Você está na página 1de 41

BAB I PENDAHULUAN Tingkat kasus abortus di Indonesia tercatat yang tertinggi di Asia Tenggara mencapai dua juta kasus

dari jumlah kasus yang terjadi di Negara-negara ASEAN sekitar 4,2 juta kasus per tahun (Depkes RI, Maret 2006). Sementara itu, 30% angka kematian maternal yang terjadi di Indonesia dipicu oleh terjadinya abortus. Di seluruh dunia, sekitar 19 juta kasus abortus tercatat setiap tahunnya, dan dari 4,5 juta kasus diantaranya dinyatakan beresiko tinggi, selain itu, 13% dari seluruh kematian maternal diperkirakan terjadi akibat komplikasi dari abortus, dan sebagai tambahan, 10 dari 1000 kasus abortus akan menyebabkan terjadinya efek samping jangka panjang, termasuk infertilitas. Suatu kehamilan dikatakan mengalami abortus bila kehamilan tersebut terhenti atau gagal dipertahankan pada usia kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat badan janin kurang dari 500 gram.3 Abortus spontan berulang apabila terjadi abortus berturut-turut sebanyak 3 kali atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu. Beberapa penulis menyebutnya dengan abortus habitualis. Abortus spontan berulang ini selalu menjadi masalah di dunia praktek ilmu kebidanan karena seorang ibu yang sudah pernah mengalami abortus yang berulang biasanya selalu panik dan berupaya agar tidak terjadi abortus lagi untuk kehamilan berikutnya. Angka kejadiannya adalah 1 diantara 300 kehamilan. Masyarakat luas sebenarnya banyak tahu tentang pentingnya pencegahan terjadinya abortus berulang ini tetapi sebagian besar mereka tidak dapat memenuhi harapan tersebut, mengingat faktor yang berpengaruh sangat banyak. Pada umumnya masyarakat baru terpikir untuk mencari penyebab atau berobat dengan sungguh-sungguh setelah kejadian abortus dialami sebanyak 2 kali secara berurutan atau usianya sudah menginjak 35 tahun serta pasangan tersebut sulit dalam upaya untuk menjadi hamil. Secara epidemiologis pernah dilaporkan bahwa bila sudah mengalami 4 kali abortus, maka resiko tidak punya anak mencapai 40 sampai 50 %.1

Etiologi abortus habitualis dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor genetik, anatomi, endokrin, infeksi, imunologi serta faktor-faktor lain seperti lingkungan , obat-obatan, dan penyakit kronik.3 Terapi yang dapat dilakukan untuk mengatasi terjadinya abortus habitualis ialah dengan mengetahui terlebih dahulu etiologinya untuk mengetahui tindakan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi penyebabnya. Di dalam referat ini akan dibahas mengenai penyebab-penyebab terjadinya abortus habitualis, diagnosis dan manajemen kelola terhadap abortus habitualis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. ABORTUS 2.1.1. DEFINISI Berakhirnya kehamilan sebelum anak dapat hidup di dunia luar (viable). Definisi lain menyatakan bahwa abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum usia kehamilan 22 minggu atau berat badan anak kurang dari 500 gram.1,2. Pengeluaran janin diikuti dengan pengeluaran sebagian atau seluruh plasenta dan selaput kehamilan. Klasifikasi Abortus : 1. Menurut kejadiannya 2. Secara klinis A. Abortus Menurut kejadiannya 1. Abortus spontan abortus yang terjadi tanpa tindakan atau berlangsung dengan sendirinya. 2. Abortus provocatus Abortus yang terjadi dengan sengaja. A. Abortus provocatus therapeuticus / abortus provocatus artificialis Pengakhiran kehamilan atas indikasi kehamilan yang dapat membahayakan ibu maupun janin. B. Abortus provocatus kriminalis Pengakhiran kehamilan tanpa indikasi medis dan dilarang oleh hukum.

B. Menurut klinis dibagi menjadi : 1. Abortus imminens (threatened abortion) Merupakan ancaman terjadinya abortus yang ditandai dengan perdarahan sedikit dari jalan lahir dan nyeri perut tidak ada atau ringan pada daerah perut bawah atau terdapat fluksus sedikit dengan keadaan mulut rahim masih tertutup. Besar rahim masih sesuai dengan umur kehamilan. Kejadian ini dapat berlangsung antara 30 sampai 40 % dari seluruh kehamilan.3,4 2. Abortus insipiens (inevitable abortion) Abortus yang sedang berlangsung yang terjadi apabila telah ada pembukaan serviks uterus tetapi jaringan uterus maupun jaringan plasenta masih intrauterine, yang ditandai disertai nyeri/kontraksi rahim.3,4 3. Abortus inkompletus (incomplete abortion) Pengeluaran sebagian konsepsi sedangkan sisanya masih berada intrauterin, jaringan yang biasa tertinggal adalah plasenta atau desidua. Manifestasi klinis ditandai dengan adanya perdarahan dari jalan lahir (biasanya banyak), nyeri /kontraksi rahim ada, dan bila perdarahan banyak dapat terjadi syok. Pada pemeriksaan dalam, ostium uteri terbuka, teraba sisa jaringan buah kehamilan.3,4 4. Abortus complete (complete abortion) Pengeluaran seluruh jaringan konsepsi. Setelah keluarnya semua hasil konsepsi, kontraksi rahim dan perdarahan mereda, serviks menutup, dan rahim lebih kecil daripada periode yang ditunjukkan amenorea. Selain itu, tidak lagi ada gejala kehamilan dan uji kehamilan menjadi negatif.4,5 dengan perdarahan dari jalan lahir

5. Abortus febrilis Abortus inkompletus atau abortus insipiens yang disertai infeksi. Manifestasi klinis ditandai dengan adanya demam, lochia yang berbau busuk, nyeri di atas simfisis atau di perut bawah, abdomen kembung atau tegang sebagai tanda peritonitis. Pada pemeriksaan dalam, ostium uteri umumnya terbuka, dan teraba sisa jaringan, rahim maupun adneksa nyeri pada perabaan, dan fluksus berbau.4 6. Abortus tertunda (Missed abortion) Janin yang telah mati sebelum usia 20 minggu, tertahan di dalam rahim selama 2 bulan atau lebih setelah janin mati. Manifestasi klinis ditandai dengan perdarahan yang bisa ada atau tidak, fundus uteri lebih kecil dari umur kehamilan dan bunyi jantung janin tidak ada.4 7. Abortus habitualis (recurrent abortion) Abortus yang berulang tiga kali berturut-turut atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu.

