Você está na página 1de 19

1. Patofisiologi BPH1 Patofisiologi dari BPH sangat kompleks.

Hiperplasia dari prostat meningkatkan resistensi uretra, menimbulkan perubahan sebagai

kompensasi untuk fungsi saluran kemih. Akan tetapi, peningkatan tekanan detrusor yang diperlukan untuk mempertahankan aliran urin dengan adanya peningkatan resistensi outflow mengganggu fungsi penyimpanan kandung kemih yang normal. Perubahan yang ditimbulkan obstruksi pada perubahan fungsi detrusor, ditambah perubahan yang berkaitan dengan usia pada fungsi kandung kemih dan fungsi saraf, menimbulkan peningkatan frekuensi berkemih, urgensi, dan nokturia yang merupakan keluhan utama dari BPH. Dengan demikian, patofisiologi BPH berkaitan erat dengan disfungsi kandung kemih yang diinduksi oleh obstruksi. BPH pertama kali berkembang di zona transisi periuretra dari prostat. Zona transisi terdiri dari dua kelenjar yang terpisah di luar spinkter preprostatik. Saluran utama dari zona transisi muncul pada aspek lateral dari dinding uretra pada angulasi uretra dekat verumontanum. Proksimal dari asal saluran zona transisi adalah kelenjar dari zona periutretral yang terbatas di dalam spinkter preprostatik dan paralel terhadap aksis dari uretra. Semua nodul BPH berkembang dari zona transisi atau regio periuretral. Walaupun awal nodul zona transisi dapat muncul mulai dari dalam atau langsung berdampingan dengan spinkter preprostatik, setelah penyakit berlanjut dan jumlah nodul kecil bertambah, nodul ini dapat ditemui pada setiap bagian dari zona transisi maupun periuretra. Akan tetapi, zona transisi juga membesar seiring usia, tidak berhubungan dengan perkembangan nodul. Salah satu sifat unik dari prostat manusia adalah adanya kapsul prostat, di mana berperan penting pada munculnya LUTS. Kapsul ini mengirimkan tekanan dari pelebaran jaringan ke uretra dan menimbulkan resistensi uretra. Dengan demikian, gejala klinis dari BPH tidak hanya berhubungan pada pembesaran ukuran prostat bergantung usia, namun juga pada struktur anatomis dari kelenjar. Bukti kolinis dari pentingnya

kapsul dapat dijumpai pada beberapa kasus insisi kapsul prostat yang menghasilkan perbaikan yang signifikan pada bstruksi outflow, meskipun volume prostat tetap sama. Ukuran dari prostat tidak berhubungan dengan derajat obstruksi. Dengan demikian, faktor lain seperti resistensi uretra, kapsul prostat dan pleomorfisme anatomis lebih berperan pada timbulnya gejala klinis daripada ukuran dari prostat itu sendiri. Pada beberapa kasus, pertumbuhan utama dari nodul periuretra pada leher saluran kemih menimbulkan peninggian lobus tengah. Lobus tengah pasti berasal dari periutretra karena tidak ada jaringan zona transisi pada daerah ini. Tidak jelas apakah pertumbuhan lobus tengah timbul pada pasien BPH secara acak atau ada pengaruh genetik pada pola pembesaran ini.

BPH merupakan proses hiperplasia, bukan hipertrofi, di mana terjadi peningkatan jumlah sel, bukan ukuran sel. Menurut penelitian Mc. Neal (1990), mayoritas nodul periuretra awal ada stroma. Nodul stroma ini menyerupai mesenkim embrionik dengan berlimpahnya substansi pucat dan kolagen yang minimal. Masih belum jelas apakah nodul stroma awal hanya mengandung sel mirip fibroblas atau diferensiasi menuju tipe sel otot polos juga terjadi. Kebalikannya, nodul zona transisi paling awal menggambarkan proliferasi jaringan glandular yang mungkin berkaitan dengan reduksi nyata dari sejumlah stroma. Stroma minimal awalnya terlihat terutama mengandung otot polos matur, tidak seperti pada jaringan zona transisi yang tidak terlibat. Nodul glandular ini ternyata berasal dari cabang saluran kecil yang baru terbentuk dari saluran yang sudah ada, menghasilkan sistem saluran baru di dalam nodul sehingga menimbulkan hipertrofi pada sel-sel epitelial. Peningkatan volume zona transisi tidak hanya berkaitan dengan jumlah nodul, tetapi juga ukuran keseluruhannya.

