Você está na página 1de 8

BAB III ANALISA MASALAH

Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Menurut WHO tahun 2006, Indonesia masih menjadi negara penyumbang TB terbesar nomor tiga (3) setelah India dan Cina. Pada tahun 2010, ada 5,4 juta kasus baru TB, termasuk 1,1 juta kasus TB pada orang dengan HIV. Sementara, pada tahun yang sama, diperkirakan 3, 4 % dari kasus TB baru adalah TB MDR (Multi Drugs Resistant). Situasi global ini menunjukkan penanggulan TB masih belum efektif dilakukan. Oleh karena itu, kemitraan global dalam rangka pengendalian TB (stop TB partnership) mengembangkan strategi yang salah satunya adalah pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat (DikJen PP & PL, 2012). Keterbatasan pemerintah dan besarnya tantangan TB saat ini memerlukan peranan aktif dan semangat kemitraan dari semua pihak yang terkait, seperti masyarakat yang menjadi target penyebaran kasus TB. Atas dasar inilah, pengorganisasian masyarakat diperlukan dan dijadikan sebagai strategi yang tepat untuk menanggulangi kasus TB. Pengorganisasian masyarakat memiliki hubungan erat dengan berbagai pemberdayaan, pengembangan, sekaligus kemitraan di masyarakat. Banyak masalah, terutama diperkotaan yang dapat diselesaikan dengan partisipasi masyarakat melalui program pengembangan yang ada. Pemberdayaan atau empowerment merupakan suatu proses pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang meningkatkan penguasaan seseorang atas kehidupan yang mengubah keputusan (Allender, 2005). Tujuan pendekatan pemberdayaan masyarakat kota ini adalah untuk membantu masyarakat mengidentifikasi masalah mereka sendiri dan bekerjasama untuk membantu mencapai taraf kesehatan tertinggi. Konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, antara lain adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru (Hitchcock, Scubert, & Thomas, 1999). Penerapan pengorganisasian melalui pemberdayaan di masyarakat terkait kasus TB diawali dengan pengkajian yang meliputi pengenalan masyarakat dan pengenalan masalah. Pengenalan masyarakat terkait dengan pengenalan pada organisasi yang berdiri di masyarakat (Allender, Rector, & Warner 2010). Organisasi yang dapat dimanfaatkan tidak hanya organisasi formal

seperti LSM yang melibatkan tenaga ahli tetapi dapat juga melalui organisasi informal (kelompok swadaya masyarakat) seperti pemberdayaan di RT RW. Pengenalan masalah menekankan pada data kesehatan keluarga seperti riwayat TB sebelumnya, ekonomi dan tingkat pendidikan keluarga. Tahap ini juga menitikberatkan pada uji validitas sebagai upaya pengolahan data untuk berikutnya ketahap perencanaan, jadi ketika masih terdapat data pengenalan yang dibutuhkan maka perencanaan belum dapat diaktualisasikan. Salah satu organisasi masyarakat yang dapat diberdayakan yaitu Pos TB Desa. Pos TB Desa adalah salah satu bentuk kemitraan yang menjadi bagian dari kegiatan Desa atau Kelurahan Siaga. Pos TB Desa lebih ditekankan dalam bentuk kegiatan pelayanan dan tidak harus memerlukan adanya sarana fisik khusus tetapi dapat memanfaatkan sarana yang telah tersedia di desa tersebut. Tujuannya untuk memperluas jangkauan dan mendekatkan pelayanan TB bagi masyarakat di daerah yang sulit dijangkau dalam rangka meningkatkan pencapaian keberhasilan program pengendalian TB yang terintegrasi di Poskesdes dan UKBM lainnya. Organisasi lainnya yang dapat dijadikan Partnership yaitu PAMALI TB Indonesia. PAMALI TB adalah Perkumpulan Pasien dan Masyarakat Peduli TB yang bergerak dalam upaya penyadaran, sosialisasi dan penggerakan masyarakat dalam upaya penanggulangan TB di Indonesia. Dibentuk pada tahun 2006 oleh Pasien/Mantan Pasien, Masyarakat, dan Praktisi kesehatan, untuk mendorong penurunan angka penularan dan kesakitan TB yang tinggi di Indonesia. Tujuan pembentukan PAMALI TB Indonesia, antara lain di bidang sosial yaitu meningkatkan peran serta pasien dan masyarakat dalam upaya penanggulangan TB melalui penyuluhan dan informasi secara tepat dan lengkap, mengadakan hubungan kerjasama dengan instansi baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, badan-badan, lembagalembaga lain di dalam maupun di luar negeri. Melalui organisasi organisasi formal dan informal inilah, perawat dapat bekerjasama dan dapat melakukan pemberdayaan untuk mencegah terjadinya kasus TB ataupun menangani masyarakat dengan TB. Tahap berikutnya yaitu perencanaan untuk mengatasi penyakit TB yaitu dengan cara membuat desain penyampaian informasi dan motivasi secara individu, melalui kegiatan konsultasi, konseling dengan secara lisan atau dengan memanfaatkan berbagai bentuk media seperti buklet, lembar balik, liflet, poster, self assessment disesuaikan dengan kondisi. Kemudian pada tahap ini juga dapat membuat rancangan untuk motivasi kelompok dengan cara lisan maupun tulisan seperti memberi informasi tentang pencegahan TB, modifikasi lingkungan yang