Gambar 1. Abortus Imminens

Gambar 2. Abortus Insipiens

Gambar 3. Abortus Incomplete

Gambar 4. Missed Abortion

I.2. EPIDEMIOLOGI Insidensi terjadinya abortus spontan sekitar 15 20 % dari seluruh kehamilan. 75 % dari seluruh abortus terjadi pada usia kehamilan sebelum 16 minggu. Dari seluruh wanita 2 3 % pernah mengalami 2 kali abortus spontan, dan kurang dari 1 % wanita yang mengalami abortus habitualis. Insidensi abortus habitualis 3 % sampai 5 % pasangan reproduktif.5 Secara epidemiologis pernah dilaporkan bahwa bila sudah mengalami 4 kali abortus, maka resiko tidak punya anak mencapai 40 sampai 50 %.3 2.2. ABORTUS HABITUALIS Abortus habitualis adalah pengakhiran kehamilan secara spontan tiga kali berturut-turut pada kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat badan janin kurang dari 500 gram. 2.2.2. PATOFISIOLOGI Pada awal terjadinya abortus terjadi perdarahan pada desidua basalis sehingga embrio lepas partial atau total, diikuti nekrosis jaringan sekitarnya. Kemudian plasenta menjadi tidak berfungsi. Hasil konsepsi yang terlepas sebagian atau seluruhnya akan menjadi benda asing dalam uterus. Hal ini yang menyebabkan uterus berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, diikuti dilatasi cervix dan pengeluaran sebagian atau seluruh hasil konsepsi.2 Hasil konsepsi yang dikeluarkan dapat berupa blighted ovum (kantong amnion berisi air ketuban tanpa janin), mola crueta (janin diliputi oleh lapisan bekuan darah), Mola carnosa (bekuan darah telah diserap dan sisanya mengalami organisasi sehingga tampak seperti daging), mola tuberose (amnion tampak berbenjol-benjol akibat hematom antara lapisan amnion dan chorion).

2.2.1. DEFINISI

2.2.3. ETIOLOGI Secara skematis penyebab abortus yang berulang dapat dilihat pada tabel 2 Tabel 2. Prakiraan insidensi dari penyebab kejadian abortus spontan berulang Etiologi
Faktor Genetik 1. Kromosomal 12 % Mullerian fusion or septum 2. Multifaktorial Faktor Anatomik 1. Kongenital a. b. c. d. 2. a. b. c. Incomplete rearsorbtion Paparan Diethylstillbestrol Anomali arteria uterine Inkompetentia serviks Inkompetentia serviks Sinekhia Leiomioma 17 %

Prakiraan insiden
5%

Didapat/Akuisita

d. Endometriosis, adenomiosis Faktor Endokrin a. b. c. d. Insufisiensi fase luteal termasuk kelainan luteinizing hormone Kelainan tiroid Diabetes Mellitus Kelainan androgen

e. Kelainan prolaktin Faktor Infeksi 1. 2. 3. 4. Bakteri Virus Parasit Zoonotik

5%

5. Fungus Faktor Immunologi 1. Mekanisme Humoral

50 %

a. b. c. d. 2. a. b. c.

Antibodi Antiphospholipid Antibodi antisperm Antibodi Antitrofoblast Blocking antibody deficiency Respon imun seluler TH1 pada antigen reproduksi (embryo/trophoblast-toxic factors/cytokines) Sitokin TH2, growth factor dan defisiensi onkogen Supressor cell and factor deficiency 10 %

Mekanisme seluler

d. Major histocompatibility antigen expression Faktor-faktor lain 1. 2. 3. Lingkungan Obat-obatan Abnormalitas plasenta Sirkumvalata Marginal 4. Kelainan Medis a. b. c. 5. 6. 7. Koitus Latihan Faktor kelainan jantung Faktor renal Faktor hematologik

Faktor Pria

Sumber : Hill JA. Novaks Gynecology Borek JS, Adashi EY, Hillard PA eds. Baltimore, William & Wilkins. 1996, 964

2.2.3.1. FAKTOR GENETIK

Faktor genetik antara suami dan istri dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin atau embrio yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya abortus. Aberasi kromosom janin dan adanya kelainan kromosom yang tumbuh pada janin misalnya pada trisomi 16 atau trisomi 21 (sindroma Down) merupakan penyebab terjadinya abortus. Pada kelainan monosomi X (45 X atau sindroma Turner) juga dapat memberikan kegagalan janin yang berakhir dengan abortus.1,3 Analisis kromosom dilakukan untuk mendeteksi adanya pengaruh kelainan kromosom pada wanita yang menderita abortus habitualis. Analisis kromosom berasal dari leukosit darah tepi atau dari jaringan konseptus.1 1. Analisis Kromosom kedua Orang tua Kelainan kromosom parental terdapat pada 3 6 % pasangan dengan abortus berulang. Kejadian translokasi kromosom dan inversi sering menyebabkan abortus berulang Pemeriksaan dapat dilakukan saat antenatal.1 2. Analisis Kromosom dari Produk Konsepsi 50 % kejadian abortus spontan terjadi abnormalitas sitogenetik. Dengan adanya abnormalitas ini menyebabkan ketidakmampuan hasil konseptus untuk bertahan dan tumbuh di dalam uterus.1 Penanganan Pasangan yang mengalami abortus berulang perlu melakukan pemeriksaan genetik yang bertujuan untuk mendapatkan konseling genetik. Abortus spontan yang terjadi pada pasangan dengan karyotip yang normal, dianjurkan untuk mencoba hamil kembali. Namun bila trisomi yang menyebabkan abortus berulang maka pasangan ini sebaiknya mendapatkan konseling genetik. Untuk semua pasangan yang melakukan konseling genetik harus melakukan amniosentesis atau pengambilan sampel dari chorion dan villus untuk mencegah terjadinya abnormalitas kromosom janin. Bila penyebabnya adalah karyotip parental dapat digunakan gamet donor dan biopsi

embrio, yaitu dengan inseminasi buatan dari sperma donor bila abnormalitas terjadi di pihak pria atau dengan fertilisasi in vitro dari oocyt donor jika abnormalitas terjadi di pihak wanita.2 Biopsi embrio dilakukan untuk diagnosis abnormalitas genetik preimplantasi, yaitu dari embrio pada stadium 4 sampai 8 blastomer, bila hasil biopsi embrio normal baru dilakukan transfer embrio.2 2.2.3.2. FAKTOR ANATOMI Kelainan anatomi merupakan penyebab pertama dari abortus habitualis dan terhitung 15 % dari keguguran berulang. Kelainan ini dapat kongenital maupun akuisita (didapat). Defek yang terjadi termasuk kelainan anatomi, inkompetensi serviks, leiomyoma submukosa, kelainan karena paparan diethylstilbestrol intra uterine dan Ashermans syndrome. Secara umum keguguran karena kelainan anatomi terjadi pada trimester kedua.7 Terjadinya anomali pada arteri uterina perlu dicari karena hal ini akan mengganggu peredaran darah ke daerah implantasi buah kehamilan sehingga mudah abortus.3 2.2.3.2.1. Malformasi uterus kongenital Malformasi uterus congenital yang sering didapat ialah kegagalan fusi duktus Mulleri. Malformasi ini terjadi pada 0,1% populasi wanita. Dilaporkan 10% sampai 23% wanita yang mengalami abortus berulang karena anomali uterus, atau satu diantara wanita yang mengalami abortus habitualis disebabkan karena anomali uterus.1,8 Uterus unicornus dan bicornus masing-masing menyebabkan 1-3 kejadian terjadinya abortus spontan karena kelainan anatomi, dan uterus septum sejumlah 60% karena buah kehamilan yang terimplantasi disana akan mengalami gangguan dalam perkembangannya.3,7

