Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
1 TAHUN 1974
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, memberikan definisi perkawinan sebagai berikut : Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Apabila definisi ini kita telaah, maka terdapatlah 5 unsur di dalamnya :
Ikatan lahir batin Antara seorang pria dan wanita Sebagai suami-isteri Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa
Didalam kelima unsur diatas terdapat penjelasan khusus pada unsur pertama dan unsur kedua yaitu :
1. Ikatan lahir batin, yang dimaksud ikatan lahir dan batin tidak cukup hanya dengan ikatan lahir dan batin saja. Akan tetapi keduanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan dapat mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami-isteri, dengan kata lain hal itu disebut hubungan formal. Hubungan formal ini nyata baik bagi perihal mengikatkan dirinya maupun bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak bersangkutan. Ikatan batin merupakan dasar ikatan lahir. 2. Antara seorang pria dan wanita, artinya perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan wanita saja. Maka kesimpulannya hubungan antara selain seorang pria dan wanita tidak mungkin terjadi, misalnya seorang pria dengan pria maupun sebaliknya seorang wanita dan wanita. Disamping itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kedua unsur tersebut mengandung asas monogami.
ASAS HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANGUNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUHPERDATA
ASAS MENURUT UU NOMOR 1 TAHUN 1974 : a. Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.
b. Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.
d. Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).
b. Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan pegawai catatan sipil.
c. Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan di bidang hukum keluarga.
d. Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
e. Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri.
Syarat perkawinan yang bersifat materil dapat disimpulkan dari pasal 6-11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu :
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua/salah satu orang tuanya, apabila ada salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia.
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada izin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pria maupun wanita
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi pasal 3 ayat 2 dan pasal 4
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya
Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu
Dalam pasal 39 peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 waktu tunggu itu adalah sebagai berikut :
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari dihitung sejak kematian suami
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang bulan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
Bagi janda yang putus karena perceraian sedang antara janda dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin tidak ada waktu tunggu
Pasal 8 UU No. 1 tahun 1974 menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang :
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dan saudara neneknya/kewangsaan
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri/periparan
Berhubungan susunan, yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan dan bibi/paman susunan
Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari satu orang
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin
Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut pasal 12 UU No. 1 tahun 1974 direalisasikan dalam pasal 3 s/d pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat diuraikan sebagai berikut :
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatatan perkawinan di mana perkawinan itu dilangsungkan, dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan. Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon mempelai/orang tua/walinya. Pemberitahuan itu antara lain memuat nama, umur, agama, tempat tinggal calon mempelai (pasal 3-5)
Setelah syarat-syarat diterima pegawai pencatat perkawinan, lalu diteliti apakah sudah memenuhi syarat atau belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus
Apabila semua syarat telah dipenuhi pegawai pencatat perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan
Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Kedua calon mempelai menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka perkawinan telah tercatat secara resmi.
MENURUT KUHPERDATA :
Syarat Materil Umum, yang berlaku untuk seluruh perkawinan yang terdiri dari : Kata Sepakat (Pasal 28 KUHPer). Dalam pasal ini berbunyi, Asas perkawinan menghendaki adanya persetujuan bebas dari calon suami dan calon istri . Asas yang dianut Monogami mutlak (Pasal 27 KUHPer). Dalam pasal ini berbunyi, Pada waktu yang sama, seorang laki laki hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya boleh terikat oleh perkawinan dengan satu orang laki laki saja. Batas usia (Pasal 29 KUHPer). Dalam pasal ini berbunyi, Laki laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika alasan alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi . Tenggang waktu tunggu, 300 hari (Pasal 34 KUHPer). Dalam pasal ini berbunyi, Seorang wanita tidak boleh melakukan perkawinan baru, kecuali setelah lampau jangka waktu tiga ratus hari sejak pembubaran perkawinan terakhir . Syarat Materil Khusus, berlaku hanya untuk perkawinan tertentu, seperti : Larangan Perkawinan (Pasal 30, 31, 32, 33 KUHPer) Izin Kawin (Pasal 33, 35 38, 40, 42 KUHPe
SYARAT SAH NYA PERKAWINAN MENURUT UNDANGUNDANG NO. 1 TAHUN 1974 DAN KUHPERDATA
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG N0. 1 TAHUN 1974 : Perkawinan adalah suatu hak asasi yang dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) Perubahan II UUD 1945 dan kemudian dalam tataran praktisnya diatur dalam UU No 1 Tahun 1974. Tetapi perkawinan sendiri dinilai sah apabila:
1. 2. 3. 4.
