Você está na página 1de 27

Laporan Kasus

SKIZOFRENIA RESIDUAL (F.20.5)

Oleh Lisa Ariyani Diah Puspita Rifasanti Sutan Agung Lumban T Devy Aditya Rizky Arief R I1A009005 I1A009052 I1A009063 I1A007005 I1A009073

Pembimbing dr. Tuti Hidayati UPF/Lab Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unlam-RSJ Sambang Lihum Banjarmasin Agustus, 2013

LAPORAN PEMERIKSAAN PSIKIATRIK

I.

IDENTITAS PASIEN Nama Usia Jenis Kelamin Penanggung Jawab Hubungan dengan Pasien Alamat : : : : : : Abdurrahman Siddiq 37 tahun Laki - laki Tn. Isransyah ayah Kandung Pasien Jl. Putra harapan RT 6 RW 3 kec. Pandawa, hulu sungai selatan Pendidikan Agama Suku Bangsa Tanggal kunjungan ke poli : : : : : SD kleas 3 Islam Banjar Indonesia 26 Agustus 2013

II.

RIWAYAT PSIKIATRIK Diperoleh dari alloanamnesa dengan ayah kandung pasien pada tanggal 26 Agustus 2013 pukul 15 .00 WITA dan autoanamnesa pada 27 agustus pukul 14.00 WITA di IGD RSJ sambaing lihum. A. KELUHAN UTAMA Mengamuk B. KELUHAN TAMBAHAN Murung dan Melamun C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Alloanamnesa Pada tahun 2006 pasien awalnya mulai berbicara sendiri ,mengamuk serta mengambil benda benda tajam dan menodong saudara saudara nya dirumah. Pasien juga suka melamun dan

terkadang murung. Pasien tidak pernah berbicara atau mengancam melakukan bunuh diri. Sebelumnya pasien menglami putus cinta dan kekasihnya sehingga menyebabkan keluhan berbicara sendiri muncul. Akibat adanya hal tersebut menyebabkan pasien dibawa ke rumah sakit jiwa Anshari Saleh ,tetapi pasien hanya dirawat jalan saja.Pada saat tersebut keadaan itu keadaan pasien sedikit membaik , pasien kemudian tidak melanjutkan pengobatan karena merasa sudah sembuh dan kehabisan biaya. Pasien menurut ayah korban tidak ada keluhan mendengar bisikan bisikan ataupun melihat bayangan apapun. Tapi pasien mengatakan pada keluarga bahwa pasien adalah keturunan habib. Pasien mulai mengalami gangguan seperti ini setelah pasien putus cinta dengan pacar pasien. Setelah keadaan ini pasien kemudian mulai murung ,sering melamun, dan kemudian sering berbicara sendiri. Pada saat itu pasien tidak mau makan serta tidak mau tidur. Keluhan tersebut kemudian berlanjut pada keadaan pasien sering mengamuk ,sehingga pasien dibawa ke rumah sakit anshari saleh. Setelah pasien dirawat jalan kemudian pasien dirasa sembuh total karena keluhan keluhan tidak lagi munul sehingga tidak melanjutkan pengobatan. Pada tahun 2012 pasien mulai berkenalan dengan wanita di media sosial facebook ,kemudian memutuskan untuk berpacaran dan kemudian menikah. Setelah 1 bulan hubungan pernikahan pasien memburuk karena masalah ekonomi dan kemudian memutuskan untuk bercerai. Setelah bercerai pasien tidak terlihat murung ataupun melamun ataupun berbicara sendiri.Tetapi pasien menjadi lebih menjaga penampilan ,dan mulai mulai melakukan beberapa usaha untuk memperbaiki keadaan ekonomi namun selalu rugi.Emosi pasien menjadi lebih labil dan mudah marah. Pada pernikahan ini pasirn tidak dikaruniai anak.

