Você está na página 1de 23

Abses hati terjadi karena infeksi pada hati yang disebabkan bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril

yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai oleh adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Abses hati secara umum terbagi 2, yaitu abses hati amoeba dan abses hati piogenik 1. Abses hati amoeba merupakan salah satu komplikasi amebiasis ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik, termasuk Indonesia 1. Peneitian di Amerika, dari 540 kasus intraabdominal abses selama lebih dari 12 periode, dikatakan bahwa 26% berupa abses visceral, sedangkan abses hati mencapai 13% dari total kejadian abses atau sekitar 48% dari seluruh abses visceral 2. Insidensi abses hati amoeba di AS 0,05% / tahun sedangkan di India dan Mesir 10 - 30% /tahun 3.
Insidensi abses hati amoeba di Asia Tenggara

sekitar 5 - 40%. Insidensi menurut De Bakey berdasar otopsi 7,6 - 84,10%, rata-rata 36,6% 4. Insidensi abses hati amoeba di RS di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien pertahun 5.

Abses hati piogenik tersebar di seluruh dunia, dan terbanyak di daerah tropis 1. Insidensi abses hati piogenik di AS 0,03 0,04% /tahun 3. Penelitian epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus abses hati piogenik yang memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan prevalensi otopsi bervariasi antara 0,291,47%, sedangkan prevalensi di RS antara 0,008-0,016% 1. Abses hati amoeba terutama terjadi pada dewasa muda dan lebih jarang pada anak, dengan insidensi tertinggi terjadi pada dekade ketiga sampai kelima 3,5. Insidensi abses hati piogenik tidak berubah sejak pertengahan abad ke-20 dan terjadi paling sering pada dekade keenam kehidupan 6. Disentri amoeba berkembang seimbang pada laki-laki maupun wanita, namun abses hati amoeba 7-9 kali lebih sering pada laki-laki daripada perempuan atau sekitar 90% abses

hati amoeba berkembang pada laki-laki

7,8

. Penelitian epidemiologi di Indonesia

menunjukkan perbandingan pria:wanita berkisar 3:1 sampai 22:1 5. Hal yang sama dengan abses hati piogenik dimana menurut penelitian mengindikasikan rasio pria : wanita kira-kira 2:1 6. Gejala klinis utama abses hati yang paling sering adalah demam dan nyeri abdomen. Nyeri abdomen biasanya terletak di kuadran kanan atas. Pada pemeriksaan fisik demam biasanya tidak begitu tinggi dan lebih dari 90% didapatkan hepatomegali sedangkan ikterus jarang terjadi, kalau ada biasanya ringan. Hasil pemeriksaan laboratorium hitung darah, umumnya menunjukkan adanya leukositosis pada pasien abses hati. Pada pemeriksaan tes fungsi hepar, abnormalitas lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada abses hati amoeba dibanding abses hati piogenik. Pada pemeriksaan radiologis, rendahnya biaya dan tanpa radiasi menyebabkan ultrasound menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis penyakit amubiasis hati. USG mendeteksi 90% - 95% dari abses hati amoeba 7,8. Infeksi ektraintestinal oleh Entamoeba histolytica paling sering mengenai hati yang pada perjalanannya mengakibatkan terjadinya abses hati amoeba maka dalam hal ini antibodi tidak bersifat protektif; dimana titer lebih berkaitan dengan lamanya penyakit dibanding dengan keparahan penyakit. Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa imunitas seluler kemungkinan berperan penting terhadap proses proteksi, dimana cell-mediated immunity ini berperan dalam mencegah perluasan penyakit dan mencegah kekambuhan
2,9

Salah satu penelitian terhadap pasien dengan abses hati menunjukkan bahwa pada pasien tersebut terjadi peningkatan prevalensi major histocompatibility complex (MHC) kelas II (atau pada manusia dikenal dengan istilah haplotipe human leucocyte antigen (HLA)-DR3)

yang dipengaruhi oleh lebih dari 3 faktor, salah satunya adanya peranan dari fungsi sel T cluster differentiation (CD4+) terhadap kejadian dari penyakit tersebut 10. 2.1 Definisi Abses merupakan proses inflamasi pada daerah terlokalisir dan mengandung eksudasi purulen dimana daerah sentralnya mengalami nekrosis dan dikelilingi oleh selapis neutropil yang akhirnya fibroblas dapat memasuki daerah tersebut dan menjadi dinding dari abses tersebut
11

. Abses dapat pula didefinisikan sebagai suatu kumpulan pus yang dapat

disebabkan oleh adanya organisme piogenik yang berkembang di dalam jaringan, atau oleh adanya infeksi sekunder dari fokus nekrosis. Ciri khas abses yaitu memiliki daerah sentral dengan nekrosis luas dikelilingi oleh selapis dinding neutrophil, yang disekitarnya terjadi dilatasi pembuluh darah dan proliferasi fibroblas yang mengindikasikan terjadi proses penyembuhan awal. Seiring berjalannya waktu, abses memiliki dinding dan akhirnya menggantikan jaringan konektif
12

Abses hati merupakan infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau sel darah didalam parenkim hati. Abses hati terbagi 2 secara umum, yaitu abses hati amoeba dan abses hati piogenik 1.

