Você está na página 1de 20

KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH: SEBUAH TINJAUAN SINGKAT TENTANG MATERI KHES DAN POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Oleh: Taufik R. Syam, S.H.I, M.S.I (Cakim PA Ciamis)

A. Pendahuluan Geliat sistem ekonomi Islam di Indonesia bisa dikatakan sedikit terlambat dibanding negara-negara muslim lainnya. Sekitar tahun 90-an, instrument perbankan syariah muncul di Indonesia dengan Bank Muamalat sebagai Bank Islam pertama. Padahal di negara jiran seperti malaysia, tahun-tahun tersebut sudah menunjukan perkembangan perbankan Islam yang cukup memuaskan. Setelah keberadaan Bank Muamalat yang cukup prospektif di kancah perekonomian nasional terutama setelah terbukti Bank Muamalat tahan terhadap krisis sekitar tahun 1998,1 kemudian disusul oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lainnya seperti BPRS, maupun lembaga keuangan mikro syariah. Dengan melihat kenyataan semacam itu, keberadaan Bank Islam dan

LKS-LKS lainnya menunjukan perkembangan yang cukup signifikan. Sebagai konsekuensi dari berkembangnya institusi perekonomian Islam tersebut, tentu saja akan dihadapkan pada permasalahan-permasalahan yang muncul akibat tarik menarik antar kepentingan para pihak dalam persoalan ekonomi, sementara untuk

M. Luthfi Hamidi, Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, (Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2003), hlm. 47

saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus terhadap permasalahan itu. Sejak tahun 1994, keberadaan Badan Arbitrase Syariah menjadi satusatunya mediator tempat menyelesaikan persengkataan antara para pihak dalam hal ekonomi syariah ini, yang tentu saja keputusan arbitrase syariah belum mengikat secara hukum. Adapun peraturan-peraturan yang diterapkan masih

terbatas pada Peraturan Bank Indonesia (BI) yang merujuk pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sedangkan fatwa itu sendiri hanya merupakan sebuah pendapat hukum yang tidak mengikat.2 Upaya positivisasi hukum ekonomi syariah mulai terarahkan setelah direvisinya UU No 7 tahun 1989 menjadi UU no 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Dalam revisi tersebut disebutkan bahwa Peradilan Agama saat ini tidak hanya berwenang menyelesaikan sengketa di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan sodaqoh saja, melainkan juga menangani permohonan pengangkatan anak (adopsi) dan menyelesaikan sengketa dalam zakat, infaq serta ekonomi syariah.3 Konsekuensi dari perluasan kewenangan tersebut, para penegak hukum yang ada di Peradilan Agama khususnya dan Mahkamah Agung pada umumnya harus mempersiapkan dan meningkatkan capability-nya sebagai pemberi keadilan

Abdul Mughits, Kompilasi hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam. Dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII tahun 2008, hlm 143
3

Lihat Pasal 49 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

bagi masyarakat, khususunya dalam materi-materi baru yang diamanatkan Undang-Undang tersebut, utamanya perihal ekonomi syariah.4 Sebagai tindak lanjut dari hal tersebut, Mahkamah Agung membentuk Tim Penyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP, M.Hum. Keberadaan KHES ini memang sangat diperlukan sebagai pegangan dan rujukan hakim Peradilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah. Untuk menyusun draft KHES tersebut, tim dari Mahkamah Agung telah menyelenggarakan berbagai acara diskusi dan seminar yang mengkaji draft naskah tersebut dengan lembaga, ulama dan para pakar. Sehingga hanya dalam waktu kurang lebih satu tahun penyusunan KHES sudah dirampungkan. Namun demikian, sebagai upaya maksimalisasi dan penyempurnaan KHES menuju format ideal, tentunya upaya kritisasi dan tanggapan dari berbagai pihak perlu untuk terus ditindak lanjuti sampai saat ini.