Pada tahun 2012 ,sekitar 2 bulan setelah pasien bercerai dengan istrinya pasien kembali berkenalan dengan seorang wanita dan memutuskan untuk menikah untuk yang kedua kalinya. Pernikahan tersebut berlangsung kurang lebih 1 tahun,dan akhirnya bercerai pada tahun 2013. Pada pernikahan ini pasien dikaruiai 1 orang anak. Perceraian ini terjadi karena masalah ekonomi yang dialami oleh pasien. Setelah bercerai pasien mulai sering murung ,melamun ,berbicara sendiri dan mengamuk. Pasien juga saat itu sering berkata kasar dan kadang mengancam ingin melukai orang orang yang adadi sekitarnya, juga mengatakan ingin bunuh diri. Pasien tidak ada melihat bayangan ataupun mendengar bisikan bisikan. Pasien juga sering berkata bahwa dia adalah keturunan habib. 3 hari SMRS keluhan pasien semakin memberat ,dimana pasien semakin sering menggangu orang dan keluyuruan keluar dari rumah.Pada malam hari sebelum dibawa ke rumah sakit jiwa Sambang Lihum ,pasien mengamuk membanting televisi di rumah dan mengancam ingin membakar rumah pasien oleh karena itu pasien dibawa untuk dirawat Autoanamnesa Pasien tidak tahu alasan mengapa dirinya dibawa ke rumah sakit. Pasien dapat menjawab dengan baik dan benar mengenai identitas dirinya. Pasien juga dapat mengetahui dimana pasien sekarang ,waktu saat itu ,dan mengenali orang orang disekitanya Pasien mengaku dibawa ke rumah sakit karena mengamuk dan hendak membakar rumah malam hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Keluhan muncul setelah pasien tidak mengetahui dimana anak pasien saat itu ,sebelumnya pasien mudah tersulut emosinya oleh hal hal yang sederhana.

Pasien mengaku sering marah dan mengamuk setelah pasien bercerai dengan istrinya 5 bulan SMRS, karena alas an ekonomi dimana pasien tidak mampu membelikan susu dan popok untuk anak pasien. Setelah percerai tersebut pasien mengaku putus asa ,sering melamun ,dan puncaknya hendak bunuh diri. Pasien menyangkal bahwa dirinya sering berbicara sendiri, juga menyangkal ada melihat bayangan atau mendengar bisikan bisikan ,pasien juga menyangkal bahwa dirinya keturunan seorang ahli agama. Pasien mengakui bahwa pasien dapat mengurus diri pasien pasien sendiri ,dalam artian dapat mandi ,makan sendiri,juga buang air besar dan kecil di tempat yang sesuai. D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, dan dibawa ke Rumah sakit Anshari Saleh untuk dirawat ,namun hanya mendapatkan rawat jalan.Trauma kepala (-) ,kejang (-) ,malaria (-) ,tifoid (-) E. RIWAYAT KEHIDUPAN PRIBADI 1. Riwayat Prenatal &Antenatal Selama pasien dalam kandungan, ibu pasien tidak pernah mengalami masalah kesehatan yang serius, ibu pasien merasa sehat, tidak ada mengeluh sakit ataupun mual-mual berlebihan. Lahir cukup bulan, spontan, tidak ada kesulitan saat dilahirkan dengan dokter di bidan. Lahir langsung menangis. Pasien adalah anak yang diharapkan. 2. Riwayat Masa Bayi dan Kanak-kanak Basic Trust Vs Mistrust (0-1,5 tahun)

Pasien langsung menyusu ASI pada ibunya sejak lahir hingga usia 2 tahun. Pasien mudah diberi ASI dan makanan tambahan ASI. Tidur pasien selalu nyenyak dan BAB serta BAKnya normal. Autonomy Vs Shame & Doubt (Usia 1,5-3 tahun) Pasien mulai belajar berjalan, makan sendiri, dan mengucapkan kata-kata. Pasien dibiarkan bermain sesukanya tetapi diawasi. Orang tua pasien jarang melarang dan membatasi pasien dalam bermain. Initiative Vs Guilt (Usia 3-6 tahun) Pasien sering memperhatikan ayah dan ibu pasien jika melakukan aktivitas seperti membaca koran, mencuci motor, membersihkan rumah, dan pasien sering mencoba untuk membantu ayah dan ibunya. Industry Vs Inferiority (6 11 tahun) Pasien suka membongkar mainan robot miliknya dan mencoba memasangnya kembali meski pasien terkadang tidak berhasil. Jika demikian ayah pasien selalu membantunya. Identity Vs Role Diffusion (11-20 tahun) Pasien cukup mudah bergaul sehingga memiliki banyak teman dan beberapa orang sahabat. Tetapi terkadang pasien sering berkata kasar dan berlaku kasar kepada teman teman yg tidak disukainya. 3. Riwayat Pendidikan Pasien bersekolah hingga kelas 3 Sekolah dasar karena masalah biaya. Saat bersekolah prestasi pasien biasa saja, dan tidak pernah tinggal kelas. Pasien jugetapi pasien cenderung berkata kasar dan terkadang memukul teman sekolahnya.

