Você está na página 1de 26

BAB I PENDAHULUAN

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai pada orang usia lanjut, terutama wanita. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga sering mengetahui bahwa inkontinensia urine merupakan masalah kesehatan yang dapat diselesaikan.1 Inkontinensia urin adalah suatu keadaan tidak mampunya seseorang untuk menahan air kencing. Gangguan ini lebih sering dialami oleh wanita yang pernah melahirkan daripada yang belum pernah melahirkan (nulipara). Hal ini diduga terutama oleh adanya perubahan pada otot dan fasia di dasar panggul.6,8 Angka kejadian bervariasi, karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Di Amerika Serikat, diperkirakan sekitar 10-12 juta orang dewasa mengalami gangguan ini. Prevalensi dan berat gangguan meningkat dengan bertambahnnya umur dan paritas. Pada usia 15 tahun atau lebih didapatkan kejadian 10%, sedang pada usia 35-65 tahun mencapai 12%. Prevalansi meningkat sampai 16% pada wanita usia lebih dari 65 tahun. Pada nulipara didapatkan kejadian 5%, pada wanita dengan anak satu mencapai 10% dan meningkat sampai 20% pada wanita dengan 5 anak.6,7 Para dokter harus memahami dengan benar tentang penyebab iatrogenik dari inkontinensia urin dan berusaha untuk mencegahnya. Obat yang digunakan harus diketahui interaksi dan efek samping obat dan sebaiknya digunakan dalam dosis yang lebih rendah, jika memungkinkan. Pemasangan kateter dalam keadaan akut harus dikelola dengan cara yang steril dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin jika tidak diperlukan lagi. Dengan manajemen yang tepat pada perbaikan atau pemulihan inkontinensia urin secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien geriatri (Gayathri Bhagwath, 2001).9

Tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai inkontinensia urine, jenis-jenis dan cara penanganannya. Pemahaman yang lebih baik akan membantu usaha mengatasi gangguan ini.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah hygiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien usai lanjut dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi dan psikososial.3 Definisi inkontinensia urin dapat dibagi menjadi 3 tiga, seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.1 di bawah ini. Table 2.1. Definisi inkontinensia urin 1 1. Definisi keluarnya urin Kesulitan menahan berkemih sampai mencapai toilet Keluarnya air kencing yang tidak diharapkan Hilangnya pengendalian berkemih Underpants basah 2. Definisi keparahan Sekali atau lebih Dua kali atau lebih Tiga kali atau lebih Menyebabkan problem sosial atau kebersihan 3. Definisi frekuensi Selalu terjadi Terjadi 1 tahun yang lalu Terjadi 1 bulan yang lalu Terjadi 1 minggu yang lalu Terjadi setiap hari

2.2 FISIOLOGI BERKEMIH

Kerja kandung kemih dapat dibagi dalam dua fase, yaitu: 1. Fase pengisian, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara berangsur-angsur dari ureter 2. Fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai pompa serta menuangkan urine melalui uretra dalam waktu relatif singkat. Pada keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing.6,8 Proses berkemih normal melibatkan mekanisme yang dikendalikan dan yang tidak dikendalikan. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah control volunteer dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretral internal berada dibawah kontrol sistem otonom yang kemudian dimodulasi oleh korteks otak.1 Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses perkemihan berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas para simpatis yang dipicu oleh asetil kolin pada resptor muskarinik. Sfingter uretra internal menyebabkan uretra tertutup, sebagai akibat kerja aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin.1 4

Gambar 2.1. Traktus urinarius perdarahan dan persarafan7

Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskam melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal) bekerja menghambat pengeluaran urin. Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari korteks disalurkan melalui medula spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih. Hal ini seperti digambarkan pada Gambar 2.1.1 Pusat saraf di batang otak, korteks serebral dan serebelum dapat mempengaruhi saluran berkemih bawah dan proses berkemih, sehingga penyakit-penyakit pada korteks serebri seperti strok, Parkinson, demensia dan gangguan pada batang otak dapat menyebabkan inkontinensia.2

