Você está na página 1de 20

BAB I

PENDAHULUAN
Janin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko mortalitas dan morbiditas yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka insidensi kematian janin di seluruh dunia diperkirakan mencapai rentang 2,14 3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2009, yaitu sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000 kelahiran (MacDorman, 2009). Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Depkes RI tahun 2003 (POGI, 2006) mengenai kegagalan yang terjadi selama masa kehamilan, didapatkan data mortalitas perinatal di Indonesia berkisar 24 dari 1000 kehamilan. Kondisi kesehatan janin memiliki kontribusi tertinggi dalam mengakibatkan mortalitas perinatal (39%) dibandingkan dengan faktor maternal (5,1%). Resiko tingginya angka kematian yang berkaitan dengan faktor maternal kebanyakan berupa jarak 15 bulan kehamilan dari persalinan terakhir dan usia ibu hamil di atas 40 tahun. Melahirkan bayi dalam keadaan meninggal tentunya merupakan suatu keadaan yang traumatis bagi setiap wanita. IUFD seringkali tidak diharapkan dan terjadi sangat cepat sehingga perubahan emosi yang dialami orangtua sangatlah besar. Investigasi melaporkan bahwa 20-30% wanita yang mengalami kehilangan bayi dalam kandungan menderita morbiditas psikiatrik yang berkepanjangan. Penanganan ibu hamil telah berkembang pesat dalam beberapa tahun belakangan dalam menanggulangi gangguan kejiwaan pasca IUFD, sehingga wanita-wanita hamil dapat menghadapi dan mengatasi traumanya.

BAB II
INTRA UTERINE FETAL DEATH

1. Definisi IUFD (Intra Uterine Fetal Demise) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (Uncomplicated Pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut abortus. Sedangkan WHO menyebutkan bahwa yang dinamakan kematian janin adalah kematian yang terjadi bila usia janin 20 minggu dan berat janin waktu lahir diatas 1000 gram. Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih, dengan usia kehamilan 20 minggu atau lebih.

2. Penyebab Kematian Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta (Kliman, 2000). a. Faktor Ibu 1) Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah Rh positif, sehingga janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu Rh positif, yang berakibat antara ibu dan janin akan mengalami

ketidakcocokan Rhesus. Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi kondisi janin tersebut. Misalnya dapat terjadi kondisi Hidrops fetalis, yaitu suatu

reaksi imunologis yang menimbulkan gambaran klinis pada janin antara lain berupa pembengkakan pada perut akibat terbentuknya cairan yang berlebihan pada rongga perut (asites), pembengkakan kulit janin penumpukan cairan di rongga dada atau rongga jantung, dan lain-lain. Akibat dari penimbunan cairan-cairan yang berlebihan tersebut, tubuh janin akan membengkak yang dapat berakibat pula darahnya bercampur dengan air. Jika kondisi demikian terjadi, biasanya janin tidak akan tertolong lagi. 2) Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin Terutama pada golongan darah A, B, dan O yang sering terjadi adalah antara golongan darah anak A atau B dengan ibu bergolongan darah O atau sebaliknya. Hal ini disebabkan karena pada saat masih dalam kandungan, darah janin tidak cocok dengan darah ibunya, sehingga ibu akan membentuk zat antibodi. 3) Berbagai penyakit pada ibu hamil Salah satu contohnya adalah diabetes dan preeklampsia. Hipertensi juga sangat berbahaya pada ibu hamil, baik yang memang memiliki riwayat hipertensi meupun yang tidak (hipertensi gravidarum). Hipertensi dapat menyebabkan kekurangan O2 pada janin yang disebabkan oleh berkurangnya suplai darah dari ibu ke plasenta yang disebabkan oleh spasme dan kadang-kadang trombosis dari pembuluh darah ibu. 4) Trauma saat hamil Trauma bisa mengakibatkan terjadinya solusio plasenta atau plasenta terlepas. Trauma terjadi misalnya karena benturan pada perut, baik karena kecelakaan atau pemukulan. Trauma bisa saja mengenai pembuluh darah di plasenta, sehingga menimbulkan perdarahan pada plasenta atau plasenta terlepas sebagian, yang pada akhirnya aliran darah ke janin pun terhambat. 5) Infeksi pada ibu hamil Ibu hamil sebaiknya menghindari berbagai infeksi seperti bakteri maupun virus. Bahkan demam tinggi pada ibu hamil (lebih dari 103 F) dapat menyebabkan janin tidak tahan dengan tubuh ibunya. 6) Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu)

