Você está na página 1de 4

DINASTI POLITIK

Secara harfiah, pengertian dinasti adalah kekuasaan yang dipegang secara turun temurun dalam satu garis keturunan atau kerabat dekat. Dinasti politik ditandai dengan tersebarnya jejaring kekuasaan melalui trah politik pendahulunya dengan cara penunjukan anak, istri, paman, dan semacamnya untuk menduduki pos-pos strategis dalam partai (lembaga) politik. Biasanya ini adalah cara agar sanak famili tersebut bisa dengan mudah meraih jabatan publik baik sebagai bupati/wakil bupati (eksekutif) maupun sebagai anggota perwakilan Rakyat/DPRD. Dalam lembaga politik seperti partai, mereka yang masih mempunyai hubungan dekat dengan keluarga acap kali mendapatkan keistimewaan (privilege) untuk menempati pelbagai posisi penting dalam puncak hirarki kelembagaan organisasi. Di sisi lain, ada juga praktek dinasti politik dengan melakukan pemecahan kongsi kekuatan politik dalam keluarga. Biasanya hal ini ditunjukan dengan salah satu anggota keluarga bergabung dengan partai lain untuk memperebutkan posisi politik seperti Bupati, Gubernur, bahkan Presiden sekali pun. Jadi, dalam satu keluarga bisa ada persaingan. Keberadaan dinasti politik di Indonesia sudah mulai sejak pemerintahan Presiden Ir. Soekarno dan bukan hanya pada tingkat daerah tetapi juga pusat serta bukan hanya dibidang eksekutif tetapi juga legislatif. Berdasarkan informasi sejumlah TV dan Koran nasional, banyak anak politikus/tokoh senior partai politik sudah diterjunkan untuk bertarung meraih kursi anggota legislatif periode 2009 2014. SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sudah menurunkan Edhie Baskoro Yudhoyono untuk Dapil Jawa Timur VI (Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi). Theo L. Sambuaga politikus senior Partai Golkar melepas anaknya Jerry A.K. Sambuaga di Dapil Jakarta III (Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu). Agung Laksono sebagai Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar menempatkan anaknya Dave Laksono di Dapil Jabar III (Bogor). M. Amien Rais mantan Ketua Umum PAN mendorong anaknya Mumtaz Rais di Dapil Jawa Tengah VIII (Cilacap dan Banyumas). A.M. Fatwa politikus senior PAN mendorong anaknya di Dapil Jawa Barat X (Ciamis, Kuningan, dan Banjar). Tidak ketinggalan juga Puan Maharani anak Megawati Ketua Umum DPP PDI Perjuangan berlaga di Dapil Jawa Tengah V (Kab. Solo, Surakarta, Boyolali, Klaten, dan Sukoharjo). Kadang banyak orang tidak menyadari bahwa dinasti politik itu terjadi dan jarang isu seperti ini dibicarakan. Secara umum memang keberadaan dinasti politik tidak menjadi masalah dan dianggap hal yang lumrah dilakukan. Padahal, hal itu bukan hal yang lumrah karena hal tersebut dapat menghambat proses regenerasi politik yang baik karena arus kekuasaan untuk menentukan suatu kebijakan yang hanya berputar-putar disatu tempat dan dapat juga dikatakan dinasti politik itu merupakan kaderisasi

