Você está na página 1de 27

I.

Pendahuluan Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik, selama perjalanan penyakit dapat menyerang seluruh organ tubuh, ada masa laten tanpa manifestasi lesi di tubuh, dan dapat ditularkan kepada bayi di dalam kandungan.1 Pada tahun 1905 penyebab sifilis ditemukan oleh Schaudinn dan Hoffman ialah Treponema pallidum, yang termasuk ordo Spirochaetales, familia Spirochaetaceae, dan genus Treponema. Bentuknya sebagai spiral teratur, panjangnya antara 6-15 um, lebar 0,15 um, terdiri atas delapan sampai dua puluh empat lekukan. Gerakannya berupa rotasi sepanjang aksis dan maju seperti gerakan pembuka botol. Membiak secara pembelahan melintang, pada stadium aktif terjadi setiap tiga puluh jam. .1 Klasifikasi sangat sulit dilakukan, karena spesies Treponema tidak dapat dibiakkan in vitro. Sebagai dasar diferensiasi terdapat 4 spesies yaitu Treponema pallidum sub species pallidum yang menyebabkan sifilis, Treponema pallidum sub species pertenue yang menyebaban frambusia, Treponema pallidum sub species endemicum yang menyebabkan bejel, Treponema carateum menyebabkan pinta.2 Bakteri ini masuk kedalam tubuh manusia melalui selaput lendir (misalnya di vagina atau mulut) atau melalui kulit. Dalam beberapa jam, bakteri akan sampai ke kelenjar getah bening terdekat, kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Sifilis juga bisa menginfeksi janin selama dalam kandungan dan menyebabkan cacat bawaan.3 Di Amerika Serikat, dilaporkan sekitar 36.000 kasus sifilis tiap tahunnya, dan angka sebenarnya diperkiran lebih tinggi. Sekitar tiga per lima kasus terjadi kepada lelaki. WHO memperkirakan sekitar 12 juta kasus baru sifilis terjadi setiap tahunnya. Kasus-kasus baru tersebut lebih banyak ditemukan di negara berkembang. Sifilis congenital juga mulai banyak ditemukan di negara berkembang, di mana kurangnya prenatal test dan kurang efektifnya pemberian antibiotic pada ibu hamil yang terinfeksi sifilis yang menyebabkan infeksi congenital pada janin. Kasus sifilis di Indonesia adalah

0,61%. Penderita yang terbanyak adalah stadium laten, disusul sifilis stadium I yang jarang, dan yang langka ialah sifilis stadium II. II. Sifilis Sifilis adalah penyakit kronis, dan host alami T. pallidum hanya diketahui adalah manusia. Sifilis diperoleh melalui kontak langsung, biasanya seksual, dengan lesi primer atau sekunder aktif. Penelitian telah menunjukkan bahwa 16 sampai 30% dari individu yang memiliki kontak seksual dengan orang yang terinfeksi sifilis pada sebelumnya 30 hari menjadi terinfeksi, tingkat penularan yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi. Infeksi juga terjadi ketika organisme melewati plasenta untuk menginfeksi janin pada wanita hamil. 3 Etiologi Treponema pallidum merupakan spirochaeta yang bersifat motile yang umumnya menginfeksi melalui kontak seksual langsung, masuk ke dalam tubuh inang melalui celah di antara sel epitel. Organisme ini juga dapat ditularkan kepada janin melalui jalur transplasental selama masa-masa akhir kehamilan. Struktur tubuhnya yang berupa heliks memungkinkan Treponema pallidum bergerak dengan pola gerakan yang khas untuk bergerak di dalam medium kental seperti lender (mucus). Dengan demikian organisme ini dapat mengakses sampai ke sistem peredaran darah dan getah bening inang melalui jaringan dan membran mucosa. Pada tanggal 17 Juli 1998, suatu jurnal melaporkan sekuensi genom dari Treponema pallidum. Treponema pallidum adalah bakteri yang memiliki genom bakterial terkecil pada 1.14 million base pairs (Mb) dan memiliki kemampuan metabolisme yang terbatas, serta mampu untuk beradaptasi dengan berbagai macam jaringan tubuh mamalia.3