Kehamilan lebih dari 42 minggu.Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan kekurangan asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah menjadi sangat kental dan hijau, akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi melalui USG dengan color doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis jantung ke janin. Jika demikian, maka kehamilan harus segera dihentikan dengan cara diinduksi. 11 7) Hamil pada usia lanjut Hamil pada usia lanjut adalah kehamilan pada usia >35 tahun. Kehamilan ini rentan dikarenakan beberapa hal, yaitu: Selepas usia menjangkau 35 tahun ke atas setiap wanita akan mengalami penurunan dalam kualitas telur yang dihasilkan oleh ovarium. Umur berkaitan pula dengan perubahan hormon. Jadi kemungkinan pengeluaran telur lebih dari satu. Seterusnya boleh menyebabkan berlaku kehamilan kembar dua atau lebih. Wanita yang hamil pada usia lanjut juga mudah mengalami masalah diabetes. Ini dapat dikarenakan ibu dengan gaya hidup yang tidak sehat, terlalu banyak konsumsi gula, dan jarang olah raga. Kehamilan pada usia lanjut juga mungkin sukar untuk bersalin secara normal. Memiliki resiko tinggi janin mengalami syndrome Down karena kelainan kromosom. Resiko tinggi keguguran.

8) Ruptur uteri Ruptur uteri merupakan salah satu bentuk perdarahan yang terjadi pada kehamilan lanjut dan persalinan, selain plasenta previa, solusio plasenta, dan gangguan pembekuan darah. Batasan perdarahan pada kehamilan lanjut berarti perdarahan pada kehamilan setelah 22 minggu sampai sebelum bayi dilahirkan, sedangkan perdarahan pada persalinan adalah perdarahan intrapartum sebelum kelahiran.

9) Kematian Ibu Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan mengalami kematian, dikarenakan fungsi tubuh pertumbuhan janin, tidak lagi ada. yang seharusnya menopang

b. Faktor Janin 1) Gerakan Sangat Berlebihan Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama jika terjadi gerakan satu arah saja dapat membahayakan kondisi janin. Hal ini dikarenakan gerakan yang berlebihan ini akan menyebabkan tali pusar terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka pembuluh darah yang mengalirkan darah dari ibu ke janin akan tersumbat. Gerakan janin yang sangat liar menandakan bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi. 2) Kelainan kromosom Bisa juga disebut penyakit bawaan, misalnya kelainan genetik berat (trisomi). Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin. Hal ini disebabkan karena pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya banyak. 3) Kelainan bawaan bayi Yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau terjadi kelainan pada paruparunya. 4) Malformasi janin Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ janin tidak berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan inilah suplai yang dibutuhkan janin tidak terpenuhi, sehingga

kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan akan menyebabkan kematian pada janin.

5) Kehamilan multiple Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun perinatal meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya bisa sampai 1000-1500 g). Hal ini bisa disebabkan regangan uterus yang berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga tidak lancar. Jika

ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan yang parah, suplai janin tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian janin. 6) Intra Uterine Growth Restriction Kegagalan janin untuk mencapai berat badan normal pada masa kehamilan. Pertumbuhan janin terhambat dan bahkan menyebabkan kematian, yang tersering disebabkan oleh asfiksia saat lahir, aspirasi mekonium, perdarahan paru, hipotermia dan hipoglikemi. 7) Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria) Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini telah menyerang maka akan menyebabkan janin mengalami gangguan seperti, pembesaran hati, kuning, ekapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan lain-lain. Dan gangguan ini akan membuat kesejahteraan janin memburuk dan jika dibiarkan terus-menerus janin akan mati. 8) Insufisiensi plasenta yang idiopatik Merupakan bagian dari kasus hipertensi dan penyakit ginjal yang sudah disebutkan diatas. Pada beberapa kasus, insufisiensi plasenta ini terjadi pada kehamilan yang berturut-turut. Janin tidak mengalami pertumbuhan secara normal. c. Faktor Palsenta 1) Perlukaan cord 2) Pecah secara mendadak (abruption) 3) Premature Rupture of Membrane 4) Vasa Previa

d. Faktor Resiko

Berikut ini beberapa faktor resiko terjadinya kematian janin intra uteri (Kliman, 2000) : Ibu usia lanjut Riwayat kematian janin intra uterine Infertilitas Ibu Hemokonsentrasi pada ibu Usia Ayah Obesitas

3. Patologi Anatomi Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi. Kulitnya mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena absorbsi pigmen darah. Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur. Tulang kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengn yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam waktu 24 jam dari kematian janin.12 Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada IUFD dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut: a) Rigor mortis (tegang mati) Berlangsung 2 jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas sekali. b) Stadium maserasi I Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati. c) Stadium maserasi II Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48 jam janin mati. d) Stadium maserasi III Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan hubungan antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit.

4.

Tanda dan Gejala

Pada wanita yang diketahui mengalami kematian janin intra uterine (IUFD), pada beberpa hari berikutnya mengalami penurunan ukuran payudara. Tanda-tanda lain yang juga dapat ditemukan adalah sebagai berikut: 1) Tidak ada gerakan janin. Pada umumnya, ibu merasakan gerakan janin pertama pada usia kehamilan 18 minggu (pada multipara) atau 20 minggu (pada primipara). Gerakan janin normalnya minimal 10 kali sehari. 2) Gerakan janin yang sangat hebat atau sebaliknya, gerakan janin yng semakin pelan atau melemah. 3) Ukuran abdomen menjadi lebih kecil dibandingkan dengan ukuran pada saat kehamilan normal dan tinggi fundus uteri menurun atau kehamilan yang tidak kunjung besar, dicurigai bila pertumbuhan kehamilan tidak sesuai bulan. 4) Bunyi jantung anak tidak terdengar 5) Palpasi janin menjadi tidak jelas 6) Pergerakan janin tidak teraba oleh tangan pemeriksa 7) Pada foto roentgen dapat terlihat: Gejala Tulang-tulang cranial saling menutupi (tanda spalding) Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda naujokes) Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin Tanda Gejala janin hilang sesudah dan dan Tanda Diagnosa Kemungkinan Solusio plasenta

dan

Selalu Ada Gerakan

Kadang-Kadang Ada Syok

berkurang atau hilang Nyeri perut Uterus tegang/kaku

timbul atau menetap Perdarahan pervaginam Gawat janin atau DJJ tidak terdengar

hamil 22 minggu Gerakan janin Syok Perut cairan kembung/ bebas intra Ruptura uteri

DJJ tidak ada Perdarahan

abdominal

Nyeri perut hebat

Kontur abnormal Abdomen nyeri Bagian-bagian teraba

uterus

janin

Denyut nadi ibu cepat Cairan ketuban Gawat janin

Gerakan

janin

berkurang atau hilang DJJ (<100/menit >180/menit) Gerakan janin/ DJJ hilang abnormal atau

bercampur mekonium

Tanda-tanda kehamilan berhenti Tinggi fundus uteri berkurang Pembesaran berkurang uteri

Kematian janin

5.