10

Gambar 5. Uterus normal

1. Uterus arcuatus

2. Uterus septum

3. Uterus bicornis

4. Uterus Didelphis

5. Uterus unicornus

6. Uterus bentuk T

Gambar 6. Malformasi uterus congenital

11

A. Mekanisme terjadinya abortus akibat anomali uterus Beberapa teori dapat menjelaskan mekanisme terjadinya bortus akibat adanya anomaly uterus.1 Menurut Strassmann,1996. Volume intraluminal pada uterus yang abnormal berkurang, dan ketika telah mencapai batas peregangan uterus, kehamilan tidak dapat tumbuh lebiih lanjut, sehingga terjadi inseminasi dengan abortus spontan atau lahir prematur.8 Menurut Hunt dan Wallach, 1974. Vaskularisasi yang tidak adekuat dapat memperburuk keadaan plasenta, yaitu bila insersi plasenta pada daerah septum atau bagian medial dari tanduk uterus. Teori ini ditunjang oleh minimalnya perdarahan yang terjadi saat dilakukan incise pada daerah septum.8 Menurut Blum, 1987. Adanya peningkatan iritabilitas dan kontraktilitas uterus. Kemungkinan terjadi karena aktivitas serum cystine aminopeptidase, yang dapat menyebabkan dilatasi dan penipisan serviks atau insufisiensi dan pelepasan plasenta sehingga terjadi abortus atau persalinan prematur.8 Menurut Craig, 1973 dan Bennet, 1987. Adanya inkompetensi servikal pada 30% anomali uterus. Aborstus terjadi karena rupturnya membran amnion dan prolaps melalui serviks sehingga terkontaminasi dengan bakteri di vagina dan sifat yang asam.8 Teori-teori ini belum bisa dibuktikan kebenarannya saat ini, namun masingmasing mekanisme ini dapat menyebabkan pengeluaran janin.8 B. Etiologi anomali uterus kongenital Masing-masing ductus paramesonephric (Mullerian) dibentuk 5 sampai 6 minggu setelah konsepsi sebagai invaginasi dari epitel coelomic lateral menuju kranial. Pembukaan duktus berlangsung sampai ostium abdominal dan ujung caudal membentuk ujung yang solid diikuti dengan kanalisasi. Kedua ujung bersatu di bagian tengah pada minggu ke 8 sampai 9. Akhirnya bersentuhan dengan sinus urogenital. Kanalisasi berakhir pada minggu ke 10 sampai 11. Kemudian septum

12

medial diresorbsi sampai minggu ke 19 dan 20 menjadi bentuk uterus yang normal. Anomali uterus kongenital dapat terjadi karena kegagalan berfusi, kanalisasi dan resorbsi septum.8 Menurut Hammond, 1989. Jika anomali berhubungan dengan lingkungan luar, hal ini terjadi antara minggu ke 8 sampai 19, yaitu saat berfusi dan kanalisasi. Dapat terjadi karena zat teratogen yang tidak spesifik misalnya radiasi, demam, obat-obatan dan infeksi.8 Anomali tractus genitalis bagian atas terjadi karena paparan DES intrauterin, teori ini pertama kali dilaporkan oleh Kaufman, 1971. Enam puluh sembilan persen wanita yang terpapar DES terjadi anomali uterus. DES akan menyebabkan hipoplasia dan maldevelopment otot uterus. Beberapa bentuk anomali uterus antara lain uterus yang berbentuk T dengan dilatasi bulbus pada segmen bawah serviks. 8,2 C. Diagnosis Histerosalpingografi adalah pemeriksaan yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis anomali uterus, tetapi hanya terbatas untuk menggambarkan keadaan uterus yang mempunyai hubungan dengan dunia luar. Sehingga untuk uterus yang noncommunicating tidak dapat dibuktikan dengan pemeriksaan ini.8 Semua wanita yang mengalami abortus habitualis harus melakukan pemeriksaan histerosalpingografi, termasuk wanita dengan riwayat kelahiran prematur, kelainan letak janin dan retensio plasenta.8 Pemeriksaan laparoskopi dilakukan untuk menyempurnakan pemeriksaan histerosalpingografi, dan sangat penting untuk membedakan antara uterus bicornis dengan septum. Kedua anomali ini tampak sama dengan pemeriksaan HSG. Pencitraan dengan ultrasound terutama dengan transduser transvaginal dapat dilakukan saat wanita tidak hamil maupun sedang hamil. Saat ini pemeriksaan ultrasonografi digunakan untuk skrining pasien dengan anomali uterus, tetapi harus tetap dikonfirmasi dengan pemeriksaan HSG.

13

Gambar 7. Pemeriksaan HSG Pencitraan endometrium sangat penting untuk penilaian yang tepat pada rongga uterus. Pemeriksaan dilakukan selama fase luteal karena endometrium tampak hiperechoic dan berlawanan dengan myometrium yang hipoechoic.8 Bila diidentifikasikan dua canalis servikalis yang terpisah diikuti dengan gema endometrium sepanjang rongga uterus adalah gambaran uterus didelphys. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih tepat dapat digunakan USG tiga dimensi.8 Kelebihan pemeriksaan dengan USG adalah dapat memeriksa ginjal secara bersamaan. Anomali traktus urinarius sering disertai anomali uterus kecuali anomali yang terjadi akibat diethylstilbestrol. Kelainan uterus yang sering disertai kelainan ginjal adalah hipoplasia atau agenesis uterus dan uterus unicornus.8 Pemeriksaan yang lebih baik adalah dengan nuclear magnetic resonance imaging. Metode ini dapat mendiagnosis masing-masing tipe anomali uterus. Pemeriksaan fisik secara bimanual kadang-kadang dapat mendeteksi adanya anomali ini. Terabanya dua cornu yang terpisah adalah uterus bicornis, dan fundus yang luas diduga uterus septum.8

14

D. Penanganan Pemilihan cara penanganan tergantung tipe anomali uterus, koreksi non operatif atau operatif. 1. Reparasi tanpa operasi Uterus unicornus Pasien dengan uterus unicornus biasanya asimptomatik. Tidak ada teknik operasi yang dapat mengoreksi anomali ini, karena tidak ada operasi yang dapat menambah volume cavum uteri. Uterus didelphys Kelainan ini umumnya asimptomatis namun tidak jarang yang mengalami dyspareunia karena adanya septum di vagina. Koreksi dengan cara operasi sulit dilakukan sehingga tidak ada terapi operatif yang dapat dianjurkan Uterus arcuatus Tiga puluh enam persen anomali ini disertai dengan inkompetensi seviks. Kelainan uterus ini merupakan variasi normal dari bentuk uterus sehingga tidak perlu dilakukan reparasi secara operatif. 2. Reparasi dengan operasi Uterus bicornis Kelainan ini terjadi karena kegagalan bersatunya ductus mullerian pada daerah fundus, tetapi bagian bawah uterus bersatu secara sempurna sehingga uterus memiliki cervix yang tunggal. Kejadian abortus lebih rendah dibanding dengan uterus septum. Kemungkinan akibat aliran darah pada bagian tengah uterus bicornus lebih baik daripada uterus septum. Prosedur operasi untuk mengoreksi bentuk uterus ini pertama kali diperkenalkan oleh Strassman 1908. Kelahiran hidup mencapai 91% kehamilan setelah operasi.