tepat untuk penderita TB serta demonstrasi pemeliharaan klien dengan TB. Tahap pelaksanaan dapat dilakukan yang mulanya perawat melakukan kunjungan rumah (home visit) dan pelayanan asuhan keperawatan (home nursing), tahap ini perawat hanya sebagai fasilitator dan mulai memberikan kesempatan kepada masyarakat yang mengkoordinir. Tahap pemantauan dan pengevaluasian merupakan tahapan perawat melakukan monitoring terhadap hasil kinerja masyarakat terhadap masalah TB. Pemantauan dan pengevaluasian ini penting untuk mengkaji ulang (reassessment) perencanaan dan pembinaan selama pelaksanaan. Perawat perlu mengevaluasi tujuan awal yaitu untuk memberdayakan organisasi terkait dengan penyuluhan penanganan TB. Penilaian dapat dilaksanakan selama pelaksanaan kegiatan (penilaian formatif untuk memepertahankan tujuan sesuai dengan track awal dan mempertimbangkan

keberlanjutan)dan juga setelah pelaksanaan kegiatan (penilaian sumatif: untuk mengetahui indikator keberhasilan terlihat pemeliaharaan klien TB dengan menciptakan lingkungan yang tepat. Dalam kasus TB di Indonesia, selain konsep pengorganisasian sebagai pemberdayaan masyarakat dan komunitas dalam meningkatkan kesadaran serta pengetahuan tentang TB, perawat juga dapat melakukan perawatan berkelanjutan. Perawatan berkelanjutan sebagai suatu proses yang melibatkan perpindahan klien secara teratur di antara berbagai elemen dari sistem pemberi pelayanan. Dalam kasus TB banyak jenis perawatan berkelanjutan yang dapat digunakan, diantaranya: home care, hospice care, sistem rujukan dan discharge planning. Dalam home care perawatan TB dapat dilakukan secara berkesinambungan dan komprehensif yang diberikan kepada individu dan keluarga di tempat tinggal mereka dengan tujuan meningkatkan, mempertahankan atau memulihkan kesehatan serta memaksimalkan tingkat kemandirian dan meminimalkan akibat dari penyakit. Fokus utama pelayanan home care terhadap kasus TB yakni memandirian klien dan keluarga. Perawat menangani pemulihan dan stabilisasi penyakit di rumah dan mengidentifikasi masalah yang berhubungan dengan gaya hidup, keamanan, lingkungan, dinamika keluarga dan praktek layanan kesehatan. Home care bagi penderita TB memiliki manfaat tersendiri, yakni klien menjadi lebih dekat dengan keluarganya dan klien tidak merasa diabaikan sehingga menciptakan rasa aman dan nyaman antara klien dan keluarganya sehingga secara tidak langung dapat meningkatkan kualitas hidup klien. Bagi keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah sangat merasakan manfaat yang sangat besar dengan adanya

