Você está na página 1de 6

Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang mencakup sepuluh negara, yakni Kamboja, Brunnei Darussalam, Timor Timur,

Indonesia, Laos, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, serta Vietnam. Kawasan regional ini terletak di bagian Tenggara benua Asia, dengan Indocina, Semenanjung Malaka, serta kepulauan Melayu yang berserak di sekitarnya. Asia Tenggara berbatasan dengan Cina di utara, Samudera Pasifik di sebelah timur, Samudera Hindia di selatan, serta India dan Teluk Bengal di sebelah barat. Kecuali Timor Timur, negara-negara yang terdapat di Asia Tenggara tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). ASEAN dibentuk pada 8 Agustus 1967 dengan Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina, dan Indonesia sebagai pelopornya. Organisasi regional tersebut bertujuan untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, pertukaran budaya, serta stabilitas kawasan Asia Tenggara. Dengan mengacu pada tulisan Amitav Acharya (2005) dan Shaun Narine (2002), tulisan di bawah ini akan menjelaskan mengenai norma dan tatanan (order) yang ada di ASEAN, yakni ASEAN Ways. ASEAN merupakan suatu asosiasi regional yang memiliki peranan signifikan dalam peningkatan hubungan kerjasama antar negara anggotanya. ASEAN berkeinginan untuk membuktikan kepada komunitas internasional bahwa negara-negara yang tergabung di dalamnya mampu mewujudkan ketahanan ekonomi, keamanan, politik, dan sosio-kultural. Narine (2002) menuliskan bahwa ASEAN memiliki dua tujuan utama, yakni (1) menyediakan forum pertemuan regular negara-negara anggota dan (2) memperdengarkan suara negara-negara anggotanya di percaturan internasional. Tujuan yang pertama terwujud dalam ASEAN Regional Forum (ARF) dan ASEAN Summit. Sebagai sebuah organisasi, ASEAN pun memiliki norma yang disebut ASEAN Ways. Norms are based on material interests, but they can take on an aura of authority that transcends their initial purpose (Katzenstein et al, 1999 dalam Acharya, 2005). Norma tersebut sekaligus berfungsi sebagai kode etik dalam rangka mencapai tujuan. Selain itu, meskipun bukan merupakan satu-satunya determinan, norma merupakan determinan sentral dalam perwujudan tujuan ASEAN (Acharya, 2005:96-7). ASEAN Ways melingkupi beberapa norma, antara lain prinsip non intervensi, penyelesaian konflik secara damai, minimalisir pakta militer, konsultasi, respon kolektif terhadap persoalan regional, dan pengedepanan kedaulatan negara anggota. Salah satu bukti implementasi norma-norma ini ialah dideklarasikannya Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) in Southeast Asia pada tahun 1971 (Narine, 1997). Prinsip non intervensi merupakan norma utama yang dijunjung tinggi oleh ASEAN dan berhubungan dengan pengedepanan kedaulatan negara. Traumatisme akan penjajahanlah yang medorong keinginan negara-negara ASEAN untuk terhindar dari kepentingan politik asing. Karena itu, ASEAN tidak akan mengintervensi dan menghormati kedaulatan tiap negara secara utuh. Prinsip non intervensi ini menjamin kedaulatan negara anggota untuk menyelesaikan urusan domestiknya secara independen. Dengan adanya prinsip non intervensi, negara-negara anggota ASEAN memiliki kedaulatan penuh. Selain itu, kontestasi yang disebabkan oleh adanya intervensi kepentingan politik pun menjadi terhindarkan karena prinsip ini. Dalam perjalanannya, ASEAN telah mengalami berbagai macam hambatan, bahkan ancaman. Adanya krisis ekonomi 1997 yang menghantam Asia Tenggara serta instabilitas politik internal yang dialami oleh sebagian besar negara anggota ASEAN merupakan contoh rintangan yang dialami oleh asosiasi regional ini. Nampak bahwa norma yang diusung dalam ASEAN merupakan norma-norma ideal yang memerlukan koordinasi serta kolaborasi dari negara-negara anggotanya. Posisi ASEAN yang bersifat non intervensionis menyebabkan suatu suatu hubungan implikatif : stabilitas ASEAN yang bergantung pada stabilitas internal tiap anggota negara anggota. Narine (2002) beranggapan bahwa dengan adanya