15

Gambar 8. Teknik operasi Strassman8 Uterus septum Anomali ini terjadi akibat kegagalan resorbsi dinding bagian tengah uterus. Tetapi uterus tampak normal bila dilihat dari luar. Angka kejadian abortus pada kelainan ini cukup tinggi karena berkurangnya volume cavum uteri dan aliran darah pada daerah septum tidak adekuat. Beberapa teknik operasi dapat mengoreksi kelainan ini. a. Abdominal metroplasty Jones dan Jones, 1953 memperkenalkan teknik operasi dengan cara melakukan eksisi baji pada daerah septum uterus, dan penutupan uterus secara sagital. Sebagian fundus uteri ikut terbuang sehingga kehilangan darah lebih banyak dan dapat mengurangi volume cavum uteri. Maka teknik ini telah ditinggalkan.

16

Tompkins, 1962 memperkenalkan operasi dengan melakukan incisi sagital pada daerah fundus ke arah anteroposterior melalui bagian tengah septum sampai cavum uteri. Walaupun teknik operasi ini perdarahannya lebih sedikit, namum dengan pemberian agen vasopressor misalnya vasopressin (Pitresin) dapat mengontrol perdarahan sehingga lapang pandang operasi lebih jelas. Untuk pencegahan terjadinya adhesi karena operasi maka dianjurkan untuk melakukan teknik microsurgery secara hati-hati dan hemostasis diperhatikan, selain itu diberikan terapi adjuvant atau dengan barier adhesi di sekeliling ligamentum. Bila kehamilan telah mencapai aterm langsung dilakukan terminasi dengan section sesarian untuk mencegah rupture uteri yang dapat terjadi selama persalinan.

Gambar 9. Teknik operasi Tompkins8

17

b. Teknik Hysteroscopic Metode ini dilakukan dengan cara melihat septum dengan hysteroscoper yang disertai dengan laparoscopic untuk pencegahan terjadinya rupture uteri. Dengan menggunakan prinsip Tompkins metroplasty, septum di incisi dari apex sampai basis dengan alat gunting hysteroscopy. Untuk hasil yang optimal, operasi dilakukan pada awal fase luteal dari siklus menstruasi sehingga endometrium cukup tipis. Pemberian estrogen yang terkonjugasi (Premarin) 2,5 mg dua kali sehari, selama 1 sampai 2 bulan, dilanjutkan dengan medroxyprogesterone acetate (Provera) 5 mg dua kali sehari selama 10 hari setelah operasi dapat mempercepat penyembuhan. Setelah dilakukan operasi dianjurkan untuk pemeriksaan HSG untuk memastikan cavum uteri menjadi normal.

Gambar 10. Teknik Hysteroscopic Teknik metroplasty dengan menggunakan hysteroscope sekarang menjadi pilihan utama. Keuntungannya adalah mencegah tindakan operasi mayor abdomen, pasien dapat segera pulang, waktu operasi yang lebih singkat sehingga mengurangi morbiditas, dapat mencegah perlengketan daerah pelvis sehingga infertilitas dapat dihindari serta kehamilan dapat diakhiri tanpa sectio cesarian.

18

2.2.3.2.2. Inkompetensi Serviks Definisi serviks inkompeten adalah ketidakmampuan serviks untuk mempertahankan kehamilan intrauterine sampai aterm. Insidensinya bervariasi dari 1 kejadian diantara 2000 persalinan sampai 1 di antara 32 persalinan. A. Etiologi Danforth menerangkan struktur serviks terutama terdiri dari jaringan kolagen dengan hampir 10 sampai 15 % terdiri dari jaringan otot. Pada serviks inkompeten terjadi kelemahan mekanisme spinchter, sehingga bila terjadi peningkatan tekanan intra uteri karena kehamilan dapat menyebabkan prolaps dan balloning membran ke dalam vagina, melalui serviks yang berdilatasi tanpa disertai rasa mulas pada trimester kedua atau awal trimester ketiga kemudian peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya ekspulsi janin immatur, sehingga kemungkinan besar janin akan meninggal.1,8 1. Congenital Cervical Incompetence jarang terjadi hampir pada 2 % pasien. Diduga karena adanya kelemahan daerah fibromuskular pada bagian atas serviks. Biasanya menyertai anomali ductus mullerian dan lebih sering terjadi pada wanita yang terpapar DES intrauterin. 2. Acquired Cervical Incompetence terutama terjadi pada pasien dengan riwayat satu kali atau lebih abortus pada midsemester dan 2/3 nya pernah mengalami dilatasi dan kuretase. Resiko meningkat pada abortus presipitatus secara berulangulang, namun relatif menurun setelah tahun 1973 ditemukan laminaria untuk menginduksi aborsi dan teknik yang lebih baik untuk dilatasi serviks. Dilatasi serviks diameter lebih dari 12 mm signifikan meningkatkan angka prematuritas, batas paling aman adalah 10 mm. Konisasi, amputasi, kauterisaasi serviks berperan penting untuk terjadinya inkompetensi serviks. Terjadinya abortus dan prematuritas setelah biopsi konisasi

19

menjadi lebih tinggi. Pada wanita nullipara berusia 21 sampai 25 tahun memiliki resiko tertinggi karena banyaknya jaringan yang terbuang karena serviks yang relatif kecil pada prosedur konisasi. Pada wanita dengan konisasi di atas 4 ml, angka prematuritas 31,7 % dan abortus spontan pada trimester kedua 18,2 % dibanding dengan konisasi kurang dari 4 ml adalah 3,2 % dan 6,5 %. Jika tinggi konisasi lebih dari 2 cm angka abortus pada trimester kedua adalah 21,7 % dibandingkan dengan tinggi kurang dari 2 cm adalah 12,3 %. 3. Inkompetensi serviks fisiologis terjadi pada wanita yang pertama kali mengalami kehamilan ganda, namun berhasil dengan menggunakan cervical cerclage. B. Diagnosis Gejala klasik adalah akut, tidak nyeri pada kehamilan trimester kedua yang tidak berhubungan dengan perdarahan atau kontraksi uterus dan berulang. Tapi beberapa pasien mengalami perdarahan dan kram abdominal. Beberapa diantaranya memiliki riwayat prematur ruptur membran sebelum adanya kontraksi, atau adanya penonjolan membran pada vagina. Abortus midsemester terjadi pada usia kehamilan yang sama menandakan adanya inkompetensi serviks. Pada pasien primigravida, dengan riwayat dilatasi dan kuretase, konisasi biopsi merupakan satu potensi untuk terjadinya inkompetensi serviks. 1. Wanita tidak hamil Sejumlah metode telah dikemukakan untuk membuat diagnosis pada wanita yang tidak hamil, yaitu biasanya melalui pemeriksaan untuk menemukan ostium internum servisis yang berdilatasi lebih lebar daripada keadaan normal. Metode tersebut termasuk pemeriksaan histerografi, teknik pull through dengan balon kateter Foley yang digembungkan dan tindakan memasukkan tanpa adanya tahanan alat