home care, keluarga dapat menghemat biaya karena tidak perlu lagi mengeluarkan biaya kamar di RS, transport dari rumah ke RS dan sebaliknya. Selain home care, jenis perawatan berkelanjutan lainnya adalah hospice care. Hospice care dapat digunakan bagi penderita TB yang sudah masuk pada tahap terminal yang dapat melanjutkan pelayanan perawatan di rumah dibawah pengawasan tenaga kesehatan. Fokus perawatan hospice adalah perawatan paliatif, bukan pengobatan kuratif. Manfaat yang didapat dari pelayanan hospice care untuk penderita TB meliputi dapat memelihara kondisi kesehatan dan kesejahteraan klien, meringankan rasa sakit dan memfasilitasi rasa nyaman klien, serta mempersiapkan klien dan keluarga untuk menghadapi kondisi penyakit dan kematian. Jenis perawatan berkelanjutan yang ketiga adalah sistem rujukan. Dalam sistem rujukan terdapat pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap penyakit TB secara vertikal dari unit berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu atau secara horizontal antar unit-unit yang setingkat kemampuannya. Ini sangat bermanfaat bagi penderita TB yang di rawat di klinik, puskesmas atau unit pelayanan kesehatan yang belum lengkap fasilitasnya. Rujukan yang dipilih dapat menggunakan rujukan medis, kesehatan maupun rujukan manajemen. Untuk penderita TB, rujukan medis sangat bermanfaat bagi perawatan penyakitnya karena dalam rujukan medis terdapat transfer of patient yaitu konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan operatif, transfer of specimen yaitu pengiriman bahan (specimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap serta transfer of knowledge /personel yaitu pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli atau meningkatkan mutu layanan pengobatan setempat. Sehingga dengan pelayanan berkelanjutan ini penderita TB dapat memaksimalkan perawatannya. Perawatan berkelanjutan yang terakhir adalah discharge planning. Discharge planning dilakukan bagi penderita TB untuk mempersiapkan klien dan keluarga baik secara fisik maupun psikologis untuk memindahkan klien ke rumah, meningkatkan tingkat kepercayaan diri klien dan keluarga dalam melakukan aktifitas perawatan dirumah, meningkatkan perawatan berkelanjutan antara rumahsakit dan komunitas dengan adanya koordinasi ataupun komunikasi yang efektif, mendorong keamanan klien selama permindahan klien kerumah dengan didukung fasilitas kesehatan yang dipersiapkan untuk klien. Discharge planning mengikuti proses keperawatan dimulai dari pengkajian klien penderita TB sebagai pertemuan pertama, sebagai perawat harus mengetahui perencanaan keperawatan untuk mengatur bagaimana perawatan yang akan