Tanpa memperhatikan proporsi tepat antara sel stroma dan sel epitel pada prostat yang mengalami hiperplasia, otot polos prostat menggambarkan volume signifikan dari kelenjar. Walaupun sel otot polos prostat belum dikarakteristikkan secara luas, mungkin properti

kontraktilitasnya sama dengan organ otot polos lainnya. Pengaturan ruang dari otot polos prostat tidak optimal untuk menghasilkan perkembangan, namun sudah jelas bahwa gaya pasif dan aktif dari jaringan prostat berperan penting dalam patofisiologi BPH. Stimulasi sistem saraf adrenergik jelas menghasilkan peningkatan dinamis dari resistensi uretra prostatika. Hambatan dari stimulasi ini oleh - receptor blocker jelas menghilangkan respon ini. Akan tetapi, hambatan dari - receptor blocker tidak mengurangi tekanan pasif pada prostat.

Bukti terakhir menunjukkan respon kandung kemih terhadap obstruksi merupakan proses adaptasi. Akan tetapi, sudah jelas juga bahwa sebagian besar LUTS pada pasien BPH atau pembesaran prostat berhubungan dengan perubahan yang ditimbulkan obstruksi pada fungsi kandung kemih daripada obstruksi outflow secara langsung. Kira-kira 1/3 pasien tetap mengalami disfungsi berkemih yang signifikan, dan gejala penyimpanan setelah operasi pembebasan dari obstruksi. Perubahan pada kandung kemih akibat obstruksi terdiri dari 2 tipe dasar. Pertama, perubahan yang diakibatkan ketidakstabilan detrusor atau penurunan compliance secara klinis berhubungan dengan frekuensi dan urgensi. Kedua, perubahan yang berhubungan dengan penurunan daya

kontraktilitas detrusor berhubungan dengan perburukan lebih jauh terhadap pancaran kemih, mengedan saat berkemih, intermiten,

peningkatan residu urin, dan sebagian kecil kegagalan detrusor. Retensi urin akut merupakan akibat yang tidak dapat dihindari. Banyak pasien dengan retensi urin akut datang dengan fungsi detrusor normal, dengan pengendapan yang mengarah pada obstruksi. 2. Manifestasi Klinis Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya ialah : 1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency) 2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream) 3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling) 5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung tiga faktor yaitu : 1. Volume kelenjar periuretral 2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat 3. Kekuatan kontraksi otot detrusor Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi, sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan. Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :4 a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi. b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin. Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15

mm/detik atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur.3,5,6 Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah : 1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency) 2. Nokturia 3. Miksi sulit ditahan (Urgency) 4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi : Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas + sisa urin > 150 ml4

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan

juga menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica, hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3

3. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk melakukan pemeriksaan itu. Pada 5 th International Consultation on BPH (IC-BPH)7 membagi kategori

pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH menjadi: pemeriksaan awal (recommended) dan pemeriksaan spesialistik urologi (optional), sedangkan guidelines yang disusun oleh EAU7 membagi pemeriksaan itu dalam: mandatory, recommended, optional, dan not recommended.

Anamnesis Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang dideritanya. Anamnesis itu meliputi8,9

Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan)

Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi

Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan pembedahan.

Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom Score (IPSS). WHO dan AUA telah mengembangkan dan mensahkan prostate symptom score yang telah distandarisasi.8,9,10 Skor ini berguna untuk menilai dan memantau keadaan pasien BPH. Analisis gejala ini terdiri atas 7 pertanyaan yang masingmasing memiliki nilai 0 hingga 5 dengan total maksimum 35 (lihat lampiran kuesioner IPSS yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia). Kuesioner IPSS dibagikan kepada pasien dan diharapkan pasien mengisi sendiri tiap-tiap pertanyaan. Keadaan pasien BPH dapat digolongkan berdasarkan skor yang diperoleh adalah sebagai berikut10,11

Skor 0-7: bergejala ringan Skor 8-19: bergejala sedang Skor 20-35: bergejala berat. Selain 7 pertanyaan di atas, di dalam daftar pertanyaan IPSS

terdapat satu pertanyaan tunggal mengenai kualitas hidup (quality of life atau QoL) yang juga terdiri atas 7 kemungkinan jawaban.

Pemeriksaan fisik Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi bulibuli. Dari pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat.8 Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung underestimate daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar, hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.12 Perlu dinilai keadaan neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler ekstremitas bawah. Disamping itu pada DRE diperhatikan pula tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus yang dapat menunjukkan adanya kelainan pada busur refleks di daerah sakral.8

Urinalisis Pemeriksaan urinalisis dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antara-nya: karsinoma buli-buli in situ atau striktura uretra, pada pemeriksaan urinalisis menunjuk-kan adanya kelainan. Untuk itu pada

kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine.8,11 Pada pasien BPH yang sudah mengalami retensi urine dan telah memakai kateter, peme-riksaan urinalisis tidak banyak manfaatnya karena seringkali telah ada leukosituria maupun eritostiruria akibat pemasangan kateter.

Pemeriksaan fungsi ginjal Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak9. Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises 0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat kelainan kadar kreatinin serum.13 Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas.

Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen) PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific tetapi bukan cancer specific.14 Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: a. pertumbuhan volume prostat lebih cepat, b. keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan c. lebih mudah terjadinya retensi urine akut15,16 Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Dikatakan oleh Roehrborn et al (2000) bahwa makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan

volume prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2- 1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun19. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua17 Sesuai yang dikemukakan oleh Wijanarko et al (2003) bahwa serum PSA meningkat pada saat terjadi retensi urine akut dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam dilakukan kateterisasi.18 Rentang kadar PSA yang dianggap normal berdasarkan usia adalah:17

40-49 tahun: 0-2,5 ng/ml 50-59 tahun:0-3,5 ng/ml 60-69 tahun:0-4,5 ng/ml 70-79 tahun: 0-6,5 ng/ml

Meskipun BPH bukan merupakan penyebab timbulnya karsinoma prostat, tetapi kelompok usia BPH mempunyai resiko terjangkit karsinoma prostat. Pemeriksaan PSA bersamaan dengan colok dubur lebih superior daripada pemeriksaan colok dubur saja dalam mendeteksi adanya karsinoma prostat. Oleh karena itu pada usia ini pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi kemungkinan adanya karsinoma prostat.19 Sebagian besar guidelines yang disusun di berbagai negara merekomendasikan pemeriksaan PSA sebagai salah satu pemeriksaan awal pada BPH, meskipun dengan sarat yang berhubungan dengan usia pasien atau usia harapan hidup pasien. Usia sebaiknya tidak melebihi 70-75 tahun atau usia harapan hidup lebih dari 10 tahun, sehingga jika memang terdiagnosis karsinoma prostat tindakan radikal masih ada manfaatnya9,11,19

Catatan harian miksi (voiding diaries) Voiding diaries saat ini dipakai secara luas untuk menilai fungsi traktus urinarius bagian bawah dengan reliabilitas dan validitas yang cukup baik. Pencatatan miksi ini sangat berguna pada pasien yang mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol.9,13. Dengan mencatat kapan dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa jumlah urine yang dikemihkan dapat diketahui seorang pasien menderita nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan dikerjakan 7 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik13, namun Brown et al (2002) mendapatkan bahwa pencatatan selama 3-4 hari sudah cukup untuk menilai overaktivitas detrusor.20