20

dilator serviks dengan ukuran khusus ke dalam ostium internum servisis uteri ( Ansari dan Reynolds, 1987). Jika Hegar dilator no 8 atau Pratt dilator no 15 atau 17 mudah masuk pada serviks maka serviks adalah inkompeten. Pemeriksaan histerosalpingografi penting untuk mengevaluasi canalis servikalis. Spekulum vagina harus diangkat atau diputar 90o searah jarum jam sehingga canalis servikalis berisi kontras yang terlihat jelas dan tidak terganggu oleh radioopaq karena spekulum. Canalis servikalis pada wanita dengan abortus habitual lebih besar dari wanita normal ( 6,09 0,98 mm vs 2,63 0,27 mm ). Diameter isthmus servical pada inkompetensi serviks lebih dari 6 mm. Metode lain dengan cara memeriksa resistensi serviks dengan pressure decay curve. Pertama dengan memasukkan dilator Hegar bila masuk ke dalam serviks tanpa tahanan kemudian masukan balon pada canalis servicalis sampai di atas isthmus lalu balon diisi dengan cairan fisiologis sampai tekanan 250 mmHg. Volume balon harus konstan, tekanan decay curve direkam sampai angka asimptom tercapai. Tahanan dilator lebih rendah pada wanita dengan inkompetensi serviks. 2. Wanita hamil Pada wanita yang hamil dan memiliki riwayat inkompeten serviks atau anomali uterus harus menjalani pemeriksaan serviks secara periodik, dinilai sejak kehamilan 10 atau 12 minggu. Jika terjadi penipisan dan atau dilatasi serviks menjadi indikasi untuk pemasangan cervical cerclage. Penderita juga harus diberitahu bila merasakan tekanan dan mengganjal di daerah perut bawah, tekanan dan rasa penuh di vagina, atau keluar cairan atau lendir adalah gejala dilatasi serviks yang progresif. Pada pemeriksaan vagina rutin hanya setengah bagian serviks yang dapat diraba oleh jari, sehingga interpretasi pemendekan serviks bersifat subjektif. Maka pemeriksaan ultrasonografi menjadi gold standar sehingga terjadinya dilatasi serviks dapat dideteksi sedini mungkin.

21

Panjang serviks pada wanita normal pada kehamilan trimester kedua adalah 2,5 sampai 6 cm. Pada inkompeten serviks panjang serviks kurang dari 2,5 cm. Proses terjadinya dilatasi serviks berawal dari orificium uteri interna ke arah bawah kemudian terjadi prolaps membran amnion ke dalam vagina. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan scanning abdomen naumn dengan pemeriksaan vaginal ultrasonografi lebih menguntungkan karena pendataran serviks tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan dengan ultrasonografi kandung kencing yang penuh membuat pasien tidak nyaman dan dapat memberi tekanan pad auterus bagian bawah sehingga pembukaan serviks menjadi meragukan. Sedangkan dengan scan longitudinal bentuk normal Y dapat terlihat jelas, namun dilatasi serviks bentuk V dan U tidak dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning transvaginal lebih akurat untuk melihat dilatasi serviks bagian proksimal. Pemeriksaan ultrasonografi transvaginal lebih menguntungkan dibandingkan dengan transabdominal karena uterus bagian bawah lebih mudah terlihat. Scanning transvaginal lebih menguntungkan untuk memeriksa adanya inkompetensi serviks yang dinamik, yaitu keadaan dimana tingkat dilatasi yang bervariasi dan dapat berubah saat pemeriksaan dengan ultrasonografi. Sehingga kompetensi serviks diperiksa dengan ultrasonografi transvaginal dengan cara tangan pemeriksa menekan dinding abdomen. Kelemahan serviks akan lebih jelas terlihat dengan metode ini. C. Penanganan Penanganan inkompetensi serviks yang nyata adalah dengan pembedahan. Pencegahan dengan menggunakan cerclage paling sering digunakan pada pasien dengan riwayat abortus pada trimester kedua atau persalinan prematur. Cerclage merupakan prosedur elektif yang dilakukan pada kehamilan antara 13 sampai 15 minggu. Setelah operasi segera diberikan tokolitik dengan -simpatomimetik untuk mengurangi iritabilitas uterus. Dianjurkan untuk bed rest 24 jam selama 2 sampai 3 hari post operatif. Pemeriksaan ultrasonografi untuk melihat serviks dilakukan secara

22

periodik untuk memastikan efektifitas prosedur ini dan melihat kehamilan terus berlanjut serta adanya kemungkinan anomali janin. Kontraindikasi cervical cerclage ini adalah perdarahan uterus, ruptur membran spontan, adanya kontraksi uterus, chorioamnionitis, dan dilatasi serviks lebih dari 4 cm.9 1. Shirodkar Cerclage Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Shirodkar, 1955. Dibuat incisi transversal di bagian anterior cervicovaginal junction dan kandung kencing di dorong ke atas setinggi orificium uteri interna. Kemudian di buat incisi vertikal di bagian posterior pada cervicovaginal junction. Sebuah pita 5 mm diikat mengelilingi serviks melalui incisi ini dan simpulnya diletakkan di posterior untuk menghindari erosi pada kandung kencing. Incisi ini ditutup dengan jahitan benang yang diserap. Kemudian ikatan ini dapat dibuka pada minggu ke 37 atau 38 bila akan dilakukan persalinan pervaginam, namun bila pasien ini sangat menginginkan anak maka ikatannya dibiarkan untuk melahirkan secara abdominal. Awalnya operasi ini menggunakan fascial band tetapi bahan ini licin sehingga simpul mudah lepas, dapat menyebabkan degenerasi myxoma karena sepsis, dan dapat menimbulkan jaringan parut. 2. McDonald Cerclage Metode yang pertama kali diperkenalkan oleh McDonald, 1957 ini lebih sederhana dan mudah dibandingkan dengan Shirodkar. Ini merupakan prosedur tertutup yang berlawanan dengan metode Shirodkar. Dengan jahitan continous pada batas mukosa vagina dan cara purse string pada serviks. Sebuah jahitan dibuat dari dalam keluar pada 4 atau 5 tempat sekeliling serviks dengan bahan yang tidak dapat diserap seperti Marseline dan simpulnya diletakkan di anterior. Pembuluh darah lateral dapat dihindari, sehingga dapat mencegah iskemik serviks. Bagian posterior serviks harus lebih diperhatikan karena pada daerah ini mudah terjadi pergeseran.

23

Jahitan dapat dilepas pada kehamilan 37 minggu bila akan dilakukan persalinan pervaginam. 3. Daya Cerclage Metode ini merupakan modifikasi cara McDonald dengan menggunakan 2 jahitan dan hasilnya lebih baik. Dengan anestesi spinal dilakukan cara McDonald dengan menggunakan pita Mersilene yang lebar sejajar dengan kandung kencing pada serviks, simpul diikat di anterior. Kemudian dipasang ikatan kedua pada 0,5 sampai 1 cm di bawah ikatan yang pertama. Sehingga tekanan yang makin tinggi pada kehamilan disalurkan pada permukaan yang lebih lebar karena serviks di antara dua jahitan terikat erat. Angka keberhasilannya 95 %. Jahitannya mudah dilepaskan pada minggu 37 sampai 38 kehamilan.

Gambar 11. Inkompetensi Serviks

24

4. Transabdominal Cerclage Metode ini dilakukan bila serviks pendek karena amputasi serviks, hipoplasia atau kegagalan pemasangan cervical cerclage.