dilakukan. Perencanaan dan pengaturan tujuan berfokus pada kebutuhan dan kemampuan klien dan keluarga. Komunitas butuh diberikan edukasi terkait tanda dan gejala yang mengindikasikan adanya komplikasi dengan kondisinya serta mereka perlu diberikan informasi bagaimana mereka bisa melaporkan masalah kesehatan yang terjadi tersebut. Sehingga, klien dan keluarga memiliki kesempatan untuk mendiskusikan perawatan apa yang bisa mereka dapatkan dan juga proses penyembuhannya. Pada fase intervensi dapat meningkatkan identifikasi sumber yang dibutuhkan dan memutuskan suatu keputusan. Nomor-nomor telepon penting, nama-nama penting yang bisa dihubungi serta pelayanan komunitas harus diberikan kepada klien dan keluarga. Ada beberapa strategi intervensi yang dapat dilakukan untuk menangani kasus TB di Indonesia. Intevensi tersebut antara lain dengan cara intevensi direct care, pendidikan kesehatan dan komunitas kemitraan. Direct care merupakan intervensi yang dilakukan melalui interaksi langsung dengan klien TB (Basavanthapa, 2008). Intervensi perawatan langsung antara perawat dan klien meliputi perawatan fisiologis dan tindakan keperawatan psikososial. Intervensi keperawatan melalui pendidikan kesehatan untuk menurunkan risiko dan komplikasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Prevensi primer ditujukan bagi orang-orang yang termasuk kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita tetapi berpotensi untuk menderita. Contoh dalam kasus TB, dengan memberikan pendidikan kesehatan tentang kebersihan perindividu, pemenuhan gizi, kebersihan lingkungan, system ventilasi yang baik. Selain itu juga dilakuakan pemeriksaan awal, berkala dan khusus pada komunitas yang beresiko serta dilakukan penelitian kesehatan terkait TB, untuk mengetahui persebaran, atau kemungkinan munculnya jenis baru dari TB. Prevensi sekunder bertujuan untuk mencegah atau menghambat timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan intervensi keperawatan sejak awal penyakit. Dalam mengelola, sejak awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Penyuluhan dan pengelolaannya secara mandiri memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien. Sistem rujukan yang baik akan sangat mendukung pelayanan kesehatan primer yang merupakan ujung tombak pengelolaan. Pada kasus TB bentuk pencegahan sekunder adalah dengan pengawasan dan penyuluhan untuk mendorong pasien TB bertahan pada pengobatan yang diberikan oleh seorang tenaga kesehatan, pengamatan langsung mengenai perawatan pasien TB baik di rumah atau tempat kerja, case

finding secara aktif mencakup identitas TB pada orang-orang yang dicurigai dan rujukan untuk melakukan pemeriksaan dahak dngan mikroskopis secara berkala. Kemudian juga membuat peta TB sehingga ada gambaran lokasi yang menjadi prioritas dalam penanggulangan TB. Prevensi tersier apabila sudah muncul penyakit menahun, maka perawat komunitas harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan/komplikasi lebih lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Dalam kasus TB, upaya prevensi tersier dalam bentuk mendorong Pasien TB untuk patuh mengikuti program (kepatuhan untuk meminum OAT), dilakukan pendidikan kesehatan kepada individu dan keluarga untuk mencegah penyakit terulang dan mencegah terjadinya penularan pada anggota keluarga yang lain, dan melihara stabilitas klien (Allender & Spradley, 2005). Contoh langsung intervensi melalui pendekatan kemitraan yang berbasis komunitas dalam program penanggulangan tuberkulosis telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Timur yaitu dengan adanya peran serta masyarakat melalui Paguyuban Penderita Tubekulosis Kec. Sumberjamber. Untuk pelayanan pengobatan tuberkulosis, Puskesmas Sumberjambe secara khusus mengumpulkan hari pemberian obat anti tuberkulosisi (OAT) pada hari yang sama sehingga sesama penderita sering bertemu dan saling tukar menukar informasi terutama tentang penyakit yang diderita dan pengalaman berobatnya. Kegiatan utama dari paguyuban ini adalah: 1) Pertemuan rutin 3 bulanan; 2) Penemuan suspek di masyarakat dan; 3) Sebagai pengawas minum obat. Intevensi lain yang dapat dilakukan pada kasus TB adalah dengan proses kelompok, kolaborasi, pemberdayaan dan networking. Pada proses Kelompok terdapat tiga jenis model, yaitu: Model pengembangan masyarakat (locality development) : membentuk suatu kelompok di masyarakat yang dikembangkan sesuai dengan inisiatif dan kebutuhan masyarakat setempat, misalnya Posbindu, Bina Keluarga, atau Karang Taruna untuk mendukung dan memudahkan proses keperawatan TB yang dilaksanakan di perumahan tersebut. Model kedua adalah model perencanaan sosial (social planning), yang merupakan model perencanaan sosial dalam pengelolaan agregat lebih menekankan pada teknik menyelesaikan masalah kesehatan agregat dari pengelola program di birokrasi, misalnya The Union for TB and Lung Diseases dan Global Fund, Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Lung Association TB, Dinas Kesehatan atau Puskesmas. Kegiatan bersifat kegiatan top-down planning. Tugas perencana program kesehatan adalah menetapkan tujuan kegiatan, menyusun rencana kegiatan,

