pasien BPJS dianggap tidak layak. Terkait iuran premi bagi kalangan tidak mampu, Ghufron melontarkan telah disepakati peserta penerima bantuan iuran (PBI) pada 2014 nanti sebanyak 96 juta orang. PBI adalah peserta BPJS

yang iuran preminya dibayar oleh pemerintah. Anggota PBI terdiri dari kelompok masyarakat miskin dan pekerja informal berpenghasilan rendah. Jika nominal dan persentase premi bisa disepakati oleh semua pihak, Ghufron optimistis peraturan presiden (Perpres) terkait premi bisa disahkan pada September 2012 nanti. Dengan demikian perpres ini bisa menjadi payung hukum ketika BPJS mulai beroperasi pada awal 2014. Kepala Pembiayaan Kesehatan Nasional Kemenkes Usman Sumantri menambahkan peserta jaminan kesehatan yang dikelola BPJS kesehatan pada 2014 nanti ditargetkan telah mencapai 121.100.000 orang. Jumlah itu, lanjutnya, termasuk dengan peserta PBI yang berjumlah 96 juta orang. Secara bertahap, dari tahun ke tahun peserta BPJS bakal terus ditingkatkan. Layak atau tidaknya seseorang menjadi peserta PBI juga akan dievaluasi setiap enam bulan. Sesuai dengan amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pada 2014 nanti seluruh masyarakat Indonesia harus sudah memiliki jaminan kesehatan (universal coverage). Pemerintah telah menunjuk PT Askes Tbk menjadi BPJS Kesehatan yang mengelola dana asuransi kesehatan masyarakat itu. Saat ini PT Askes tengah memasuki masa transisi sebelum bertransformasi sepenuhnya menjadi BPJS pada 2014 nanti.

Siap Menuju BPJS


PT Askes melalui UU No. 24 Tahun 2011, diamanahkan menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan. Untuk itu pada tahun 2012, sembari terus memberikan pelayanan yang maksimal kepada peserta, PT Askes juga harus lebih mempersiapkan diri menjadi BPJS Kesehatan dengan berbagai upaya, agar pelaksanaan BPJS nanti bisa berjalan dengan baik, sama bahkan lebih dari yang sekarang. Upaya-upaya tersebut berupa, berperan aktif untuk memberi masukan kepada pemerintah terkait segala perundangan turunan UU BPJS. Dalam beberapa tahun terakhir, Customer Focus Strategy menjadi andalan karena dengan prinsip tersebut segala upaya dalam peningkatan kepada peserta. PT Askes melakukan negosiasi dengan seluruh rumah sakit untuk peningkatan tarif. Selain itu peningkatan pelayanan juga diperuntukan bagi peserta Askes Sosial yang menderita penyakit katastropik, seperti operasi jantung, cuci darah, kanker, thalasemia, dan hemodialisa. Dengan tambahan premi sebesar 2 persen dari pemerintah, PT Askes (Persero) menanggung biaya pengobatan penyakit-penyakit katastropik yang relatif mahal. PT Askes (Persero) juga melakukan upaya-upaya promotif dan preventif. Salah satunya program medical check up di beberapa instansi pemerintah yang menjadi peserta Askes. Dengan begitu, PT Askes (Persero) dapat memberikan perhatian khusus serta pelayanan yang semestinya dilakukan. Kegiatan lainnya adalah pemberian vaksin hepatitis B kepada rumah sakit. Saat ini kegiatan ini berkembang menjadi program pengelolaan penyakit kronis pada 2010 yang selanjutnya menjadi program pengelolaan penyakit diabetes melitus (PPDM) dan hipertensi (PPHT).

Sebagai wujud kesiapan PT Askes menyongsong Jaminan Kesehatan Nasional, juga dilakukan penyempurnaan master file, banyak wujud pelayanan excellence lainnya dikerjakan PT Askes (Persero) di sepanjang tahun. Program besar yang dikerjakan lainnya adalah penggantian kartu peserta Askes yang tadinya berbahan kertas menjadi kartu berbahan plastik. Selain kartu ini akan lebih tahan lama, juga memberi efek kebanggaan bagi pemiliknya. Program lainnya adalah program kemitraan. Pada waktu lalu PT Askes (Persero) selalu memberikan hibah langsung berupa ambulans dan alat-alat kesehatan kepada rumah sakit, mulai tahun 2009 perusahaan terapkan pola baru yakni ada yang disebut hibah dan ada yang disebut dengan bantuan bersyarat. Untuk hibah langsung, PT Askes (Persero) telah menghibahkan lebih dari 200 unit ambulans dengan kualitas yang bagus karena dilengkapi alat canggih. PT Askes (Persero) juga menerapkan Sistem Informasi Manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi, sehingga semuanya harus terkomputerisasi agar memudahkan jalannya proses bisnis di dalam perusahaan. Untuk menunjang SIM berbasis teknologi, PT Askes (Persero) mempergunakan suatu platform bernama ASTERIX. Saat ini pula, dengan menggunakan jaringan VPN yang menjangkau 682 titik dengan kapasitas yang memadai di seluruh Indonesia sudah tersambung secara real time on line PT Askes (Persero) juga membuat call center Askes 500400 yang bertujuan semakin mendekatkan peserta dengan Askes. Tujuannya tentu saja untuk mempermudah kebutuhan informasi peserta misalnya seputar kartu peserta ber-barcode dan informasi mengenai dokter keluarga. Selain itu untuk memperlancar pertukaran informasi baik antara PT Askes (Persero) dengan peserta, Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan peserta, ataupun PPK dengan PT Askes (Persero). Untuk itu sangat diperlukan persiapan terutama kompetensi yang dimiliki Duta Askes dalam memenuhi ekspektasi peserta, PPK, dan seluruh stake holder PT Askes (Persero).