F.

RIWAYAT KELUARGA Genogram:

Herediter (-)

Keterangan : Laki-laki : Pasien :

Perempuan :

Meninggal :

Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara, dari perkawinan ayah dan ibunya. Dari riwayat keluarga ayah maupun ibunya, tidak ada yang menderita hal serupa. G. RIWAYAT SITUASI SEKARANG Pasien saat ini tinggal dirumah ayahnya beserta dengan orang tua dan keluarga lainnya. H. PERSEPSI PASIEN TENTANG DIRI DAN LINGKUNGANNYA Pasien tidak sadar bahwa dirinya sakit. Pasien sering tersuut emosinya oleh hal hal kecil yang disebabkan oleh lingkungan sekitar.

III. STATUS MENTAL A. DESKRIPSI UMUM 1. Penampilan Pada 26 Agustus 2013 datang laki laki ke UGD RSJ Sambang Lihum Gambut, berperawakan kurus ,tampak tidak terawatt ,datang dengan memakai kemeja yang tidak terkancing beserta jaket hitam dan celana pendek. 2. Kesadaran Jernih 3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor Normoaktif, kontak mata dapat dipertahankan. 4. Pembicaraan Koheren dan Relevan. 5. Sikap terhadap Pemeriksa Kooperatif 6. Kontak Psikis Kontak ada, wajar dan dapat dipertahankan. B. KEADAAN AFEKTIF, PERASAAN EKSPRESI AFEKTIF

KESERASIAN SERTA EMPATI 1. Afek (mood) 2. Ekspresi afektif 3. Keserasian 4. Empati C. FUNGSI KOGNITIF 1. Kesadaran 2. Orientasi Waktu : Baik : Jernih : : : : Datar , Euthym Murung Serasi Dapat dirabarasakan

(saat pasien ditanya hari, tanggal, bulan, tahun serta pagi atau siang atau malamkah saat itu, pasien menjawab dengan benar) Tempat : Baik

(saat pasien ditanya di gedung apakah pasien berada, di kota apa, di provinsi apa, dan di negara apa, pasien menjawab dengan benar) Orang : Baik

(saat pasien ditanya siapa dirinya, siapa orang yang mengantarnya, siapa pemeriksa, pasien menjawab dengan benar) Situasi : Baik

(saat pasien ditanya sedang apa pasien saat itu, dirinya sebagai apa, dan pemeriksa sebagai apa, pasien menjawab dengan benar) 3. Konsentrasi 4. Daya Ingat Segera Jangka pendek Jangka panjang : : : Baik Baik Baik : Baik

5. Intelektual, Intelegensia dan Pengetahuan Umum : Tingkat pengetahuan pasien sesuai dengan tingkat pendidikan . 6. Pikiran abstrak D. GANGGUAN PERSEPSI 1. Halusinasi : Auditorik/visual Ilusi : : Tidak ada/Ada Tidak ada Tidak ada : Baik

2. Depersonalisasi dan derealisasi : E. PROSES PIKIR 1. Arus pikir a. Produktivitas b. Kontinuitas c. Hendaya berbahasa 2. Isi Pikir : : :

Hanya menjawab jika ditanya Lancar Tidak ada

a. Preocupasi b. Gangguan pikiran c. Waham F. PENGENDALIAN IMPULS Baik. G. DAYA NILAI 1. Daya nilai sosial 2. Uji daya nilai 3. Penilaian realita H. TILIKAN

: : :

(-) (-) (+) Waham kebesaran

: : :

Baik Baik Baik

T 1 = Pasien tidak sadar bahwa dirinya sakit I. TARAF DAPAT DIPERCAYA Dapat dipercaya

IV. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK LEBIH LANJUT 1. STATUS INTERNUS Keadaan umum Kesadaran Gizi Tanda vital : TD = 120/80 mmHg N = 82 x/menit = 36,7oC : : : Tampak sehat Komposmentis Normal

RR = 18 x/menit T Kepala : Mata : Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik Telinga : Bentuk normal, sekret tidak ada, serumen minimal

Hidung Mulut

: Bentuk normal, tidak ada epistaksis, sekret tidak ada : Bentuk normal dan simetris, mukosa bibir tidak kering, pembengkakan gusi tidak ada dan tidak mudah berdarah, lidah tidak tremor.

Leher : Pulsasi vena jugularis tidak tampak, tekanan tidak meningkat, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.

