Você está na página 1de 11

Anatomi Nervus Oculomotorius

Nervus okulomotorius mengandung dua yaitu macam serat yaitu serat serat eferen somatik dan serat serat eferen viseral, oleh karena itu saraf ini mempunyai dua nucleus. Pertama nucleus oculomotorius, terdiri dari dari sel sel neuron multipolar dan terletak setinggi colliculus superior pada mesenchepalon, langsung di sebelah dorsal fasciculus longitudinalis medialis dan dekat dengan garis median, menempati suatu posisi pada bagian ventral substantia grisea sentralis. Kedua, nucleus Edinger Westphal, terdiri atas neuron neuron kecil, bentuk ovoid, menyerupai sel sel neuron pada nucleus dorsalis nervus X. Nucleus ini terletak pada ujung permukaan dorsomedial bagian central nucleus occulomotorius. Nucleus Edinger Westphal merupakan salah satu pusat parasimpatik dalam batang otak dan menjadi pusat sumber serat serat eferen visceral nervus III. Serat serat nervus okulomotorius keluar dari nucleus okulomotorius dan nucleus Edinger Westpal dalam bentuk berkas berkas halus yang berjalan ke arah ventral, beberapa berkas ini berjaln di sebelah medial dan sebagian berjalan melalui nucleus ruber. Terus ke arah ventral berkas berkas tersebut kembali bersatu dan pada akhinya mencapai permukaan batang otak di daerah fossa interpenducularis (mesensephalon). Nervus occulomotorius memasuki orbita melalui fisura orbitalis superior. Di dalam orbita serat serat eferen somatik melayani musculus rectus superior, musculus rectus superior, musculus rectus inferior, musculus rectus medialis, musculus rectus obliquus inferior dan juga musculus levator palpebra superior. Serat serat eferen visceral di dalam mata menuju ke gangglon cilliare yang terletak di sebelah lateral nervus opticus. Serat serat parasimpatik preganglionik ini mengadakan sinapsis di dalam ganglion ini, selanjutnya serat serat parasimpatik posganglionik dari gangglion cilliare dikenal dengan nn. Ciliares breves dan menembus bulbus oculi untuk melayani musculus ciliaris (untuk akomodasi) dan musculus sphincter pupil (untuk mengecilkan pupil mata). Serat serat eferen visceral ini juga merupakan bagian eferen dari lengkungan reflek cahaya pupil dan reflek akomodasi konvergensi. Fibrae corticonuclear disebarkan secara bilateral pada nuclei occulomotorius, secara homolateral pada nucleus trochlear dan konralateral terhadap nucleus abducen. Serat serat fasciculus pyramidalis ini tidak berasal dari kortek motorik primer , akan tetapi berasal dari suatu daerah kortek yang lazim dikenal sebagai daerah opokinetik frontal sesuai dengan daerah brodman 8. Pusat cortikal ini mengatur pergerakan konjugasi bulbus oculi di bawah

pegendalian kemauan. Fibrae corticonuclear mencapai nucleus oculomotorius, nucleus trochearis dan nucleus abducens di dalam batang otak mungkin melalui capsula interna.

Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam otot ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan mata terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat sebagai suatu agonis, misalnya muskulus rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan abduksi mata.

Tabel 1. Fungsi Otot Mata Otot Rektus lateral Rektus medial Rektus superior Rektus inferior Obliq superior Obliq inferiot Kerja Primer Abduksi Adduksi Elevasi Depresi Intorsi Ektorsi Kerja Sekunder Tidak ada Tidak ada Aduksi, intorsi Aduksi, ekstorsi Depresi, abduksi Elevasi, abduksi

Otot rektus medialis dan lateralis masing-masing menyebabkan aduksi dan abduksi mata, dengan efek ringan pada elevasi atau torsi. Otot rektus vertikalis dan obliqus memiliki fungsi rotasi vertikal dan torsional. Secara umum, otot-otot rektus vertikalis merupakan elevator dan depresor utama untuk mata, dan otot obliqus terutama berperan dalam gerakan