2012, Tahun Penentuan


Grand strategy Askes di tahun 2012 masih tetap fokus kepada pelanggan yaitu ingin memberikan layanan terbaik kepada peserta dan mitra kerja Askes. Motto Melayani Pelanggan Melampaui Harapan merupakan senjata ampuh untuk memicu setiap Duta Askes memberikan layanan terbaik dengan sikapnya yang ramah, tanggap serta informatif. Tingkat Kepuasan Peserta yang dilakukan oleh pihak ketiga (independen) diperoleh peningkatan Indeks Kepuasan Peserta yang sangat bermakna dari indeks 85.7 pada tahun 2010 menjadi 87.2 pada tahun 2011. Angka ini berada diatas target tahun 2011 yang ditargetkan pada indeks 87.0. Indeks atau angka ini memberikan gambaran bahwa peserta Askes merasakan sangat puas dengan layanan yang diterimanya, dan semoga peserta merasa semakin bangga dan bermanfaat memiliki kartu Askes.

Seluruh awak Askes pun tidak berhenti sampai disitu, Duta Askes dituntut untuk menunjukkan kesiapan diri, semangat dan komitmen kerja keras yang semakin tinggi dalam mewujudkan sasaran utama perusahaan yaitu mempertahankan tingkat kepuasan peserta minimal 87.2 atau meningkat menjadi 88.2 di tahun 2012, kinerja perusahaan sehat katagori AA, dengan opini eksternal auditor Wajar Tanpa Pengecualian yang ke-20. Disamping terus menjaga dan meningkatkan kinerja perusahaan, PT Askes (Persero) pun terus bersikap proaktif untuk mendukung implementasi pelaksanaan program jaminan kesehatan dengan mendorong percepatan penyusunan peraturan perundangan sebagai pelaksanaan Undangundang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS melalui upaya-upaya yang bersifat advokasi atau dengan memberikan masukan dan saran kepada pihak regulator terkait. Dan diharapkan penerapan SJSN inilah yang akan menjadi klimaks dari perjalanan panjang perusahaan ini. Pembangunan kesehatan negeri secara menyeluruh, adil, dan bermutu.

2013, 86 Juta Rakyat Di-Cover BPJS Kesehatan


Pemerintah menetapkan jumlah warga yang dijamin BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan pada 2013 sebanyak 86 juta orang. Jumlah itu berkurang sekitar 10 juta orang dari rencana awal yang ditetapkan sebanyak 96 juta orang. "Jumlahnya dikurangi hingga 10 juta orang dari rencana awal, karena sebagian dananya dipergunakan untuk membangun fasilitas kesehatan," kata Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Ali Ghufron Mukti. Tahun ini, tambah Ali Gufron, fasilitas kesehatan baru bisa menjangkau sekitar 76,4 juta orang melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Setiap tahun, nantinya akan ditingkatkan hingga 10 juta orang. Diharapkan 2019 sudah tercapai cakupan kesehatan universal yang menjangkau seluruh penduduk yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Ali Ghufron menjelaskan, keterbatasan anggaran menjadi penyebab dikuranginya target awal penerima BPJS Kesehatan. Namun ia memastikan bahwa masyarakat miskin (poor) dan mendekati miskin (near poor) telah terjamin. Pengurangan target tersebut dirasa cukup realistis karena jumlah anggaran yang dimiliki terbatas, Sebagai perbandingan, Indonesia hanya mengalokasikan 2,2% anggaran belanjanya untuk program BPJS atau universal health coverage. Sedangkan rata-rata negara lower middle income mengalokasikan dana sebesar 4,3% dari anggaran belanjanya untuk universal coverage. Meskipun demikian, persiapan BPJS ini dirasa cukup berhasil dan memenuhi saasaran. Jika dibandingkan dengan Filipina yang mengalokasikan sekitar 4% anggaran belanjanya untuk universal health coverage, masyarakat miskin di sana masih harus membayar lagi sekitar 40-60%. Sedangkan di Indonesia hanya menambah rata-rata 30%.

Menurut Wamenkes, angka 86 juta tersebut sudah termasuk besar sebab jumlah penduduk miskin di Indonesia saja tidak sampai sebanyak itu. Jumlah tersebut sudah ditambah dengan jumlah penduduk pra miskin dan penduduk yang tidak memiliki penghasilan tetap. "Angka kemiskinan kita tahun 2010 sebanyak 12,6% dari 237 juta penduduk Indonesia. jadi kirakira ada 30 jutaan masyarakat miskin. BPJS nantinya juga akan mencakup gelandangan dan orang miskin yang tidak punya identitas. Penghuni penjara dan panti yang miskin juga bisa mengakses asal mendapat rekomendasi dinas sosial," kata Wamenkes.