Patomekanisme 1. Tahap masuknya Treponema Treponema pallidum masuk ke dalam tubuh melalui lesi kulit atau selaput lendir. Jika melalui kulit harus ada mikro/makro lesi sedangkan jika melalui selaput lendir dapat dengan atau tanpa lesi. Pada tempat masuknya, kuman mengadakan multiplikasi dan
2

tubuh akan bereaksi dengan timbulnya infiltrat yang terdiri atas limfosit dan sel plasma yang secara klinis dapat dilihat sebagai papula. Reaksi radang tersebut tidak hanya terbatas pada tempat masuknya kuman tetapi juga di daerah perivaskuler. Treponema berada di antara endotel kapiler dan sekitar jaringan. perivaskular; hal ini mengakibatkan hipertrofi endotel yang dapat menimbulkan obliterasi lumen kapiler (endarteritis obliterans). 2. Stadium I (SI) Kerusakan vaskuler ini mengakibatkan aliran darah pada daerah papula tersebut berkurang sehingga terjadi erosi atau ulkus, dan keadaan ini disebut afek primer SI. Treponema masuk aliran darah dan limfe lalu menyebar ke seluruh jaringan tubuh, termasuk kelenjar getah bening regional. Bila sudah mengenai kelenjar getah bening regional disebut kompleks primer SI. 3. Stadium II (SII) Perjalanan secara hematogen akan menyebarkan kuman ke seluruh jaringan tubuh, tetapi manifestasinya baru akan tampak kemudian. Reaksi jaringan terhadap multiplikasi ini akan terlihat 6-8 minggu setelah kompleks primer dan reaksi ini bermanifestasi sebagai SII dengan berbagai bentuk kelainan yang biasanya didahului oleh gejala prodromal. Lesi primer perlahan-lahan menghilang karena kuman di tempat tersebut berkurang jumlahnya dan penyembuhan terjadi tanpa atau dengan jaringan parut tipis. Lesi SII secara perlahanlahan juga menghilang dan akhirnya tidak terlihat sama sekali dalam waktu kurang lebih 9 bulan. 4. Stadium laten Stadium laten adalah stadium tanpa tanda atau gejala klinis, tetapi infeksi masih ada dan aktif yang ditandai dengan S.T.S. (Serologic Test for Syphilis) positif. Kadang-kadang proses imunitas gagal mengendalikan infeksi sehingga Treponema berkembang lagi dan menimbulkan lesi seperti pada SI atau SII dan stadium ini disebut stadium rekuren. Stadium ini terjadi tidak lebih dari 2 tahun terhitung sejak permulaan infeksi. Stadium laten lanjut dapat berlangsung beberapa tahun, antibodi tetap ada dalam serum penderita (S.T.S. positif).

5. Stadium gumma Keseimbangan antara Treponema dan jaringan dapat tiba-tiba berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu faktor untuk timbulnya SIII yang berbentuk gumma. Pada stadium gumma ini, Treponema sukar ditemukan tetapi reaksinya bersifat destruktif. Lesi sembuh berangsur-angsur dengan pembentukan jaringan fibrotik dan lesi tersier ini dapat berlangsung beberapa tahun. Treponema pallidum dapat mencapai sistem kardiovaskuler dan saraf pusat dalam waktu dini tetapi kerusakan yang ditimbulkannya terjadi perlahan-lahan sehingga perlu waktu bertahun- tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Hampir 2/3 kasus dengan stadium laten dapat meneruskan hidupnya tanpa menimbulkan gejala klinis..1

Treponema pallidum berhasil masuk ke host melalui barrier mukosa utuh atau abrasi epidermis secara mikroskopis. Patogen memiliki sifat racun yang terbatas, dan kerusakan jaringan yang terkait dengan penyakit tampaknya disebabkan oleh respon inflamasi yang kuat oleh host setelah infeksi. Organisme ini sangat invasif, treponema menyebar luas dalam hitungan jam setelah infeksi pada hewan percobaan, dan penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa T. pallidum mampu menembus membran utuh dan monolayers sel endotel. T. pallidum memiliki kekurangan mencolok dari kemampuan metabolisme. Organisme ini mampu melaksanakan glikolisis tetapi tidak memiliki enzim siklus asam trikarboksilat dan rantai transpor elektron. 3 Analisis T. pallidum genom menunjukkan tidak adanya jalur untuk penggunaan sumber karbon alternatif untuk energi dan sintesis kofaktor enzim de novo dan nukleotida. 3 Jalur sintesis asam amino dan asam lemak juga kurang, tapi T. pallidum tidak membawa enzim untuk interkonversi asam amino dan asam lemak. Dengan kelangkaan jalur biosintesis ini, diduga bahwa T. pallidum memanfaatkan makromolekul yang paling penting dari host, menggunakan jalur interkonversi untuk menghasilkan produknya.3 Komponen serum host, membran sel, dan matriks ekstraseluler (ECM) telah ditunjukkan mengikat T. pallidum, dan komponen ECM telah terbukti terlibat dalam
4