torsional. Efek vertikal otot rektus superior dan inferior lebih besar apabila mata dalam keadaan abduksi. Efek vertikal otot obliqus lebih besar apabila mata dalam keadaan aduksi. Otot-otot sinergistik adalah otot-otot yang memiliki bidang kerja yang sama. Dengan demikian untuk tatapan vertikal, otot rektus superior dan obliqus inferior bersinergi menggerakan mata ke atas. Otot-otot yang sinergistik untuk suatu fungsi mungkin antagonistik untuk fungsi lain. Misalnya, otot rektus superior dan obliqus inferior adalah antagonis untuk torsi, karena rektus superior menyebabkan intorsi dan obliqus inferior menyebabkan ekstorsi. Otot-otot ekstraokular, seperti otot rangka, memperlihatkan persarafan timbal balik otot-otot antagonistik (Hukum Sherrington). Dengan demikian, pada dekstroversi, otot rektus medialis kanan dan lateralis kiri mengalami inhibisi sementara otot lateralis kanan dan rektus medialis kiri terstimulasi.

Etiologi Parese Nervus III Penyebab parese nervus III antara lain: a. Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot otot ekstraokular dan kadang disertai dengan ptosis. Tidak terdapat iternal oftalmoplegia. b. Trauma, dapat berupa trauma karena kelahiran ataupun kecelakaan. Namun nervus okulomotorius ebih kecil kemungkinannya tertekan dibanding nervus abdusens. c. Aneurisma, biasanya mengenai arteri comunicans posterior atau arteri carotis interna pars supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotius dapat terjadi sebagian atau total dan biasanya disertai dengtan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma terjadi pada arteri carotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan biasanya di dahului oleh kelumpuhan nervus abdusens. d. Diabetes dan hipertensi. Kelumpuhan disebabkan oleh arterosklerosis. e. Neoplasma. Kerusakan pada okulomotorius dapat terjadi akibat invasi neoplasma pada nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang perjalanan nervus okulomotorius mulai dari fasciculus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya di orbital contohnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofise dan meningioma. Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda dengan anak anak. Berikut ini penyebab parese nervus okulomotorius pada dewasa dan anak anak pada tabel dibawah ini. Tabel 2.1 Etiologi parese nervus okulomotorius pada orang dewasa

Etiologi

Rucker (335 kasus) Jumlah Persentase 19 19 15 2 11 28

Rucker (273 kasus) Jumlah 50 47 34 0 50 55 Persentase 18 17 13 0 18 20

Green (130 kasus) Jumlah 38 25 14 12 5 33 Persentase 13 6 5 4 1 12

Aneurisma Vaskuler Trauma Sipilis Neoplasma Penyakit Lain Misseleneus

64 63 51 6 35 95

21

38

12

Tabel Etiologi parese nervus III Etiologi Miller (30 kasus) Jumlah Kongenital Aneurisma Neoplasma Penyakit vaskuler Trauma Inflamasi Misselaneus 6 4 2 20 13 7 13 2 3 Persentase 43 7 10 2 4 3 5 6 13 9 10 Harley (32 kasus) Jumlah 15 3 Persentase 47 9

Gejala Klinis 1. Parese Okulomotor Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius mempengaruhi M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. Levator palpebra, dan kedua M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral. Dari fasikulus nervus okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita, semua lesi lain menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral. Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena otot rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai

dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil tertutup. Mata mungkin hanya dapat digerakan ke lateral. Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi: a. Kelumpuhan total nervus okulomotorius Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular dan semua otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius terkena, disertai dengan hilangnya refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil. Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis, juga terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan. Akibat lumpuhnya otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius dan karena fungsi dari M. rektus lateral dan M. Obliqus superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena kelopak mata yang ptosis menutupi pupil. b. Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot intraokular dan ekstraokular dapat terjadi secara terpisah. Eksternal oftalmoplegia Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah, dan apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami diplopia. Untuk mengatasi diplopia, pasien akan mengatur posisi kepalanya agar penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi postur abnormal dari kepala pasien. Internal oftalmoplegia Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang terjadi adalah hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan midriasis akibat paralisis M. sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia karena tidak terjadi strabismus. Letak kelumpuhan vaskuler yang biasanya disebabkan oleh diabetes melitus, migren, ataupun hipertensi sering terjadi di daerah sinus kavernosus, tempat serat-serat pupil terletak perifer dan mendapat banyak makanan dari vasa vasorum sehungga pada lesi-lesi iskemik biasanya pupil tidak mengalami gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya aneurisma, serat-serat pupil terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi iskemik respon pupil