Pemenuhan Fasilitas Kesehatan Pemerintah melakukan kajian tentang kesiapan fasilitas kesehatan (faskes) untuk memberikan pelayanan rawat inap lanjutan secara nasional apabila 100 persen penduduk sudah menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. "Dengan beroperasinya BPJS kesehatan diperkirakan akan diperlukan tempat tidur (TT) sebanyak 238.423 dan saat ini telah tersedia sebanyak 231.973 yang berarti masih ada kekurangan 10.000 tempat tidur lagi," kata Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti di Jakarta, Jumat (11/5). Meski demikian, jika pesertanya belum mencapai 100 persen berarti jumlah yang ada masih mencukupi. Perhitungan kekurangan jumlah tempat tidur jika 100 persen penduduk punya jaminan kesehatan ini didasarkan pada estimasi WHO yaitu 1 tempat tidur per 1000 penduduk. "Kesiapan jumlah tempat tidur ini dimasing-masing provinsi sangat bervariasi. Ada yang justru kelebihan jumlah Tempat tidurnya dan ada yang kekurangan," katanya. Provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Utara misalnya malah kekurangan. Sedangkan Papua kelebihan. Sehingga hal ini menurutnya, secara disparitas provinsi tanpa melihat tingkat kepenuhan T T di RS akan terjadi kekurangan T T sebanyak 20.809 dan secara kabupaten/kota akan kekurangan sekitar 64.167 tempat tidur. "Namun penghitungan ini masih akan disempurnakan dengan menggunakan data tingkat hunian RS. Saat ini masih dalam proses jika dilakukan penghitungan dengan cara ini tentunya akan menghasilkan penghitungan yang berbeda," ungkapnya. Direncanakan juga akan dibangun RS pratama di 42 kabupaten/kota serta pembangunan puskesmas di 383 kecamatan yang belum punya puskesmas. Sementara itu, hasil kajian kesiapan tenaga SDM ditemukan bahwa, dalam jangka pendek kebutuhan tenaga kesehatan inti (dokter spesialis, dokter umum, perawat, bidan, farmasi) masih mencukupi dan seimbang.

Hanya saja kata Wamenkes, terdapat masalah distribusi tenaga khususnya dokter umum, spesialis yang mengalami hambatan karena letak geografisnya susah dan adanya risiko lain termasuk risiko stagnasi ilmu kedokterannya, komunikasi, pendidikan anak dan fasilitas dalam jangka panjang. Inisiatif pun belum sesuai dengan risiko. Di samping itu, kecepatan pertumbuhan tenaga kesehatan yang sesuai (dokter spesialis dan umum) tidak seimbang. Untuk itu saat ini sedang dilakukan upaya percepatan untuk keseimbangan pemenuhan kebutuhan dalam jangka panjang.

Pemerintah Bentuk 6 Pokja BPJS


Pemerintah membentuk enam kelompok kerja (pokja) dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai implementasi Undang-undang No. 24 Tahun 2011. Keenam pokja tersebut terdiri dari dua pokja BPJS Ketenagakerjaan dan empat pokja BPJS Kesehatan. Demikian hasil Rapat Koordinasi tingkat menteri tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan BPJS, yang dipimpin Menko Kesra Agung Laksono di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Jln. Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (28/3). Hadir dalam rapat itu antara lain, Menakertrans Muhaimin Iskandar, Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron dan perwakilan dari seluruh kementerian dan lembaga terkait. Menurut Agung, empat pokja bidang BPJS Kesehatan akan membahas fasilitas kesehatan, sistem rujukan dan infrastruktur, pembiayaan, transformasi kelembagaan, dan program, regulasi, dan sumber daya manusia dan capacity building. Pokja BPJS Kesehatan akan menyiapkan roadmap kebutuhan supply side tentang fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan, pengaturan besaran iuran dan manfaat, serta sistem rujukan," katanya. Agung menjelaskan, manfaat kesehatan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan bersifat komprehensif yakni promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, sesuai dengan kebutuhan medis. Manfaat kesehatan itu, lanjutnya, termasuk obat-obatan dan bahan medis habis pakai akan dirinci yang ditanggung dan yang tidak ditanggung. "Jamkesmas akan mulai diserahkan kepada PT Askes mulai tahun 2013 sehingga pada saat BPJS Kesehatan yang akan dibentuk dan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, penyelenggaraan kesehatan untuk orang miskin tidak terganggu," kata Agung Selain itu, pemerintah pun sedang membahas roadmap transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan. Dikatakan, tujuan akhir adalah penyelenggaraan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dapat lebih baik dari sebelumnya dan seluruh masyarakat Indonesia memiliki atau terlindungi oleh jaminan sosial.

Sementara itu, Menakertrans Muhaimin Iskandar menjelaskan dua pokja BPJS Ketenagakerjaan terdiri dari Pokja I membahas tentang pembiayaan, iuran, dan manfaat, sedangkan Pokja II mengenai regulasi, transformasi, kelembagaan, dan program kerja. BPJS Ketenagakerjaan akan dibentuk pada 1 Januari 2014 dan beroperasi paling lambat 1 Juli 2015 untuk menyelenggarakan program.Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Hari Tua, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kematian Kedua pokja BPJS ketenagakerjaan telah menyiapkan 3 konsep untuk mengantisipasi persiapan pembentukan BPJS Ketenagakerjaan, sekaligus sebagai pendukung peraturan operasionalnya, kata Muhaimin. Muhaimin mengatakan, kedua pokja BPJS ketenagakerjaan telah menyiapkan konsep tentang pengaturan iuran dan manfaat jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP) dan jaminan kematian (JKm). "Konsep lainnya adalah transformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan dan muatan subtansi peraturan pelaksanaan tentang penahapan kepesertaan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) JKK,JHT, JP dan JKm. Dia menambahkan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sesuai dengan tugas dan fungsinya bersama dengan Kementerian terkait telah menyelesaikan 5 draf regulasi implementasi SJSN yaitu RPP Jaminan Kecelakaan Kerja, RPP Jaminan Hari Tua, RPP Jaminan Pensiun, RPP Jaminan Kematian, serta Perpres Manfaat Jaminan Pensiun yang dapat digunakan dalam pembahasan di Pokja.