Gambar 12. Inkompetensi serviks dengan tiga cara penanganannya D. Komplikasi Komplikasi dari teknik dengan menggunakan cervical cerclage adalah infeksi postoperatif, perdarahan , ruptur membran, ruptur uteri. 2.2.3.2.3. Perlengketan uterus, Synechia Uterine Keadaan ini dikenal sebagai Ashermans syndrome. Gejalanya berupa gangguan menstruasi seperti hypomenorrhea, amenorrhea dan infertilitas serta abortus berulang.

25

A. Etiologi Faktor kelainan anatomi uterus yang didapat ini disebabkan karena kerusakan endometrium yang luas akibat kuretase berulang pada waktu infeksi, missed abortion atau post partum, sehingga tidak terjadi implantasi.8,10 Adhesi terjadi karena kuretase endometrium, 76 % karena kuretase post abortus dan 22 % karena kuretase post partum. Keadaan ini terjadi karena sulitnya mengontrol kedalaman saat melakukan kuretase pada wanita hamila karena uterus lembek. Akibatnya lapisan basalis endometrium terlepas sehingga pertumbuhan endometrium terhambat dan adanya proses kontraksi uterus post partum maka uterus saling melekat.8,10 Kejadian adhesi uterus tergantung waktu melakukan kuretase, minggu kedua sampai minggu keempat setelah persalinan mudah terjadi adhesi, naum dalam 48 jam pertama post partum jarang menyebabkan perlengketan. Penyebab lain terjadinya adhesi uterus adalah tuberkulosis uterus, myomectomy, kuretase diagnostik dan setelah pemasangan kontrasepsi intrauterin. B. Diagnosis Bila terjadi adhesi total dapat menyebabkan amenorrhea. Gejalanya adlaah amenorrhea yang mengalami siklus ovulasi, misalnya nyeri perut bawah, suhu basal yang bifasik, meningkatnya serum progesteron dapat didiagnosis sebagai adhesi intra uterin namun harus dilanjutkan dengan pemeriksaan HSG atau histeroskopi. Pada histerosalpingography adanya perlengketan intrauterin tampak sebagai filling defek berbentuk lakuna dengan berbagai macam ukuran, Filling defek sifatnya ireguler, bersudut, berbatas tegas, opak homgen, persisten. Untuk diagnosis pasti adhesi intrauterin adalah dengan histeroskopi.8,10 Dengan hysteroskopi dapat digunakan untuk diagnosis dan terapi, yaitu dengan cara melepaskan perlengketan. Kemudian dengan pemasangan IUD dapat mencegah berulangnya perlengketan. Dapat juga menggunakan estrogen dosis tinggi selama 60 sampai 90 hari.8,10.

26

C. Penanganan Empat tujuan utama dalam penanganan synechia uteri : 1. Melisiskan perlengketan 2. Mencegah perlengketan berulang 3. Merangsang proliferasi endometrium 4. Verifikasi cavum menjadi normal 1. Melisiskan perlengketan Melisiskan dengan cara transcervikal yaitu secara diseksi tumpul saat melakukan dilatasi dan kuretase atau diseksi tajam saat hysteroscopy. Kekurangan metode ini adalah kita tidak dapat mengetahui apakah perlengketan telah lisis atau belum. Bila menggunakan histeroskopi kita dapat melepaskan perlengketan dengan cara melihat secara langsung menggunakan gunting, rektoskop atau laser. Perlengketan sifatnya avaskuler sehingga dapat digunakan gunting histeroskop.

2. Mencegah perlengketan berulang Metode yang telah berhasil adalah dengan meletakkan IUD atau foley kateter di dalam cavum uteri yang dipasang selama beberapa hari sampai 2 minggu. Kekurangan IUD adalah dapat terjadi perlengketan disekitarnya sehingga sulit untuk dilepaskan dan bila menggunakan foley kateter biasanya lebih cepat keluar. Karena alasan ini lebih baik menggunakan foley kateter. 3. Merangsang proliferasi endometrium Pemberian estrogen dapat merangsang regenerasi endometrium dan mempercepat proses penyembuhan. Dosis pemberiannya 1,25 sampai 2,5

27

mg/hari selama 1 sampai 2 bulan. Biasanya dikombinasikan dengan progestasional untuk merangsang withdrawal bleeding. 4. Verifikasi cavum menjadi normal Histerosalpingografi lebih mudah dan praktis, namun kurang akurat dan tidak tampak bila ada adhesi residual. Pada kehamilan setelah pengobatan adhesi intra uteri merupakan resiko tinggi untuk terjadinya persalinan prematur, abortus spontan dan plasenta acreta. 2.2.3.3. FAKTOR ENDOKRIN Faktor endokrinologi dihubungkan dengan abortus berulang karena terjadinya insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa terjadinya hipersekresi hormon LH (Luteinizing Hormon), Diabetes Mellitus atau kelainan kelenjar tiroid. 2.2.3.3.1. Insufisiensi Fase Luteal Sebagaimana kita ketahui pada kehamilan muda, dengan terbentuknya corpus luteum maka akan diproduksi hormon progesteron untuk mempertahankan kehamilan. Bila terjadi gangguan produksi ini oleh corpus luteum maka dapat terjadi abortus. Biasanya hal ini akan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 10 minggu. Teori lain menyebutkan bila terjadi sekresi LH yang abnormal maka akan terjadi efek langsung pada pertumbuhan oocyte dimana selanjutnya akan terjadi pematangan dini endometrium sehingga mudah terjadi abortus.3 2.2.3.3.2. Diabetes Mellitus Pada Diabetes Mellitus maka penyebab abortus disebabkan oleh adanya ganguan aliran darah di uterus terutama pada DM yang sudah lanjut, selain itu terjadi kenaikan haemoglobin A1 yang dapat menyebabkan abortus spontan.3

28

2.2.3.3.3. Penyakit Thyroid Penyakit thyroid sering terjadi pada wanita muda, diduga penyakit ini dapat menyebabkan abortus berulang namun kejadiannya sangat jarang.8,10. Kejadian hypotiroidea juga dapat berpengaruh dalam produksi hormon corpus luteum sehingga dapat menimbulkan abortus. Adanya reaksi antibodi antitiroid juga dapat menyebabkan abortus karena secara umum proses imunologi secara umum juga terganggu. Kehamilan yang sebenarnya harus disertai kenaikan hormon tiroid dan disini hal itu tidak terjadi.3 Informasi mengenai hipertyroid dapat menyebabkan abortus berulang sangat sedikit, karena biasanya wanita dengan hipertiroid sulit untuk hamil.8 2.2.3.4. FAKTOR IMMUNOLOGI Faktor imunologi sering dihubungkan dengan abortus ibu dan janin di dalam uterus yang mungkin banyak dipengaruhi oleh faktor imunologi. 2.2.3.4.1.Antibodi Antiphospholipid Antibodi antiphospholipid secara langsung membran sel. Mekanisme yang terjadi ialah antibodi antiphospholipid dapat menyebabkan penambahan tromboxan dan pengurangan sintesis prostasiklin yang menyebabkan penempelan trombosit pada pembuluh darah yang ada di plasenta. Dengan adanya peristiwa ini maka karakteristik kelainan plasenta ialah terjadinya infark, solusio plasenta dan perdarahan.3 Untuk penanganannya awalnya digunakan prednison 40 mg/hari dan aspirin 80 mg/hari namun saat ini dapat diatasi dengan pemberian heparin 7500 U secara sub cutan tiap 12 jam pada trimester pertama atau aspirin 80 mg tiap hari. Kortikosteroid sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan heparin karena efektifitasnya tidak lebih baik.2 mencegah pembentukan phospholipid yang merupakan komponen utama membran sel yaitu penting untuk fusi