2.2 Abses Hati Amoeba 2.2.1 Etiologi

Dari berbagai spesies amoeba, hanya Entamoeba histolytica yang patogen pada manusia. Sebagai host definitif, individuindividu yang asimtomatis mengeluarkan tropozoit dan kista bersama kotoran mereka. Infeksi biasanya terjadi setelah menelan air atau sayuran yang terkontaminasi. Kista adalah bentuk infektif, hidup di tanah, kotoran manusia, dan bahkan pada air yang telah diklorinasi 7.

Gambar 2.1 Siklus Hidup Entamoeba Histolytica 10 Amebiasis terjadi melalui rute fecal-oral akibat dari mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi. Di lumen intestinal kista E.histolytica yang tertelan, akan mengalami proses ekskistasi menghasilkan trophozoit, kemudian galactose dan N-acetyl-D-galactosamine (Gal/GalNAc) spesifik lectin digunakan untuk dapat menempel pada mukosa colon yang kemudian menimbulkan kolonisasi

di usus besar. Periode inkubasi bervariasi dari 2 hari sampai 4 bulan. Proses invasif penyakit dimulai dengan melekatnya E.histolytica ke mukosa colon, sel epitel dan leukosit. Proses perlekatan trophozoit ini dimediasi oleh penghambat-galaktose yang melekat pada lectin. Setelah perlekatan, trophozoit menginvasi epitel colon dan menyebabkan lesi ulseratif. Trophozoit E.histolytica melisiskan sel target dengan menggunakan lectin untuk berikatan dengan membran sel target dan menggunakan ionophore parasit untuk menginduksi perembesan ion (Na, K, Ca) dari sitoplasma sel target. Sejumlah hemolisin pada E. histolytca, dikode oleh plasmid (ribosomal DNA) dan sitotoksik. Sistein kinase ekstraseluler menyebabkan dekstruksi proteolitik jaringan, sehingga menyebabkan flask-shaped ulcers. Ester dan aktivator protein kinase C memperbesar aktivitas sitolitik parasit. Penyebaran amebiasis ke liver terjadi melalui darah portal. Strain patogenik mampu mengelak dari proses lisis oleh komplemen di dalam aliran darah sehingga trophozoit dapat memasuki vena portal yang kemudian menyebabkan abses hati yang berisi debris protein aseluler yang memberikan gambaran anchovy paste 10. 2.2.2 Patologi Struktur dari abses hati amoeba terdiri dari cairan di dalam, dinding dalam dan kapsul jaringan penyangga. Secara klasik, cairan abses menyerupai "anchovy paste" dan berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hati serta sel darah merah yang dicerna. Abses mungkin saja berisi cairan hijau atau kuning. Tidak seperti abses bakterial, cairan abses amoebik steril dan tidak berbau. Evaluasi cairan abses untuk penghitungan sel dan enzimatik secara umum tidak membantu dalam mendiagnosis abses amoeba. Dinding dalam abses adalah lapisan dari jaringan

nekrotik hati dan trofozoit yang ada. Biopsi dari lapisan ini sering memperkuat diagnosis dari infestasi amoeba hati. Pada abses lama, kapsul jaringan penyangga dibentuk oleh perkembangan fibroblas. Berbeda dengan abses hati piogenik, leukosit dan sel-sel inflamasi tidak didapatkan pada kapsul dari abses hati amoeba7.

Gambar 2.2. Anchovy sauce 13. Abses hati amoeba sering terletak pada lobus kanan dan sering superfisial serta tunggal. Data terakhir menunjukkan 70% sampai 90% kasus pada lobus kanan hati, terutama bagian belakang dari kubah. Lebih dari 85% kasus abses hati amoeba adalah tunggal. Kecenderungan ini diperkirakan akibat penggabungan dari beberapa tempat infeksi mikroskopik. Ukuran abses bervariasi, dari diameter 1 sampai 25 cm, dengan pertumbuhan yang berkelanjutan karena nekrosis aktif dari jaringan sekitar hati. Kavitas tersebut berisi cairan kecoklatan (hasil proses lisis sel hati), debris granuler, dan beberapa sel-sel inflamasi. Amoeba bisa didapatkan ataupun tidak di dalam cairan pus. Bila abses ini tidak diterapi akan pecah. Pada hati, abses dapat menembus ruang sub diafragma masuk ke paru-paru, dan kadang-kadang dari paru ini, menyebabkan emboli ke jaringan otak 7.