B. Positivisasi Hukum Islam di Indonesia Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa saat ini terdapat upaya positivisasi Hukum Islam kedalam hukum nasional. Para pakar sering menyebutnya dengan teori eksistensi yang dalam kaitannya dengan hukum Islam
Menurut Penjelasanpasal 49 UU No 3 tahun 2006 tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi: a) Bank Syariah (b) Lembaga Keuangan Mikro Syariah; (c) Asuransi Sayriah; (d) Reasuransi Syariah; (e) Reksadana Syariah; (f) Obligasi dan Surat Berharga berjangka Menengah Syariah; (g) Sekuritas Syariah; (h) Pembiayaan Syariah; (i) pegadaian Syariah; (j) dana pensiun lembaga Keuangan Syariah; (k) bisnis Syariah.
4

adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia. Adapun hukum nasional Indonesia adalah hukum nasional yang bersumber pada falsafah negara, pancasila.5 Upaya positivisasi itu sendiri sesungguhnya telah berlangsung lama, dengan keluarnya UU Agraria tahun 1960, UU No 1 Tahun 1974 tentang Hukum Perkawinan, kemudian meningkat menjadi hukum Islam sebagai sumber hukum nasional dalam UU No 7 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Inpres No1 tahun 1991 tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam, UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, UU Zakat, UU haji dan yang terakhir UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU NO 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) yang memebrikan perluasan kompetensi Materil bagi PA, termasuk dalam ekonomi Syariah.6 Ketika berbicara tentang hukum, sesunggunya hal tersebut tidak akan jauh dari kisaran politik. Keterlibatan umat Islam dikancah politik turut menetukan karakter produk hukum yang dihasilkan. Karakter produk hukum identik dengan sifat dan watak sutu produk hukum.7 Hukum bukanlah sebuah lembaga yang sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin
Ichtijanto, Perkembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1991), hlm 137
6 5

Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hlm 146 Negara: Kritik AtasPolitik Hukum di Indonesia ,

Marzuki Wahid, Fiqh Mazhab (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm 33

dicapai oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, hukum merupakan dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian, oleh karena itu ia diarahkan kepada iure constituendo (ius constitutum) hukum yang seharusnya berlaku.8 Perjuangan para founding father naionalis islami untuk memasukan nilainilai Islami kedalam konstitusi Indonesia telah dilakukan dengan seksama. Lahirnya Piagam Jakarta yang memasukan tujuh kata dalam pancasila telah memulai usaha tersebut walau akhirnya perjuangan memasukan tujuh kata dalam panacasila tersebut urung direalisasikan dengan alasan demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Hal tersebut tidak menjadi halangan untuk tetap memperjuangkan nilainilai islami dalam setiap konstitusi Indonesia. Menurut Profesor Soepomo Indonesia tidaklah harus menjadi negara Islam, tetapi menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam. 9 Nampaknya pandangan ini cukup relevan dengan keadaan saat ini. Tentu saja untuk memperjuangkan konstitusi yang dilandasi dasar moral islam harus didorong oleh kinerja umat Islam sendiri dalam setiap kebijakan. Baik bagi mereka yang duduk di Legislatif, Eksekutif maupun Yudikatif. Tanpa peran umat islam dalam lembaga-lembaga tersebut mustahil nilai-nilai moral islam dapat terhujamkan pada konstitusi Indoensia.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya bakti, 1996), hlm 352

Endang saifudin Anshari, Perjuangan Konstituional Para Nasionalis islami Dalam Bidang Konstitusi, Dalam Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1991),hlm 59

Seringkali kepentingan politik menghambat program legislasi hukum islam. Walau demikian, masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam telah menjadikan islam sebagai way of life dalam kehidupan sehari-hari walau tentu saja hanya sebatas personal dan dalam hal-hal terbatas. Dengan demikian, ada atau tidaknya obsesi politik Islam dalam berbagai rumusan hukum secara organik dari norma fundamental dan aktivitas

konstitusional dalam perjalanan sejarah bangsa tidak berpengaruh sedikitpun pada keberadaan hukum Islam. Rekatnya tutup peluang pada tiap wadah sosial politik tidak mampu menahan rembesan hukum islam.10 Umat Islampun harus mempunyai metodologi dan strategi yang tepat untuk postivisasi hukum islam di Indonesia. Karena pandangan para pemegang kebijakan berbeda-beda termasuk diakalangan umat islam itu sendiri. Sehingga tarik menarik kepentingan antara berbagai kepntingan politik yang ada, termasuk dengan negara atau eksponen agama lain akan semakin ketat. Menurut Syamsul Anwar sebagaimana yang dikutip oleh M. Rusydi,11 setidaknya ada dua tahapan untuk proses positivisasi hukum islam ini yaitu Tahapan hermeuneutis dan tahapan politis. Pada tahapan ini perlu adanya klasifikasi hukum syariat sehingga dengan adanya klasifikasi tersebut dapat dihasilkan sebuah format hukum yang telah dikompromikan dengan konteks ruang, waktu, situasi, serta kondisi masyarakat