mediasi perlekatan bakteri patogen lain untuk sel inang. Komponen ECM lain, seperti laminin, kolagen I, dan asam hyaluronic, telah dilaporkan juga dapat mengikat T. pallidum. 3 T. pallidum cepat memperoleh akses ke jaringan yang lebih dalam dan aliran darah, mungkin dengan melintasi persimpangan antara sel-sel endotel. T. pallidum telah terbukti menginduksi produksi matriks metaloproteinase-1 (MMP-1) dalam sel kulit. MMP-1 terlibat dalam pemecahan kolagen, yang dapat membantu T. pallidum untuk menembus jaringan. Kehadiran sinyal patogen inflamasi dan sel-sel kekebalan tubuh untuk bermigrasi dari aliran darah ke tempat infeksi. Langkah awal mekanisme adalah ekspresi molekul adhesi sel pada sel endotel kapiler, menginisiasi kebocoran cairan serosa dan migrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan yang terinfeksi. 3 Virulen T. pallidum menginduksi sel endotel kultur untuk mengekspresikan molekul adhesi ICAM-1, VCAM-1, dan E-selectin. Ini juga diaktifkan oleh lipoprotein 47-kDa T. pallidum TpN47 yang tidak heat-killed atau nonpathogenic treponeme T. phagedenis, menunjukkan bahwa aktivasi sel endotel adalah patogen spesifik, proses aktif dimediasi oleh T. pallidum spesifik molekul. Preinkubasi dengan virulen T. pallidum organisme meningkatkan kemampuan sel endotel untuk mengikat limfosit, dan mengikat ini diblokir oleh antibodi terhadap molekul adhesi sel, mendukung peran fungsional untuk ICAM-1, VCAM-1, dan ekspresi E-selectin di peradangan yang disebabkan oleh infeksi T. pallidum. 3 Selama infeksi bakteri akut, limfosit polimorfonuklear (PMN) merupakan sel-sel pertama yang menyusup ke tempat infeksi. PMN terlihat pada lesi sifilis awal pada eksperimen diinduksi dan alami diperoleh, meskipun infiltrasi adalah sementara dan jumlah PMN relatif rendah dengan yang terlihat pada infeksi bakteri akut lain. Selama infeksi bakteri, sel endotel, sel dendritik, dan makrofag kenali berbagi pola mikroba seperti LPS, peptidoglikan, dan gugus terasilasi lipoprotein. Pengenalan ini diperantarai oleh reseptor, yang TLRs, ditemukan pada permukaan sel. 3 Sel dendritik (DC) juga dirangsang oleh lipopeptides mikroba sintetis melalui jalur TLR2. DC khusus yang disebut sel Langerhans DC yang ditemukan di kulit, tempat
5

