Você está na página 1de 35

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan menjadi pencetus terjadinya AIDS.( 1)

Infeksi HIV mulai merupakan masalah kesehatan anak yang penting di banyak negara. lebih dari 6,5 juta perempuan di Indonesia jadi populasi rawan tertular HIV. Lebih dari 30% diantaranya melahirkan bayi yang tertular HIV. Penularan HIV ke bayi dan anak bisa dari ibu ke anak, penularan melalui darah, penularan melalui hubungan seks (pelecehan seksual pada anak).
(1).

Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur

tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar 83% antara tahun 1992 sampai 2001. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.(2)

Laporan triwulanan Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) bulan Juni 2011 menunjukkan jumlah kasus HIV dengan faktor risiko transmisi perinatal (dari ibu dengan HIV ke bayinya) sebanyak 742 kasus (2)

Saat ini World Health Organization (WHO) memperkirakan 2,7 juta anak di dunia telah meninggal karena AIDS. di Afrika acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) menjadi penyebab pertama kematian anak. (2)

1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas mengenai patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan infeksi HIV pada anak.

1.3 Tujuan Penulisan Mengetahui patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan infeksi HIV pada anak.

1.4 Metode Penulisan Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai literatur.

BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Definisi HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Artinya bahwa HIV berbeda dengan AIDS tetapi HIV memungkinkan untuk menjadi pencetus terjadinya AIDS. Sampai saat ini masih ditemukan beberapa kontraversi tentang ketepatan mekanisme perusakan sistem imun oleh HIV. (2)

Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis copy DNA dari genon RNA. Virus ini masuk dalam sub familia lentivirus berdasarkan kesamaan segmen genon, morfologi dan siklus hidupnya. Sub familia lentivirus mempunyai sifat dapat menyebabkan infeksi laten, mempunyai efek sitopatik yang cepat, perkembangan penyakit lama dan dapat fatal. (2)

2.2 Epidemiologi Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1987 sampai dengan tahun 2011, kasus AIDS telah tersebar di 368 (73,9%) dari 498 kabupaten/kota di Indonesia. Pada tahun 2011 tercatat kasus AIDS terbesar justru terjadi pada kelompok ibu rumah tangga (22%) dan 2,7% kasus AIDS ditularkan dari ibu HIV positif ke bayinyanya. Lebih dari 90% kasus anak yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak. Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, pada saat persalinan, dan selama menyusui.(3)

2.3 Etiologi Virus penyebab defisiensi imun yang dikenal dengan nama Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLVIII), lymphadenipathy-associated virus (LAV) dan AIDS-associated virus. (4)

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut. (4)

2.4 Patogenesis Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi. (5)

Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik. Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4. Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4 pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV. Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa. HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6 minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome (demam, rash, limfadenopati, atrhralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah CD4 yang meningkat sedikit. (5)

Mekanisme utama infeksi HIV adalah melalui perlekatan selubung glikoprotein virus gp120 pada molekul CD4. (5)

Partikel HIV yang berikatan dengan molekul CD4 kemudian masuk ke dalam sel hospes melalui fusi antara membran virus dengan membran sel hospes dengan bantuan gp41 yang terdapat pada permukaan membran virus. Molekul CD4 banyak terdapat pada sel limfosit T helper/ CD4+, narnun sel-sel lain seperti makrofag, monosit, sel dendritik, sel langerhans, sel stem hematopoetik dan sel mikrogial dapat juga terinfeksi HIV melalui ingesti kombinasi virus-antibodi atau melalui molekul CD4 yang diekspresikan oleh sel tersebut. (5)

2.5 Cara Penularan Transmisi HIV secara umum dapat terjadi melalui empat jalur, yaitu : (6) 1. Kontak Seksual HIV terdapat pada cairan mani dan sekret vagina yang akan ditularkan virus ke sel, baik pada pasangan homoseksual atau heteroseksual. 2. Tranfusi HIV ditularkan melalui tranfusi darah baik itu tranfusi whole blood, plasma, trombosit, atau fraksi sel darah Iainnya. 3. Jarum yang Terkontaminasi Transmisi dapat terjadi karena tusukan jarum yang terinfeksi atau bertukar pakai jarum di antara sesama pengguna obat-obatan psikotropika. 4. Transmisi Vertikal (perinatal) Wanita yang teinfeksi HIV sebanyak 15-40% berkemungkinan akan menularkan infeksi kepada bayi yang baru dilahirkannya melalui plasenta atau saat proses persalinan atau melalui air susu ibu.

Masih belum diketahui secara pasti bagaimana HIV menular dari ibu kebayi. Namun, kebanyakan penularan terjadi saat persalinan (waktu bayinya lahir). Selain itu, bayi yang disusui oleh ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut:

Gambar . Transmisi dari ibu ke anak


6

2.6 Faktor Resiko Ada dua faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi: 1. Faktor ibu dan bayi

a.

Faktor ibu

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada menjelang ataupun saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya. Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang. (6)

b.

