Você está na página 1de 19

Abortus

Stephanie Sofian Kepanitraan Klinik Ilmu Kandungan dan Kebidanan RS Simpangan Depok Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 36 vnie_89@yahoo.co.id

PENDAHULUAN Abortus (keguguran) merupakan salah satu penyebab perdarahan yang terjadi pada kehamilan trimester pertama dan kedua. Perdarahan ini dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan atau kehamilan terus berlanjut. Secara klinis, 10-15% kehamilan yang terdiagnosis berakhir dengan abortus. Kasus abortus sebenarnya angkanya lebih besar daripada yang disebutkan di atas, karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak tercatat, dan tidak diketahui. Seorang wanita dapat mengalami abortus tanpa mengetahui bahwa ia hamil. Abortus bisa juga tidak diketahui karena hanya dianggap sebagai menstruasi yang terlambat (siklus memanjang), dan insiden abortus kriminalis yang pada umumnya tidak dilaporkan. Abortus dapat menyebabkan perdarahan yang hebat dan dapat menimbulkan syok, perforasi, infeksi, dan kerusakan faal ginjal (renal failure) sehingga mengancam keselamatan ibu. Kematian dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan secara cepat dan tepat.

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 1

TINJAUAN PUSTAKA

I.

Definisi

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dpathidup di luar kandungan. Sebagai batasan adalah kehamilan kurang dari 20 mingguatau berat badan janin kurang dari 500 gram.

II.

Epidemiologi

Angka kejadina abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tiak jelas umur kehamilannya, hanya sedikit memberikan tanda dan gejala sehinggabiasanya ibu tidak melapor atau berobat. Sementara itu dari kejadian yang diketahui,15-20% adalah abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5 % dari pasanganyang mencoba hamil akan mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitar 1 %dari pasangan mengalami 3 atau lebih keguguran yang berurutan.Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakankejadian abortus spontan antara 15-20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian abortus sebenarnya dapat mendekati 50%. Hal ini dikarenakantingginya chemical pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2-4 minggu setelahkonsepsi. Sebagian besar kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi oosit). Abortus habitualis adalah abortus yang terjadiberulang tiga kali secara berturut-turut. Kejadiannya berkisar 3-5%. Data daribeberapa studi menunjukkan bahwa setalah satu kali abortus spontan, pasanganmempunyai resiko 15% untuk mengalami kegagalan lagi, sedangkan bila pernahgagal 2 kali, resikonya akan meningkat 25% III. Etiologi

Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan.Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagaiberikut: 1. Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik. 2. Kelainan kongenital uterus a. Anomali duktus mulleri b. Septum uterus c. Uterus bikornis d. Inkompetensi serviks uterus
Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok Page 2

e. Mioma uteri f. Sindroma Asherman 3. Autoimun a. Aloimun b. Mediasi imunitas humoral c. Mediasi imunitas seluler 4. Defek fase luteal a. Faktor endokrin eksternal b. Antibodi antitiroid hormon c. Sintesis LH yang tinggi 5. Infeksi 6. Hematologik 7. Lingkungan Usia kehamilan saat terjadinya abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya. Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi setelah trimester pertama.

Penyebab Genetik Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Triploidi ditemukan pada 16 % kejadian abortus, di mana terjadi fertilisasi ovum normal haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16 dengan kejadian sekitar 30 % dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak Semua kromosom trisomi berakhir
Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok Page 3

abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan penyebab 20 - 25 % kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma Down (trisomi 21) bisa bertahan. Pengelolaan standar menyarankan untuk pemeriksaan genetik amniosentesis pada semua ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu di atas 35 tahun. Risiko ibu terkena zneuploidi adalah 1 : 80, pada usia di atas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35 tahun. Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploidi, triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kel angsungan kehamilan. Tetraploidi terjadi pada 8 % kejadian abortus akibat kelainan kromosom, di mana terjadinya kelainan pada fase sangat awal sebelum proses pembelahan. Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi pada sekitar 3 % kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya keguguran. Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya mutasi gen yang bisa mengganggu proses impiantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy, yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis. Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma Ehlers-Danlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada perempuan dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya disfibrino-genemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital. Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga berisiko abortus.