Gambar 2.3. Abses hati amoeba 13. 2.2.3 Diagnosis Diagnosis amoebiasis hati dapat digunakan kriteria Sherlock (1969), kriteria Ramachandran (1973) atau kriteria Lamont dan Pooler. Sherlock mengajukan kriteria diagnostik abses hati amoeba antara lain: 1).tinggal/pernah berpergian di daerah endemik; 2).hepatomegali yang nyeri tekan; 3).respon baik terhadap metronidazol; 4).Leukositosis dengan atau tanpa anemia; 5).peninggian diafragma kanan pada foto dada; 6).pemeriksaan ultrasonografi sesuai dengan abses; 7).tes hemaglutinasi amoeba positif. Bila ke7 kriteria tersebut terpenuhi maka diagnosis abses hati amoeba sudah hampir pasti dapat ditegakkan 3. Kriteria Ramachandran (bila didapatkan 3 atau lebih) diantaranya: 1).hepatomegali yang nyeri; 2).riwayat disentri; 3).leukositosis; 4).kelainan radiologis; 5).respon terhadap terapi amoebisid 3. Kriteria Lamont dan Pooler (bila didapatkan 3 atau lebih) diantaranya: 1).hepatomegali yang nyeri; 2).kelainan hematologis; 3).kelainan radiologis; 4).pus amoebik; 5).tes seroligik positif; 6).kelainan sidikan hati; 7).respon yang baik dengan terapi amoebisid 3. Abses hati amoeba memerlukan terapi yang kurang invasif, berbeda dengan abses hati piogenik. Kedua proses mungkin memiliki manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium yang sama. Walaupun dengan riwayat penyakit yang teliti,

termasuk data epidemiologi, pemeriksaan radiologis juga menunjukkan abses hati amoeba. Serologi merupakan patokan untuk membedakan kedua penyakit7. 2.2.4 Manifestasi klinik Manifestasi akut lebih sering pada abses amoeba daripada yang piogenik. Biasanya pasien dengan abses hati amoeba mengalami demam, nyeri abdomen kuadran kanan atas selama kurang dari 10 hari. Jarang sekali penderita dengan ruptur abses hati menyebabkan syok. Banyak pasien dewasa yang memiliki gejala yang sama, namun lebih berat pada abses piogenik. Pasien dengan abses amoeba sering memiliki riwayat penyakit diare (20-50%). Manifestasi dengan nyeri yang hebat, gejala-gejala paru, dan hepatomegali juga lebih sering pada abses amoebik dibanding dengan abses piogenik. Tetapi, jarang sekali disertai ikterus, prekoma, atau koma. Bila lobus kiri yang terkena, akan ditemukan massa di daerah epigastrium. Berbeda dibanding pada orang dewasa, anak-anak dengan abses hati amoeba selalu memiliki manifestasi yang lebih lambat dan sedikit gejala 7. 2.2.5 Diagnosis banding Penyakit lain yang gejala kliniknya mirip dengan abses amoeba antara lain kolesistitis akut. Perbedaan ditentukan dengan pemeriksaan USG, punksi, dan percobaan pengobatan dengan amubisid berupa diagnosis per exclusionem7. 2.2.6 Pemeriksaan laboratorium Banyak penderita abses amoeba pada hati hanya mengalami sedikit perubahan parameter laboratorium. Penderita dengan abses amoeba akut tidak didapatkan anemia, tetapi didapatkan derajat lekositosis yang cukup bermakna. Sedangkan pada penderita dengan penyakit kronis mengalami anemia dengan lekositosis yang tidak

jelas. Abnormalitas tes faal hati lebih jarang terjadi dan lebih ringan pada abses amoeba dibanding abses piogenik. Hiperbilirubinemia didapatkan hanya pada 10% penderita abses hati. Karena pada abses amoeba terjadi destruksi aktif parenkim hati, dapat terjadi peningkatan PPT (plasma prothrombin time). Pemeriksaan kotoran penderita, meskipun dengan sampel yang didapatkan dengan proktoskop bukan merupakan cara yang dapat dipercaya untuk mendiagnosis infestasi amoeba. Kista dan tropozoit pada kotoran hanya teridentifikasi pada 15% sampai 50% penderita abses hati amoeba, karena infeksi usus besar seringkali telah mereda saat penderita mengalami abses hati. Complement fixation test lebih dapat dipercaya dibanding riwayat diare, pemeriksaan kotoran, dan proktoskopi. Diagnosis sering ditegakkan dengan aspirasi dari kavitas abses, prosedur yang relatif tidak berbahaya. Tropozoit amoeba ditemukan pada kurang dari sepertiga pasien 7. 2.2.7 Pemeriksaan radiologi Abses amoeba pada hati biasanya besar dan soliter, dan jarang didapatkan kelainan intra abdominal lain. Ultrasound memiliki sensitivitas yang sama dengan CT dalam mengidentifikasi abses amoeba hati. Rendahnya biaya dan tanpa radiasi menyebabkan Ultrasound menjadi modalitas pilihan untuk mendiagnosis penyakit. USG mendeteksi 90% sampai 95% dari abses hati amoeba. Boultbee dan Ralls menjelaskan karakteristik khusus sonografi dari abses amoeba, termasuk di dalamnya kista homogen, serta penurunan echo internal dan dinding yang halus. Keadaan ini hanya ditemukan pada 40% dari abses amoeba. Sensitivitas dari CT dalam mendiagnosis abses hati amoeba mendekati 100%. CT juga dapat membedakan abses yang berasal dari nekrosis tumor dan kista echinokokus. Technetium 99m scanning