Besaran Iuran
Persiapan pelaksanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang ditargetkan beroperasi pada 2014 masih menemui banyak kendala. Salah satu masalah krusial yang menjadi bahan perdebatan panjang ialah soal besaran iuran yang akan ditanggung oleh pemerintah, perusahaan, dan masyarakat mampu. Bahkan, dalam rapat koordinasi yang dipimpin Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, ia masih belum berani membuka besaran angka ataupun persentase tanggungan bagi seluruh pihak. Agung mengatakan, konsep dalam pembiayaan BPJS menggunakan sistem gotong-royong, yang berarti pemerintah tidak akan menanggung seluruh biaya BPJS bagi masyarakat. Kami masih belum bisa menyebutkan berapa besaran iuran untuk BPJS, ujarnya di kantor Kemnakertrans, Jakarta, Rabu (28/3).

Agung juga mengatakan, pemerintah akan memberikan anggaran Rp 1 triliun untuk infrastuktur persiapan BPJS bidang kesehatan. Realisasi anggaran tersebut tinggal menunggu keputusan DPR. Menurutnya, pemerintah tidak akan menggunakan uang iuran masyarakat untuk pelaksanaan BPJS bidang kesehatan karena pemerintah sudah menyiapkan anggaran sebesar Rp4 triliun bagi infrastruktur BPJS. Kami tidak akan menggunakan uang iuran masyarakat satu sen pun bagi persiapan BPJS, ujar Agung. Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron juga masih belum mau membeberkan berapa kisaran iuran yang harus dibayar baik oleh pemerintah ataupun masyarakat. Pasalnya, selama ini belum ada kesepakatan mengenai kategori untuk pekerja formal dan pekerja informal. Iuran tersebut nantinya akan disesuaikan dengan paket layanan yang akan diberikan. Terdiri dari paket yang dijamin, tidak dijamin, dijamin tapi dibatasi, dijamin tapi sebagian. Ali menambahkan, akhir bulan depan akan disepakati mengenai besar iuran tersebut. Akhir bulan depan akan kami putuskan berapa besaran iurannya, ujar Ali. Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Haris E Santoso menjelaskan, besaran iuran merupakan komponen yang sangat krusial karena akan banyak pihak yang harus disatukan agar semua mendapatkan manfaat yang sama dalam iuran tersebut. Nantinya, akan dihitung berapa rata-rata gaji untuk PNS dan rata-rata gaji non PNS, sehinga jelas berapa besaran iurannya. Haris menyebutkan, keputusan iuran tersebut harus berjangka waktu yang lama, sehingga tidak setiap tahun bisa didemo untuk diganti. Bahkan penghitungan juga harus dilakukan untuk melihat beban fiskal selama 25 tahun ke depan. Dengan demikian, ke depannya tidak sampai penduduk usia tua membebani usia muda. []

BPJS Akan Kelola Jamkesmas


Kendati belum ada ketok palu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pemerintah sudah berancang-ancang menyiapkan program jaminan sosial yang akan dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Rencananya pada tahap awal pemerintah akan mengalihkan program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) yang saat ini dijalankan Kementerian Kesehatan kepada BPJS. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mengungkapkan, sebelum mengelola jaminan sosial lain, pada tahap awal BPJS akan mengelola program Jamkesmas terlebih dulu. Kelak, setelah Rancangan Undang-Undang (RUU) BPJS rampung, pemerintah akan menyiapkan skema pembayaran iuran untuk pelayanan Jamkesmas. "Nanti akan ada peraturan pemerintah (PP) yang mengatur program Jamkesmas oleh BPJS, termasuk soal iuran maupun subsidi pemerintah," kata Agung, Rabu (1/6).

Selain itu, penyelenggaraan Jamkesmas nanti akan mengacu pada nomor induk kependudukan (NIK). Pemerintah memakai NIK guna menentukan kelompok masyarakat yang harus mendapat subsidi dan mereka yang mesti membayar iuran pelayanan Jamkesmas. Agung menegaskan, masyarakat miskin tetap mendapat subsidi pemerintah sehingga tak perlu membayar iuran Jamkesmas.A dapun mereka yang memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap akan dikenakan iuran. Pemutakhiran NIK saat ini sedang diproses Kementerian Dalam Negeri dan mulai bergulir tahun ini. Agung optimistis RUU BPJS bisa segera rampung. Sebab, pemerintah dan DPR telah menyepakati beberapa materi penting dalam pembahasan RUU BPJS. "Misal soal bentuk badan hukum BPJS yakni badan hukum publik," tutur Agung. Tapi memang ada beberapa masalah yang masih belum ada titik temu. Ambil contoh, soal iuran dan kepesertaan BPJS. DPR menginginkan pengaturan kepesertaan dan iuran harus tercantum dalam salah satu bab di RUU BPJS, agar menjadi rujukan bagi BPJS. Adapun pemerintah menilai kepesertaan dan iuran BPJS tak masuk dalam materi RUU, karena tidak terkait langsung dengan tata kelola dari BPJS. Lagi pula masalah tersebut sudah diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Berobat tidak lagi Beratkan Kantong