sebagian besar lesi primer dan sekunder, DC juga ditemukan di mukosa, dinding usus, dan jantung, semua tempat yang berpotensi terinfeksi T. pallidum. Dalam banyak infeksi bakteri, bakteri diambil oleh DC immatur di tempat infeksi, dan DC kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening di mana mereka mengaktifkan sel T. 3 DC bertindak sebagai jembatan antara kekebalan bawaan dan adaptif dengan penyajian antigen spesifik untuk sel T dalam kelenjar getah bening, merangsang mereka untuk membedakan dan bermigrasi ke tempat infeksi di mana mereka melakukan fungsi khusus mereka. Setelah infeksi intratesticular kelinci dengan inokulum dari 108 organisme T. pallidum, sel T splenic peka terhadap T. pallidum antigen bisa didapatkan pada kelinci tersebut sedini 3 hari setelah infeksi. Sel T diinduksi sebagai respon terhadap infeksi sifilis yang sangat reaktif terhadap beberapa protein utama T. pallidum, termasuk TpN47, TpN17, dan TpN15-lipoprotein tertanam dalam leaflet luar membran sitoplasma -dan TpN37, TpN35, TpN33, dan TpN30-protein yang membentuk inti dan selubung flagella T. pallidum. Sel T yang terdeteksi pada lokasi infeksi dalam waktu 3 hari post infeksi dan mencapai konsentrasi puncak pada hari 10 sampai 13, sekitar waktu yang sama bahwa jumlah T. pallidum organisme dalam jaringan testis mencapai maksimum. Makrofag juga menyusup ke tempat infeksi setelah 6 sampai 10 hari dan mencapai angka maksimal pada sekitar 13 hari. Antara 13 dan 17 hari post infeksi , jumlah organisme T. pallidum yang terdeteksi menurun tajam Hasil studi ini menunjukkan mekanisme mirip dengan delayed-type hipersensitivity sebagai modus pembersihan imun pada infeksi T. pallidum3

Grafik 1, Bacterial Clearance pada infeksi sifilis Demikian pula, sel T dan makrofag ditemukan pada lesi kulit kelinci, serta chancres primer manusia dan lesi sekunder. Sel T Helper (CD4) dan Sel T sitolitik (CD8) yang ditemukan dalam lesi primer dan sekunder. McBroom et al. menunjukkan bahwa banyak sel CD4 dalam lesi sekunder dalam makrofag sebenarnya mengekspresikan reseptor CD4. mRNA untuk sitokin interferon gamma (IFN-) dan IL-2, yang berfungsi untuk mengaktifkan makrofag dan merangsang proliferasi sel T, masing-masing, juga ditemukan pada lesi primer dan sekunder. Kedua Sel T CD4 dan CD8 menurunkan IFN, Dan mediator litik granzim B dan perforin telah terdeteksi pada lesi sifilis, menunjukkan bahwa infiltrasi Sel T CD8 diaktifkan. Sebagai T. pallidum ditemukan hampir secara eksklusif ekstrasel, peran CD8 senyawa litik dalam pembersihan T. pallidum dari tempat infeksi tidak jelas, namun, granzim B dan perforin mungkin sebagian bertanggung jawab atas karakteristik kerusakan jaringan lesi sifilis. 3 Untuk waktu yang lama para peneliti mencoba untuk menjelaskan mekanisme yang mendasari proses alami sifilis: berulang manifestasi klinis dipisahkan oleh periode asimtomatik berkepanjangan. Pada awal 1970-an diyakini bahwa treponema menyebabkan imunosupresi tertentu atau umum dan tahan terhadap fagositosis oleh
7

makrofag dan neutrofil. Kemudian studi menunjukkan, bagaimanapun, bahwa respon imun awal host terhadap treponema, meskipun lambat untuk mengembangkan, cukup kuat, dan saat treponema mencapai jumlah puncak, makrofag mulai menyusup lesi sehingga terjadi clearance yang cepat dari mayoritas parasit dari jaringan. Namun, beberapa bagian dari treponema tetap tak tersentuh dan terus hidup di host menyebabkan infeksi persisten. 8 T. pallidum juga dapat memanfaatkan metabolisme yang lambat untuk bertahan hidup dalam jaringan, bahkan mereka yang tidak kebal istimewa. Dengan mempertahankan infeksi sangat sedikit organisme dalam tempat anatomi yang jauh dari satu sama lain, T. pallidum dapat mencegah clearance dengan menggagalkan memicu respon kekebalan host, yang berspekulasi untuk meminta "massa antigenik kritis".8 Agen Opsonizing merupakan komponen serum, antibodi, atau protein pelengkap C3b, yang membuat patogen dikenali makrofag melalui reseptor permukaan sel tertentu. Antigen T. pallidum, termasuk Tp92 dan TprK, telah ditunjukkan untuk menginduksi produksi antibodi opsonic. Antibodi terhadap antigen VDRL (Venereal Disease Research Laboratory), sebuah kompleks cardiolipin, kolesterol, dan lecithin, juga meningkatkan fagositosis T. pallidum oleh makrofag. Mayoritas treponema yang bermultiplikasi di lokasi infeksi awal biasanya dibersihkan oleh makrofag. Namun, subpopulasi kecil dari organisme berlanjut dan muncul untuk menolak konsumsi makrofag. Fenomena ini menunjukkan bahwa antibodi opsonic tidak mengikat organisme ini, sehingga memungkinkan mereka untuk bertahan hidup dalam menghadapi pembersihan imun aktif.
8