Thoraks : Inspeksi Palpasi Perkusi Pulmo Cor : : : : : Sonor/Sonor Batas jantung normal Bentuk dan gerak simetris Fremitus vokal simetris normal

Auskultasi: Abdomen : Inspeksi Palpasi : : Simetris, tampak datar Tidak nyeri tekan; hepar, lien,massa tidak teraba Perkusi Auskultasi Ekstemitas : : : Timpani Bising usus (+) normal Pergerakan normal, motorik Pulmo Cor : : Suara napas vesikuler S1=S2 tunggal, bising jantung (-)

normal, tonus normal, tidak ada edema. STATUS NEUROLOGIKUS Nervus I-XII Gejala TIK meningkat Refleks fisiologis Refleks patologis : : : : Tidak ada kelainan Tidak ada Normal Tidak ada

10

V.

IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA

Alloanamnesa: Pasien mulai mengamuk pada tahun 2013 setealh dicerai oleh istri pasien karna masalah ekonomi. Pasien sebelum mengamuk sering berbicara sendiri, tetapi keluahan mendengar maupun melihat bayangan disangkal. Pasien juga mengaku bahwa beliu ternasuk keturunan habib Pasien sering murung dan menyendiri.

Autoanamnesa: Pasien menyangkal bahwa ia sakit. Setelah pasien dicerai istri, pasien mulai membentuk sikap yang mudah marah, dan murung. Pasien juga seringa mengancam menyakiti orang sekitar pasien Pasien masih dapat mengurusi dir pasien sendiri baik itu untuk makan,dan buang air besar. Pasien tidak mengaku adanya waham, maupun halusinasi audio visual Status Mentalis: Halusinasi (+) visual Preokupasi (+) kebersihan

VI. EVALUASI MULTIAKSIAL 1. 2. 3. 4. 5. Aksis I Aksis II : Skizofrenia residual (F.20.5) : Tidak ada (none)

Aksis III : Tidak ada (none) Aksis IV : Masalah keluarga Aksis V : GAF scale 55 (gejala sedang ,disabilitas sedang)

11

VII. DAFTAR MASALAH 1. ORGANOBIOLOGIK (-) 2. PSIKOLOGIK Pasien sering mengamuk dan berbicara sendiri dan mengangu orang lain. 3. SOSIAL/KELUARGA Pasien mengalami depresi setelah bercerai dari istri pasien.

VIII. PROGNOSIS Diagnosis penyakit Perjalanan penyakit Stressor psikososial Riwayat herediter Usia saat menderita Pendidikan Perkawinan Ekonomi Lingkungan sosial Organobiologi Pengobatan psikiatrik Ketaatan berobat Kesimpulan : dubia ad malam (skizofrenia residual) : dubia ad malam (kronis) : dubia ad malam (keluarga dan ekonomi) : dubia : dubia ad bonam (30 tahun) : dubia ad malam (SD) : dubia ad malam (cerai) : dubia ad malam (ekonomi lemah) : dubia ad bonam (rukun dengan saudara) : dubia ad bonam (tidak ada penyakit fisik) : dubia ad malam (pernah masuk RS) : dubia ad malam (tidak mau minum obat) : dubia ad malam

IX.

USULAN TERAPI

Medikamentosa : Cpz 100 mg 3x1 HLP 5 mg 3x1 THP 3 x 2mg

12

Psikoterapi Religius Rehabilitasi Laboratorium

: Support terhadap penderita dan keluarga : Bimbingan /ceramah agama, shalat berjamaah, pengajian : sesuai bakat dan minat (tes psikotes) : darah rutin dan kimia darah, urine

13

X. DISKUSI

Definisi Skizofrenia adalah gangguan mental atau kelompok gangguan yang ditandai oleh kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya delusi atau halusinasi) , dalam mood (contohnya afek yang tidak sesuai), dalam perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunia luar serta dalam hal tingkah laku. Sedangkan skizofrenia residual adalah keadaan yang muncul pada individu dengan gejala skizofrenia yang, setelah episode skizofrenia psikotik, tidak lagi psikotik.2 Menurut DSM-IV, adapun klasifikasi untuk skizofenia ada 5 yakni subtipe paranoid, terdisorganisasi (hebefrenik), katatonik, tidak tergolongkan dan residual. Untuk istilah skizofrenia simpleks dalam DSM-IV adalah gangguan deterioratif sederhana.3 Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-III skizofrenia dibagi ke dalam 6 subtipe yaitu katatonik, paranoid, hebefrenik, tak terinci (undifferentiated), simpleks, residual dan depresi pasca skizofrenia. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai skizofrenia residual.4