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 4

Penyebab Anatomik Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27 % pasien. Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8 % yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan, sedangkan 36,5 % mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 - 80 %), kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikomis (10 - 30 %). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10-30 % pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran besar atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan. Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan endometrium. Risiko abortus antara 25 - 80 %, bergantung pada berat ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan his-terosalpingografi (HSG) dan ultrasonografi.

Penyebab Autoimun Terdapat hubungan yang nyata antara abortus berulang dan penyakit autoimun. Misalnya, pada Systematic Lupus Erythematosm (SLE) dan Antipbospholipid Antibodies (aPA). aPA merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10 %, dibanding populasi umum. Bila digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka diperkirakan 75 % pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. aPA merupakan antibodi yang berikatan denga sisi negatif dari fosfolipid. Paling sedikit ada 3 bentuk aPA yang diketahui mempunyai arti klinis yang penting, yaitu Lupus Anttcoagutant (LAC), anticardiolipin antibodies (aCLs), dan biologically false positive untuk syphilis (FP-STS), APS (antiphospholipid syndrome) sering juga ditemukan pada beberapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 5

berhubungan dengan APS yaitu trombosis arteri vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea, dan hipertensi pulmonum. The International Consensus Workshop pada 1998 mengajukan klasifikasi kriteria untuk APS, yaitu meliputi: Trombosis vaskular Satu atau lebih episode trombosis arteri, venosa atau kapilar yang dibuktikan dengan gambaran Doppler, pencitraan, atau histopatologi. Pada histopatologi, trombosisnya tanpa disertai gambaran inflamasi.

Komplikasi kehamilan Tiga atau lebih kejadian abortus dengan sebab yang tidak jelas, tanpa kelainan anatomik, genetik, atau hormonal. Satu atau lebih kematian janin dimana gambaran morfologi secara bonografi normal. Satu atau lebih persalinan prematur dengan gambaran janin normal dan berhubungan dengan preeklampsia berat atau insufisiensi plasenta yang berat.

Kriteria laboratorium aCL: IgG dan atau IgM dengan kadar yang sedang atau tinggi pada 2 kali atau lebih pemeriksaan dengan jarak lebih dari atau sama dengan 6 minggu aCL diukur dengan metode ELISA standar

Antibodi fosfolipid/antikoagulan Pemanjangan tes skrining koagulasi fosfolipid (misalnya aPTT, PT dan CT) Kegagalan untuk memperbaiki tes skrining yang memanjang dengan penambahan plasma platelet normal Adanya perbaikan nilai tes yang memanjang dengan penambahan fosfolipid Singkirkan dulu kelainan pembekuan darah yang lain dan pemakaian heparin

aPA ditemukan kurang dari 2 % pada perempuan hamil yang sehat, kurang dari 20 % pada perempuan yang mengalami abortus dan lebih dari 33 % pada perempuan dengan SLE. Pada kejadian abortus berulang ditemukan infark plasenta yang luas, akibat adanya atherosis dan oklusi vaskular kini dianjurkan pemeriksaan darah terhadap -2 glikoprotein 1 yang lebih spesifik.

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 6

Pemberian antikoagulan misalnya as p iri n, heparin, IL-3 intravena menunjukkan hasil yang efektif. Pada percobaan binatang, kerja IL-3 adalah menyerupai growth hormone plasenta dan melindungi kerusakan jaringan plasenta. Trombosis plasenta pada APS diawali adanya peningkatan rasio tromboksan terhadap prostasiklin, selain juga akibat dari peningkatan agregrasi tromoosit, penurunan c-reaktif protein dan peningkatan sintesis platelet-activating factor. Secara klinis lepasnya kehamilan pada pasien APS sering terjadi pada usia kehamilan di atas 10 minggu. Pengelolaan secara umum meliputi pemberian heparin subkutan, aspirin dosis rendah, prednison, imunoglobulin, atau kombinasi semuanya. Studi case-control menunjukkan pemberian heparin 5.000 U 2x/hari dengan 81 mg/hari aspirin meningkatkan daya tahan janin dari 50 % jadi 80 % pada perempuan yang pernah mengalami abortus lebih dan 2 kali tes APLAs positif. Yang perlu diperhatikan ialah pada penggunaan heparin jangka panjang, perlu pengawasan terhadap risiko kehilangan massa tulang, perdarahan, serta trombositopeni.