Selain opsonisasi, ada fungsi lain dari antibodi yang diproduksi selama infeksi T. pallidum. Antibodi dikembangkan terhadap T. pallidum melumpuhkan organisme dan memblokir mereka dari mengikat sel inang. Administrasi seluruh serum dan IgG difraksinasi dari kelinci yang terinfeksi jangka panjang keterlambatan pembentukan lesi pada kelinci percobaan, tetapi lesi berkembang pada tempat penyuntikan dalam beberapa hari penghentian pengobatan. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi spesifik saja, sebagai inhibitor untuk pembentukan lesi, tidak cukup untuk membunuh T. pallidum dan mencegah infeksi. 8
8

Penelitian terbaru mengidentifikasi TprK sebagai protein membran-lokal. Protein TprK memunculkan baik imunitas seluler dan humoral pada hewan yang terinfeksi. Antibodi terhadap TprK yang muncul sebagai respon terhadap infeksi T. pallidum secara khusus ditujukan ke daerah V. Perubahan sangat sedikit dari urutan asam amino di daerah V dapat membatalkan kemampuan antibodi untuk mengikat wilayah V. Dengan demikian, kekebalan host dapat menghilangkan organisme yang mengekspresikan urutan TprK yang melawan antibodi spesifik telah dikembangkan. Membangkitkan variasi baru di TprK dapat membantu patogen untuk menghindari pengakuan kekebalan tubuh dan mempertahankan infeksi kronis. 8 III. Gambaran klinis Sifilis primer (SI) Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (disebut chancre), tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu.2,4 Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-1 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus.1 Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral.2 Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.1

Gambar 1. Lesi sifilis primer

Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu. Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.1

Sifilis sekunder (SII) Biasanya S II timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disertai S I. Lama S II dapat sampai sembilan bulan. Berbeda dengan S I yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada S II dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama S II. Gejalanya umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.1 Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.2 Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the
.

great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga memberi kelainan

pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan saraf.1

10

Gambar 1. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital

Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris.1,4 Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.5

11

Sifilis laten Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi

pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler.2 Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.2 Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul .3

Sifilis lanjut Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:2 1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali kemungkinan pada wanita hamil. 2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan Tpallidum, pada sifilis lanjut tidak ditemukan. 3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang. 4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut destruktif 5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.
12

Sifilis laten lanjut Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada aorititis.1 Sifilis tersier (S III) Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif.1 Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.1 Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.1 Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus

13

lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan.1 Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.1 S III pada mukosa Guma jugs ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia.1 S III pada tulang Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X.1 S III pada alat dalam Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.1 Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium

14

jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadangkadang memecah ke bagian anterior skrotum.1 Sifilis kardiovaskuler Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada wanita.1 Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arch katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisms aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif.2 Neurosifilis Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni.1,2 Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan.2 Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:1,2,3 Neurosifilis asimtomatik. Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis,

meningomielitis, endarteritis sifilitika. Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika. Guma.
15

Sifilis kongenital Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat masa kehamilan 10 minggu.1 Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %.1 Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz.1 Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap infeksi sebelum 10 minggu kehamilan tidak akan merangsang mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi.2 Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata.1,3 Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk gums dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.1 Sifilis kongenital dini
16

Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.1 Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating).1 Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang bare akan kabur dan bentuknya berubah.1 Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11. Hepar dan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih".1 Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya
17

epifisis, fraktur patologik, dan artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi.1

Gambar 3. Sifilis kongenital pada telapak kaki bayi

Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muds menyebabkan konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi sekunder akibat korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia. Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta.1

Sifilis kongenital lanjut Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan durum jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.1
18

Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus, umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal.1 Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 15% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.1 Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa meninggalkan kerusakan.1 Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis. Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun. Taber juvenilia umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muds. Aortitis sangat jarang terjadi.1