umumnya normal, sedangkan lesi kompresif menyebabkan pupil mengalami dilatasi dan fiksasi total. Kurang dari 5% kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik berkaitan dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial. 2. Sinekinesis Okulomotor (Regenerasi aberan nervus okulomotorius) Fenomena ini ditandai oleh: Diskinesia kelopak mata pada saat menatap horizontal akibat M. Levator palpebra bekerja sewaktu M. rektus medialis bekerja Aduksi sewaktu berusaha melihat ke atas akibat M. rektus medialis bekerja sewaktu M. rektus superior bekerja Retraksi sewaktu berusaha melihat ke atas karena kedua rektus, yang bersifat retraktor, bekerja, Pupil pseudo-Argyll Robertson, yaitu tidak ada respon cahaya, tidak ada respon dekat pada posisi primer tetapi respon dekat pada aduksi atau aduksi-depresi akibat persarafan pupil dari M. rektus inferior atau medialis; Tanda pseudo-Graefe, dimana terjadi retraksi kelopak mata sewaktu menatap ke bawah akibat persarafan kelopak dari M. rektus inferior Respon nistagmus optokonetik vertikal monokular akibat otot-otot yang memfiksasi mata yang terkena bekerja bersama-sama sehingga hanya mata normal yang berespon terhadap target yang bergerak. Sinkinesis okulomotor ini mungkin terjadi tidak saja sebagai kombinasi kesalahan arah akson yang sedang tumbuh ke selaput yang salah tetapi juga sebagai akibat dari transmisi atau timbal balik antara akson-akson yang tidak memiliki penutup selaput mielin. Sinkinesis okulomotor dapat terjadi akibat trauma berat atau penekanan N III oleh aneurisma a. komunikans posterior, atau secara primer disebabakan oleh aneurisma a. karotis interna atau meningioma di sinus kavernosus. Apabila penekanan berlangsung beberapa minggu, maka sering diperlukan bedah strabismus untuk memperoleh penglihatan tunggal binokular.

3. Kelumpuhan okulomotor siklik Kelumpuhan okulomotor siklik dapat menjadi penyulit kelumpuhan kongenital nervus okulomotorius. Kelainan ini merupakan proses predominan unilateral yang jarang terjadi berupa kelumpuhan N III yang memperlihatkan spasme siklik setiap 10-30 detik. Selama selang waktu ini, ptosis membaik dan akomodasi meningkat. Fenomena ini berlanjut terus seumur hidup tetapi berkurang sewaktu tidur dan meningkat seiring dengan tingkat

kewaspadaan. Kelainan ini mungkin terjadi akibat lepas muatan periodik oleh neuron-neuron yang rusak di nukleus okulomotorius yang menimbulkan rangsang subthreshold yang semakin bertambah sampai timbul lepas muatan.

PEMERIKSAAN KLINIS A. Anamnesis a. Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang. Semakin dini onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi penglihatan binokularnya. b. Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten. c. Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar di posisiposisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat. d. Diplopia: pasien dewasa dengan strabismus paralitik/inkomitan akan mengeluh melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena terjadi supresi pada bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi ambliopia. Keluhan diplopia dapat membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan mengenai arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara horizontal maka kemungkinan otot yang mengalami kelumpuhan adalah otot rektus lateralis atau medialis. Apabila bayangan yang dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka kemungkinannya terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Misalnya, diplopia akan terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan dan bayangan tersebut terpisah secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin terkena adalah otot rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan pergerakan bola mata. e. Ketajaman penglihatan: baik atau menurun f. Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau trauma (trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan). Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau faktor penyebab paresenya nervus okulomotorius.

B. Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi Inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi konstan atau intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui. Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat unilateral, sedangkan pada ptosis miogenik biasanya bilateral. Karakteristik dari ptosis unilateral adalah pasien berusaha untuk meningkatkan fisura palpebra dengan cara merengut atau mengernyitkan dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis kongenital biasanya mengenai satu mata saja. Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung. Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan kornea. Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1 mm penyimpangan sama dengan 15 dioptri prisma (70). Ortofori bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengah pupil. Heterofori bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengah pupil. Pergerakan mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta pasien mengikuti pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus ke depan, 6 posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke atas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke bawah beberapa otot bekerja bersamaan sehingga sulit mengevaluasi kerja masing-masing otot. Oleh karena itu dalam menilai kelumpuhan otot-otot ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi kardinal lebih bernilai diagnostik. Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata baik secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf yang mempersarafi otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih tinggi lagi, dapat terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan mata normal. Ketajaman penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara tersendiri. Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada anak dapat dinilai dengan menggunakan E jungkir balik (Snellen) atau gambar Allen. Cover-uncover test: tes ini bertujuan untuk menentukan sudut deviasi/sudut strabismus. Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain ditaruh penutup untuk menghalangi pandangannya, kemudian amati mata yang tidak ditutup apakah mata tersebut bergerak untuk melakukan fiksasi atau tidak. Setelah itu buka penutup yang telah dipasang dan perhatikan apakah mata yang telah dibuka penutupnya melakukan

fiksasi kembali atau tidak. Jika mata tersebut melakukan fiksasi maka mata tersebut normal dan mata yang mengalami deviasi adalah mata sebelahnya. Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut strabismus. Untuk tes ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca berwarna merah dan kaca berwarna hijau pada mata lainnya. Kemudian pasien diminta untuk memegang tongkat dengan lampu hijau dan diminta untuk menunjuk cahaya merah yang terlihat pada layar dengan tongkat tersebut. Dengan tes ini masing masing mata dapat dinilai sehingga dapat diukur arah dan sudut deviasinya. Penilaian dan pengukuran deviasi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah penting, tidak hanya untuk mendiagnosa otot ekstraokular mana yang terkena tapi juga sebagai patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot sehingga kemajuan pasien dapat dievaluasi dengan baik. Pemeriksaan sensorik: pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai status pengihatan binokular. Pemeriksaan tersebut adalah untuk stereopsis, supresi, dan potensi fusi. Semua memerlukan dua sasaran terpisah untuk masing-masing mata.

C. Pemeriksaan penunjang Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan mengarah pada gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang disertai rasa nyeri, yang dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada kasus-kasus seperti ini pasien sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi pada kasus-kasus yang tidak membutuhkan penganganan dengan segera dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yang mungkin dapat membantu dalam mencari penyebab dan menegakan diagnosa, antara lain: a. Gula darah b. Foto kranium c. Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan orbita d. Tes fungsi tiroid dan autoantibodi e. Tensilon (edrophonium) test, untuk menegakan diagnosa miastenia gravis f. CT brain / MRI / angiografi karotis pada kasus-kasus neurologis

TERAPI a. Terapi untuk strabismus Pada dasarnya terapi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah dengan mengatasi faktor penyebab timbulnya parese nervus okulomotorius.

Terapi Medis

Terapi ambliopia Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup untuk merangsag mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi ambliopia, yaitu: -Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus. Bila ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka diterapkan penutupan paruh waktu. Terapi oklusi dilanjtukan selama ketajaman penglihatan membaik (kadang-kadang sampai setahun). Penutupan sebaiknya tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan. -Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan setelah fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik melewati usia dimana ambliopianya kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun).

Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis. Unsur-unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Apabila digunakan sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan timbul setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan beberapa cara. Bentuk yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on Fresnel. Alat optik ini bermanfaat diagnostik dan terapetik temporer. Terapi bedah Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan pandang yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah dapat ditunda selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan maksud memberi kesempatan untuk pemulihan dengan sendirinya. Terapi bedah biasanya dilakukan bila penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot ekstraokular pulih, selambat-lambatnya sampai 6 bulan. 17 Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual, tindakan ini merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat dengan suatu tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata, biasanya di tempat insersi semula. Resesi adalah tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata, dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut

dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula. B. Terapi untuk ptosis

terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan visual dapat di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia prasekolah, saat jaringannya masih berkembang sangat baik. Tindakan operasi yang dilakukan berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang sebaiknya dilakukan sesegera mungkin saat ditemukan adanya resiko berkembangnya gangguan penglihatan akibat ptosis. Resiko dari keratopati terpapar harus di jelaskan kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun lagi jika masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan kepada pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi sampai permukaan ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak mata yang baru.

Você também pode gostar