Epidemiologi Penelitian insiden pada gangguan yang relatif jarang terjadi, seperti skizofrenia, sulit dilakukan. Survei telah dilakukan di berbagai negara, namun dan hampir semua hasil menunjukkan tingkat insiden per tahun skizofrenia pada orang dewasa dalam rentang yang sempit berkisar antara 0,1 dan 0,4 per 1000 penduduk. Ini merupakan temuan utama dari penelitian di 10-negara yang dilakukan oleh WHO. Untuk prevalensi atau insiden skizofrenia di Indonesia belum ditentukan sampai sekarang, begitu juga untuk tiap-tiap subtipe skizofrenia.5 Prevalensinya antara laki-laki dan perempuan sama, namun menunjukkan perbedaan dalam onset dan perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset yang lebih awal daripada perempuan. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun, sedangkan perempuan 25 sampai 35 tahun. Beberapa penelitian

14

telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien skizofrenia laki-laki. Skizofrenia tidak terdistribusi rata secara geografis di seluruh dunia. Secara historis, prevalensi skizofrenia di Timur Laut dan Barat Amerika Serikat adalah lebih tinggi dari daerah lainnya.3

Etiologi Penyebab skizofrenia sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Namun berbagai teori telah berkembang seperti model diastesis-stres dan hipotesis dopamin. Model diastesis stres merupakan satu model yang mengintegrasikan faktor biologis, psikososial dan lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang yang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik (diastesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan stres, memungkinkan perkembangan gejala skizofrenia. Komponen lingkungan dapat biologis (seperti infeksi) atau psikologis (seperti situasi keluarga yang penuh ketegangan). Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu banyaknya aktivitas dopaminergik. Teori tersebut muncul dari dua pengamatan. Pertama, kecuali untuk klozapin, khasiat dan potensi antipsikotik berhubungan dengan kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopaminergik tipe 2. Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergik (seperti amfetamin) merupakan salah satu psikotomimetik. Namun belum jelas apakah hiperaktivitas dopamin ini karena terlalu banyaknya pelepasan dopamin atau terlalu banyaknya reseptor dopamin atau kombinasi kedua mekanisme tersebut. Namun ada dua masalah mengenai hipotesa ini, dimana hiperaktivitas dopamin adalah tidak khas untuk skizofrenia karena antagonis dopamin efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan pasien teragitasi berat. Kedua, beberapa data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron dopaminergik mungkin meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari pemaparan jangka

15

panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan hipodopaminergik.3 Skizofrenia berdasarkan teori dopamin terdiri dari empat jalur dopamin yaitu: 1. Mesolimbik dopamin pathways: merupakan hipotesis terjadinya gejala positif pada penderita skizofrenia. Mesolimbik dopamin pathways memproyeksikan badan sel dopaminergik ke bagian ventral tegmentum area (VTA) di batang otak kemudian ke nukleus akumbens di daerah limbik. Jalur ini berperan penting pada emosional, perilaku khususnya halusinasi pendengaran, waham dan gangguan pikiran. Antipsikotik bekerja melalui blokade reseptor dopamin ksususnya reseptor dopamin D2. Hipotesis hiperaktif mesolimbik dopamin pathways menyebabkan gejala positif meningkat. 2. Mesokortikal dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah VTA ke daerah serebral korteks khususnya korteks limbik. Peranan mesokortikal dopamin pathways adalah sebagai mediasi dari gejala negatif dan kognitif pada penderita skizofrenia. Gejala negatif dan kognitif disebabkan terjadinya penurunan dopamin di jalur mesokortikal terutama pada daerah dorsolateral prefrontal korteks. Penurunan dopamin di mesokortikal dopamin pathways dapat terjadi secara primer dan sekunder. Penurunan sekunder terjadi melalui inhibisi dopamin yang berlebihan pada jalur ini atau melalui blokade antipsikotik terhadap reseptor D2. Peningkatan dopamin pada mesokortikal dapat memperbaiki gejala negatif atau mungkin gejala kognitif. 3. Nigostriatal dopamin pathways: berjalan dari daerah substansia nigra pada batang otak ke daerah basal ganglia atau striatum. Jalur ini merupakan bagian dari sistem saraf ekstrapiramidal. Penurunan dopamin di nigostriatal dopamin pathways dapat menyebabkan gangguan pergerakan seperti yang ditemukan pada penyakit parkinson yaitu rigiditas, bradikinesia dan tremor. Namun hiperaktif atau peningkatan dopamin di jalur ini yang mendasari terjadinya gangguan pergerakan hiperkinetik seperti korea, diskinesia atau tik. 4. Tuberoinfundibular dopamin pathways: jalur ini dimulai dari daerah hipotalamus ke hipofisis anterior. Dalam keadaan normal tuberoinfundibular