M. Rusydi, Formalisasi Hukum Islam: peluang dan tantangan, Dalam Jurnal Almawarid Edisi XVII Tahun 2007, hlm
11

10

Ibid, 7

Indonesia. Oleh karenanya, terminologi-terminologi yang dikemukakan sudah menjadi sebuah bahasa universal yang akan mudah diterima semua kalangan. Tahapan politis dilakukan oleh badan legislatif, wakil-wakil rakyat terutama yang mengusung nilai-nilai islam dapat mendialogkan nilai-nilai islam tesebut dengan berbagai kalangan legislator. Sehingga kejelian dan lobiying yang mumpuni dari para legislatior islam sangat menentukan. Terkait dengan ekonomi Islam yang sudah merebak di tanah air ini. Tentunya banyak yang mengharapan seperangkat peraturan yang pasti tentang hal tersebut. Lewat upaya kompromi politik dan kesungguhan dari berbagai pihak sedikit demi sedikit regulasi-regulasi tentang ekonomi syariah sudah mulai digulirkan termasuk keberadaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

C. Urgensi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah Terkait pentingnya Hukum Ekonomi Syariah maka sudah menjadi sebuah kebutuhan akan adanya Kodifikasi Hukum tersebut. Mengingat hukum ekonomi syariah sebagai hukum muamalat mempunyai ragam pandangan yang berbeda. Kodifikasi adalah himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang atau hal penyusunan kitab perundang-undangan. Dalam sejarahnya, formulasi suatu hukum atau peraturan dibuat secara tertulisyang disebut jus scriptum. Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah berbagai peraturan-peraturan dalam bentuk tertulis tersebut yang disebut corpus juris. Setelah jumlah peraturan itu menjadi demikian banyak, maka dibutuhkan sebuah kodifikasi hukum yang menghimpun

berbagai macam peraturan perundang-undangan. Para ahli hukum dan hakim pun berupaya menguasai peraturan-peraturan itu dengan baik agar mereka bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat dengan penuh keadilan dan kemaslahatan.12 Dalam pengambilan keputusan di Pengadilan dalam bidang ekonomi syariah dimungkinkan adanya perbedaan pendapat. Untuk itulah diperlukan adanya kepastian hukum sebagai dasar pengambilan keputusan. Terlebih lagi dengan karakteristik bidang muamalah yang bersifat elastis dan terbuka sangat memungkinkan bervariasinya putusan-putusan tersebut nantinya yang sangat potensial dapat menghalangi pemenuhan rasa keadilan. Dengan demikian lahirnya Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah dalam sebuah Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata Islam menjadi sebuah keniscayaan. Sebagaimana dimaklumi bahwa formulasi materi Kodifikasi Hukum Ekonomi Syariah tidak terdapat dalam Yurisprudensi di lembaga-lembaga peradilan Indonesia. Meskipun demikian, yurisprudensi dalam kasus yang sama bisa dirujuk sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip hukum ekonomi syariah. Artinya, keputusan hukum masa lampau itu difikihkan, karena dinilai sesuai dengan syariah. Jadi pekerjaan para mujtahid ekonomi syariah Indonesia, bukan saja merumuskan hukum ekonomi baru yang berasal dari norma-norma fikih/syariah, tetapi bagaimana bisa memfikihkan hukum nasional yang telah ada. Hukum nasional yang bersumber dari KUH Perdata (BW), kemungkinan besar banyak
Agustianto, Urgensi www.pesantrenVirtual.com
12