29

Untuk wanita yang berhasil hamil setelah terapi ini, harus diawasi secara ketat pada masa antepartum.2 2.2.3.4.2. Disfungsi alloimune Wanita yang menderita abortus habitualis dengan karyotipe normal ditemukan adanya peningkatan sel natural killer di darahnya.8 Bila terdapat peningkatan sel natural killer pada wanita yang hamil, maka kemungkinan wanita ini akan mengalami abortus berulang. Walaupun trofoblast pada sisi maternal-fetal resisten terhadap lisis oleh sel sitotoksis T dan antibodi sitotoksis sel, namun telah dihancurkan oleh sel natural killer yang diaktivasi oleh sitokin seperti interleukin-2 yang menjadi limphokine-activated killer cell. Interaksi antara makrofag dan sel natural killer juga berperan pada kegagalan kehamilan melalui pelepasan -interferon dan tumor nekrosis-.8 Pengaruh natural killer sel ditentukan dengan faktor lokal dan sistemik. Pada uterus wanita yang mengalami abortus, ditemukan natural killer sel dengan konsentrasi yang tinggi. Diduga aktivitas sitotoksik ini terjadi pada sisi implantasi.8 A. Mekanisme supresi alloimune Beberapa mekanisme yang berhubungan dengan keberhasilan kehamilan. 1. Immunologic effect of progesteron Kehamilan terjadi pada aktivasi progesteron reseptor pada permukaan sel T CD8+. Progesteron menstimulasi sel T untuk mensekresi faktor 34-kDa yang menekan aktifitas sitolitik dari sel natural killer. Sehingga bila terdapat defisiensi progesteron maka supresi aktivitas sitolitik sel natural killer menjadi inadekuat, sehingga terjadi kegagalan kehamilan.8 2. Immunotrophism Immunotrophism adalah proses dimana sel T diaktifasi oleh trophoblast plasenta untuk memproduksi sitokin yang merangsang pertumbuhan trophoblast.

30

Dengan cara ini terbentuk barier plasenta yang kuat untuk pertahanan terhadap lisis oleh sel imun ibu.8 3. Sel T helper Sel Th 1 menghasilkan aktivasi sel T untuk memproduksi sitokin abortogenik seperti interleukin-1 dan -interferon. Sedangkan sel Th2 memproduksi interleukin3,-4, dan -10 yang membentuk formasi antibodi yang dapat menahan inflamasi dan aktivasi sel natural killer. Pada kehamilan yang normal terdapat pergeseran pada Th2 dimana aktivitas abortogenik terhambat. Trophoblast dan plasenta wanita dengan abortus berulang merangsang aktivitas sitokin Th1.8 4. Sel natural supresor Pada desidua, kumpulan sel limfosit kecil dapat merangsang trophoblast untuk menghasilkan faktor imunosupresor. Defisiensi sel supresor ini yang menyebabkan terjadinya abortus.8 B. Penanganan 1. Intravenous Immune globulin (IVIg) IVIg yang diberikan melalui infus menyebabkan supresi sel nuklear setelah 7 hari pemberian terapi.8 2. Imunoterapi Wanita yang mengalami abortus berulang yang tidak diketahui penyebabnya, lebih banyak yang berhasil hamil bila diberikan imunoterapi dengan monocyte allogenic dan IVIg dibandingkan yang tidak diberikan.8 2.2.3.5.FAKTOR INFEKSI Faktor infeksi dapat menyebabkan abortus masih banyak kontroversial. Infeksi traktus reproduksi oleh karena bakteri, virus, zooonotik dan jamur banyak dibicarakan tetapi mikoplasma, ureaplasma chlamydia dan -streptokokus banyak

31

dilaporkan cukup patogen untuk menyebabkan terjadinya kelainan pada vagina yang dapat menyebabkan reaksi imunologi dan mudah terhadinya abortus. Pada pengamatan lebih lanjut faktor ini dapat menganggu pertumbuhan janin, ketuban pecah dini dan mengakibatkan terjadinya partus prematurus.3 A. Diagnosis Untuk diagnosis pasti dilakukan kultur endometrium untuk mikroorganisme yang sering menyebabkan abortus berulang. B. Penanganan Terapi antibiotik adalah pilihan utama untuk mengatasi terjadinya abortus berulang akibat infeksi namun pengobatannya terutama tergantung etiologi infeksi. Biasanya antibiotik diberikan untuk kedua pasangan. 2.2.3.6. FAKTOR-FAKTOR LAIN Faktor-faktor lain yang dapat dikaitkan dengan abortus spontan berulang ialah faktor lingkungan yang terkena keracunan logam berat dan terkontaminasinya makanan dengan bahan pengawet dalam jangka panjang. Obat-obatan yang sering disebut ialah golongan anti progestogen, antineoplastik, obat-obat anestesia inhalasi, nikotin dan etanol, radiasi ion dan penyakit kronik dapat menyebabkan gangguan peredaran darah uterus, Thrombositosis dengan trombosit >1 juta juga dapat menyebabkan abortus spontan. Minum kopi bila jumlahnnya banyak melebihi 300 gran perhari dapat dihubungkan dengan kejadian abortus spontan. Kalauupun bertahan hal ini dapat menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Hubungan seksual tidak disebutkan berkaitan dengan abortus tetapi sering dihubungkan dengan terjadinya partus prematurus yang tentunya angka kematiannya dapat meningkat.3

32

2.2.4. MANAJEMEN KELOLA ABORTUS HABITUALIS Bila kita menghadapi seorang ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita harus mempelajari kasus ini dengan baik dengan melakukan pendataan tentang riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik. Perhatikan apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester ke dua. Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila tejadi pada trimester kedua maka faktor-faktor penyebab lebih cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompetensi serviks dan adanya myoma uteri serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Langkah-langkah yang dapat kita ikuti untuk mencari faktor-faktor yang potensial yang menyebabkan terjadinya abortus spontan yang berulang ialah sebagai berikut : Anamnesis 1. Kapan abortus terjadi. Apakah pada trimester pertama atau pada trimester berikutnya adakah penyebab mekanis yang menonjol. 2. Adanya riwayat kontak dengan zat kimia atau obat-obatan 3. Infeksi ginekologi dan obstetri 4. Gambaran terjadinya antiphospholipid syndrome" (trombosis, autoimmune phenomena) 5. Faktor genetika antara suami istri (kosanguinitas) 6. Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan sindroma yang berkaitan dengan kejadian abortus spontan ataupun partus prematurus yang kemudian meninggal. 7. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat.