tantangan dan ancaman instabilitas, ASEAN perlu melakukan pembaharuan terhadap norma-norma ASEAN Waysnya, terutama prinsip non intervensi. Kesimpulan dan Opini Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ASEAN Ways merupakan norma yang dijunjung tinggi oleh negara-negara anggota ASEAN dalam rangka mewujudkan tatanan yang stabil di Asia Tenggara. Misalnya, dengan adanya stabilitas regional, para investor pun tak ragu untuk menanamkan kapitalnya di negara-negara Asia Tenggara. Adanya ARF dan ASEAN Summit menunjukkan bahwa penyelesaian masalah di ASEAN dirundingkan secara damai dan melalui diplomasi preventif. Prinsip non intervensi ASEAN Ways juga menjadi suatu norma yang menghormati kedaulatan negara anggotanya secara utuh. Menanggapi hal tersebut, penulis berada dalam posisi pesimistik. Adanya prinsip non intervensi mengandung ambiguitas dan bersifat bias. Salah satu contohnya ialah adanya konflik-konflik perbatasan yang belum juga terselesaikan karena ASEAN memilih untuk tidak ikut campur, padahal hal tersebut dapat mengancam stabilitas regional. Penulis sependapat dengan Narine (1997) bahwa untuk menciptakan stabilitas kawasan, ASEAN semestinya menyediakan tiga pilar fungsional, yakni (1) membangun relasi ekonomi dan politik antar negara anggota, (2) menjaga stabilitas domestik dan membendung pemberontakan komunisme, dan (3) menjaga stabilitas kawasan agar terhindar dari intervensi politik pihak asing di luar ASEAN. Selama ketiga pilar tersebut belum disediakan, ASEAN Ways pun semata akan bergerak dalam ranah normatif, tanpa ada signifikansi dan implikasi nyata. Referensi Buku : Acharya, Amitav, 2005. Do Norms and Identity Matter? Community and Power in Southeast Asias Regional Order dalam The Pacific Review. London: Routledge. ASEAN WAY SEBAGAI NORMS AND ORDER DI ASIA TENGGARA Tiap negara di Asia Tenggara tentunya memiliki norma dan pandangan tertentu dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Untuk menyamakan pandangan diantara anggota ASEAN maka ASEAN sendiri memiliki norma dan aturan untuk menerapkan ketertiban di kawasan Asia Tenggara. Dan norma tersebut terimplementasi dalam bentuk ASEAN Wayyang dibentuk pada disepakati ditahun 1967 yang berkenaan dengan norma non intervensi, non penggunaan angkatan bersenjata, mengejar otonomi regional, serta menghindaricollective defense (Khoo, 2004: 38). ASEAN Way dapat dikatakan bagai norma dan ketertiban di kawasan Asia tenggara karena ASEAN Way sendiri lebih mengarah pada instrument diplomatik untuk menjaga stabilitas regional dengan menyediakan mekanisme manajemen konflik dan proses penyeleseian sengketa secara damai. Selain itu sebagai kerangka normatif yang menekankan ketaatan dan praktek seperangkat prinsip serta norma-norma perilaku antar negara dalam kerjasama dan pengambilan keputusan. Bentuk dari keempat ASEAN Way seperti yang disebutkan oleh Khoo (2004) diatas didasarkan pada konsep norma legal rasional yang mengedepankan penghormatan terhadap kedaulatan masing-masing anggotanya dengan tidak melakukan intervensi terhadap masalah internal negara lain yang