Kodifikasi

Hukum

ekonomi

Syariah,

dalam

yang sesuai syariah, maka materi dan keputusan hukumnya dalam bentuk yurusprudensi bisa ditaqrir atau diadopsi. Berdasarkan dasar pemikiran itu, maka hukum ekonomi syariah yang berasal dari fikih muamalah, yang telah dipraktekkan dalam aktifitas di lembaga keuangan syariah, memerlukan wadah perundang-undangan agar memudahkan penerapannya dalam kegiatan usaha di lembaga-lembaga keuangan syariah tersebut. Keberadaan KHES merupakan sebuah terobosan baru sebagai upaya positivisasi Hukum Islam kedalam Hukum nasional. Pesatnya perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia membuat kebutuhan dalam menyusun materi hukum Ekonomi Syariah perlu segera diadakan. Dalam rangka kebutuhan tersebut KHES akhirnya muncul sebagai hukum materil ekonomi syariah.

D. Analisis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah Bila mencermati isi dari Kompilasi Hukum Ekonomi Syaiah (KHES) tentu saja masih ada beberapa hal yang bisa dijadikan catatan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Beberapa hal tersebut diantaranya: 1. Persipan Penyusunan KHES Terkesan dalam pemyusunan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ini terlalu terburu-buru. Lama pembuatan KHES lebih kurang selama setahun. Bila dibandingkan dengan pembuatan Kompilasi Hukum Islam (KHI)

nampaknya persiapan yang di butuhkan cukup memakan waktu yang lama. KHI dipersiapkan semenjak tahun 1985 dengan adanya SKB Ketua

Mahakmah Agung RI dan Menteri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tangal 25 Maret 1985. Jangka waktu pelaksanaan proyek ditetapkan selama dua tahun terhitung sejak ditetapkannya SKB.13 Salah satu hal yang paling penting dalam penyusunan sebuah Hukum adalah penggalian aspek sosiologis hukum Islam dan legal opinion di kalangan para pakar, ulama, pesantren dan akademisi. Upaya ini merupakan sebuah cara untuk lebih mengindonesiakan Islam supaya sesuai dengan kultur Indonesia itu sendiri. Disamping itu, dengan lebih mendengarkan masukan dari setiap pihak, maka keberadaan hukum tersebut diharapkan dapat lebih berkualitas. Bila melihat persiapan penyusunan KHES ini, nampaknya tidak terlalu mengoptimalkan aspek-aspek sosiologis dan legal opinion dari banyak pakar. Yang dilibatkan dalam penyusunan KHES ini boleh dibilang hanya sebagaian kecil saja, berbeda dengan penyususnan KHI yang banyak melibatkan para Ulama (Kyai), pesantren, akdemisi beberapa IAIN ternama di Indonesia, dan beberapa praktisi lainnya. Namun tentu saja, hal itu tidak menyurutkan apresiasi kita terhadap keberadaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah sebagai karya agung dari Mahkamah Agung sebagai sebuah terobosan baru dalam Sejarah Pemikiran hukm Islam di Indonesia.

13

Deprtemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Dirjen PKAAI,2000),hlm

135 & 138

10

2. Istilah Syariah dalam KHES Materi KHES pada dasarnya adalah sebuah kompilasi dari berbagai ragam fiqh yang telah ada, bahkan ada beberapa hal yang tergolong ijtihad tim penyusun KHES sendiri. Bila melihat terminologi syariah sebagai aturan-aturan atau pokok-pokok yang ditetapkan Allah agar manusia

menjadikannya sebagai peraturan dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama Muslim, sesama Manusia, dan lingkungannya.14 Dengan kata lain syariah merupakan peraturan-peraturan yang bersifat asasi, tetap dan luas cakupannya. Ketika mempergunakan istilah syariah dalam KHES, hal ini mengandung kontradiksi karena Hukum Ekonomi yang merupakan Fiqh Muamalat, tentu tidaklah akan statis namun dinamis. Sebagaimana yang telah menjadi sebuah kaidah umum dalam muamalah, bahwa hukum ashl dari muamalah adalah boleh sepanjang tidak ada nash yang melarang.15 Hukum ekonomi yang terdapat dalam KHES tentu saja merupakan hasil dari pemikiran-pemikiran manusia yang akan terus dinamis sesuai dengan perkembangan zamannya. Bahkan istilah-istilah yang terdapat dalam KHES tentu saja ada yang mengandung istiah-istilah baru seperti pasar modal atau akuntasi. Dari uraian ini, sesunggunya kurang tepat menyebut istilah syariah dalam KHES, barangkali lebih tepat jika menggunakan istilah

Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidah wa asy-Syariah, cet. ke-3 (Mesir: Dar alQalam,1966), hlm. 12
15

14

Lihat As-Suyuti, Al-Asybah Wannadhair, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1403),

hlm 43

11

Hukum Ekonomi Islam sebagaimana yang sudah lazim diperguankan di negara-negara Islam lainnya.16

3. Isi KHES Kebanyakan Konsep Akad Bila melihat seluruh isi dari KHES nampaknya terlalu banyak

membahas konsep akad. Sebagaimana yang dilontarkan oleh hakim Agung Dr. Abdurrahman, KHES hampir 80 % berisi tentang akad.17 Sesuai dengan isi dari KHES, pembahasan konsep akad dapat ditemukan dalam bab II, namun jika diamati lebih lanjut pengaturan pada buku I (subjek Hukum dan Amwal), Buku III (Zakat dan Hibah), dan Bab IV (Akuntasi Syariah), pada dasarnya menyangkut persoalan akad. Akan tetapi dalam beberapa pasal, misalnya pada pembahasan pasar modal (pasal 580-583) bukan termasuk tentang akad akan tetapi tentang tempat dilangsungkannya akad. 4. Rumusan Terminologi Akad Menyangkut rumusan akad yang tertuang dalam pasal 20 angka (1). Pasal ini mendefinisikan akad dengan kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Rumusan ini terkesan hanya sebuah duplikasi. Sebab akad itu sendiri diterjemahkan dengan perjanjian atau kontrak18

16

Abdul Muhits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hlm 152 Badilag dan Pokja Perdata Agama Lakukan Kajian Buku KHES // www.badilag.net

17

Lihat pemaparan Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), hlm 68

18

12

Menurut Musthafa Ahmad Az-zarqa19 akad secara bahasa berarti alrabth yang berarti menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada lainnya hingga keduanya bersambung dan

menjadi seutus tali yang satu. Ada beberapa terminologi akad yang dikemukakan para pakar diantaranya Wahbah Az-zuhaili mendefinisikan akad sebagai pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.20 Adapun menurut Syamsul Anwar memberikan definisi akad dengan pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.21 Dari definisi akad tersebut diperlihatkan hal-hal berikut:22 Pertama akad merupakan keterikatan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Kedua, akad merupakan tindakan dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak dari pihak lain. Ketiga, Tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum.

Musthafa Ahmad Az-zarqa, al-Fiqh al-Islami fi Tsaubuhi Al-Jadid; Al-madkhal alFiqh al-Aam, ( Beirut: Dar al-Fikr, 1967-1968) I:291
20

19

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa adillatuhu, ( Beirut: Daar al-Fikr, tt), IV:81 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta; Rajawali Press, 2007), hlm. 68 Ibid, hlm. 68-69

21

22

13

Dengan demikian, akan lebih kaya makna lagi apabila terminologi yang dikemukakan KHES tidak mengandung duplikasi, namun lebih mengurai pokok-pokok akad seperti ijab qabul antara dua belah pihak.. 5. Belum Menyebutkan Sub-Sub Topik Penting dalam Akad KHES belum menyebutkan sub-sub topik penting dalam akad, sehingga isinya masih terlalu umum. Hal itu akan menimbulkan masalah ketika muncul perkara yang tidak tercover dalam KHES, sehingga penafsiran hakim yang dipaksakan itu justru akan menimbulkan masalah lain, yaitu rasa keadilan para pihak. Disinilah perlunya format hukum yang lebih rinci, sehingga dapat menjawab banyak persoalan. Jika hukum itu terlalu global maka perbedaaan penafsiran khususnya bagi para hakim tidak akan terelakan mengingat cara pandang dan paradigma hakim berbeda-beda.23 6. Jaminan Dalam Mudhorobah Dalam fiqh-fiqh klasik, tidak ada ketentuan bahkan keharusan seorang mudhorib menyerahkan jaminan kepada shohibul maal dalam akad mudhorobah. Hal ini dikarenakan, praktek mudhorobah pada masa lampau masih sangat sederhana dan tentu saja masih dalam suasana kekerabatan dan saling kenal antara satu dan lainnya. Berbeda dengan kenyataan saat ini, mudhorib dan shahibul maal kadangkala tidak mengetahui antara satu dengan lainnya bahkan praktek mudhorobah sekarang sudah diperluas lagi dengan adanya pihak intermediary yakni perbankan. Sehingga untuk mengurangi resiko moral hazard, biasanya
23