2.3 PENGARUH PROSES PENUAAN TERHADAP SALURAN KEMIH

Perubahan-perubahan akibat proses menua mempengaruhi saluran kemih bagian bawah. Perubahan tersebut merupakan predisposisi bagi usia lanjut untuk mengalami inkontonensia tetapi tidak menyebabkan inkontinensia. Jadi inkontinensia bukan bagian normal proses menua. Proses menua mempengaruhi penurunan kadar estrogen, kapasitas kandung kemih, tekanan uretra, dan laju aliran urin, dan meningkatnya kontraksi detrusor tidak terkendali, meningkatnya residu setelah proses berkemih, produksi urin norturnal, dan ukuran prostat.2 Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia lanjut sering kali memiliki kondisi medis yang dapat mengganggu proses berkemih, perubahan status volume dan eksresiurin atau gangguan kemampuan untuk ke toilet. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi, kejadian transient iskhemik attack dan strok, gagal jantung kongestif, inkontinensia feses, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik dan gangguan imobilitas. Resiko inkontinensia urin meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa tubuh yang lebih besar, dengan riwayat histerektomi, infeksi urin dan trauma perineal. Melahirkan pervaginam akan meningkatkan resiko inkontinensia urine tipe stress dan tipe campuran.1 Perubahan-perubahan fisiologis terkait proses menua pada saluran kemih bawah dapat meliputi:

Kandung kemih Perubahan morfologis Trabekulasi meningkat Fibrosis meningkat

Uretra

Saraf autonom menurun Pembentukan divertikula

Perubahan fisiologis Kapasitas menurun Kemampuan menahan kencing menurun Kontraksi involunter meningkat Volume residu pasca berkemih meningkat

Perubahan morfologis Komponen seluler menurun Deposit kolagen meningkat Prostat Hiperplasi dan membesar

Perubahan fisiologis Tekanan penutupan menurun Tekanan akhiran keluar menurun

Vagina Komponen seluler menurun Mukosa atrofi

Dasar panggul Deposit kolagen meningkat Rasio jaringan ikatotot meningkat Otot melemah (papdi)1

2.4 PENYEBAB DAN TIPE INKONTINENSIA URIN

Ada beberapa penyebab terjadinya inkontinensia urin pada usia lanjut, hal ini seperti yang dapat pada Tabel 2.2 di bawah ini: Table 2.2 Penyebab inkontinensia urin pada usia lanjut4 Penyebab inkontinensia urin pada usia lanjut Penyebab utama dari inkontinensia Urologi Neurologi Lokomotor Psikologi Inkontinensia sementara Infeksi traktus urinarius Penyakit akut yang disertai: fatigu, immobilisasi Retensi dengan inkontinensia overflow: Pengaruh dari fekal, obat

antikolinergik, kompresi medulla spinalis, Obat-obatan: yang berefek pada saraf otonom, sedatf dan transquelizer Psikologi: depresi Inkontinensia menetap Operasi: yang merusak persarafan spingter dan pelvis Penyakit kortek serebri: stroke, demensia, penyakit Parkinson Penyakit pada medulla spinalis: tekanan oleh tumor, spondilitis, hernia pada diskus, demielinisasi. Retensi tipe overflow: atonia kandung kemih (diabetes, penggunaa akohol), obstruksi prostat, striktur uretra. Penyakit pada kandung kemih: sisititis kronik, karsinoma, calculi Inkontinensia stress.

Inkontinensia urin

dapat

dibedakan menjadi

dua jenis,

yaitu

inkontinensia akut dan inkontinensia persisten.