Penyebab Infeksi Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain: Bakteria Listeria monositogenes Klamidia trakomatis Ureaplasma urealitikum Mikoplasma hominis Bakterial vaginosis

Virus Sitomegaiovirus Rubela Herpes simpleks virus (HSV) Human immunodeficiency virus (HIV) Parvovirus

Parasit Toksoplasmosis gondii


Page 7

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Plasmodium falsiparum

Spirokaeta Treponema pallidum

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap risiko abortus/EPL, di antaranya sebagai berikut: Adanya metabolik toksik, endotoksin, eksotoksin, atau sitokin yang berdampak langsung pada janin atau unit fetoplasenta. Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit bertahan hidup. Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin. Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal Mikoplasma bominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa mengganggu proses impiantasi Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatif, Listeria monositogenes). Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus BI9, sitomegaiovirus, koksakie virus B, varisela-zoster, kronik sitomegaiovirus CMV, HSV).

Faktor Lingkungan Diperkirakan 1 - 10 % malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakibat terjadinya abortus.

Faktor Hormonal Ovulasi, impiantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 8

hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama kadar progresteron. Diabetes mellitus

Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik risiko abortusnya tidak lebih jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes dengan kadar HbAlc tinggi pada trimester pertama, risiko abortus dan malformasi janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa tidak adekuat punya peluang 2-3 kali lipat mengalami abortus. Kadar progesteron yang rendah

Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium terhadap impiantasi embrio. Pada tahun 1929, Alien dan Corner mempublikasikan tentang proses fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar progesteron yang rendah berhubungan dengan risiko abortus. Support fase luteal punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat di mana trofoblas harus menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesteron diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan. Defek fase luteal

Jones (1943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron saat fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23 - 60 % perempuan dengan abortus berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis gangguan ini. Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama dengan 3 kali, didapatkan 17 % kejadian defek fase luteal. Dan, 50 % perempuan dengan histologi defek fase luteal punya gambaran progesteron yang normal. Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua

Perubahan endometrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus. Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses impiantasi juga proses migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Di sini berperan penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus. Sebagian besar sel ini berupa Large Granular Lymphocytes (LGL) dan makrofag, dengan sedikit sel T dan sel B. Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar progesteron. Peningkatan sel NK pada tempat impiantasi saat trimester pertama mempunyai
Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok Page 9

peran penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang normal.

Faktor Hematologik Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya mikrotrombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik memegang peran penting pada impiantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan: Peningkatan kadar faktor prokoagulan Penurunan faktor an 11 k oagu ian Penurunan aktivitas fibrinolitik

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal, terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu. Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang berlebihan pada usia kehamilan 4-6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat usia kehamilan 811 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu vasospasme serta agregrasi trombosit, yang akan menyebabkan niikrocrombi serta nekrosis plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida Defisiensi faktor XII (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun plasenter dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari 22 % kasus. Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke sisteiiL Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan trombosis dan penyakit vaskular dini Kondisi ini berhubungan dengan 21 % abortus berulang. Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang didapat adalah defisiensi folat. Pada pasien ini, penambahan foiat akan mengembalikan kadar homosistein normal dalam beberapa hari

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 10

IV.

Patofisiologi

Mekanisme awal terjadinya abortus adalah lepasnya sebagian atau seluruh bagian embrio akibat adanya perdarahan minimal pada desidua. Kegagalan fungsi plasenta yang terjadi akibat perdarahan subdesidua tersebut menyebabkan terjadinya kontraksi uterus dan mengawali proses abortus. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu, embrio rusak atau cacat yang masih terbungkus dengan sebagian desidua dan villi chorialis cenderung dikeluarkan secara in toto , meskipun sebagian dari hasil konsepsi masih tertahan dalam cavum uteri atau di canalis servicalis. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses pengeluaran hasil konsepsi. Pada kehamilan 8 14 minggu, mekanisme diatas juga terjadi atau diawali dengan pecahnya selaput ketuban lebih dulu dan diikuti dengan pengeluaran janin yang cacat namun plasenta masih tertinggal dalam cavum uteri. Plasenta mungkin sudah berada dalam kanalis servikalis atau masih melekat pada dinding cavum uteri. Jenis ini sering menyebabkan perdarahan pervaginam yang banyak. Pada kehamilan minggu ke 14 22, Janin biasanya sudah dikeluarkan dan diikuti dengan keluarnya plasenta beberapa saat kemudian. Kadangkadang plasenta masih tertinggal dalam uterus sehingga menyebabkan gangguan kontraksi uterus dan terjadi perdarahan pervaginam yang banyak. Perdarahan umumnya tidak terlalu banyak namun rasa nyeri lebih menonjol. Dari penjelasan diatas jelas bahwa abortus ditandai dengan adanya perdarahan uterus dan nyeri dengan intensitas beragam V. Klasifikasi Abortus