politik dalam keluarga pemegang kekuasaan. Dari segi hak berpolitik, hal itu merupakan hak dari setiap warga negara termasuk juga hak dari pemegang dinasti politik yaitu hak dipilih ataupun hak memilih. Namun jika dikaitkan dengan etika berpolitik, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tidak patut jika kepala daerah yang telah habis masa jabatannya digantikan oleh anak atau isterinya (Kompas, 24 Agustus 2010) Apalagi dengan perkembangan ketatanegaraan saat ini, dimana pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan dasar Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Disini rakyat sangat berperan dalam memilih pemimpinnya, tapi terkadang rakyat hanya terjebak dalam alur elit politik dengan janji-janji muluk saat kampanye yang belum tentu nantinya akan dilaksanakan atau tidak. Demi tercapainya suatu kepentingan politik maka digunakanlah politik pencitraan untuk mendapat simpati dari rakyat, cara seperti ini banyak dilakukan oleh elit politik untuk menggapai suara rakyat saat pemilu ataupun saat pemilukada, tapi selanjutnya ibarat pepatah habis manis sepah dibuang begitulah nasib rakyat. Pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim, mengatakan bahwa dinasti politik tidak hanya ada di Indonesia tetapi juga ada dinegara lain seperti dinasti Downer di Australia, dinasti Bush di Amerika, dinasti Bhuto di Pakistan dll. Dalam dinasti politik di Indonesia potensi terjadinya abuse of power oleh pemegang pemerintahan sangat besar karena dalam pelaksanaannya dinasti politik di Indonesia berbeda dengan beberapa negara lain yang juga memiliki dinasti politik. Dinegara lain memiliki sistem yang lebih baik dari Indonesia, walaupun dalam bentuk suatu dinasti politik suatu kekuasaan pemerintahan dilaksanakan secara professional dan akuntabel. Dari potensi abuse of power tadi maka nantinya akan timbul korupsi yang saat ini menjadi masalah besar bangsa ini dan kemudian diikuti pula oleh kolusi dan nepotisme. Hal ini sinkron dengan teori Lord Acton Absolutely power tends to corrupt. Terkait dengan itu maka disini sangat perlu adanya pengawasan baik itu internal dari pemerintah sendiri maupun pengawasan langsung dari rakyat. Namun, terkadang pengawasan internal itu hanya bersifat formalitas, dilaksanakan tapi entah bagaimana realisasi solusi dari penemuan suatu penyimpangan. Penulis mengambil suatu contoh beberapa waktu yang lalu dari Kabupaten Sragen dimana Ketua DPRD nya Kusdinar Untung Yuni Sukowati yang mengundurkan diri pada Maret 2010 dan kemungkinan akan maju dalam Pilkada Kabupaten Sragen 2011 merupakan anak dari Bupati Sragen (Untung Wiyono), disini kadang orang bertanya apakah sistem check and balances yang dilakukan oleh legislatif kepada eksekutif akan efektif

atau tidak. Maka dari itu pengawasan langsung oleh rakyat sangat dibutuhkan, sebagai pengganti pengawasan internal yang terkadang tidak berjalan efektif. Dalam dinasti politik kadang ada pula strategi suatu generasi dibawah generasi utama yang hanya menumpang nama besar dari generasi utama untuk mengorbitkan diri dalam suatu pemilihan agar mendapatkan suara mayoritas, tapi disini kadang ada suatu pertanyaan entah bagaimana kapasitas dan kapabilitas generasi bawah tersebut dalam memimpin suatu kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan, apakah benar sama dengan nama besar yang diwakilinya. Rakyat terkadang hanya melakukan suatu penilaian spontan terhadap suatu sosok yang ada dibawah nama besar, namun belum mengetahui semua latar belakangnya dan rakyat hanya berharap sosok tersebut dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan. Memang, kemunculan dinasti politik sebenarnya bukan hal yang harus dipandang haram. Tetapi tetap saja ada sisi negatifnya. Demokrasi internal dan pembangunan demokrasi partai yang sehat tinggal utopia. Sebab politik dinasti bisa mengakibatkan tertutupnya akses kader potensial partai dan publik terhadap kekuasaan. Bahkan termasuk pencitraan terhadap sang icon dan keluarga besarnya bisa sangat berlebihan. Sehingga pengikutnya sampai mempersepsi sang icon sebagai dewa atau wali. Seharusnya parpol yang hidup di era reformasi sudah dapat merubah paradigma perekrutan caleg. Parpol yang reformatif adalah parpol yang tetap menerapkan prosedur dan mekanisme perekrutan yang jelas terhadap semua anggota dan anak pengurus parpol tersebut. Sudah saatnya parpol melakukan mekanisme yang obyektif dan tidak melanggar hak kader lain yang juga berprestasi di parpol yang menaunginya itu. Sehingga anak pengurus parpol (politikus) tidak dikesankan sebagai anak emas yang pada akhirnya membuat iri caleg lain. Munculnya iri caleg lain karena ada pelanggaran kapasitas dan kredibilitas yang dilakukan parpol terhadap anggotanya. Tak bisa dipungkiri praktik politik dinasti dalam banyak kasus membahayakan demokrasi. Politik dinasti membuka ruang yang cukup menganga akan potensi menancapnya pengaruh politik untuk kepentingan keluarga. Dinasti politik bisa menjadi absolut manakala ruang kritik kemudian tertutup rapat sehingga mekanisme keputusan dan regulasi yang dibuat cenderung ekslusif. Dalam praktik kenegaraan kondisi ini pada gilirannya membuat negara menjadi kaku dan otoriter sebab arah pemerintahan hanya bertumpu pada kepentingan keluarga dan kroni-kroninya. Di sisi lain politik dinasti semakin menjadi ancaman manakala seseorang yang menerima mandat kekuasaan dari keluarganya ternyata tidak