dan mensosialisasikan rencana tindakan kepada masyarakat. Perencana program harus memiliki kemampuan dan ketrampilan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks termasuk kemampuan untuk mengorganisasikan lintas sektor terkait. Model terakhir adalah model aksi sosial (social action), yaitu kampanye gaya hidup sehat untuk mencegah penyakit TB. Pada intevensi kolaborasi, perawat komunitas dapat berkolaborasi dengan klien, peer group serta tenaga kesehatan lain seperti dokter spesialis paru maupun perawat spesialis KMB. Kolaborasi dengan profesional kesehatan lainnya atau dengan orang-orang dalam organisasi lain yang bekerja menuju tujuan bersama sering menjadi bagian dari kesehatan masyarakat. Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama, masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya, anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik, dan masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung dalam tim. Konsep pemberdayaan yang dapat diterapkan di masyarakat dengan TB adalah perawat komunitas bekerja sama dengan klien atau masyarakat, bukan perawat komunitas bekerja untuk masyarakat. Intinya adalah berpusat pada klien. Output yang diinginkan dari pemberdayaan ini Adalah terciptanya 3 C yang harus terbangun dalam diri klien yaitu kesadaran akan perubahan (conciusness); tahu dan terampil dalam bertindak (competence) serta percaya diri (confidence) dalam menghadapi masalah TB. Kunci utama dari pemberdayaan ini adalah KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi). Perawat komunitas dapat memberdayakan masyarakat yang sedang, pernah, maupun belum pernah menderita TB untuk mencapai tujuan pemberdayaan yang sebelumnya telah dipaparkan. Strategi intervensi dengan cara networking akan sangat membantu berjalannya peran perawat secara keseluruhan. Semakin luas jangkauan networking perawat, semakin mudah baginya untuk dapat melakukan pelayanan keperawatan dan promosi keperawatan, memberikan pengaruh yang luas bagi masyarakat, mempermudah perawat ketika melakukan penelitian, membuat perawat lebih peka akan masalah kesehatan yang banyak terjadi di masyarakat, dan mengkoordinasikan pembahasan kasus kesehatan yang ada. Oleh karena itu, diharapkan perawat dan meningkatkan kemampuan dalam Public Relation dan pemanfaatan media komunikasi sosial, agar semakin luasnya komunitas yang mendapatkan pelayanan kesehatan keperawatan. 1. Anggota dari tim kesehatan masyarakat seperti epidemiologi, pekerja sosial, nutrisionis dan pendidik kesehatan. 2. Organisasi kesehatan pemerintah, seperti Departemen Kesehatan,

Departemen Kesejahteraan Sosial, PMI, The Union for TB and Lung Diseases dan Global Fund, Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Lung Association TB. 3. Penyedia layanan kesehatan, seperti Rumah Sakit Paru, RS Umum, RSUD, RS Swasta, Puskesmas, posyandu. 4. Organisasi dan koalisi masyarakat, seperti LSM, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) 5. Unit pelayanan komunitas, seperti sekolah, lembaga bantuan hukum dan UGD. 6. Industri dan bisnis obat-obatan terutama Obat Anti TB (OAT). 7. Institusi penelitian dan pendidikan, seperti LIPI dalam jurnal penelitian penyakit paru terkhusus TB.

Você também pode gostar