Penatalaksanaan Kematian Janin Intrauterin Kelahiran harus segera diinduksi secepatnya setelah diagnosa dapat

ditegakkan. Pada satu penelitian, penundaan kelahiran lebih dari 24 jam setelah terdiagnosis dihubungkan dengan peningkatan terjadinya masa anxietas dibandingkan dengan wanita yang kelahirannya diinduksi dalam waktu 6 jam (Kliman, 2000). Ketika janin berada di dalam uterus selama 3-4 minggu, level fibrinogen bisa turun yang dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini sangat jarang terjadi pada kehamilan tunggal karena penegakan diagnosa dan induksi yang dilakukan lebih awal. Pada beberapa kasus kehamilan kembar, tergantung dari tipe plasentasi, induksi setelah kematian kedua janin mungkin dapat menghambat perkembangan janin menjadi matur. Pada kasus ini beberapa spesialis anak tidak merekomendasikan untuk memeriksakan koagulasi darah. Secara umum, resiko

berkembangnya disseminated intravascular coagulopathy sangat jarang (Kliman, 2000). Kematian janin awal dapat ditangani dengan pemberian laminaria diikuti oleh dilatasi dan ekstraksi. Pada wanita dengan kematian janin sebelum usia kehamilan kurang dari 28 minggu, induksi dapat dilakukan dengan menggunakan prostaglandin E2 vaginal suppositoria (10-20 mg tiap 4-6 jam), misoprostol pervaginal atau per oral (400 mcg tiap 4-6 jam), dan/atau oxytocin (terutama bagi wanita dengan sectio caessaria). Pada wanita dengan kematian janin pada usia kehamilan setelah 28 minggu, harus menggunakan dosis yang lebih rendah. The American College of Obstetricians and Gynaecologists mengatakan bahwa untuk induksi kelahiran prostaglandin E2 dan misoprostol hendaknya tidak digunakan pada wanita denga riwayat sectio caessaria karena resiko terjadinya ruptur uteri (Kliman, 2000). 10 Penanganan rasa nyeri pada pasien dengan induksi kelahiran untuk kasus kematian janin lebih mudah ditangani dibandingkan dengan pasien dengan janin yang masih hidup. Narkotik dengan dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk pasien, dan pemberian morfin biasanya cukup efektif untuk pengendalian rasa nyeri (Kliman, 2000). Berikut tahapan-tahapan penanganan pada ibu yang didiagnosa mengalami IUFD: 1. Jika kematian janin intra uterine telah jelas ditemukan, pasien harus diberitahukan secara berhati-hati dan dihibur. Pertimbangkan untuk menunda prosedur evakuasi janin untuk membiarkan pasien menyesuaikan secara psikologis terhadap kematian janin tersebut. Penundaan tersebut juga mempunyai keuntungan tambahan dengan memberikan kesempatan pada serviks untuk lebih siap. Jika persalinan tidak terjadi segera setelah kematian janin, terutama pada kehamilan lanjut, koagulopati maternal dapat terjadi, walaupun keadaan ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah kematian janin. Setelah 3 minggu, lakukan pemeriksaan koagulasi yang termasuk hitung trombosit, kadar fibrinogen, waktu protrombin, partial tromboplastin time (PTT), dan analisis produk degradasi fibrinogenserta lakukan secara serial. Berikan immunoglobulin rhesus pada semua gravida rhesus negatif