terimplementasi dalam norma non intervenstion agar permasalahan tidak meluas baik dalam kawasan dan meluas ke pihak internasional. Selanjutnya mengusahakan resolusi konflik dengan cara damai serta tidak menggunakan kekerasan yang terimplementasi dalam norma non penggunaan angkatan bersenjata yang menjadikan tiap negara kawasan Asia Tenggara harus menghindari konflik yang mengancam keamanan dan meluncurnya senjata. Selanjutnya norma sosial dan budaya yang menekankan pada proses konsensus, konsultasi dan kerjasama yang berhasil menciptakan zona kedamaian dalam mencapai otonomi regional, serta menghindari collective defense yakni menghindarkan aliansi militer dengan luar. Dalam implementasinya norma-norma ASEAN telah dilakukan dalam beberapa konflik di Asia Tenggara seperti konflik etnis internal negara hingga separatisme. Secara umum ASEAN Waydapat dikatakan sebagai resolusi konflik yang didasarkan pada musyawarah dengan melakukan pendekatan secara informal guna mencairkan ketegangan yang umum terjadi di negara anggota dan terhindar dari dominasi negara lain. seperti yang diketahui bahwa setelah perang dingin berakhir campur tangan AS dalam kawasan Asia Tenggara semakin diperdebatkan hal ini karena terdapat beberapa negara anggota yang menjalin kerjasama militer dengan AS seperti Singapura sejak tahun 1989 dan Philipina perihal pangkalan udara. Dan Malaysia pun mengakui bahwa ia bekerjasama dengan AS sejak 1984 terkait dengannaval mereka. salah satu cara yang pernah diterapkan untuk menghindari intervensi asing ialah melalui ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom And Neutrality Declaration). Meskipun pada kenyataanya juga melibatkan negara Aia Pasfik yang menjadi keanggotaanya. Selanjutnya TAC (Treaty of Army and Cooperation) yang merupakan instrumen penting dalam realisasi ZOPFAN. Namun kefektifan dari norma dalam ASEAN Way dipertanyakan sebab masalah yang timbul di negara anggota seperti Thailand dan Kamboja yang belum menemui titik terang dan masalah sipadan ligitan antara Malaysia dan Indonesia yang melibatkan intervensi asing di dalamnya. Hal ini dikarenakan ASEAN Way hanya berupa norma dan prinsip hidup di kawasan Asia Tenggara bukan sebuah hukum regional yang memiliki legitimasi dan wewenang untuk menyeleseiakan masalah negara anggota. Anggapan bahwa ASEAN Way hanya sebuah mitos agaknya perlu dilakukan perbaikan dalam implementasi ASEAN Way, seperti yang diucapkan oleh Nischalke (2000) yang mengacu pada norma sosial budaya dengan proses konsensus, konsultasi dan kerjasama maka kebijakan ASEAN harus memiliki inisiatif di dalamnya agar lebih efektif. Inisiatif ini ialah (1) inisiatif yang mengikuti norma-norma prosedural dalam proses pengambilan keputusan dan tidak memerlukan negosiasi substansial untuk posisi kebijakan, (2) inisiatif yang sesuai dengan norma-norma konsultai dan konsensus tetapi harus mengatasi perbedaan pendapat yang besar, (3) inisiatif yang tidak mengikuti norma-norma prosedural namun kebijakan yang diusulkan tidak bertentangan dengan sensitivitas mitra ASEAN atau pemahaman sebelumnya, dan (4) inisiatif yang melanggar norma-norma prosedural dan bertentangan dengan kepekaan anggota lain atau perjanjian sebelumnya (Nischalke,2000: 103). Dalam artikel Santika menyebutkan bahwa perlunya perbaikan dalam ASEAN Way yang diawali dalam proposal Thailand menganai Flexible Engagement di tahun 1998 dimana saat itu masalah yang dibicarakan ialah masalah domestik serta kebijakan dalam negeri tanpa mengintervensi negara satu sama lain (Santika,2011). Dengan fleksibilitasnya ASEAN akan mampu membina hubungan yang bebas dan demokratis antar anggota sehingga meningkatkan koordinasi antar anggota dalam pencegahan konflik dan senantiasa menghindarkan intervensi pihak asing yang dapat mempengaruhi dinamika hubungan negara ASEAN (Haacke,1999:584).