Dilakukan berdasarkan hukum agamanya dan kepercayaannya. Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. Yang laki laki min berumur 19 tahun sedang yang perempuan min berumur 16 tahun. Bagi yang berumur kurang dari 21 tahun harus memiliki izin kedua orang tua/wali
SYARAT SAHNYA PERKAWINAN MENURUT KUHPERDATA : a. b. c. d. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam undang-undang,yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan 15 tahun. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari dahulu setelah putusnya perkawinan pertama. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak. e.Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua atau walinya
PERCERAIAN
Perceraian adalah berakhirnya perkawinan yang telah dibina oleh pasangan suami istri yang disebabkan oleh beberapa hal seperti kematian dan atas keputusan keadilan. Dalam hal ini perceraian dilihat sebagai akhir dari suatu ketidakstabilan perkawinan dimana pasangan suami istri kemudian hidup terpisah dan secara resmi diakui oleh hukum yang berlaku. Menurut aturan Islam, perceraian diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka perceraian adalah jalan yang menyakitkan yang harus dijalani. Itulah alasan mengapa jika tidak dapat rujuk lagi, maka perceraian yang diambil. Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut talak atau furqoh adapun arti dari talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian. Putusnya perkawinan diatur dalam : Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, pasal 199 KUH Perdata. Pasal 113 sampai dengan pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan pasal 110 komplikasi hukum islam disebutkan tentang alasan-alasan yang diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut : 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan. 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri. 6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar Talik Talak. 8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga. Adapun alasan-alasan yang lain yaitu: 1. Karena ketidakmampuan suami memberi nafkah, yaitu mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan yang diperlukan bagi kehidupannya. Jika istri tidak bisa menerima keadaan ini, maka dia bisa meminta kepada sang suami untuk menceraikannya, sementara istri benar-benar tidak sanggup menerimanya, pengadilan yang menceraikannya. 2. Karena suami bertindak kasar, misalnya suka memukul, untuk melindungi kepentingan dan keselamatan istri, atas permintaan yang bersangkutan pengadilan berhak menceraikannya. 3. Karena kepergian suami dalam waktu yang relative lama, tidak pernah ada dirumah, bahkan imam Malik tidak membedakan apakah kepergian itu demi mencari ilmu, bisnis, atau karena alasan lain. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu dan merasa dirugikan, pengadilan yang menceraikannya. Berapa ukuran lama masing-masing masyarakat atau Negara bisa membuat batasan sendiri melalui undang-undang. 4. Suami dalam status tahanan atau dalam kurungan. Jika istri tidak bisa menerima keadaan itu, maka secara hukum, ia bisa mengajukan masalahnya kepengadilan untuk diceraikan.
SYARAT-SYARAT PERCERAIAN MENURUT KUHPERDATA : Salah satu pihak berbuat zinah atau pemadat dan lain-lain yang yang sukar disembuhkan Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun Salah satu pihak mendapat hukuman yang lebih berat setelah perkawinan Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat Salah satu pihak mendapat cacat badan sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan lagi akan rukun.
Bila memang salah satu pihak telah melakukan hal-hal diatas yang termasuk dalam alasan perceraian, sebaiknya konsultasikan terlebih dahulu kepada keluarga atau kepada kami selaku praktisi
hukum dalam bidang hukum perceraian untuk langkah dan solusi yang terbaik. bagi anda Untuk diketahui akibat perceraian dalam hukum perdata yaitu: a. b. c. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya Bapak bertanggung jawab atas biaya kehidupan anak, bila tidak sanggup maka ibu turut memikul biaya tersebut Pengadilan mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Akibat perceraian di atur jelas dalam hukum perdata dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena itu prinsip dasar blog ini bertujuan untuk memberikan pelayanan konsultasi secara profesional agar permasalahan dalam keluarga anda bisa mendapatkan solusi terbaik dan bijak. Jika memang solusi terbaik dari permasalahan anda adalah bercerai, kami siap membantu anda di dalam proses percerain tersebut.