mempunyai kompetensi yang memamdai. Roda pemerintahan semakin tidak terarah. Kondisi ini pada akhirnya juga berkontribusi terhadap tertutupnya pintu kesejahteraan rakyat. Bukti kongkret bahwa dinasti politik berdampak negatif adalah fakta yang ditunjukan dari rezim otoriter Soeharto. Dinasti politik itu sendiri tidak sepenuhnya dipenuhi oleh hal-hal yang negatif, ada pula dinasti politik yang positif dengan melakukan perbaikan kesalahan-kesalahan dan membuat kebijakan-kebijakan yang lebih baik dari pada generasi dinasti politik yang sebelumnya. Dalam pandangan masyarakat secara umum, dinasti politik dianggap sebagai sikap elite politik yang tidak ingin kehilangan kekuasaan secara langsung, padahal kekuasaan yang diberikan merupakan amanah yang tidak absolut. Demikian sedikit buah pikiran dari penulis dengan sedikit kesimpulan bahwa semua hal yang dilakukan dalam berpolitik itu tergantung dari sosok pemimpinnya, ingin berpolitik murni atau ingin berpolitik kepentingan golongan karena negara demokrasi itu adalah negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bukan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk penguasa. Penting dicatat bahwa politik dinasti terjadi bukan karena sistem politik yang rapuh. Dampak negatif dinasti politik bisa diminimalisir manakala aspek moral dan kualitas individu menjadi pertimbangan penting. Artinya tidak selamanya praktek dinasti politik mempunyai dampak yang destruktif. Dalam kaitan ini semua bergantung dari moralitas yang menerima kekuasaan dalam menjalankan kewenangannya. Di sisi lain praktik politik yang menyimpang dari dinasti politik juga bisa dicegah manakala sistem pengawasan publik dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Lebih tepatnya karena adanya mekanisme kontrol dan sistem rekruitmen yang terbuka, meskipun anggota keluarga mewarisi kekuasaan, praktik penyalahgunaan wewenang masih bisa ditekan. Hal tersebut sangat beralasan sebab ruang kritik dari publik terbuka lebar. Pendek kata, dalam alam demokrasi, dinasti politik bisa jadi akan bertahan, namun sulit untuk dipraktikan sebagaimana praktik dinasti politik di zaman dahulu yang penuh dengan penyelewengan dan sejenisnya. Dengan demikian aspek moral dan kualitas individu menjadi penentu (determinant factor) apakah dinasti politik akan memberi dampak destruktif atau konstruktif bagi roda pemerintahan. http://rumahsantri.multiply.com/journal/item/29 (25 November 2010, pk 12.00) http://bataviase.co.id/node/146249 (25 November 2010, pk 12.05) http://www.harian-global.com/index.php?option=com_content&view=article&id=37958%3Apolitikdinasti-apakah-berbahaya&Itemid=91 (25 November 2010, pk 12.10)

Você também pode gostar