Abdul Mughits, Kompilasi Hukum ekonomi Syariah, hlm 153

14

di Perbankan dan

Lembaga keunagan Syariah lainnya, debitor wajib

menyertakan jaminannya. Nampaknya KHES perlu secara cermat mengatur tentang jaminan ini. Apabila pihak debitur menyertakan jaminanya sedangkan usahanya mengalami kerugian, apa yang akan dilakukan pihak Bank atau LKS terhadap jaminan tesebut. Mengingat dalam mudhorobah bila terjadi kerugian karena proses normal dari usaha, dan bukan karena kelalaian atau kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang telah dicurahkannya. Apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya.24 7. Status Riba dalam Akad Qardh Dalam jasa perbankan syariah atau LKS lainnya bisanya ada jenis pinjaman qardh. Qardh merupakan pinjama kebajikan/lunak tanpa imbalan, biasnaya untuk pembelian barang-barang fungible (yaitu barang-barang yang dapat diperkairakan dan diganti sesuai berat, ukuran, dan jumlahnya). Dalam KHES tidak disinggung tentang status hukum riba dalam akad qardh, dipihak lain disebutkan bahwa biaya administrasi dalam akad qardh dibebankan kepada nasabah dengan tidak diberi batasaan. Hal ini akan menimbulkan masalah ketika kreditur menafsirkan secara berlebihan dalam mengambil biaya administrasi sehingga bisa saja terlalu membebani debitur. Maka ditakutkan akan ada riba terselubung. Agar biaya admnintrasi tidak
24

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: Rajawali Press, 2008),hlm. 61

15

menjadi bunga terselubung maka biaya ini tidak boleh dibuat proposrsional terhadap jumlah pinjaman. 8. Nishab dalam Zakat Tanaman dan Buah-Buahan Nishab merupakan jumlah minimal yang wajib dikeluarkan

zakatnya.25 Dalam hal ini nishab dihitung dari harta yang melebihi keperluan pokok: sandang, pangan, dan papan. Ketentuan nishab merupakan hal penting dalam zakat karena dengan batas berapa seseorang wajib mengeluarkan zakatnya. Dalam KHES persoalan nishab zakat Tanaman dan Buah-Buahan belum ada ketentuannya sehingga menimbulkan kontraproduktif dalam menentukan batasan minimal tanaman dan buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya. Sementara jenis harta yanga lainnya disebutkan semua. Tanaman-tanaman dan buah-buahan memang beragam jenis. Namun mayoritas para ahli fiqih berpendapat bahwa tidak ada kewajiban zakat hasil tanaman dan buah-buahan sebelum mencapai lima wasaq. Berdasarkan hadis saw.
26

Berdasarkan hadis tersebut, para ulama telah menghitung persamaan lima wasaq (kata tunggal dari ausaq) dengan ukuran takaran masa kini, dan
Abdullah Nasih Ulwan, Hukum Zakat Dalam pandangan Empat Mazhab , (jakarta: Litera antar Nusa, 1985), hlm. 8
26 25

Mutafaqun alaih

16

mendapati bahwa jumlah tersebut sama dengan kira-kira 653 (enam ratus lima puluh tiga) kg biji-bijian makanan pokok di setiap negara. Indonesia, tentunya dengan beras. Menghitung nishab pada buah-buahan, seperti kurma dan anggur, dilakukan dengan perhitungan setelah kedua-duanya menjadi kering. Yakni kurma yang masih basah (ruthab) menjadi kurma, dan anggur menjadi
27

Di

kismis. Adapun menghitung jumlah buah kurma dan anggur sebelum masak dipohon sebaiknya dengan cara perkiraan atau penaksiran yang dilakukan oleh petugas pengumpul zakat, yang ahli dan berpengalaman, pada saat buahbuahan mulai tampak sempurna (sebelum benar-benar masak). Penaksiran seperti itu, bertujuan untuk mengetahui berapa kilo kirakira kurma atau anggur kering (kismis) yang akan diperoleh kelak. Agar dari perkiraan tersebut dapat diketahui berupa jumlah zakatnya, dan berapa pula yang tetap menjadi hak pemilik.28 Akan lebih komperhensip lagi apabila KHES membicarakan nishab zakat tanaman dan buah-buahan. Supaya, materi KHES lebih lengkap.