Mahalnya biaya kesehatan di Indonesia sudah melampaui batas kekuatan ekonomi mayoritas masyarakat. MASIH ingat dengan kisah Shafa Aza lia, gadis berusia 4,7 tahun yang mengidap penyakit langka guillain-barre syndrome (GBS)? Akibat mengidap GBS, tubuh gadis kecil itu lumpuh total. Untuk bertahan hidup, dia hanya mengandalkan ventilator dan obat-obatan. Setelah dirawat selama kurang lebih 10 bulan di RS St Carolus, biaya perawatan Shafa membengkak hingga Rp600 juta. Besarnya biaya yang harus ditanggung membuat orangtua bocah malang tersebut angkat tangan. Sekelumit kisah yang diceritakan kembali oleh Hasbullah Thabrany, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pada acara 8 Eleven Show yang tayang di Metro TV, kemarin, mengingatkan kembali betapa mahalnya biaya untuk penanganan kesehatan. Bukan cuma Shafa yang mengalami kesulitan. Masih banyak penduduk Indonesia lainnya yang mengalami hal serupa. Salah satu contoh ialah penderita gagal ginjal. Untuk melakukan cuci darah selama dua kali seminggu, pasien harus mengeluarkan biaya sekitar Rp5 juta per bulan. Menurut Hasbullah, mahalnya biaya kesehatan di Indonesia sudah melampaui batas kekuatan ekonomi dari mayoritas masyarakat. Diperkirakan, saat ini hanya sekitar 1% dari total penduduk Indonesia yang bisa mengakses layanan pengobatan bila mengidap penyakit berat. Kondisi itu

tentunya sangat memprihatinkan karena layanan kesehatan sejatinya menjadi hak dasar umat manusia. Lantas apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi hal itu? Salah satu cara terbaik ialah memiliki asuransi kesehatan. Sayangnya, baru sekitar 40% penduduk di Indonesia yang memiliki asuransi kesehatan. Untungnya telah lahir UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang memungkinkan seluruh lapisan masyarakat mendapat jaminan layanan kesehatan. Namun, timbul pertanyaan apakah seluruh penyakit bisa ditanggung dalam skema pembiayaan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selaku pelaksana SJSN? Hal itu sempat menimbulkan polemik. Pemerintah sempat menyatakan penyakit kronis tidak ditanggung BPJS. Anggota Komisi IX DPR Rieke Diah Pitaloka berpendapat, BPJS harus mengakomodasi seluruh jaminan kesehatan dasar yang meliputi penyuluhan, pelayanan keluarga berencana, rawat inap, rawat jalan, obat, cuci darah, dan operasi. Dijamin BPJS Terkait dengan perdebatan itu, Dirut PT Askes (Persero), pihak yang ditunjuk pemerintah menjadi BPJS, I Gede Subawa mengatakan seluruh penyakit --termasuk penyakit berat-ditanggung perseroannya. Gede mencontohkan perseroannya menyediakan obat-obat paten kanker yang terkenal mahal. "Ada yang sekali cure (pengobatan) harga obatnya mencapai Rp180 juta. Padahal, proses pengobatan harus dilakukan dua kali," papar I Gede dalam talk show Executive Forum bertema Bedah kesehatan, sampai di mana persiapan BPJS-asuransi kesehatan nasional, yang digelar Media Indonesia di Jakarta, kemarin. Oleh karena itu dia mengingatkan, berdasarkan prinsip awal, layanan yang diberikan BPJS Kesehatan tidak boleh lebih rendah atau minimal sama dengan layanan yang diberikan PT Askes sekarang. Dalam talk show itu Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti memberi kepastian bahwa pemeritah akan memasukkan seluruh jenis penyakit di skema pembiayaan yang ditanggungBPJS pada 2014 nanti. "Semua skema pembiayaan dilakukan dalam bentuk paket, tidak lagi fee for services. "Nantinya bakal ada penggolongan penyakit yang dijamin pemerintah. Pertama ialah golongan penyakit yangseluruhnya dijamin. Kedua ialah golongan penyakit yang tidak dijamin. Penyakit yang tidak dijamin, menurut Ghufron, ialah penyakit yang dibuat sendiri, seperti upaya bunuh diri. Selain itu, tindakan medis kosmetik merupakan salah satu jenis layanan kesehatan yang tidak dijamin. Golongan lainnya ialah penyakit yang dijamin, tetapi terbatas, seperti pemberian kacamata.Hasbullah, jaminan kesehatan harus mengacu ke prinsipcost-effectiveness. Artinya biaya yang dikeluarkan harus sesuai dengan manfaat jangka panjang ke depan. "Contohnya, kalau orang ini penyakitnya diobati, benefitnya dia dapat bekerja dan berpenghasilan," paparnya.