1. Inkontinensia Urin Akut Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang bila kondisi akut teratasi bila penderita mengalami proses berkemih secara tidak terkontrol. Pasien derilium mungkin tidak sadar saat berkemih atau tidak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila derilium teratasi makan inkontinensia urin umumnya akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi dapat memicu timbulnya inkontinensia urine fungsional. Retensi karena obat-obatan atau obstruksi anantomis dapat pula menyebabakan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan uretra (seperti vaginitis dan uretritis) dapat menjadi factor pemicu. Kontsipasi juga biasa menjadi salah satu penyebab. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria juga dapat menyebabkan inkontinensia urin seperti glukosuria. Berbagai macam obat juga dapat menjadi pencetus inkontinensia urin seperti calcium bloker, agonis adrenergik alfa dan beta , penghambat adrenergik alfa, analgesik narkotik, psikotropik. 1,2 Tabel 2.3. Akronim untuk penyebab reversible inkontinensia akut.1 Akronim untuk penyebab revesibel inkontinensia akut D Derilium R Restricted Mobility, Retention I P Infection, Inflamasi, Impaction Polyuria, Pharmacologicals

Table 2.4. Penyebab inkontinensia akut. 1 Penyebab inkontinensia urin akut D Derilium or acut confusional state I Infection, urinary A Atrophic vaginitis or urethritis P Pharmaceutical Sedative hypnotic Loop diuretic Anti-cholinergic agents Alpha- adrenergic agonis and antagonist Calcium chanel bloker

P Psychologic disorder ; depression E Endocrine disorders R Restricted Mobility S Stooli Impaction 2. Inkontinesia Urine Kronik Persisten a. Inkontinensia Stres1.6 Inkontinensia stres biasanya disebabkan oleh lemahnya mekanisme penutup. Keluhan khas yaitu mengeluarkan urine sewaktu batuk, bersin, menaiki tangga atau melakukan gerakan mendadak, berdiri sesudah berbaring atau duduk. Gerakan semacam itu dapat meningkatkan tekanan dalam abdomen dan karena itu juga di dalam kandung kemih. Otot uretra tidak dapat melawan tekanan ini dan keluarlah urine. Kebanyakan keluhan ini progresif perlahanlahan; kadang terjadi sesudah melahirkan. Akibatnya penderita harus sering menganti pakaian dalam dan bila perlu juga pembalut wanita. Frekuensi berganti pakaian, dan juga jumlah pembalut wanita yang diperlukan setiap hari, merupakan ukuran kegawatan keluhan inkontinensia ini.

10

Biasanya dalam fisik diagnostik tidak dijumpai kelainan pada ginjal dan kandung kemih. Informasi yang penting bisa diperoleh dengan percobaan Marshall-Marchetti. Penderita diminta untuk berkemih di WC sampai habis. Dalam posisi ginekologis dimasukan kateter ke dalam kandung kemih. Ditentukan jumlah urine yang tersisa. Kemudian diikuti oleh pengisian kandung kemih dengan air sampai penderita merasa ingin berkemih. Dengan demikian ditentukan kapasitas kandung kemih. Normalnya seharusnya 400-450 ml. Kemudian dicoba menirukan stres yang mengakibatkan pengeluaran urine dengan meminta penderita batuk. Jika pada posisi berbaring tidak terjadi pengeluaran urine, maka percobaan diulang pada posisi berdiri dengan tungkai dijauhkan satu sama lain. Pada inkontinensia stres, harus terjadi pengeluaran urine pada saat ini. Kemudian dicoba dengan korentang atau dengan dua jari menekan dinding depan vagina kanan dan kiri sedemikian rupa ke arah kranial sehingga sistouretrokel hilang. Penderita diminta batuk lagi. Bila sekarang pengeluaran urine terhenti maka ini menunjukkan penderita akan dapat disembuhkan dengan operasi kelainan yang dideritanya. Pemeriksaan ini dapat ditambah dengan sistometri, sistoskopi serta kalibrasi pada uretra untuk menyingkirkan kemungkinan stenosis. Diagnosis dengan pengobatan inkontinensia pada wanita merupakan masalah interdisipliner antara urologi dan ginekologi. Di sini pengambilan keputusan yang tepat setidak-tidaknya sama penting seperti mutu pengobatan. Sering terdapat kelainan ginekologis yang juga harus diobati. Kebanyakan diagnostik yang tepat ditegakkan dari kerjasama yang baik antara urolog dan ginekolog. Pada inkontinensia stres yang ringan, misalnya yang menghabiskan 3-4 pembalut sehari, penderita bisa memperoleh perbaikan dengan fisioterapi dan senam untuk otot-otot dasar panggul. Pada prinsipnya pengobatan inkontinensia stres bersifat operatif. Dikenal berbagai teknik bedah yang semuanya dapat 11