10

kacuali ayah janin diketahui pasti dengan rhesus negatif. Berikan dosis kecil (30g) pada trimester I dan dosis penuh pada kehamilan akhir. 2. Penggunaan USG pada kehamilan dini telah menunjukkan bahwa kematian janin terjadi pada gestasi kembar lebih sering daripada yang diperkirakan sebelumnya. Keadaan ini biasanya asimtomatik, walaupun mungkin terjadi bercak pada vagina. Tidak diperlukan intervensi, dan dapat diharapkan terjadinya resorpsi pada janin yang mati. Hipofibrinogenemia maternal adalah komplikasi yang jarang dan harus diamati pada kasus tersebut. Koagulopati konsumtif juga dapat timbul pada janin yang hidup. Keadaan ini mengarahkan pada perlunya persalinan segera jika kematian salah satu janin terjadi pada kehamilan yang lanjut dan maturitas janin yang lainnya telah diyakini dengan pemeriksaan unsur-unsur pulmonal dalam cairan amnion. 3. Prostaglandin E2 dalam bentuk supositoria vagina (20 mg tiap tiga sampai lima jam) adalah efektif untuk evakuasi janin yang telah mati pada midtrimester. Walaupun insidensi keberhasilan adalah tinggi, terjadinya retensi plasenta memerlukan kuretase. Dokter dapat menggunakan dosis 15methylprostaglandin F2 intramuskuler (250 g pada interval satu dan satu sampai satu setengah dan seengah jam) jika selaput amnion telah pecah. Sesuaikan jadwal dosis untuk menghindari stimulasi yang berlebihan. Adanya kegagalan mengarahkan pada anomali rahim. Persiapkan aminophylline dan terbualine untuk menghindari bronkospasme jika prostaglandin diberikan pada pasien asmatik. Penggunaan oksitosin secara bersamaan harus dihindari karena resiko rupture uterin. 4. Jika janin telah mati dalam waktu yang cukup lama, ukuran rahim menurun cukup banyak untuk memungkinkan evakuasi dengan penyedotan dapat dilakukan dengan aman. Pemeriksaan keadaan koagulasi, seperti yang telah disebutkan, harus dilakukan. Jika keadaan tersebut ditemukan, atasilah koagulopati dan lanjutkan dengan evakuasi. Kira-kira 80% akan memasuki persalinan dalam dua atau tiga minggu. Jika timbul koagulopati, heparin dapat dipakai untuk memperbaikinya sebelum melakukan evakuasi rahim, tetapi penggunaan heparin pada keadaan tersebut tidak sepenuhnya bebas dari bahaya. Histerotomi hampir tidak pernah diindikasikan kecuali terdapat

11

persalinan dengan seksio secaria sebelumnya atau operasi miomektomi. Evakuasi instrumental transervikal dan kehamilan trimester ketiga yang telah lanjut memerlukan keahlian dan pengalaman khusus untuk menghindari perforasi dan perdarahan. Laminaria mungkin berguna dalam kasus tersebut. 5. Semua gravida dengan rhesus negatif harus diberikan immunoglobulin rhesus. Jika diperkirakan terdapat interval lebih dari 72 jam antara kematian janin dan persalinan, berikan dosis immunoglobulin yang sesuai dengan segera. Penjelasan pasca persalinan adalah bagian yang penting dalam perawatan total pasien. Tiap usaha harus dilakukan untuk mendapatkan ijin otopsi janin, karyotiping dan pemeriksaan lain yang dindikasikan

Penanganan Umum Berikan dukungan emosional pada ibu. Nilai denyut jantung janin (DJJ) : bila ibu mendapat sedatif, tunggu hilangnya pengaruh obat, kemudian nilai ulang; bila DJJ tak terdengar minta beberapa orang mendengarkan menggunakan stetoskop Doppler. Penanganan Khusus Kematian janin dapat terjadi akibat gangguan pertumbuhan janin, gawat janin, atau kelainan bawaan atau akibat infeksi yang tidak terdiagnosis sebelumnya sehingga tidak diobati.10 Jika pemeriksaan radiologik tersedia, konfirmasi kematian janin setelah 5 hari. Tanda-tandanya berupa overlapping tulang tengkorak, hiperfleksi kolumna vertebralis, gelembung udara di dalam jantung dan edema scalp. USG: merupakan sarana penunjang diagnostik yang baik untuk memastikan kematian janin di mana gambarannya menunjukkan janin tanpa tanda kehidupan: tidak ada denyut jantung janin, ukuran kepala janin, dan cairan ketuban berkurang. Dukungan mental emosional perlu diberikan kepada pasien. Sebaiknya pasien selalu didampingi oleh orang terdekatnya. Yakinkan bahwa besar

kemungkinan dapat lahir per vaginam.