biasanya dapat menunjukkan adanya abses. Gallium-67 dan Indium-111 scan biasanya negatif sampai timbul superinfeksi bakterial 7.

Gambar 2.4. Abses hati amoeba dengan media CT 2.2.8 Serologi Pemeriksaan serologi diperlukan untuk memastikan adanya infeksi amoeba. Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan meliputi IHA ( Indirect

Hemagglutination), GDP (Gel Diffusion Precipitin), ELISA (Enzyme-linked Immunosorbent Assay), counterimmunelectrophoresis, indirect immunofluorescence, dan complement fixation. IHA dan GDP merupakan prosedur yang paling sering digunakan. IHA dianggap positif jika pengenceran melampaui 1 : 128. Sensitivitasnya mencapai 95%. Bila tes tersebut diulang, sensitivitasnya dapat mencapai 100%. IHA sangat spesifik untuk amoebiasis invasif. Tetapi, hasil yang positif bisa didapatkan sampai 20 tahun setelah infeksi mereda. GDP meskipun dapat mendeteksi 95% abses hati karena amoeba. Juga mendeteksi colitis karena amoeba yang non-invasif. Jadi, tes ini sensitif, tetapi tidak spesifik untuk abses hati amoeba. Namun demikian, GDP dapat dikatakan tidak mahal, mudah dilaksanakan, dan jarang sekali tetap positif sampai 6 bulan setelah sembuhnya abses. Karena itu, bila pada pemeriksaan radiologi ditemukan lesi "space occupying" di GDP sangat membantu untuk memastikan apakah kelainan tersebut disebabkan amoeba 7.

ELISA, counterimmunelectrophoresis, dan indirect immunofluorescence juga sangat sensitif dan cepat prosedurnya untuk mendiagnosis amoebiasis invasif. Namun, pemeriksaan tersebut masih sulit didapatkan dibanding IHA dan GDP, dan harganya lebih mahal. Prosedur "compement fixation" merupakan pemeriksaan serologi pertama yang dikembangkan untuk mendiagnosis amubiasis invasif, namun pelaksanaannya sukar dan sensitivitasnya kurang. Karena itu, pemeriksaan ini jarang digunakan 7. 2.2.9 Prognosis Angka kematian pada abses hati amoeba rendah. Beberapa faktor klinis telah dikaitkan dengan prognosis yang jelek pada pasien-pasien dengan abses hati amoeba. Peningkatan umur, manifestasi klinis yang lambat, dan komplikasi seperti ruptur intraperikardial atau komplikasi pulmonum meningkatkan tiga kali angka kematian. Hiperbilirubinemia juga termasuk faktor risiko, dengan ruptur timbul lebih sering pada pasien-pasien dengan jaundice. Meskipun demikian, kebanyakan pasien dengan abses hati amoeba, dengan atau tanpa komplikasi, memiliki respons yang baik terhadap pengobatan medis dan dapat sembuh 7.

2.3 Abses Hati Piogenik 2.3.1 Etiologi Etiologi abses hati piogenik adalah enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia, bacteriodes,

fusobacterium, staphyilococcus aueus, staphylococcus milleri, candida albicans,

aspergillus, actinomyces, eikenella corodens, yersinia enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Pada era-antibiotik, abses hati piogenik terjadi akibat komplikasi apendisitis bersamaan dengan fileplebitis. Bakteri patogen melalui arteri hepatika atau melalui sirkulasi vena portal masuk ke dalam hati, sehingga terjadi bakteriemi sistemik, ataupun menyebabkan komplikasi infeksi intra abdominal seperti diverticulitis, peritonitis dan infeksi post operasi. Pada saat ini, karena pemakaian antibiotik yang adekuat sehingga abses hati piogenik oleh karena apendisitis sudah hampir tidak ada lagi. Saat ini, terdapat peningkatan insidensi abses hati piogenik akibat omplikasi dari sistem biliaris, yaitu langsung dari kandung empedu atau melalui saluran-saluran empedu seperti kolangitis dan kolesistitis. Peningkatan insidensi abses hati piogenik akibat komplikasi dari sistem biliaris disebabkan karena semakin tinggi umur harapan hidup dan semakin banyak orang lanjut usia yang dikenai penyakit sistem biliaris ini. Juga abses hati piogenik disebabkan akibat trauma tusuk atau tumpul dan kriptogenik 1.