memberikan perbaikan 80-90 kasus. Semua bentuk operasi ini berlandaskan pada prinsip yang sama yaitu menarik dinding vagina ke arah ventral untuk
0

menghilangkan sistokel dan mengembalikan sudut vesiko-uretral menjadi 120 seperti semula. b. Inkontinensia desakan/urgensi1,6 Inkontinensia desakan adalah keluarnya urine secara involunter dihubungkan dengan keinginan yang kuat untuk mengosongkannya (urgensi). Biasanya terjadi akibat kandung kemih tak stabil. Sewaktu pengisian, otot detusor berkontraksi tanpa sadar secara spontan maupun karena dirangsang (misalnya batuk). Kandung kemih dengan keadaan semacam ini disebut kandung kemih tak stabil. Biasanya kontraksinya disertai dengan rasa ingin miksi. Gejala gangguan ini yaitu urgensi, frekuensi, nokturia dan nokturnal enuresis. Penyebab kandung kemih yang tidak stabil adalah idiopatik, diperkirakan didapatkan pada sekitar 10% wanita, akan tetapi hanya sebagian kecil yang menimbulkan inkontinensia karena mekanisme distal masih dapat memelihara inkontinensia pada keadaan kontraksi yang tidak stabil. Rasa ingin miksi biasanya terjadi, bukan hanya karena detrusor (urgensi motorik), akan tetapi juga akibat fenomena sensorik (urgensi sensorik). Urgensi sensorik terjadi karena adanya faktor iritasi lokal, yang sering dihubungkan dengan gangguan meatus uretra, divertikula uretra, sistitis, uretritis dan infeksi pada vagina dan serviks. Pada suatu penelitian, Burnett menyebutkan penyebabnya adalah tumor pada susunan saraf pusat, sklerosis multipel, penyakit Parkinson, gangguan pada sumsum tulang, tumor/batu pada kandung kemih, sistitis radiasi, sistitis interstisial. Pengobatan ditujukan pada penyebabnya. Pemeriksaan urodinamik yang diperlukan yaitu sistometrik.

12

c. Inkontinensia Luapan/Overflow1,6 Inkontinensia luapan yaitu keluarnya urine secara involunter ketika tekanan intravesikal melebihi tekanan maksimal uretra akibat dari distensi kandung kemih tanpa adanya aktifitas detrusor. Terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi sekali tanpa disertai kontraksi sehingga akhirnya urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes. Penyebab kelainan ini berasal dari penyakit neurogen, seperti akibat cedera vertebra, sklerosis multipel, penyakit serebrovaskular, meningomielokel, trauma kapitis, serta tumor otak dan medula spinalis. Corak atau sifat gangguan fungsi kandung kemih neurogen dapat berbeda, tergantung pada tempat dan luasnya luka, koordinasi normal antara kandung kemih dan uretra berdasarkan refleks miksi, yang berjalan melalui pusat miksi pada segmen sakral medula spinalis. Baik otot kandung kemih maupun otot polos dan otot lurik pada uretra dihubungkan dengan pusat miksi. Otot lurik periuretral di dasar panggul yang menjadi bagian penting mekanisme penutupan uretra juga dihubungkan dengan pusat miksi sakral. Dari pusat yang lebih atas di dalam otak diberikan koordinasi ke pusat miksi sakral. Di dalam pusat yang lebih atas ini, sekaligus masuk isyarat mengenai keadaan kandung kemih dan uretra, sehingga rasa ingin miksi disadari.

d. Inkontinensia fungsional Tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat factor-faktor di saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah musculoskeletal berat, faktoe lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi dan faktor psikologis.2