5 Draf RPP Telah Disiapkan


Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) telah menyiapkan lima draf rancangan peraturan pelaksana (RPP) Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kelima draf rancangan peraturan pelaksana SJSN, yaitu RPP jaminan kesehatan, RPP jaminan hari tua, RPP jaminan pensiun, RPP jaminan kesehatan masyarakat, dan rancangan peraturan presiden tentang manfaat pensiun. "Tiga hal pokok yang diatur dalam draf rancangan peraturan pelaksana SJSN adalah kepesertaan, iuran, dan manfaat," kata Ketua DJSN Chazali Situmorang dalam penjelasannya usai menyerahkan kelima draf RPP SJSN kepada Menko Kesra HR Agung Laksono di Jakarta, Selasa (6/3). Menurut Chazali, untuk menyelenggarakan SJSN dibutuhkan peraturan pelaksana dari UU SJSN dan UU BPJS yang telah ditetapkan pada November 2011 menggariskan bahwa peraturan pelaksana untuk BPJS Kesehatan harus dapat dilaksanakan dalam kurun waktu satu tahun. Sedangkan untuk BPJS Ketenagakerjaan harus dapat diselesaikan dalam kurun waktu dua tahun. "Untuk menyiapkan regulasi tersebut, Menko Kesra telah membentuk tim penyiapan pelaksanaan untuk masing-masing BPJS yang keanggotaannya lintas kementerian," ujarnya. Sementara itu, Menko Kesra HR Agung Laksono menambahkan, tim BPJS Kesehatan diketuai oleh Wakil Menteri Kesehatan dan tim, BPJS Ketenagakerjaan diketuai oleh Sekjen Kemenakertrans. Menurut Menko Kesra, DJSN sebelumnya juga telah menyampaikan draf rancangan Perpres Jaminan Kesehatan dan RPP Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. "Keduanya kini sedang dibahas oleh tim penyiapan pelaksanaan BPJS," kata Menko Kesra.

DPR Janji Tak Ada Penurunan Manfaat


DPR menjamin transformasi badan usaha milik negara (BUMN) penyelenggara jaminan sosial menjadi badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS) tidak akan menurunkan pelayanan dan manfaat program jaminan sosial. Tak terkecuali proses transformasi PT Jamsostek (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Wakil Ketua Komisi IX DPR Ahmad Nizar Shihab mengatakan, transformasi BUMN menjadi BPJS mengamanatkan tidak adanya pengurangan atau penurunan manfaat serta pelayanan. Dalam hal ini, hak normatif peserta yang terakomodasi dalam program jaminan sosial, seperti tenaga kerja yang menjadi peserta Jamsostek misalnya, akan tetap sama, bahkan bisa lebih baik.

"Dalam proses transformasi ini, sejumlah hal tidak boleh berubah, salah satunya pelayanan dan manfaat yang diterima peserta jaminan sosial saat ini, termasuk tenaga kerja," kata Nizar yang juga Ketua Panitia Khusus RUU BPJS DPR ini di Jakarta, kemarin. Seperti diketahui, proses pembahasan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menghasilkan kesepakatan pembentukan BPJS Kesehatan (transofrmasi dari PT Askes (Persero) dan BPJS Ketanagakerjaan (transofrmasi dari Jamsostek). Namun, program jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) yang diselenggarakan Jamsostek akan dipindahkan ke BPJS Kesehatan. Direktur Utama PT Askes (Persero) I Gede Subawa meyakinkan bahwa sebelum UU BPJS disahkan November tahun lalu, terdapat beberapa rekomendasi ke DPR salah satunya adalah manfaat peserta lama (yaitu PNS beserta keluarga) tidak boleh berkurang, bahkan harus bertambah. "Kami akan mengupayakan hal tersebut. Hal ini juga memang diperlukan pemahaman yang sama tentang BPJS kesehatan yang diperuntukan bagi masyarakat seluruh Indonesia termasuk di dalamnya peserta lama yaitu PNS dan pensiunan PNS. Ini agar tidak terjadi salah persepsi tentang Askes dan BPJS," ujarnya. I Gede Subawa menjelaskan ada beberapa langkah yang telah disiapkan dalam proses transformasi PT Askes (Persero) menjadi BPJS Kesehatan. Yaitu menyusun sistem, prosedur aspek strategik, dan aspek operasional. Yang terakhir ini antara lain adalah menyusun berbagai konsep untuk masukan dan usulan bagi penyusunan peraturan dan perundangan yang dibutuhkan, melakukan koordinasi dengan pihakpihak terkait, serta menyiapkan SDM yang handal untuk masa depan.

Pengendalian Obat Menuju BPJS Kesehatan 2014


Sementara itu Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan belum berencana untuk menaikkan harga jual obat generik pada 2012. Penundaan tersebut sebagai persiapan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan,penentuan harga obat generik menjelang BPJS Kesehatan harus mempertimbangkan daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. "Kenaikan harga obat generik harus melalui kajian yang matang terlebih dahulu. Kami khawatirkan jika tidak dikaji dengan matang akan berdampak pada sistem jaminan kesehatan nasional (SJSN). Saat ini, pemerintah sedang mengkaji pemberlakuan BPJS. Karena itu, hingga akhir 2012 belum ada rencana untuk menaikkan harga jual obat generik," ujarnya. Menkes menyampaikan,