12

Pilihlah cara persalinan dapat secara aktif dengan induksi maupun ekspektatif, perlu dibicarakan dengan pasien dan keluarganya sebelum keputusan diambil. Bila pilihan penanganan adalah ekspektatif: tunggu persalinan spontan hingga 2 minggu; yakinkan bahwa 90% persalinan spontan akan terjadi tanpa komplikasi.

Jika trombosit dalam 2 minggu menurun tanpa persalinan spontan, lakukan penanganan aktif. Jika penanganan aktif akan dilakukan, nilai serviks: jika serviks matang, lakukan induksi persalinan dengan oksitosin atau prosaglandin. jika serviks belum matang, lakukan pematangan serviks dengan prostaglandin atau kateter foley. Catatan: Jangan lakukan amniotomi karena beriiko infeksi. persalinan dengan seksio sesarea merupakan alternatif terakhir.

Jika persalinan spontan tidak terjadi dalam 2 minggu, trombosit menurun, dan serviks belum matang, matangkan serviks dengan misoprostol: tempatkan misoprostol 25 mcg di puncak vagina; dapat diulangi sesudah 6 jam. jika tidak ada respon sesudah 2 x 25 mcg misoprostol, naikkan dosis menjadi 50 mcg setiap 6 jam. Catatan: Jangan berikan lebih dari 50 mcg setiap kali dan jangan melebih 4 dosis.

Jika ada tanda infeksi, berikan antibiotika untuk metritis. Jika tes pembekuan sederhana lebih dari 7 menit atau bekuan mudah pecah, waspada koagulopati. Berikan kesempatan kepada ibu dan keluarganya untuk melihat dan melakukan berbagai kegiatan ritual bagi janin yang meninggal tersebut. Pemeriksaan patologi plasenta adalah untuk mengungkapkan adanya patologi plasenta dan infeksi.

13

DUGAAN KEMATIAN JANIN

Hilangnya pergerakan janin Tidak terdapat pertumbuhan janin Tidak terdapat denyut jantung janin

Hitung trombosit Kadar fibrinogen Waktu protrombin (PT) Partial Thromboplastin Time (PTT) Produk Degrdasi Fibrin (FDP) Ultrasonografi

Tegaskan kematian janin dengan ultrasongrafi

Berikan penjelasan dan dukungan dalam keadaan duka cita

6. Komplikasi yang mungkin Terjadi Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu. Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2 minggu sangat jarang terjadi.11 Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbullah proses persalinan. Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut: 1) Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), yaitu adanya perubahan pada proses pembekuan darah yang dapat menyebabkan perdarahan atau internal bleeding. 2) Infeksi 3) Koagulopati maternal dapat terjadi walaupun ini jarang terjadi sebelum 4-6 minggu setelah kematian janin. Oleh karena adanya komplikasi akibat IUFD, maka janin yang telah meninggal harus segera dilahirkan. Proses kelahiran harus segera dilkukan secara normal, karena bila melalui operasi akan terlalu merugikan ibu. Operasi hanya dilakukan jika ada halangan untuk melahirkan normal. Misalnya janin meninggal dalam posisi melintang atau karena ibu mengalami preeklampsia.