13

2.5 DIAGNOSIS Diagnosis inkontinensia urin bertujuan untuk: 1. Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversible 2. Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus 3. Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku.1 Hal yang penting dalam menilai pasien dengan inkontinensia urin adalah dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih test diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita yaitu: - Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan. - Keluarnya kencing tidak dapat ditahan. - Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh. Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal, pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca histerektomi mungkin mengetahui adanya massa pelvis.6 Untuk menegakkan diagnosis perlu diketahui penyebab dan tipe inkontinensia urin. Untuk inkontinensia urin yang akut, perlu diobati penyakit atau masalah yang mendasari, seperti infeksi saluran kemih, obat- obatan, gangguan kesadaran, skilbala, prolaps uteri. Biasanya, pada inkontinensia urin yang akut, dengan mengatasi penyebabnya, inkontinensia juga akan teratasi.

14

Inkontinensia urin yang kronik dapat dibedakan atas beberapa jenis ; o Inkontinesia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih (frekuensi lebih dari 8 kali), keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), sering berkemih di malam hari, dan keluarnya urine yang tidak terkendali yang didahului oleh keinginan berkemih yang tidak teertahankan terkendali yang didahului oleh keinginan berkemih yang tidak tertahankan. o Inkontinensia urin tipe stres dicirikan oleh keluarnya urin yang tidak terkendali pada saat tekanan intraabdomen meningkat seperti bersin, batuk, dan tertawa. o Inkontinensia urin overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post void residu (PVR)>100 cc. 3

1. Evaluasi Inkontinensia Urin Riwayat Penyakit Riwayat penyakit harus menekankan pada gejala yang muncul secara rinci agar dapat ditentukan tipe inkontinensia , patofisiologi dan faktor- faktor pemicu. a. Lama dan karakteristik inkontinensia urin

Waktu dan jumlah urin pada saat mengalami inkontinensia urin dan saat kering (kontinen)

Asupan cairan, jenis (kopi, cola, teh) dan jumlahnya. Gejala lain seperti nokturia, disuria, frekwensi, hematuria dan nyeri. Kejadian yang menyertai seperti batuk, operasi, diabetes, obat-obatan. Perubahan fungsi usus besar atau kandung kemih. Penggunaan Pad atau Modalitas lainnya.5

15

b. Pengobatan inkontinensia urin sebelumnya dan hasilnya Riwayat medis harus memperhatikan masalah-masalah seperti diabetes, gagal jantung, insufisiensi vena, kanker, masalah neurologis, stroke dan penyakit Parkinson. Termasuk di dalamnya riwayat sistem urogenital seperti pembedahan abdominal dan pelvis, melahirkan, atau infeksi saluran kemih. Evaluasi obat-obatan baik yang dibeli dengan resep maupun dibeli bebas juga penting dilakukan. Beragam obat dikaitkan dengan inkontinensia urin seperti hipnotik sedatif, diuretik, antikolinergik, adrenergik dan calcium channel blocker. Biasanya ada hubungan dengan waktu antara penggunaan obat-obatan dengan awitan inkontinensia urin atau memburuknya inkontinensia yang sudah kronik.5

2. Pemeriksaan Fisik Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.

Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa genitalia.

Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.

Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa, tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.

Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. 16

Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson. Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan menggunakan toilet.5

3. Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin a. Tes diagnostik pada inkontinensia urin Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. 5

Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara: Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat.5

Urinalisis Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :

Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, kreatinin, kalsium, glukosa, dan sitologi.