E. Penutup Keberadaan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah merupakan sebuah terobosan dan respon atas kebutuhan hukum ekonomi saat ini. Ketika
27

Sayyid Sabiq, Fiqh As-sunah, (Mesir: Dar al-Fikr, 1977), I:299 Muhamad Bagir al-Habsyi, Fiqh Praktis I, (Bandung: Mizan, 2005), hlm 292

28

17

perkembangan aktivitas ekonomi Islam di Indonesia menunjukan angka yang memuaskan, tentu saja akan dibarengi dengan benturan berbagai kepentingan. Maka keluarlah Undnag-Undang No 3 Tahun 2008 tentang Peradilan Agama yang memberikan keluasan kepada PA untuk menangani sengketa ekonomi Syariah. Bagai gayung bersambut, peradilan Agama-pun mulai berbenah dan mempersiapkan hukum materil untuk menyelesaikan sengketa ekonomi Islam tersebut. Maka lahirlah Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Keberadaan regulasi-regulasi yang bernafaskan islam tentu saja sebagai upaya positivisasi hukum Islam kedalam Hukum nasional. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah tentu saja bukan Kitab suci yang tidak bisa diubah-ubah. Oleh karena itu, dapat dianalisis bahwa memang masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki dalam KHES tersebut. Sebagaimana yang telah menjadi sebuah kaidah fiqh berubahnya hukum karena perubahan wakktu, tempat dan keadaan.

18

DAFTAR PUSTAKA

Agustianto, Urgensi Kodifikasi www.pesantrenVirtual.com

Hukum

ekonomi

Syariah,

dalam

Anshari, Endang saifudin, Perjuangan Konstituional Para Nasionalis islami Dalam Bidang Konstitusi, Dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Rosdakarya, 1991 Anwar, Syamsul Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta: Rajawali Press, 2007 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: Rajawali Press, 2008 Deprtemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Dirjen PKAAI,2000 al-Habsyi, Muhamad Bagir. Fiqh Praktis I, Bandung: Mizan, 2005 Hamidi, M. Luthfi Jejak-Jejak Ekonomi Syariah, Jakarta: Senayan Abdi Publishing, 2003 Ichtijanto, Perkembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Rosdakarya, 1991 Mughits, Abdul Kompilasi hukum Ekonomi Syariah (KHES) Dalam Tinjauan Hukum Islam. Dalam Jurnal Al-Mawarid Edisi XVIII tahun 2008 Rahardjo, Satjipto Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya bakti, 1996 Rusydi, M. Formalisasi Hukum Islam: peluang dan tantangan, Dalam Jurnal Al-mawarid Edisi XVII Tahun 2007 Sabiq, Sayyid Fiqh As-sunah, Mesir: Dar al-Fikr, 1977 As-Suyuti, Al-Asybah Wannadhair, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1403 Syaltut, Mahmud, al-Islam Aqidah wa asy-Syariah, cet. ke-3, Mesir: Dar alQalam,1966 Ulwan, Abdullah Nasih Hukum Zakat Dalam pandangan Empat Mazhab, jakarta: Litera antar Nusa, 1985 Az-zarqa, Musthafa Ahmad, al-Fiqh al-Islami fi Tsaubuhi Al-Jadid; Al-madkhal al-Fiqh al-Aam, Beirut: Dar al-Fikr, 1967-1968

19

Az-Zuhaili, Wahbah Al-Fiqh Al-Islam Wa adillatuhu, Beirut: Daar al-Fikr, tt Undang-Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Wahid, Marzuki Fiqh Mazhab Negara: Kritik AtasPolitik Hukum di Indonesia, Yogyakarta: LKIS, 2001 www.badilag.net

20

Você também pode gostar