14

BAB III
ASPEK PSIKOLOGIS PADA WANITA HAMIL DENGAN IUFD
Kematian janin adalah suatu kejadian traumatik psikologik bagi wanita dan keluarganya. Radestat mendapatkan bahwa interval yang lebih dari 24 jam sejak diagnosa kematian janin sampai induksi persalinan berkaitan dengan ansietas berlebihan. Faktor lain yang berperan adalah apabila wanita yang bersangkutan tidak melihat bayinya selama yang ia inginkan dan apabila ia tidak memiliki barang kenangan dapat timbul kecemasan pada ibu sampai gejala depresi dan gejala somatisasi yang dapat bertahan sampai lebih dari 6 bulan. Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi meninggal, telah lama dianggap memiliki resiko yang lebih besar mengalami gangguan hasil kehamilan pada kehamilan berikutnya. Beberapa penelitian menyebutkan kisaran angka kekambuhan lahir mati antara 0 sampai 8 persen.. Evaluasi prenatal penting dilakukan untuk memastikan penyebab. Apabila penyebab lahir mati terdahulu adalah kelainan karyotipe atau kausa poligenik, pengambilan sample villus khorionik atau amniosintesis dapat mempermudah deteksi dini dan memungkinkan dipertimbangkannya terminasi kehamilan. Pada diabetes, cukup banyak kematian perinatal yang berkaitan dengan kelainan congenital. Pengendalian glikemik intensif pada periode perikonsepsi dilaporkan menurunkan insiden malformasi dan secara umum memperbaiki hasil yang diharapkan dari kehamilan. Intra Uterine Fetal Death/Kematian Janin Intra Uterin (IUFD) adalah suatu komplikasi kehamilan serius yang dapat mempengaruhi keadaan psikologis jangka pendek seorang wanita dan meningkatkan risiko terjadinya kecemasan dan depresi selama bulan-bulan pertama pasca kejadian dibandingkan dengan wanita yang melahirkan bayi hidup. 1, 2 Kematian janin dapat dipastikan merupakan stressor traumatis bagi setiap wanita hamil yang mengalaminya. Risiko mengalami depresi dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sering terjadi selama kehamilan selanjutnya, terutama saat konsepsi terjadi tidak begitu lama setelah kejadian. Kebanyakan wanita yang

15

sempat menggendong bayinya yang telah meninggal lebih banyak menderita depresi daripada mereka yang hanya melihat bayinya.3,4 Beberapa penelitian menilai asosiasi antara IUFD dan risiko terjadinya distress psikologis jangka panjang. Sebuah penelitian yang berlangsung selama 3 tahun di Swedia melaporkan bahwa wanita yang pernah melahirkan bayi

meninggal dua kali lebih besar kemungkinannya mengalami gejala-gejala kecemasan dibanding dengan wanita yang melahirkan bayi hidup.5 The Maternal Observations and Memories od Stillbirth study melaporkan bahwa wanita-wanita yang baru saja mengalami IUFD (<1 tahun) memiliki gejala-gejala depresi yang lebih berat dibandingkan mereka yang telah lama mengalami IUFD (>1 tahun), dan level kecemasan dilaporkan menurun setelah dua tahun.6 Namun sejauh ini penelitian yang melaporkan bagaimana Quality Of Life, serta efek psikologis jangka panjang dari IUFD sendiri masih belum diketahui secara pasti. Abortus mungkin menyerupai kasus IUFD, namun abortus masih merupakan kasus yang dampak psikologisnya pada wanita hamil dapat dikatakan tidak lebih besar dibandingkan IUFD dikarenakan; pada abortus masa gestasi lebih singkat, pada kehamilan muda orangtua belum terlalu banyak

merencanakan, menginvestasikan, dan mengharapkan banyak pada calon bayi mereka, dan mungkin peristiwa abortus itu sendiri dapat tidak diketahui secara luas. Sedangkan pada IUFD usia gestasi sudah berlangsung lama, kehamilan sudah terlihat secara publik selama beberapa bulan, orangtua juga mungkin telah menyiapkan nama bagi calon bayi, dan bayi yang meninggal di dalam kandungan mau tidak mau harus dilahirkan untuk kemudian dikebumikan. Pada kasus ini mungkin pantas jika menyebutkan kehamilan berikutnya sebagai obat pamungkas untuk menyembuhkan kondisi kejiwaan wanita yang mengalami IUFD namun mungkin juga tidak. Beberapa penelitian juga menyebutkan manifestasi klinis yang dapat timbul akibat gangguan psikologis pasca IUFD seperti frigiditas, phobia berat, and disabilitas dalam bekerja. Hal ini ditemukan tidak hanya setelah kejadian berlangsung, namun juga dapat terjadi pada kehamilan berikutnya.7