2.3.2

Patogenesis Abses hati dapat berbentuk soliter ataupun multipel. Hal ini dapat terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terutama akibat penyebaran infeksi intraabdominal melalui vena portal (misal: appendicitis, diverticulitis, coitis). Kondisi lain berikut juga dapat sebagai penyebab terjadinya abses hati, diantaranya penyebaran yang terjadi secara primer melalui traktus biliaris atau suplai darah arteri pada pasien dengan defisiensi imun (pada orang-orang tua dengan penyakit yang

melemahkan, immunosupresi atau kemoterapi kanker dengan kerusakan sumsum tulang). Pada kondisi tersebut, abses dapat terjadi tanpa adanya focus infeksi di tempat lain 1. Oleh karena hati menerima darah secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan bakteri yang berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hati akan menghindari terinfeksinya hati oleh bakteri tersebut. Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi bakteremia sistemik 1. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan inokulasi bakteri pada parenkim hati sehingga terjadi abses hati piogenik. Penetrasi akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hati, perdarahan intrahepatik dan terjadi kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari kanalikuli. Kerusakan kanalikuli

menyebabkan masuknya bakteri ke hati dan terjadi pertumbuhan bakteri dengan proses supurasi dan pembentukan pus. Lobus kanan hati yang lebih sering terjadi abses hati piogenik dibandingkan lobus kiri, hal ini berdasarkan anatomi hati, yaitu lobus kanan menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan aliran limfatik 1.

Gambar 2.5 Abses hati piogenik 2.3.3 Manifestasi klinis Manifestasi sistemik abses hati piogenik biasanya lebih berat daripada abses hati amoeba. Dicurigai adanya abses hati piogenik apabila ditemukan sindrom klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam / panas tinggi merupakan keluhan paling utama, keluhan lain yaitu nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, dan disertai dengan keadaan syok 1. Setelah era pemakaian antibiotik yang adekuat, gejala dan manifestasi klinis abses hati piogenik adalah malaise, demam yang tidak terlalu tinggi dan nyeri tumpul pada abdomen yang menghebat dengan adanya pergerakan. Apabila abses hati piogenik letaknya dekat dengan diafragma, maka akan terjadi iritasi diafragma sehingga terjadi nyeri pada bahu sebelah kanan, batuk ataupun terjadi ateletaksis. Gejala lainnya adalah rasa mual dan muntah, berkurangnya nafsu makan, terjadi penurunan berat badan yang unintentional, kelemahan badan, ikterus, buang air besar berwarna seperti kapur dan buang air kecil berwarna gelap1. Pemeriksaan fisis yang didapatkan febris yang sumer-sumer hingga demam/panas tinggi, pada palpasi terdapat hepatomegali serta perkusi terdapt nyeri tekan hati, yang diperberat dengan adanya pergerakan abdomen, splenomegali

didapatkan apabila abses hati piogenik telah menjadi kronik, selain itu, bisa didapatkan asites, ikterus, serta tanda-tanda hipertensi portal 1. 2.3.4 Pemeriksaan penunjang Pada pemeriksaan laboratorium di dapatkan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, peningkatan alkalin fosfatase, peningkatan enzim transaminase dan serum bilirubun, berkurangnya konsentrasi albumin serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa terdapat kegagalan fungsi hati yang disebabkan abses hati piogenik. Tes serologi digunakan untuk menyingkirkan diagnosa banding. Kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara mikrobiologik 1. Pada pemeriksaan penunjang yang lain, seperti pada pemeriksaan foto thoraks, dan foto polos abdomen ditemukan diafragma kanan meninggi, efusi pleural, atelektaksis basiler, empiema atau abses paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma, terlihat bayangan udara atau air fluid level. Abses lobus kiri akan mendesak kurvatura minor. Secara angiografik, abses merupakan daerah avaskular. Pemeriksaan penunjang yang lain yaitu abdominal CT-scan atau MRI. Ultrasonografi abdominal dan biopsi hati, kesemuanya saling menunjang sehingga memiliki nilai diagnostik semakin tinggi. Abdomina CT-scan memiliki sensitifitas 95-100%, dan dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm. Ultrasound abdomen memiliki sensitifitas 80-90%, Ultrasound-Guided Aspirate for Culture and Special Stains, dengan kultur hasil aspirasi terpimpin dengan ultrasound didapatkan positif

90% kasus, sedangkan gallium and technecticum radionuclide scanning memiliki sensitivitas 50-90% 1.