Uroflometri Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara elektronik. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.9,19 Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi gejalaobstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor. Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO sebagai berikut: Qmax < 10 ml/detik 90% BOO Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO Qmax >15 ml/detik 30% BOO

Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik setelah.8 Penilaian ada tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO24. Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda. Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali.21,22

Pemeriksaan residual urine Residual urine atau post voiding residual urine (PVR) adalah sisa urine yang tertinggal di dalam buli-buli setelah miksi. Jumlah residual urine ini pada orang normal adalah 0,09-2,24 mL dengan rata-rata 0,53 mL. Tujuh puluh delapan persen pria normal mempunyai residual urine kurang dari 5 mL dan semua pria normal mempunyai residu urine tidak lebih dari 12 mL.19 Pemeriksaan residual urine dapat dilakukan secara invasif, yaitu dengan melakukan pengukuran langsung sisa urine melalui kateterisasi uretra setelah pasien berkemih, maupun non invasif, yaitu dengan mengukur sisa urine melalui USG atau bladder scan. Pengukuran melalui kateterisasi ini lebih akurat dibandingkan dengan USG, tetapi tidak mengenakkan bagi pasien, dapat menimbulkan cedera uretra, menimbulkan infeksi saluran kemih, hingga terjadi bakteriemia.8,19 Pengukuran dengan

cara apapun, volume residual urine mempunyai variasi individual yang cukup tinggi, yaitu seorang pasien yang diukur residual urinenya pada waktu yang berlainan pada hari yang sama maupun pada hari yang berbeda, menunjukkan perbedaan volume residual urine yang cukup bermakna.19 Variasi perbedaan volume residual urine ini tampak nyata pada residual urine yang cukup banyak (>150 ml), sedangkan volume residual urine yang tidak terlalu banyak (<120 ml) hasil pengukuran dari waktu ke waktu hampir sama.21 Dahulu para ahli urologi beranggapan bahwa volume residual urine yang meningkat menandakan adanya obstruksi, sehingga perlu dilakukan pembedahan; namun ternyata peningkatan volume residual urine tidak selalu menunjukkan beratnya gangguan pancaran urine atau beratnya obstruksi.19 Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prasetyawan dan Sumardi (2003), bahwa volume residual urine tidak dapat menerangkan adanya obstruksi saluran kemih.23 Namun, bagaimanapun adanya residu uirne menunjukkan telah terjadi gangguan miksi.8 Watchful waiting biasanya akan gagal jika terdapat residual urine yang cukup banyak24, demikian pula pada volume residual urine lebih 350 ml seringkali telah terjadi disfungsi pada buli-buli sehingga terapi medikamentosa biasanya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Beberapa negara terutama di Eropa merekomendasikan pemeriksaan PVR sebagai bagian dari pemeriksaan awal pada BPH dan untuk memonitor setelah watchful waiting. Karena variasi intraindividual yang cukup tinggi, pemeriksaan PVR dikerjakan lebih dari satu kali dan sebaiknya dikerjakan melalui melalui USG transabdominal.7,8,9,13

Pencitraan traktus urinarius Pencitraan traktus urinarius pada BPH meliputi pemeriksaan terhadap traktus urinarius bagian atas maupun bawah dan pemeriksaan prostat. Dahulu pemeriksaan IVP pada BPH dikerjakan oleh sebagian besar ahli urologi untuk mengungkapkan adanya:

a. kelainan pada saluran kemih bagian atas, b. divertikel atau selule pada buli-buli, c. batu pada buli-buli, d. perkiraan volume residual urine, dan e. perkiraan besarnya prostat.