33

Pemeriksaan fisik 1. Pemeriksaan fisik secara umum Pemeriksaan fisik secara umum harus dilakukan untuk mencari gejala penyakit metabolik. 2. Pemeriksaan ginekologi Saat pemeriksaan daerah panggul dicari tanda-tanda infeksi, bentuk dan ukuran uterus, trauma berulang.3 Pemeriksaan laboratorium 1. Karyotipe darah tepi kedua orang tua 2. Histerosalpingografi diikuti dengan histeroskopi atau laparoskopi bila ada indikasi 3. Biopsi endometrium pada fase luteal 4. Pemeriksaan hormone TSH dan antibody anti tiroid 5. Antibodi antiphospholipid (kardiolipin, phosphatidylserine) 6. Lupus antikoagulan (a partial thromboplastin time or Russel Viper Venom) 7. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit 8. Kultur cairan serviks (mycoplasma, ureaplasma, Chlamidia) bila diperlukan. Pengobatan Setelah dilakukan investigasi maksimal, bila sudah terjadi konsepsi baru pada ibu dengan riwayat abortus berulang maka kita perlu memberikan support psikologik untuk mendapatkan pertumbuhan embrio intra uterin yang baik. Kenali kemungkinan terjadinya anti phospholipids sindroma atau mencegah terjadinya infeksi intra uterin. Pemeriksaan kadar -HCG secara periodic pada awal kehamilan dapat membantu pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemeriksaan USG dapat dikerjakan. Gold standart untuk memonitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan USG, dikerjakan setiap dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami kegagalan (abortus). Pada keadaan embrio tidak terdapat gerakan jantung janin maka perlu

34

segera dilakukan evakuasi serta pemeriksaan kariotip jaringan hasil konsepsi tersebut.3 Pemeriksaan serum -fetoprotein perlu dilakukan pada usia kehamilan 16 18 minggu. Pemeriksaan kariotip dari buah kehamilan dapat dilakukan dengan melakukan amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya buah kehamilan.3 Bila belum terjadi kehamilan pengobatan dilakukan sesuai dengan hasil investigasi yang ada. Pengobatan disini termasuk memperbaiki kualitas sel telur atau spermatozoa, kelainan anatomi, kelainan endokrin, infeksi dan berbagai variasi hasil pemeriksaan reaksi imunologi. Pengobatan pada penderita yang mengidap pecandu obat perlu dilakukan juga. Konsultasi psikologi (counseling) juga akan sangat membantu.3 Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengobatan secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomali antomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor imunologi, anti phospholipid sindroma, terapi imunoglobulin atau imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini merupakan suatu pekerjaan besar dan memerlukan pengamatan yang memadai untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

35

Detailed History and Physical Positive Antibodies Heparin & Aspirin Abnormal Luteal Phase First Trimester X-ray uterus & tubes chromosome analysis Lupus Anticoagulant (antibodies) Anticardiolipins (antibodies) Evaluate lupus phase Date follicle rupture Abnormal X-ray Second Trimester

Abnormal Kromosom Donor egg/sperm

Delayed Ovulation Ovulation Induction

Progesterone

X-ray uterus & tubes

Uterine Anomaly Septum

Bicornuate

Scarring

Fibroids

Unification Surgery (Metroplasty)

Hysteroscopy

Myomectomy

Septoplasty Incompetent Cerviks Fibroids

Cerclage

Myomectomy

Gambar 13. Skema pengelolaan abortus habitualis (Sumber : http :// www.fertilitynetwork comarticles-miscarriage.htm)

36

Prognosis Keberhasilan untuk terjadinya kehamilan normal setelah mengalami sbortus berulang tergantung etiologi yang menyebabkan abortus. Berdasarkan survey epidemiologi, kesempatan untuk terjadi abortus kembali setelah abortus pertama adalah 22 %, 38 % setelah abortus kedua dan 73 % setelah tiga kali abortus.8 Prognosis untuk hamil kembali karena abnormalitas sitogenik adalah 20 sampai 80%. Wanita yang telah menjalani operasi untuk mengoreksi kelainan anatomi uterus prognosisnya 60 sampai 90 % kasus dan lebih dari 90% wanita berhasil hamil setelah mendapat terapi pada wanita dengan kelainan endoktrin. Antara 70 sampai 90 % wanita yang menerima terapi untuk antiphospholipid antibodi dapat hamil normal.

37

BAB III KESIMPULAN Abortus adalah komplikasi utama pada kehamilan. Abortus habitualis merupakan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian khusus. Saat ini sudah ada penanganan yang tepat dan aman untuk mengatasi abortus berulang. Sejak wanita didiagnosis abortus habitualis maka wanita ini harus melakukan beberapa pemeriksaan untuk mencegah terjadinya abortus kembali dan melahirkan janin yang viabel. Pemeriksaan yang dilakukan termasuk genetik, anatomi, endokrinologi dan faktor imunologi. Penanganannya tergantung etiologi masing-masing. Adanya pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu peninjauan janin dalam uterus.

38

DAFTAR PUSTAKA 1. Carolyn Coulam. Reccurent Spontaneous Abortion. In : Quilligan, Zuspan. Current therapy In Obstetrics and Gynecology. 5th edition. New York : W.B. Saunders, 2000; 349 354 2. Scott james. Early Prregnancy Loss. In : Danforths Obstetrics and Gynecology. 8th edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2000; 10 : 143 - 153 3. Bantuk Hadijanto Abortus spontan Berulang. Dalam : Ilmu kedokteran fetomaternal, edisi perdana. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, 2004; 326 - 334 4. Sofie R.Krisnadi. Kelainan Lama Kehamilan. Dalam : Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi, edisi 2. Jakarta : EGC, 2005; 1-9 5. Michael J. Bennet. Abortus . Dalam : Esensial obstetri dan Ginekologi, edisi 2. Jakarta : Hipokrates, 2001; 452 - 462 6. Garmel S. Early Pregnancy Risks. In : Current Obstetrics & Gynecologic Diagnosis & Treatment. 9th edition. Boston : Mc Ggraw Hill, 2003; 14 : 276 278 7. Hill JA. Reccurent Spontaneous Early Pregnancy Loss. In : Jonathan Novaks Gynecology, 13th editin. Baltimore : Williams & Wilkins, 2002; 28 : 963 973 8. Daya salim. Habitual abortion. In : Copeland, Jarrel. Textbook of Gynecology. 2nd edition. Philadelphia : W.B. Saunders company, 2000; 9 : 227 - 265 9. F.Gary Cunningham. Abortion. In : Williams Obstetrics, 22nd edition. United States of America : Mc-Graw-Hill Companies, 2005; 231-241 10. Maternal and Fetal Medicine. In : Sciarra JJ Gynecology and Obstetrics. Vol 3. Revised edition. Philadelphia : Lippincott-Raven Publishers, 1995;69 : 10 23

39

11. Stirrat, wardle. Reccurent miscarriage. In : James D, Steer P, Weiner C, et al. High Risk Pregnancy Management Options. Second edition. North Yorkshire : W.B. Saunders, 2001; 7 : 91 107 12. Llewellyn, jones. Abortion. In : Findamentals of Obstetrics and Gynecology. 7th edition. London : Mosby, 2001 ; 12 : 105 - 112 13. www.emedicine.com/radio/topic738.htm 14. Rustam Mochtar. Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jakarta : EGC, 1998; 34 : 209 -217

40

41

Você também pode gostar