Tes urodinamik : untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian bawah

17

Tes tekanan urethra: mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat dinamis. Imaging: tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.5

4. Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih.5

Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria.5

Membuat Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dibuat untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya.5

18

Tabel 2.5. Komponen komponen pokok diagnostik pada inkontinensia urin1 Komponen-komponen pokok evaluasi diagnostik inkontinensia urin 1. Semua pasien Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih Pemeriksaan fisik Urinalisis Pengukuran volume residu urin post miksi

2. Pasien dengan kondisi tertentu Laboratorium Kultur urin Sitologi urin Gula darah, kalsium darah Uji fungsi ginjal USG ginjal Pemeriksaan ginekologi Pemeriksaan urologi Cystouretroskopi Uji urodinamik Simple ; Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simple Kompleks : o Urine flowmetry o Multichannel cystometrogram o Pressure- flow swtudy o Leak-point pressure o Urethral pressure profilometry

19

o Spincter electromyography o Video urodynamic

2.6 PENANGANAN KONSERVATIF Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis. 1. Latihan Otot Dasar Pinggul (Pelvic Floor Exercises)2,6 Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis. Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan pengisian kandung kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra. Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (bladder training) telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal. Langkah-langkah LKK(Latihan kandung kecing) : Tentukan tipe kandung kemih neurogenik

20

Tiap waktu miksi dimulai dengan stimulasi : Tipe UMN : Menepuk paha dalam, menarik rambut daerah pubis, masukkan jari pada rektum. Tipe LMN : Metode Crade atau manuver valsava.

Kateterisasi : kateter menetap atau berkala.

2. Obat-obatan a. Alfa Adrenergik Agonis Otot leher vesika dan uretha proksimal megandung alfa adrenoseptor yang menghasilkan kontraksi otot polos dan peningkatan tekanan penutupan urethra obat aktif agonis alfa-reseptor bisa menghasilkan tipe stmulasi ini dengan efek samping relatif ringan.6

b. Efedrin Efek langsung merangsang alfa sebaik beta-adrenoseptor dan juga melepaskan noradrenalin dari saraf terminal obat ini juga dilaporkan efektif pada inkotinensia stres.Efek samping menigkatkan tekanan darah, kecemasan dan insomnia oleh karena stimulasi SSP .6

c. Phenylpropanololamine PPA (Phenylpropanololamine) efek stimulasi perifer sebanding dengan efedrin, akan tetapi dengan efek CNS yang terkecil. PPA adalah komponen utama obat influensa dalam kombinasi dengan antihistamin dan

anthikholinergik. Dosis 50 mg dua kali sehari. Efek samping minimal. Didapatkan 59 % penderita inkontinensia stres mengalami perbaikan.6

d. Estrogen Penggunaannya masih kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan efek meningkatkan transmisi tekanan intra abdominal pada uretra dengan 21

estrogen dosis tinggi oral dan intravaginal. Estrogen biasanya diberikan setelah tindakan bedah pada inkontinensia dengan tujuan untuk memperbaiki vaskularisasi dan penyembuhan jaringan urogential, walaupun belum ada data yang akurat. 6 Pada inkontinensia urin pada wanita obat yang sering digunakan seperti dijelaskan pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6. Pengobatan yang umum digunakan untuk mengobati inkontinensia urin pada wanita10
Obat Inkontinensia stres Pseudoefedrin (Sudafed) Estrogen cincin vagina (Estring) Krim estrogen vagina malam. Overaktif Buli Oxybutynin ER (Ditropan XL) Generik oxybutynin Tolterodine (Detrol) Imipramine (Tofranil) Dicyclomine (Bentyl) Hiosiamin (Cystospaz) Dosis 15 sampai 30 mg, tiga kali sehari Masukkan ke dalam vagina setiap tiga bulan. 0,5 sampai 1 g, oleskan pada vagina setiap

5 sampai 15 mg, setiap pagi 2,5-10 mg, dua sampai empat kali sehari 1 sampai 2 mg, dua kali sehari 10-75 mg, setiap malam 10 sampai 20 mg, empat kali sehari 0,375 mg, dua kali sehari

3. Stimulasi Elektrik Metode ini paling sedikit diterima dalam terapi walaupun sudah rutin digunakan selama 2 dekade. Prinsip stimulasi elektrik adalah menghasilkan kontraksi otot lurik uretra dan parauretra dengan memakai implant/nonimplant (anal atau vaginal) elektrode untuk meningkatkan tekanan uretra. Aplikasi stimulasi dengan kekuatan rendah selama beberapa jam per hari selama beberapa bulan. Terdapat 64 % perbaikan penderita dengan cara implant, tapi metode ini tidak populer karena sering terjadi efek mekanis dan morbiditas karena infeksi. Sedang stimulasi non-implant terdiri dari generator