Stigmata Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut.2 1. Stigmata lesi dini.2 a. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose. b. Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi Mullberry c. Ragades d. Atrofi dan kelainan akibat peradangan c. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi pada retina. 1. Stigmata dan lesi lanjut.2 a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
19

b. Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis c. Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia d. Ketulian syaraf IV. Pemeriksaan penunjang Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa :2,3 1. a. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field) Ruam sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi. T. pall berbentuk ramping, gerakan lambat, dan angulasi. Harus hati-hati membedakannya dengan Treponema lain yang ada di daerah genitalia. Karena di dalam mulut banyak dijumpai Treponema komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat digunakan.2 b. Mikroskop fluoresensi Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan lapangan gelap.
2

1. Penentuan antibodi di dalam serum. Pada waktu terjadi infeksi Treponema, baik yang menyebabkan sifilis, frambusia, atau pinta, akan dihasilkan berbagai variasi antibodi. Beberapa tes yang dikenal seharihari yang mendeteksi antibodi nonspesifik, akan tetapi dapat menunjukkan reaksi dengan IgM dan juga IgG, ialah :2

a. Tes yang menentukan antibodi nonspesifik.


20

Tes Wasserman Tes Kahn Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory) Tes RPR (Rapid Plasma Reagin) Tes Automated reagin b. Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter Protein Complement

Fixation). c. Yang menentukan antibodi spesifik yaitu: Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization) Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed). Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay) Sinar Rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat terjadi pada S II, S Ill, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis kardiovaskular, misalnya untuk melihat aneurisms aorta.1 Pada neurosifilis, tes koloidal emas sudah tidak dipakai lagi karena tidak khas. Pemeriksaan jumlah set dan protein total pada likuor serebrospinalis hanya menunjukkan adanya tanda inflamasi pada susunan saraf pusat dan tidak selalu berarti terdapat neurosifilis. Harga normal ialah 0-3 sel/mm3, jika limfosit melebihi 5/mm3 berarti ada peradangan. Harga normal protein total ialah /10-40 mg/100 mm 3 , jika melebihi 40 mg/mm 3 berarti terdapat peradangan.1 V. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik.3

21

Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah.3 Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi.3 VI. Penatalaksanaan Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin baik. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut.1

22

Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.1,2,4 1. PENISILIN Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.1 Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat belas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh satu hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.1 Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:1
a.

Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja singkat.

b.

Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.

a.

Penisilin G benzatin dengan dosis 1,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama. Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak

dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu.1 Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyai kekurangan, yakni
23

tidak dianjurkan untuk neurosifilis karena sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pula PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan.1 Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 1,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-14 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.1 Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua 100.000-150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari.1 Reaksi Jarish-Herxheimer Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.5 Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T. paffidum yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai due belas jam pada suntikan penisilin yang pertama.1 Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka.6 Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikan penderita pada S I.1 Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur

24

aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.1 Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 10-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.1

25

II. ANTIBIOTIK LAIN Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.1 Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau eritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 1 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.1 Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.7 Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 1 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari.1 Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.7 Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%.1 tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk., penyembuhannya mencapai 84,4%.1 VII. Prognosis Prognosis sifilis stadium primer dan sekunder baik jika mendapatkan pengobatan dini. . Sifilis tersier memiliki angka kematian sangat tinggi akibat efek luas dari penyakit pada sistem saraf pusat.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413. 2. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102 3. Clinical Microbiology Reviews Vol. 19, No. 1. American Society for Microbiology .Jan. 2006, p. 2949, 4. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates. Jakarta. 2000. h:170.
5. CDC National Prevention Information Network. Syphilis available at http//www.cdc.com.

accessed on May 28, 2013. 6. Wong T et al. Serological Treatment Response to Doxycycline/Tetracycline versus Benzathine Penicillin. Am J Med 2008 Oct; 121:903. 7. Riedner G, Rusizoka M, Todd J, Maboko L, Hoelscher M, Mmbando D et al. Single-Dose Azithromycin versus Penicillin G Benzathine for the Treatment of Early Syphilis. NEJM 2005 Volume 353:1236-1244. 8. http://www.metapathogen.com/syphilis/ diakses pada 30 Mei 2013

27

Você também pode gostar