16

dopamin pathways mempengaruhi oleh inhibisi dan penglepasan aktif prolaktin, dimana dopamin berfungsi melepaskan inhibitor pelepasan prolaktin. Sehingga jika ada gangguan dari jalur ini akibat lesi atau penggunaan obat antipsikotik, maka akan terjadi peningkatan prolaktin yang dilepas sehingga menimbulkan galaktorea, amenorea atau disfungsi seksual.4 Selain dopamin, neurotransmiter lainnya juga tidak ketinggalan diteliti mengenai hubungannya dengan skizofrenia. Serotonin contohnya, karena obat antipsikotik atipikal mempunyai aktivitas dengan serotonin. Selain itu, beberapa peneliti melaporkan pemberian antipsikotik jangka panjang menurunkan aktivitas noradrenergik.3

Gejala dan Diagnosa Gejala dari skizofrenia residual berupa gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk.5 Gejala waham dan halusinasi dapat muncul tapi tidak menonjol.3 Terlebih dahulu akan dibahas mengenai penegakan diagnosa skizofrenia. Adapun menurut DSM-IV sebagai berikut: A. Gejala Karakteristik: dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika diobati dengan berhasil): 1) Waham 2) Halusinasi 3) Bicara terdisorganisasi (misalnya sering menyimpang atau

inkoherensi) 4) Perilaku terdisorganisasi atau katatonik yang jelas 5) Gejala negatif yaitu pendataran afektif, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition)

17

Catatan: Hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham adalah kacau atau halusinasi terdiri dari suara yang terus-menerus mengomentari perilaku atau pikiran pasien atau dua lebih suara yang saling bercakapcakap satu sama lainnya. B. Disfungsi sosial/pekerjaan: untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan, satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, hubungan interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas di bawah tingkat yang dicapai sebelum onset (atau jika onset pada masa anak-anak atau remaja, kegagalan untuk mencapai tingkat pencapaian interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang diharapkan). C. Durasi: tanda gangguan terus-menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan. Pada 6 bulan tersebut, harus termasuk 1 bulan fase aktif (yang memperlihatkan gejala kriteria A) dan mungkin termasuk gejala prodormal atau residual. D. Penyingkiran gangguan skizoafektif atau gangguan mood: gangguan skizoafektif atau gangguan mood dengan ciri psikotik telah disingkirkan karena: (1) tidak ada episode depresif berat, manik atau campuran yang telah terjadi bersama-sama gejala fase aktif atau (2) jika episode mood telah terjadi selama gejala fase aktif, durasi totalnya relatif singkat dibandingkan durasi periode aktif dan residual. E. Penyingkiran zat/kondisi medis umum F. Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasif 3 Sedangkan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia yang ke-III sebagai berikut: Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas): a) thought eco = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama tapi kualitasnya berbeda.

18

thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya; b) delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar, atau delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak atau pikiran, tindakan atau penginderaan khusus); delusion perception = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat; c) Halusinasi auditorik: Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilkau pasien, atau Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara) atau Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh pasien d) Waham-waham menetap lainnya yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas:

e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas ataupun disertai oleh ide-ide yang berlebihan yang menetap atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

19

f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan yang berakibat inkoherensi atau pembicaraannya tidak relevan atau neologisme. g) Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu (porturing), fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor; h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosialdan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika; Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri, dan penarikan diri secara sosial.5 Diagnosa skizofrenia residual digunakan pada pasien yang telah sembuh dari gejala yang menonjol seperti delusi, halusinasi atau perilaku yang terdisorganisasi tapi masih memperlihatkan bukti yang ringan akan adanya proses berjalannya penyakit seperti afek datar atau kurangnya komunikasi. Adapun cara penegakan diagnosa menurut DSM-IV sebagai berikut: a. Tidak adanya waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, dan perilaku katatonik terdisorganisasi atau katatonik yang menonjol. b. Terdapat terus bukti-bukti gangguan seperti yang ditunjukkan oleh adanya gejala negatif atau dua atau lebih gejala yang tertulis dalam kriteria A untuk skizofrenia, ditemukan dalam bentuk yang lebih lemah (misalnya keyakinan yang aneh, pengalaman persepsi yang tidak lazim).3 Selain itu, PPDGJ-III memberikan pedoman diagnostik untuk skizofrenia residual yakni harus memenuhi semua kriteria dibawah ini untuk suatu diagnosis yang meyakinkan:

20

a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk. b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia. c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia. d. Tidak terdapat demensia atau penyakit gangguan otak organik lain, depresi kronis, atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.5

Diagnosa Banding Depresi pasca skizofrenia merupakan salah satu diagnosa banding dari skizofrenia residual. Keduanya mempunyai kesamaan yakni gejala skizofrenia yang masih ada tapi tidak lagi mendominasi atau menonjol. Namun terdapat perbedaan yang jelas diantara keduanya. Penegakan diagnosa depresi pasca skizofrenia tentu saja pasien harus memenuhi gejala depresi selama 2 minggu. Adapun gejala utama depresi yakni mood yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, atau berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan penurunan aktivitas. Selain itu gejala lainnya dari depresi adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, adanya ide bunuh diri, pandangan masa depan yang suram dan pesimis, tidur terganggu, nafsu makan berkurang, gagasan tentang rasa bersalah atau tidak berguna. Selain itu, pasien telah menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir sedangkan pada skizofrenia residual, gejala negatif timbul dan penurunan yang nyata dari gejala waham dan halusinasi sedikitnya sudah melampaui kurun waktu 1 tahun.5

21

Pengobatan Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk masing-masing subtipe skizofrenia. Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan gejala apa yang menonjol pada pasien. Pada skizofrenia residual, gejala negatif lebih menonjol, maka adapun pengobatan yang disarankan kepada pasien obat-obat antipsikotik golongan atipikal yang dapat meningkatkan dopamin di mesokortikal.4 Memang obat tertentu (terutama obat antipsikotik baru) telah dinyatakan efektif secara spesifik terhadap gejala negatif pada gangguan psikotik, tetapi bukti yang mendukung pendapat ini masih tidak konsisten.7 Risperidon adalah suatu obat antipsikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamin tipe 2 serta antihistamin (H1). Menurut data penelitian, obat ini efektif mengobati gejala positif maupun negatif.3 Risperidon senyawa antidopaminergik yang jauh lebih kuat, berbeda dengan klozapin, sehingga dapat menginduksi gejala

ekstrapiramidal juga hiperprolaktinemia yang menonjol. Meskipun demikian, risperidon dianggap senyawa antipsikotik atipikal secara kuantitatif karena efek samping neurologis ekstrapiramidalnya kecil pada dosis harian yang rendah.7 Klozapin termasuk obat antipsikotik atipikal yang juga mempunyai aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan antagonis lemah pada reseptor dopamin tipe 2 juga bersifat antihistamin (H1). Efek samping berupa gejala ekstrapiramidal sangat minimal, namun mempunyai sifat antagonis -1 adrenergik yang bisa menimbulkan hipotensi ortostatik dan sedatif.6 Selain itu, dilaporkan terjadinya agranulositosis dengan insiden 1-2% ditambah harganya yang mahal. Klozapin adalah obat lini kedua yang jelas bagi pasien yang tidak berespon terhadap obat lain yang sekarang ini tersedia. Selain terapi obat-obatan, juga bisa diterapkan terapi psikososial yang terdiri dari terapi perilaku, terapi berorientasi keluarga, terapi kelompok, psikoterapi individual. Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku

22

adaptif didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan sehingga frekuensi maladaptif atau menyimpang dapat diturunkan. Terapi berorientasi keluarga cukup berguna dalam pengobatan skizofrenia. Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Setelah pemulangan, topik penting yang dibahas di dalam terapi keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya. Selanjutnya diarahkan kepada berbagai macam penerapan strategi menurunkan stres dan mengatasi masalah dan pelibatan kembali pasien ke dalam aktivitas. Terapi kelompok biasanya memusatkan pada rencana, masalah, dan hubungan dalam kehidupan nyata. Terapi kelompok efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa persatuan dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia. Psikoterapi individual membantu menambah efek terapi farmakologis. Suatu konsep penting didalam psikoterapi adalah perkembangan hubungan terapeutik yang dialami psien adalah aman. Pengalaman tersebut dipengaruhi oleh dapat dipercayanya ahli terapi, jarak emosional antara ahli terapi dan pasien, dan keikhlasan ahli terapi seperti yang diinterpretasikan oleh pasien. Ahli psikoterapi sering kali memberikan interpretasi yang terlalu cepat terhadap pasien skizofrenia. psikoterapi untuk seorang pasien skizofrenia harus dimengerti dalam hitungan dekade, bukannya sesi, bulanan, atau bahkan tahunan. Di dalam konteks hubungan profesional, fleksibilitas adalah penting dalam menegakkan hubungan kerja dengan pasien. Ahli terapi mungkin akan makan bersama, atau mengingat ulang tahun pasien. Tujuan utama adalah untuk menyampaikan gagasan bahwa ahli terapi dapat dipercaya, ingin memahami pasien dan akan coba melakukannya dan memiliki kepercayaan tentang kemampuan pasien sebagai manusia. Mandred Bleuler menyatakan bahwa sikap terapeutik terhadap pasien adalah dengan menerima mereka bukannya mengamati mereka sebagai orang yang tidak dapat dipahami dan berbeda dari ahli terapi.3

23

Prognosis Prognosis tidak berhubungan dengan tipe apa yang dialami seseorang. Perbedaan prognosis paling baik dilakukan dengan melihat pada prediktor prognosis spesifik di Tabel 2.13. Tabel 2.1 Tabel perbandingan prognosis pada skizofrenia Prognosis Baik Onset lambat Faktor pencetus yang jelas Onset akut Prognosis Buruk Onset muda Tidak ada faktor pencetus Onset tidak jelas

Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan Riwayat seksual, sosial dan pekerjaan pramorbid yang baik Gejala gangguan mood pramorbid yang buruk (terutama Perilaku menarik diri, autistik

gangguan depresif) Gejala positif Riwayat keluarga gangguan mood Sistem pendukung yang baik Gejala negatif Riwayat keluarga skizofrenia Sistem pendukung yang buruk Tanda dan gejala neurologis Riwayat trauma prenatal Tidak ada remisi dalam 3 tahun Banyak relaps Riwayat penyerangan

Walaupun skizofrenia bukanlah penyakit yang fatal, namun rata-rata kematian orang yang menderita skizofrenia dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Tingginya angka kematian berkaitan dengan kondisi buruk di institusi perawatan yang berkepanjangan yang menyebabkan tingginya angka Tuberkulosis dan penyakit menular lainnya. Namun, penelitian baru-baru ini pada orang-orang skizofrenia yang hidup dalam masyarakat, menunjukkan bunuh diri dan kecelakaan lain sebagai penyebab utama kematian di negara berkembang maupun negara-negara maju. Bunuh diri, khususnya, telah muncul sebagai masalah yang mekhawatirkan, karena risiko bunuh diri pada

24

orang dengan gangguan skizofrenia selama hidupnya telah diperkirakan di atas 10%, sekitar 12 kali lebih tinggi dari populasi umum. Sepertinya ada sebuah peningkatan mortalitas untuk gangguan kardiovaskular juga, mungkin terkait dengan gaya hidup yang tidak sehat, pembatasan akses perawatan kesehatan atau efek samping obat antipsikotik.6

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Suvisaari, Jana. Incidence and Risk Factors of Schizophrenia in Finland. University of Helsinki, Faculty of Medicine, Department of Public Health. 1999. Available from: http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/laa/kansa/vk/suvisaari/introduction.html [ Accessed 8 Maret 2010] 2. Kumala, Poppy dkk. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. EGC. Jakarta:1998. 970 3. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., dan Grebb, Jack A. Sinopsis Psikiatri, Jilid I. Binarupa Aksara. Tangerang: 2010. 699-702, 720-727, 737-740 4. Syamsulhadi dan Lumbantobing. Skizofrenia. FK UI. Jakarta: 2007.26-34 5. Maslim, Rusdi.Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ- III. FK Unika Atmajaya. Jakarta:2001. 46, 50 6. Silva, J.A. Costa.Schizophrenia and Public Health. WHO. 1998. 6-13. Available from: www.who.int/mental_health/media/en/55.pdf [Accessed on 5 Maret 2010] 7. Goodman dan Gilman. Dasar Jakarta:2007.475,480 & 482 Farmakologi Terapi Vol.I. EGC.

26

Você também pode gostar