Gambar 2.6. Abses hati piogenik dengan media CT

14

Gambar 2.7. Abses hati piogenik dengan media ultrasonografi 2.3.5 Diagnosis Menegakkan diagnosis abses hati piogenik berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis abses hati piogenik kadang-kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak sfesifik. Sedangkan diagnosis dini memberikana arti penting dalam pengelolaan abses hati piogenik karena penyakit ini dapat disembuhkan. Sebaliknya, diagnosis dan pengobatan yang terlambat akan meningkatkan angka kejadian morbiditas dan mortalitas. Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-scan saja, meskipun pada akhirnya dengan CT-scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk diagnosis abses hati piogenik, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes serologi

yang negative menyingkirkan diagnosis abses hati amoeba, meskipun terdapat pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif setelah beberapa hari kemudian. Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri penyebab pada

pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar emas untuk diagnosis 1. 2.3.6 Prognosa Mortalitas abses hati piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial penyebab dan dilaukan drainase adalah 10-16%. Prognosis yang buruk apabila terjadi keterlambatan diagnosis dan pengobatan, jika hasil kultur darah yang memperlihatkan bakterial penyebab multipel, tidak dilakukan drainase terhadap abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit lain 1.

2.4 Sistem Immunitas Imunitas didefinisikan sebagai kekebalan terhadap penyakit, khususnya penyakit infeksi. Kumpulan beberapa sel, jaringan dan molekul yang memperantarai proses kekebalan terhadap penyakit disebut sebagai sistem imun dan reaksi koordinasi beberapa sel dan molekul terhadap infeksi mikroba dikenal sebagi response imun 15. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri dari sistem imun non-spesifik/alamiah (innate) dan sistem imun spesifik/didapat (adaptif) 15. Garis pertahanan terdepan dari sistem imun alamiah adalah epithelial. Dalam mempersiapkan pertahanan awal melawan infeksi, respon imun alamiah meningkatkan respon imun didapat dalam melawan agen-agen infeksi. Sistem imun didapat merupakan sistem pertahanan melawan infeksi mikroba yang bersifat pathogen terhadap manusia dan telah resisten terhadap sistem imun alamiah. Sistem imun didapat terdiri dari limfosit dan

produknya seperti antibodi. Terdapat 2 jenis sistem imun didapat yakni imunitas humoral dan imunitas seluler yang merupakan sistem pertahanan melawan mikroba ekstraselular dan mikroba intraseluler 15. Imunitas humoral diperantarai oleh antibodi yang diproduksi oleh sel limfosit B. Imunitas seluler diperankan oleh limfosit T atau sel T. Fungsi utama imunitas seluler ialah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan. Infeksi parasit dapat luput dari pengawasan sistem imun disebabkan karena berbagai hal seperti 16: 1. Pengaruh lokasi 2. Parasit menghindari untuk dikenal system imun 3. Supresi sistem imun pejamu Interaksi terhadap antigen melibatkan kompleks molekul (major histocompatibility complex) MHC dan peptida antigenic serta reseptor pada sel T. Mikroba ekstraseluler akan diikat molekul MHC-II, sedang mikroba intraseluler akan diikat molekul MHC-I. Selanjutnya kompleks antigen-MHC ditangkap dan diproses (antigen presenting cells) APC, dipresentasikan ke reseptor pada sel Tc dan Th masing-masing dalam hubungan dengan MHC kelas I dan II. Reseptor sel CD4+ hanya akan mengikat antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC-II sedang sel CD8+ akan mengikat antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC-I 16. Tabel 2.1 Fungsi Limfosit T 15 . (rasio CD4+ : CD8+ sekitar 2:1)

Persentase terhadap total Kelas CD4+ (limfosit T helper) Fungsi Menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel B (imunitas humoral). Makrofag teraktivasi oleh adanya sekresi sitokin (cell mediated immunity) Membunuh sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor rejection of allografts limfosit dalam darah 50 60

CD8+ (limfosit T sitolitik)