22

mini yang digerakkan dengan baterai dan dapat dibawa dalam pakaian penderita dan dihubungkan dengan elektrode anal/vaginal. Bentuk elektrode vaginal : ring, Hodge pessary, silindris.6 4. Alat Mekanis (Mechanical Devices) Tampon : Tampon dapat membantu pada inkontinensia stres terutama bila kebocoran hanya terjadi intermitten misal pada waktu latihan. Penggunaan terus menerus dapat menyebabkan vagina kering/luka. Edward Spring : Dipasang intravagina. Terdapat 70 % perbaikan pada penderita dg inkontinensia stres dengan pengobatan 5 bulan. Kerugian terjadi ulserasi vagina. Bonnass Device: Terbuat dari bahan lateks yang dapat ditiup. Bila ditiup dapat mengangkat sambungan urethrovesikal dan urethra proksimal.6

2.7 PENANGANAN SECARA OPERATIF Penatalaksanaan stres inkontinensia urine secara operatif dapat dilakukan dengan beberapa cara meliputi:2,6 1. Kolporafi anterior 2. Uretropeksi retropubik 3. Prosedur jarum 4. Prosedur sling pubovaginal 5. Periuretral bulking agent 6. Tension vaginal tape (TVT)

23

BAB III KESIMPULAN

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah hygiene dan sosial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh,depresi dan psikososial. Penyebab inkontinensia urin pada usia lanjut: o Penyebab utama dari inkontinensia o Urologi o Neurologi o Lokomotor o Psikologi o Inkontinensia sementara o Infeksi traktus urinarius o Penyakit akut yang disertai ; fatigue,immobilisasi o Retensi dengan inkontinensia overflow : Pengaruh dari fekal, obat antikolinergik, kompresi medulla spinalis, o Obat- obatan ; yang berefek pada saraf otonom, sedative dan transquelizer o Psikologi : depresi o Inkontinensia menetap

Diagnosis inkontinensia urin bertujuan untuk: o Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversible o Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus o Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku.

24

DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo , Aru W, Setyohadi, Bambang, Dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2. Tjokronegoron , Arjatmo, dkk. 1999. Buku Ajar Ilmu Pemyakit Dalam. Jilid II. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 3. Ismail, Adnan. Alwi, Idrus, dkk. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Departemen Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 4. Ouslender, Joseph G. 1981. Urinary Incontinence in the Elderly. Geriatric medicine: The Western Journal Of Medicine, Los Angeles. Vol.135, No. 6; 482-91 5. Anonimous. Inkontinensia Urin pada Lansia. URL http//:

www.smallcrab.

com/lanjut-usia/8s38-inkontinensia-urin-pada-lansia.

Diakses pada Februari 2012. 6. Universitas Sriwijaya. Inkontinensia Urin. URL http//:digilib.unsri.ac.id /download/inkontinensia%20urine.pdf. Diakses pada Februari 2012 7. Burnnet LS. Relaxations, Malpositions, Fistulas, and Incontinence. In: Jones HW, Wentz AC, Burnnet LS. Novaks Texbook of Gynecology. Eleventh Ed. William & Wilkins, 1988; 467-478. 8. Marchant DJ. Urinary Incontinence. Obsterics and Gynecology Annual, 1980; 9 : 261-2 9. Gayathri Bhagwath. Urinary Incontinence in the Elderly: Pathogenesis and Management. Journal, Indian Academy of Clinical Medicine. Vol. 2, No. 4. 2001 10. Culligan, Patrick J. Urinary Incontinence in Women: Evaluation and Management. Am Fam Physician.2000; 62 (11):2433-2444

25

11. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Inkontinensia Urin. URL http//: fkunand2010.files.wordpress.com/. Diakses pada Februari 2012

26

Você também pode gostar