Selain itu ASEAN juga perlu membuat klasifikasi atau garis batas yang jelas mengenai masalah yang boleh untuk di intervensi oleh organisasi kawasan dan masalah yang boleh diintervensi oleh luar kawasan yang biasanya melibatkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Sedikit berbeda dengan pemikiran Santika dimana norma non intervensi harus menjadi konsumsi dalam mengatasi permasalahan HAM dan demokrasi negera karena seperti HAM sendiri telah menjadi kesepakatan universal dalam menjunjungnya. Terlebih negara-negara ASEAN telah menandatangani beberapa konvensi internasional perihal penegakan HAM. Sehingga non intervensi agaknya perlu diubah menjadi intervensi, seperti yang diucapkan oleh menteri luar negeri Thailand, Surin Pitsuwaan dimana non intervensi perlu diganti dengan intervensi yang konstruktif (dalam Ramcharan,2000:75). Dan Ramcharan juga menyatakan bahwa ASEAN tidak benar-benar berpegang teguh pada prinsip non intervensi. Maka ada baiknya bila intervensi di lakukan karena tidak dapat dipungkiri juga bila permasalahan domestik akan mempengaruhi stabilitas negara sekitar dan stabilitas kawasan. Dan karena intervensi anggota ASEAN sendiri sebenarnya telah dilakukan di masa lampau (Hernandes,1998) Mengenai prospek ASEAN di masa mendatang dapat dilihat pada artikel Acharya (2005) dimana ASEAN mencita-citakan terbentuknya Regional Identity yang kemudian di implementasikan dalam pembentukan ASEAN Community. ASEAN Community ini terbagi dalam tiga pilar yakni ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community dan ASEAN sosio-cultural Community (www.aseanec.org). Bila dilihat dari sisi ASEAN Way maka lebih mengarah pada ASEAN Security Community (ASC) yang bertujuan untuk mempertahankan perdamaian antar negara dan stabilitas, membangun sistem resolusi konfli multilateral, dan pemetaan kerangka kerjasama untuk menangani ancaman keamanan baik konvensional maupun non-konvensional (www.thainews.prd.go.th). Rencana aksi ASC dikembangkan secara lebih detail dalam VAP (Vientiane Action Program) yang disetujui pada November 2004. VAP mengenai ASC berhasil menyelipkan beberapa butir tentang demokrasi dan perlindungan HAM secara lebih terbuka (Luhulima, 2008 : 99). Dalam Goals and Strategies towards Realising the ASEAN Community, dengan tema dari ASC adalah Enhancing peace, stability, democracy and prosperity through comprehensive political and security cooperation. Di sini kata demokrasi sekali lagi dimunculkan secara terbuka. VAP memiliki lima Strategic Trusts, yaitu Political Development, Sharing and Shaping Norms, Conflict Prevention, Conflict Resolution, Post Conflict Peace-Building (Luhulima, 2008 : 99). Paln of action dari ASC sendiri ialah saling memperkuat kerjasama bilateral diantara negara anggota ASEAN dan untuk mengatasi tantangan keamanan di masa depan, negara ASEAN harus berbagi tanggung jawab untuk memperkuat perdamaian, stabilitas serta keamanan dan bebas dari campur tangan militer asing dalam bentuk apapun bahkan manifestasi (www.aseanec.org). Di samping mengedepankan penciptaan keamanan ASC juga memperkuat interdependensi antar anggota karena kekuatan domestik sangat diperlukan dalam memperkuat posisi regional suatu negara. tantangan besar ASEAN ialah menyeleseikan permasalahan domestik yang secara umum telah meibatkan intervensi asing akibat prinsip non intervensinya. Maka dari sini untuk bisa melancarkan rencana aksi ASC maka dalam political development dan conflict resolution memerlukan revitalisasi dan reinterpretasi atas prinsip tersebut. Sebab ASC telah 11 mitra wicara ( Dialogue Partners ) yakni negara non ASEAN, seperti Australia, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Rusia, Amerika Serikat dan UNDP. Selain itu ASEAN memiliki satu negara Mitra Wicara sektoral yaitu Pakistan (www.aseansec.org).

Jadi dapat disimpulkan bahwa ASEAN memiliki dua bentuk norma yang terimplementasi dalamASEAN Way yang di dlam artike Khoo (2004) berkenan dengan non intervensi, tidak menggunakan persenjataan, mewujudkan otonomi regional dan menghindari collective deffense yang dilakukan dengan pihak asing. Dalam implementasinya ASEAN Way ini telah banyak dilakukan seprti paa konfik etnis hingga separatise dan juga konflik perbatasan seperti Kamboja dan Thailand. Adanya ASEAN Way sendiri merupakan cara ASEAN untuk menciptakan keamanan di kawasan yang kemudian dibentuk ASEAN Community agar interdpendensi antar anggota semakin kuat. ASEAN community sendiri terdiri dari tiga pilar yakni ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community dan ASEAN sosiocultural Community. Namun ASEAN Way ini cenderung mengacu pada ASEAN Security Communityyang bertujuan menciptakan kemanan kawasan. Dalam diri ASEN nampaknya telah terjadi pertentangan dimana ASEAN Way dengannon intervensinya yang mengagungkan kedaulatan negara sedangakan di sisi lain menginginkan penyeleseian konflik dengan cepat dan baik. Dari sini bisa dilihat bahwa non intervensi memperlihatkan bahwa ASEAN cenderung membiarkan negara dengan kadualatannya sendiri menyeleseikan masalahnya. Namun dlam kenyataanya terjadi dua bentuk kondisi yakni masalah tidak selesei atau masalah di bawa pada institusi internasional seperti PBB. Penulis sangat setuju dengan pernyataan Ramcharan dimana ASEAN tidak berpegang teguh dalam prinsip non intervensinya. Maka non intervensi ini perlu diubah dengan intervensi dan membuat klasifikasi masalah yakni memubuat batas yang jelas mengenai maslaah mana yang harus diseleikan secara domestik, kawasan dan internsional. Memang awalnya ASEAN bukan dibentuk sebagai organisasi regional yang memilii legitimasi mutlak atas anggotanya namun seiring dengan perkembangan dan terbentuknya ASEAN Community yang menandakan bahwa ASEAN sangat berperan dalam kawasan sehingga agaknya ASEAN memiliki sedikit legitimasi dalam megatur anggotanya. Seperti adanya rencana aksi dari ASC, maka anggota yang telah meyetujuinya tentunya harus melaksanakannya sesuai komitment dan memerikan sanksidalam pelanggarannya.

Você também pode gostar