20 25

Cell-mediated immunity berperan dalam mencegah perluasan penyakit dan kekambuhan. Terjadinya respons antigen-spesifik blastogenik, memicu produksi limfokin, diantaranya interferon- (IFN-), yang secara aktif menghilangkan trophozoit E. Histolytica melalui peran makrofag. Proses ini bergantung pada kontak, jalur oksidatif, jalur nonoksidatif, dan nitric oxide (NO). Limfokin seperti tumor nekrosis faktor-alpha (TNF-) mampu mengaktifkan proses amebisidal neutrofil. Pada inkubasi limfosit CD8+ dengan antigen E.Histolytica secara in vitro, diketahui adanya aktifitas sel T sitotoksik memerangi trophozoit. Selama fase akut invasif amebiasis, respons T limfosit terhadap antigen E. Histolytica terdepresi oleh parasit yang memicu faktor serum 9. 1. Wenas, H. T., & Waleleng, B. ABSES HATI PIOGENIK. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. dkk. Editor. Buku Ajar ILMU PENYAKIT DALAM. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI. 2006; Ed.4. Vol 1: hal. 460-461. 2. Reed, S. L. PROTOZOAL INFECTIONS. In: E. Braunwald, A. S. Fauci, D. L. Kasper, Hauser, Longo, & Jameson. Editors. HARRISON'S Principles of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill. 2001; 15th ed. Vol. II: p.1199-1202

3. Mauleti, I. Y., & Setiawan, P. B. Problem Diagnosis dan Penatalaksanaan Penderita abses Hati. 2000. Diakses 25 februari 2009. Dari: Laporan Kasus: http://www.pgh.or.id/diagnosis.html 4. Adenan, H., & Soemomarto, S. W. Abses Amoeba Hepar di RS UGm Bagian Penyakit Dalam,Yogyakarta:Insidensi serta Segi Kliniknya. 1980. Diakses 5 maret 2008. Dari: Cermin Dunia html 5. Yacob, I.. Liver Abses. 2008. Diakses 27 Februari 2009. Dari: Klinik Sempurna: http://kliniksempurna.blogspot.com/2008 06 01 archive. html 6. Nickloes, T. A., & Reed, B. Pyogenic Hepatic Abscesses. 2009. Diakses 27 februari 2009. Dari eMedicine : http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview 7. Andri, A. S., & Al Rasjid, H. Abses Amoeba pada Hepar. 2002. Diakses 5 maret 2008. Dari: SEKEDAR PENYEGAR: http: //www.tempointeraktif.com/medika/arsip/092002/sek-1.htm 8. Mathur, S., Gehlot, R., Mohta, A., & Bhargava, N. Clinical Profile of Amoebic Liver Abscess. Journal,Indian Academy of Clinical Medicine. 2002; Vol. 3. No.4: p.367-73. 9. Dhawan, V. K., & Naparst, T. R. Amebiasis. 2008. Diakses 27 februari 2009. Dari: eMedicine: http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview 10. Haque, R., Huston, C. D., Hughes, M., et al. Amebiasis. New England Jornal Medicine. 2003; Vol 348 : p.1565-1573. 11. Porth, C. M. Essentials Of PATHOPHYSIOLOGY. Philadelphia PA: Lippincott Williams & Wilkins. 2004; 2nd ed. 12. Cotran, R. S., Kumar, V., & Collins, T. Robbins's PATHOLOGIC BASIC of DISEASE . Philadelphia: W.B Sauders Company. 1999; 6nd ed. 13. Salles, J. M., Moraes, L. A., & Salles, M. C. Hepatic Amebiasis. Brazilian Journal of Infectious Disease. 2003. Vol 7 No. 2. 14. Akoad, M. Pyogenic hepatic Abscess. 2006. Diakses 18 Mei 2008. Dari: eMedicine: http://www.emedicine.com/MED/topic2744.htm 15. Abbas, A. K., & Lichtman, A. H. Basic Immunology. Philadelphia: SAUNDERS ELSEVIER. 2006. Kedokteran : http: //www.kalbe.co.id/files/cdk/files/27AbsesAmoebaHepar020.pdf/27AbsesAmoebaHepar020.