pembentukan BPJS yang direncanakan pada 2014 akan mendorong konsumsi obat di masyarakat secara luas. Dengan adanya BPJS, daya beli masyarakat secara luas, terutama golongan yang tidak mampu, akan meningkat.BPJS dibentuk sebagai tanggung jawab pemerintah untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat, terutama golongan yang tidak mampu. Endang mengungkapkan, harga obat di Indonesia saat ini masih salah satu yang tertinggi di dunia. Menurut dia,harga obat ini misteri sehingga pihaknya masih mencari cara bagaimana menurunkannya. Di sisi lain,dia melanjutkan, di pasaran juga ditemukan fenomena harga obat generik bermerek yang disamakan dengan obat paten. "Produsen obat di Tanah Air juga masih mengimpor bahan baku, sehingga harga produk obat menjadi mahal. Karena itu, pemerintah juga mempertimbangkan pengadopsian penerapan resep elektronik (electronic prescription) dari RSCM di semua rumah sakit di Indonesia," paparnya. Sistem tersebut, ungkap Endang, akan sangat membantu masyarakat karena dokter tidak bisa membuat resep sembarangan. Hal ini juga akan sangat membantu kontrol penggunaan dan harga obat. Jika ini bisa dilakukan di rumah sakit besar, ini akan langsung mengontrol pasar obat. Karena itu, pihaknya juga berharap industri farmasi berperan aktif saat BPJS Kesehatan mulai berlaku tahun 2014. Disisi lain, Direktur Utama PT Askes (Persero), I Gede Subawa, PT Askes (Persero) yang ke depan akan menjadi BPJS Kesehatan telah memilihi sistem pengendalian obat yang sudah ada sejak tahun 1987. Bersama tim penyusun obat yang melibatkan unsur terkait seperti farmakolog, spesialis dari organisasi profesi, perhimpunan profesi, regulator (Dirjen Yanfar dan Badan POM) serta perwakilan dari Rumah Sakit Pendidikan Kedokteran, PT Askes (Persero) membuat suatu standar obat yang disusun berdasarkan daftar obat-obatan. Daftar ini dikaitkan dengan harga tertinggi dari setiap obat yang disebut Daftar Plafon Harga Obat (DPHO). Penyusunan DPHO merupakan salah satu upaya dalam kendali mutu dan biaya. Selain itu penetapan DPHO bertujuan agar terlaksananya pelayanan obat yang efektif dan aman bagi peserta Askes, serta adanya kepastian jenis dan harga obat yang dijamin. DPHO yang telah diterbitan sejak tahun 1987 dan sampai saat ini DPHO sudah sampai pada edisi XXXI ini, adalah daftar obat-obat meliputi Obat Esensial Nasional (OEN), obat generik, obat branded generik dan obat branded. Secara berkala dilakukan revisi dan evaluasi terhadap obat-obatan baik yang sudah tercantum dalam DPHO maupun obat-obat baru yang akan dimasukkan dalam DPHO. DPHO sendiri telah mendapatkan Hak Cipta Intelektual yang dilindungi UU dan terdaftar pada Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten, Merk. Selain untuk melindungi peserta dari pemakaian obat yang efektif dan aman, manfaat lain dari adanya DPHO ini adalah adanya jaminan mutu dan jaminan ketersediaan obat. Bagi rumah sakit selaku pemberi pelayanan kesehatan (PPK) bagi peserta, manfaat DPHO sangat terasa untuk mempermudah Instalasi Farmasi Rumah Sakit dalam pengadaan obat, karena jenis obat yang dibutuhkan tetap dan tidak dipengaruhi oleh perubahan tenaga medis di rumah sakit. Bagi

Industri farmasi, manfaat DPHO dengan jumlah peserta yang besar merupakan potensi pasar tersendiri. Sedangkan bagi PT Askes (Persero), dengan cakupan peserta yang besar manfaatnya akan memperbesar posisi tawar sehingga harga obat tersebut akan lebih efisien dan sistem pembiayaan terkendali, jelas I Gede Subawa. Hingga pada DPHO Edisi XXXI Tahun 2012, jumlah obat yang tercantum sebanyak 1646 item naik 1.67 % dari tahun 2011 (1.619) dengan rincian obat nama generik 597 item dan obat dengan nama dagang / brand name sebanyak 1049 item. Obat-obatan tersebut berasal dari 87 pabrik yang didistribusikan oleh 23 distributor.

2 Triliun Modal Awal Dua BPJS


Pemerintah akan mengalokasikan anggaran Rp 2 triliun dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk modal awal bagi dua badan penyelenggara jaminan sosial (BPJS). Keputusan itu merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan Undang-Undang (UU) No 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). "Dua BPJS yang segera beroperasi adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan," kata Menko Kesra Agung Laksono usai memimpin rapat koordinasi (rakor) tingkat menteri bidang kesra di Jakarta, Selasa (10/1). Dijelaskan, BPJS Kesehatan akan memberikan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. BPJS Kesehatan merupakan transformasi dari PT Askes (persero). Sebelumnya PT Askes melaksanakan program pemerintah lewat jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) bagi sekitar 76 juta orang. "BPJS Kesehatan akan dibentuk dan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014," ujarnya. Sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. BPJS Ketenagakerjaan merupakan transformasi dari PT Jamsostek (Persero). "BPJS Ketenagakerjaan akan dibentuk 1 Januari 2014, tetapi baru beroperasi paling lambat 1 Juli 2015," kata Agung. Seperti diketahui bahwa akhir tahun 2011, pemerintah bersama DPR telah mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang merupakan turunan dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU Nomor 24 Tahun 2011 bersifat penetapan dan pengaturan kelembagaan yang akan menyelenggarakan kelima jaminan sosial bagi rakyat Indonesia. "Pemerintah nanti akan menyiapkan perangkat peraturan pelaksanaan UU Nomor 24 Tahun 2011 yang terdiri dari 8 peraturan pemerintah (PP), 7 peraturan presiden (perpres), dan 1 keputusan presiden (keppres)," tuturnya.