16

Selain wanita hamil, pasangan dari wanita yang mengalami IUFD juga dapat menderita respon kedukaan yang berat, namun prevalensi kelainan psikologis yang terjadi dalam diri pasangan wanita hamil dengan IUFD masih belum diketahui dnegan baik. Laki-laki menunjukkan lebih sedikit rasa bersalah, kecemasan dan depresi dibandingkan wanita, namun dapat juga terjadi PTSD. Selain itu hubungan antar pasangan memiliki risiko 40% lebih tinggi untuk berpisah pada pasangan yang mengalami kematian bayi dibanding yang tidak.9 Pada beberapa orangtua yang kehilangan bayinya, masalah-masalah psikologis yang berkepanjangan muncul setelah kejadian berlangsung. Hal ini timbul kemungkinan karena tidak adanya bantuan profesional bagi mereka.8

17

BAB IV PENUTUP
Kematian Janin Intra Uterin (IUFD) masih menjadi masalah yang belum dapat diatasi sepenuhnya di Indonesia, sehingga dalam penanganannya bukan hanya aspek medis saja yang harus diperhatikan namun juga aspek psikologis bagi Ibu dan keluarga yang mengalami. Dampak yang dapat terjadi akibat IUFD mencakup rasa bersalah berkepanjangan, gangguan cemas, depresi, serta gangguan psikosomatik. Gangguan-gangguan ini dapat terjadi saat dan setelah terjadinya IUFD, bahkan dapat berlanjut pada kehamilan selanjutnya. Karena itu dalam hal ini dibutuhkan bantuan profesional untuk menurunkan morbiditas pada wanita-wanita yang mengalami IUFD.

18

DAFTAR PUSTAKA
1. Vance JC, Foster WJ, Najman JM, Embelton G, Thearle MJ, Hodgen FM: Early parental responses to sudden infant death, stillbirth or neonatal death. Med J Aust 1991, 155:292297. 2. Boyle FM, Vance JC, Najman JM, Thearle MJ: The mental health impact of stillbirth, neonatal death or SIDS: prevalence and patterns of distress among mothers. Soc Sci Med 1996, 43:12731282. 3. Hughes PM, Turton P, Evans CD: Stillbirth as risk factor for depression and anxiety in the subsequent pregnancy: cohort study. BMJ 1999, 318:17211724. 4. Turton P, Hughes P, Evans CD, Fainman D: Incidence, correlates and predictors of post-traumatic stress disorder in the pregnancy after stillbirth. Br J Psychiatry 2001, 178:556560. 5. Radestad I, Steineck G, Nordin C, Sjogren B: Psychological complications after stillbirthinfluence of memories and immediate management: population based study. BMJ 1996, 312:15051508. 6. Cacciatore J, Radestad I, Frederik FJ: Effects of contact with stillborn babies on maternal anxiety and depression. Birth 2008, 35:313320. 7. The psychological effects of Stillbirths On Women And Their Doctors accessed on Jan 23th 2013 at

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2236635/pdf/jroyalcgp rac00375-0027.pdf 8. SchaapAH,WolfH,BruinseHW,Barkhof-vandeLandeS, Treffers PE. Long-term impact of perinatal bereavement. Comparison of grief reactions after intrauterine versus neonatal death. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 1997;75:1617. 9. Gold KJ, Sen A, Hayward RA. Marriage and cohabitation outcomes after pregnancy loss. Pediatrics 2010;125:e12027. 10. Achdiat, C.M.2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi. Jakarta:EGC

19

11.

Cuningham, F.G. 2001. Williams Obstetrics (21st Edition). United States of America:TheMcGraw-Hill Companies,Inc.

12. 13.

Mochtar,R. 1998. Sinopsis Obstetri Patologi, edisi II.Jakarta:EGC Wiknjosarto,H. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka

20

Você também pode gostar