Abortus dapat dibagi atas dua golongan yaitu: Menurut terjadinya dibedakan atas: a. Abortus spontan yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya tanpa disengaja atau dengan tidak didahului faktor-faktor mekanis atau medisinalis, sematamata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah. b. Abortus provokatus (induksi abortus) adalah abortus yang disengaja tanpa indikasi medis, baik dengan memakai obat-obatan maupun dengan alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi: 1) Abortus medisinalis (abortus therapeutica) yaitu abortus karena tindakan kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya perlu mendapat persetujuan 2 sampai 3 tim dokter ahli.

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 11

2) Abortus kriminalis yaitu abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi medis dan biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tenaga tradisional.

Pembagian abortus secara klinis adalah sebagai berikut : 1. Abortus Iminens Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urir masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengar melihat kadar hormon hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilai menggunakan urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil tes urin masil positif keduanya maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negati maka prognosisnya dubia ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pac informed consent yang diberikan. Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan janin diperhatikan di samping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baik secara transabdominal maupun transvaginal Pada USG transabdominal jangan lupa pasien harus tahan kencing terlebih dahulu untuk mendapatkan acoustic window yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas. Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahan berhenti. Bisa diberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada penderita sangat menguntungkan.

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 12

Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2 minggu. 2. Abortus Insipiens Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum uteri dan dalam proses pengeluaran. Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas walau mungkin sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus. Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/pengeluaran hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan di atas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pascatindakan perlu perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis.

3. Abortus Kompletus Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan, Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7-10 hari setelah abortus. Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu diberikan.
Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok Page 13

4. Abortus Inkompletus Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di dalam uterus di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoraeik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa hi~ perekoik yane bentuknya tidak beraturan. Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti Selanjurnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hati-hati sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan ialah dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu diberikan uterotonika parenteral ataupun per oral dan antibiotika.

5. Missed Abortion Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam kandungan. Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justeru merasakan rahimnya semakin mengecil dengan tandatanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang hadangkah missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian meUniversitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

I rasa sembuh, tetapi


Page 14

pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibri-nogenemia sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase. Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara baik karena risiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental penderita perlu diperhatikan karena penderita umumnya merasa gelisah setelah tahu kehamilannya tidak tumbuh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan di atas 12 minggu atau kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk mengeluarkan janin atau mematang kan kanalis servikalis. Beberapa cara dapat dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500 cc dekstrose 5 % tetesan 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi biasanya maksimal 3 kali. Setelah janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan tindakan kuretase sebersih mungkin. Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau sintetisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan adalah dengan pemberian mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang dapat diulangi 2 kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat hipo-fibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau fibrinogen. Pascatindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin dan pemberian antibiotika.

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 15

6. Abortus Habitualis Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Bishop melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0,41 % dari seluruh kehamilan. Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada, maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau hepari-nisasi. Akan tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya. Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan di mana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah kehamilan melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten) tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya, misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar. Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan pemeriksaan dalam/inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikalis dan didapati selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua. Diameter ini melebihi 8 mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia serviks harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat mtntrima beban dengan berkembangnya umur kehamilan, Operasi dilakukan pada umur kehamilan 12 14 minggu dengan cara SHIRODKAR atau McDONALD dengan melingkari katmlis servikalis dengan benang sutera/MERSILENE yang tebal dan simpul baru dibuka setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.

7. Abortus Infeksious, Abortus Septik

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 16

Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau peritoneum (septikemia atau peritonitis), Kejadian im merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis, Abortus infeksiosus dan abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genkalia juga ke rongga peritoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septik. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan, Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah, panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun. Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/fluor yang keluar pervaginam. Untuk tahap pertama dapat diberikan Penisilin 4 x 1,2 juta unit atau Ampisilin 4 x 1 gram ditambah Gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2 x 1 gram, Selanjutnya antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur. Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi dengan uterotonika. Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai. Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis vagina/uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.

8. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum) Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi di mana mudigah tidak terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk. Di samping mudigah kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Kelainan ini merupakan suara kebm-an kehamilan yang baru
Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok Page 17

terdeteksi setelah berkembangnya ultrasonografi. Bila tidak dilakukan tindakan, kehamilan ini akan berkembang terus walaupun tanpa ada janin di dalamnya. Biasanya sampai sekitar 14 - 16 minggu akan terjadi abortus spontan. Sebelum alat USG ditemukan, kelainan kehamilan ini mungkin banyak dianggap sebagai abortus biasa. Diagnosis kehamilan anembrionik ditegakkan pada usia kehamilan 7-8 minggu bila pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak berkembang atau pada diameter 2,5 cm yang tidak disertai adanya gambaran mudigah. Untuk itu, Ma pada saat USG pertama kita mendapatkan gambaran seperti ini perlu dilakukan evaluasi USG 2 minggu kemudian. Bila tetap tidak dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur dan diameter kantong gestasi sudah mencapai 25 mm maka dapat dinyatakan sebagai kehamilan anembrionik. Pengelolaan kehamilan anembrionik dilakukan terminasi kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara elektif.

VI.

Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul adalah: 1. Perdarahan akibat luka pada jalan lahir, atonia uteri, sisa jaringan tertinggal, diatesa hemoragik dan lain-lain. Perdarahan dapat timbul segera pasca tindakan, dapat pula timbul lama setelah tindakan. 2. Syok akibat refleks vasovagal atau nerogenik. Komplikasi ini dapat mengakibatkan kematian yang mendadak. Diagnosis ini ditegakkan bila setelah seluruh pemeriksaan dilakukan tanpa membawa hasil. Harus diingat kemungkinan adanya emboli cairan amnion, sehingga pemeriksaan histologik harus dilakukan dengan teliti. 3. Emboli udara dapat terjadi pada teknik penyemprotan cairan ke dalam uterus. Hal ini terjadi karena pada waktu penyemprotan, selain cairan juga gelembung udara masuk ke dalam uterus, sedangkan pada saat yang sama sistem vena di endometrium dalam keadaan terbuka. Udara dalam jumlah kecil biasanya tidak menyebabkan kematian, sedangkan dalam jumlah 70-100 ml dilaporkan sudah dapat memastikan dengan segera. 4. Inhibisi vagus, hampir selalu terjadi pada tindakan abortus yang dilakukan tanpa anestesi pada ibu dalam keadaan stress, gelisah, dan panik. Hal ini dapat terjadi akibat alat yang digunakan atau suntikan secara mendadak dengan cairan yang terlalu panas atau terlalu dingin. 5. Keracunan obat/ zat abortivum, termasuk karena anestesia. Antiseptik lokal seperti KmnO4 pekat, AgNO3, K-Klorat, Jodium dan Sublimat dapat mengakibatkan cedera
Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok Page 18

yang hebat atau kematian. Demikian pula obat-obatan seperti kina atau logam berat. Pemeriksaan adanya Met-Hb, pemeriksaan histologik dan toksikolgik sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. 6. Infeksi dan sepsis. Komplikasi ini tidak segera timbul pasca tindakan tetapi memerlukan waktu.

VII.

Prognosis

Prognosis keberhasilan kehamilan tergantung dari etiologi abortus sebelumnya 1. Perbaikan endokrin yang abnormal pada wanita dengan abortus yang rekuren mempunyai prognosis yang baik sekitar >90 %. 2. Pada wanita abortus dengan etiologi yang tidak diketahui, kemungkinan keberhasilan kehamilan sekitar 40-80 %. 3. Sekitar 77 % angka kelahiran hidup setelah pemeriksaan aktivitas jantung janin pada kehamilan 5 sampai 6 minggu pada wanita dengan 2 atau lebih abortus yang tidak jelas.

DAFTAR PUSTAKA 1. Prawirohardjo Sarwono. Abortus. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : FK UI, 2010. 2. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka; 2011.h.550-6 3. Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2005

Universitas Kristen Krida Wacana / RS Simpangan Depok

Page 19

Você também pode gostar