Delapan kementerian sebelumnya yang ditunjuk dalam pembahasan UU BPJS segera menyiapkan dan menyelesaikan regulasinya. "Kementerian Kesehatan akan segera menyelesaikan Perpres tentang Jaminan Kesehatan yang sudah lama disiapkan. Untuk Kementerian Sosial dan TNP2K, akan segera menyelesaikan RPP PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang juga sudah lama disiapkan. Sedangkan Kementerian BUMN bersama Kementerian Kesehatan segera menyiapkan roadmap penyiapan aspek supply side, seperti fasilitas kesehatan beserta tenaga medis yang diperlukan untuk menunjang jaminan kesehatan," kata Agung. Selain itu, menurut Agung, PT Askes akan melakukan transisi pelaksanaan program Jamkesmas menuju BPJS Kesehatan. Juga melakukan supervisi pada proses transformasi PT Askes menjadi BPJS Kesehatan. Dia menambahkan, Kementerian Pertahanan akan menyiapkan Peraturan Presiden tentang Pelayanan Kesehatan tertentu bagi anggota TNI/Polri bersama dengan Kementerian Kesehatan. Transformasi PT Asabri ke BPJS Ketenagakerjaan dilaksanakan secara bertahap sampai dengan 2029. Kementerian BUMN dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi memberikan supervisi transformasi PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Untuk penyiapan regulasi dipimpin oleh Wakil Menteri Kesehatan yang segera membuat tim bersama kementerian/lembaga terkait. "Sementara itu, lembaga Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsinya membantu menyiapkan bahan regulasi itu," kata Agung menegaskan

Askes Jamsostek Siap Berkoordinasi


Sementara itu, PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) menyatakan diri mereka siap untuk berkoordinasi dalam rangka pengalihan program jaminan kesehatan yang dikelola Jamsostek ke BPJS Kesehatan. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU BPJS bahwa ke depan, Jamsostek sebagai BPJS Ketanagakerjaan hanya akan mengolola program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Menurut Direktur Utama PT Askes (Persero), sebagai badan yang diamanahkan melaksanakan program jaminan kesehatan secara nasional, kepesertaan Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) yang dimiliki Jamsostek akan dialihkan ke BPJS Kesehatan. Kami tentu siap dan akan terus berkoordinasi dalam proses peralihan kepesertaan dari JPK Jamsostek. Jika di dalamnya terdapat perbedaan benefit atau iuran, hal ini akan terus kami bahas hingga menemukan titik temu, dan selanjutnya kesepakatan akan menjadi usulan untuk RPP khususnya terkait dengan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan , jelas I Gede Subawa

dalam Pertemuan antara Askes Jamsostek (16/01) di Hotel Kawanua, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. I Gede Subawa juga menambahkan, Askes pada dasarnya siap dalam mengelola program jaminan kesehatan nasional yang diamanahkan UU BPJS. Askes telah memiliki SDM dan sistem informasi teknologi yang nantinya akan siap menjalani program jaminan kesehatan secara nasional. Pada prinsipnya bisnis proses yang dijalankan Askes adalah sama dengan yang tertera dalam UU SJSN. Jadi bagi kami ini merupakan sebuah pekerjaan yang sudah biasa kami lakukan, hanya merupakan peningkatan volume kerja, tambahnya. Empat hari sebelum diadakan pertemuan antara Askes dan Jamsostek ini, juga telah diadakan pertemuan antara DJSN Askes Jamsostek yang membahas tentang roadmap yang akan ditempuh dalam proses persiapan operasional BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Chazali Husni Situmorang, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasiona (DJSN) yang hadir dalam pertemuan ini menyatakan khusus untuk aspek legal operasional BPJS, dalam pengajuan draft RPP hanya bisa dilakukan oleh kementerian terkait, kedua BPJS yang berperan sebagai operator akan memberikan masukan dari masing-masing RPP. Untuk ini dalam hal ini DJSN telah membuat dua tim kerja (Pokja) yang masing-masing bertugas untuk mem-back up dan men-support BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, yang nantinya akan berkoordinasi dengan kementerian terkait. Tujuannya agar penanganan atau proses persiapan lebih fokus dan lebih cepat dalam proses persiapan, papar Chazali. DJSN juga telah membentuk Tim Adhoc untuk penyelesaian RPP, RPerpres dan RKepres yg diamanatkan UU BPJS, bersinergi dengan kementerian terkait dan mengintegrasikan berbagai kegiatan dalam pokja-pokja yang dibentuk oleh Askes dan Jamsostek. Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) Hotbonar Sinaga yang juga hadir dalam pertemuan ini menyambut baik koordinasi yang mungkin akan berlangsung hingga dua tahun ke depan. Tentu saja kami menyambut baik hal ini, selama dua tahun ke depan, kami akan terus berkoordinasi dengan BPJS Kesehatan dalam hal ini PT Askes (Persero) untuk proses pengalihan jaminan kesehatan yang sudah kami kelola, ujar Hotbonar Sinaga. []

Você também pode gostar