16. Baratawidjaja, K. G. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002. Edisi kelima. 17. Mohsen AH, Green ST, Read RC, & Mckendrick MW. Liver Abscess in adults:ten years experience in a UK centre. J Med . 2002; Vol 9 : p.797-802 18. Corbella X, Vadillo M, Torras J, et al. Presentation, diagnosis and treatment of pyogenic liver abscess : analysis of a series of 63 cases. Enferm Infecc Mikrobiol Clin. 1995: Vol 13 No.2: p.80-84 19. Alvarez JA, Gonzlez JJ, Baldonedo RF, et al. Pyogenic liver abscess : a comparison of older and younger patients. J Hepato Pancreato Biliary. 2009; Vol.3 No.3: p.201-206. 20. Branum, G. D., Tyson, G. S., Branum, M. A., & Meyers, W. C. Hepatic Abscess. Ann Surg. 1990. Vol 212 No.6. p.655-662. 21. Adenan H, Soemomarto S, Wijono J. Abses Amoeba Hepar di RS UGM Bagian Penyakit Dalam, Yogyakarta : Insidensi serta Segi Kliniknya. Cermin Dunia Kedokteran.1980. p.99101. 22. Anonim. Liver Abscess. 2007. Diakses 26 Februari 2009. Dari: Vesalius (Clinical Folios): http://www.vesalius.com/graphics/cf_quicknotes/qn.asp?VID=1347 23. Brailita, D. M., & Lingvay, l. Amebic Hepatic Abscesses. 2008. Diakses 28 februari 2009. Dari: eMedicine: http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview 24. Peralta, R., & Lisgaris, M. V. Liver Abscess. 2008. Diakses 28 februari 2009. Dari: eMedicine: http://emedicine.medscape.com/article/193182-overview 25. Katzenstein D, Rickerson V, Abraham B. New Concepts of amoebic liver abscess derived from hepatic imaging, serodiagnosis and hepatic enzymes in 67 consecutive cases in San Diego. Medicine. 1982. Vol 61: p.237-246 26. Nari, G.A, Espinosa, C.R., Guevara, C.S., et al. Amebic Liver Abscess. Three years' experience. Rev Exp Enferm Dig. 2008. Vol. 100 No.5 : p.268-272. 27. Bugti, Q. A., Baloch, M. A., Ul-Wadood, A., et al. Pyogenic Liver Abscess: Demographic, Clinical, Radiological dan Bacteriological Characteristics and Management Strategies. Gomal Journal of Medical Sciences. 2005. Vol 3. No.1. p.10-14. 28. Ramani, A., Ramani, R., & Shivananda, P. Amoebic Liver Abscess. A Prospective Study Of 200 Cases In a Rural Referral Hospital In South India. Bahrain Medical Bulletin. 1995.Vol 17. N0.4

29. Lotter H, Jacobs T, Gaworski I, Tannich E. Sexual dimorphism in the control of amebic liver abses in a mouse model of disease. Infection and Immunity. 2006. Vol. 74 : p.118-124 30. Seeto, R. K., & Rockey, D. C. Amebic Liver Abscess : Epidemiology, Clinical Feature, and Outcome. WJM. 1999. Vol.170 : p.104-109. 31. Arguedas, M. Amebic Liver Abbscess. South Med J. 2004; Vol. 97 No.7: p.673-682. 32. Kapoor, O. Hyperbilirubinemia. 2009. Diakses 12 Juli 2009. Dari: Amebic Liver Abscess: http://www.bhj.org/books/liver/s4c02.htm 33. Canto SA, Miranda F AJ, Mediana MJ, et al. Immunological status of patients with amebic hepatic abscess. Prensa Med Mex. 1975; Vol.40 : p.275-81. 34. Gabatov SP. Immunologic status and its correction in amebic liver abscess. Khirurqiica . 1991. Vol.3 : p.95-99. 35. Gabatov SP, Prokopets ON. The prognosis of the course of amebic liver abscess by the indices of the immune status. Med Parazitol. 1991. Vol. 2 : p.40-42. 36. Gill NJ, Ganguly NK, Dilawari JB, Mahajan RC. Lymphocyte subpopulation transformation studies in an experimental model of intestinal and hepatic amoebasis. Trans R Soc Trop Med Hyg. 1985; Vol.79 : p.618-623 37. Martnez CS, Muz O, Calder n ME, et al. T and B lymphocytes in peripheral blood during acute infections. Bol Med Hosp Infant Mex.1980. Vol.37: p.93-106. 38. Salata RA, Palomo AM, Murray HW, et al. Patients treated for amebic liver abscess develop cell-mediated immune responses effective in vitro against Entamoeba histolytica. J immunol. 1986. Vol. 136 : p.2633-2639 39. Houpt, E. R., Glembockit, D. J., Obrigt, T. G., et al. The Mouse Model of Amebic collitis Reveals Mouse Strain Susceptibility to Infection and Exacerbation Of Disease by CD4+ T Cells. Journal of Immunology. 2002. Vol. 169 : p.4496-4503. 40. Jurez J, Luna J, Aguilar E, et al. Human amoebic hepatic abscess : in situ interaction between trophozoit, macrophages, neutrophils dan T cells. Parasite Immunology. 2003. Vol.25 : p.503-511. 41. Irwin, Matt. Low CD4 Count: A variety of causes and their implication to a multi factorial Model of AIDS. British Medical Journal. 2003. 42. Corathers, S. D. Focus on Diagnosis: The Alkaline Phosphatase Level: Nuances of a Familiar Test. Pediatrics in Review. 2006; Vol.27 : p.382-384.

43. Wiwanitkit, V. High Serum Alkaline Phosphatase Levels, a study in 181 Thai adult hospitalized patients. BMC Family Practice. 2001. Vol.2 No.2 44. Singh, V., Bhalla, A., Sharma, N., et al. Pathophysiology of Jaundice in Amoebic Liver Abscess. Am. J. Trop. Med. Hyg. 2008. Vol.78 No.4 : p.556-559.

Você também pode gostar