Pemeriksaan pencitraan terhadap pasien BPH dengan memakai IVP atau USG, ternyata bahwa 70-75% tidak menunjukkan adanya kelainan pada saluran kemih bagian atas; sedangkan yang menunjukkan kelainan, hanya sebagian kecil saja (10%) yang membutuhkan penanganan berbeda dari yang lain.19 Oleh karena itu pencitraan saluran kemih bagian atas tidak direkomendasikan sebagai pemeriksaan pada BPH, kecuali jika pada pemeriksaan awal diketemukan adanya: a. hematuria, b. infeksi saluran kemih, c. insufisiensi renal (dengan melakukan pemeriksaan USG), d. riwayat urolitiasis, dan e. riwayat pernah menjalani pembedahan pada saluran urogenitalia7,8,9,13,19 Pemeriksaan sistografi maupun uretrografi retrograd guna

memperkirakan besarnya prostat atau mencari kelainan pada buli-buli saat ini tidak direkomendasikan.13 Namun pemeriksaan itu masih berguna jika dicurigai adanya striktura uretra. Pemeriksaan USG prostat bertujuan untuk menilai bentuk, besar prostat, dan mencari kemungkinan adanya karsinoma prostat. Pemeriksaan ultrasonografi prostat tidak

direkomendasikan sebagai pemeriksaan rutin, kecuali hendak menjalani terapi: a. inhibitor 5- reduktase, b. termoterapi, c. pemasangan stent, d. TUIP atau e. prostatektomi terbuka.

Menilai bentuk dan ukuran kelenjar prostat dapat dilakukan melalui pemeriksaan transabdominal (TAUS) ataupun transrektal

(TRUS)5,10,13. Jika terdapat peningkatan kadar PSA, pemeriksaan USG melalui transrektal (TRUS) sangat dibutuhkan guna menilai kemungkinan adanya karsinoma prostat. Uretrosistoskopi Pemeriksaan ini secara visual dapat mengetahui keadaan uretra prostatika dan bulibuli. Terlihat adanya pembesaran prostat, obstruksi uretra dan leher buli-buli, batu buli-buli, trabekulasi buli-buli, selule, dan divertikel bulibuli. Selain itu sesaat sebelum dilakukan sistoskopi diukur volume residual urine pasca miksi. Sayangnya pemeriksaan ini tidak mengenakkan bagi pasien, bisa menimbulkan komplikasi perdarahan, infeksi, cedera uretra, dan retensi urine sehingga tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan rutin pada BPH5,7,8,9,19 Uretrosistoskopi dikerjakan pada saat akan dilakukan tindakan pembedahan untuk menentukan perlunya dilakukan TUIP, TURP, atau prostatektomi terbuka. Disamping itu pada kasus yang disertai dengan hematuria atau dugaan adanya karsinoma buli-buli sistoskopi sangat membantu dalam mencari lesi pada bulibuli8,13,25

Pemeriksaan urodinamika Kalau pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika (pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor.8,9,19 Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh BPO melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini tindakan desobstruksi tidak akan

bermanfaat. Pemeriksaan urodinamika merupakan pemeriksaan optional pada evaluasi pasien BPH bergejala8,9,13 Meskipun merupakan

pemeriksaan invasif, urodinamika saat ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan derajat obstruksi prostat (BPO), dan mampu meramalkan keberhasilan suatu tindakan pem-bedahan. Menurut Javle et al (1998),26 pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas 87%, spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%. Indikasi pemeriksaan urodinamika pada BPH adalah: berusia kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun dengan volume residual urine>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau kecurigaan adanya buli-buli neurogenik.13 4. Diagnosis Banding2,5 1. Kelemahan detrusor kandung kemih a. Kelainan medula spinalis b. Neuropatia diabetes mellitus c. Pasca bedah radikal di pelvis d. Farmakologik 2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh : a. Kelainan neurologik b. Neuropati perifer c. Diabetes mellitus d. Alkoholisme e. Farmakologik parasimpatolitik) 3. Obstruksi fungsional : a. Disinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara (obat penenang, penghambat alfa dan

kontraksi detrusor dengan relaksasi sfingter b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih : fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh : a. Hiperplasia prostat jinak atau ganas b. Kelainan yang menyumbatkan uretra c. Uretralitiasis d. Uretritis akut atau kronik e. Striktur uretra f. Prostatitis akut atau kronis

Você também pode gostar