Faktor bayi Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah Melalui ASI yang diberikan pada usia enam bulan pertama bayi Bayi yang meminum ASI dan memiliki luka di mulutnya (6)

BAB III DIAGNOSIS

3.1 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis infeksi bervariasi antara bayi, anak-anak dan remaja. Pada kebanyakan bayi pemeriksaan fisik biasanya normal. Gejala inisial dapat sangat sedikit, seperti limfadenopati, hepatosplenomegali, atau yang tidak spesifik seperti kegagalan untuk tumbuh, diare rekuren atau kronis, pneumonia interstitial. Di Amerika dan Eropa sering terjadi gangguan paru-paru dan sistemik, sedangkan di Afrika lebih sering terjadi diare dan malnutrisi. (6)

Terdapat berbagai klasifikasi klinis HIV/AIDS 2 diantaranya menurut enter for Disease Control and Prevention (CDC) dan World Health Organization (WHO).

Klasifikasi HIV menurut CDC pada anak menggunakan 2 parameter yaitu status klinis dan derajat gangguan imunologis, lihat tabel

Tabel 3.1. Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia

KATEGORI IMUNOLOGIS DEFINISI STATUS JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT TERHADAP USIA 0 1 tahun L 1. Nonsuppressed 2. Moderate suppression 3. Severe suppression 1500 750-1499 <750 % 25% 15-24% <15% 1-5 tahun L 1000 500-999 <500 % 25% 15-24% <15% 6-12 tahun L 500 200-499 <200 % 25% 15-24% <15%

IMUNOLOGIS

Tabel 3.2. Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis

Klasifikasi Secara Klinis DEFINISI IMUNOLOGIS STATUS N : Tanpa A : Gejala B : Gejala C : Gejala Gejala dan dan Tanda dan Tanda dan Tanda Tanda 1. Nonsuppressed 2. Moderate suppression 3. Severe suppression N1 A2 A3 Ringan A1 C2 C3 Sedang B1 B2 B3 Berat C1 C2 C3

Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun. Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A. Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk kategori B atau C : Lymphadenopathy ( 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral dianggap sebagai satu kesatuan). Hepatomegali Splenomegali Dermatitis Parotitis URTI berulang atau persisten

Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-gejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV Anemia (<8g/dl) neutropenia (< 1000/ul), trombositopenia (<100.000/ul)menetap > 30 hari Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode). Candidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam bulan atau kurang. Kardiomiopati. Infeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan. Diare Hepatitis Stomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu tahun). Bronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum usia satu bulan. Herpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom. Leiomyosarcoma Pneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks. Nefropati. Nocardiosis. Demam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih. Toksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan. Varicella diseminata atau dengan komplikasi.

10

Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada pasien AIDS. Kandidiasis bronki, trakea, dan paru Kandidiasis esofagus Kanker leher rahim invasif Coccidiomycosis menyebar atau di paru Kriptokokus di luar paru Retinitis virus sitomegalo Ensefalopati yang berhubungan dengan HIV Herpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan Bronkhitis, esofagitis dan pneumonia Histoplasmosis menyebar atau di luar paru Isosporiasi intestinal kronis > 1 bulan Sarkoma Kaposi Limfoma Burkitt Limfoma imunoblastik Limfoma primer di otak Mycobacterium Avium Complex (MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru M. Tuberculosis dimana saja Ikobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru Pneumonia Pneumoncystitis carinii Pneumonia berulang Leukoensefalopati multifokal progresif Septikemia salmonella yang berulang Toksoplasmosis di otak

11

Sedangkan klasifikasi WHO pada anak berumur < 13 tahun dengan konfirmasi laboratorium untuk infeksi HIV (HIV Ab pada umur > 18 bulan, tes virologi DNA atau RNA untuk umur < 18 bulan) yaitu: 7

STADIUM 1 Tanpa gejala (asimtomatik) Limfadenopati generalisata persisten (Persistent generalized lymphadenopathy=PGL) 7

STADIUM 2 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan Erupsi pruritik papular Dermatitis seboroik Infeksi jamur pada kuku Keilitis angularis Eritema Gingiva Linea - Lineal gingival erythema (LGE) Infeksi virus human papilloma (wart) yang luas atau moluskum kontagiosum (> 5% area tubuh) Luka di mulut atau sariawan yang berulang (2 atau lebih episode dalam 6 bulan) Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan Herpes zoster Infeksi respiratorik bagian atas yang kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, atau lebih episode dalam periode 6 bulan) 7

STADIUM 3 Gizi kurang yang tak dapat dijelaskan dan tidak bereaksi terhadap pengobatan baku Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (> 14 hari) Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (intermiten atau konstan, selama > 1 bulan) Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu pertama kehidupan) Oral hairy leukoplakia Tuberkulosis paru Pneumonia bakteria berat yang berulang (2 atau lebih episode dalam 6 bulan) Gingivitis atau stomatitis ulseratif nekrotikans akut LIP (lymphoid interstitial pneumonia) simtomatik
12

Anemia yang tak dapat dijelaskan (< 8 g/dl), neutropenia (< 500/mm3) atau Trombositopenia (< 30.000/mm3) selama lebih dari 1 bulan 7

STADIUM 4 Sangat kurus (wasting) yang tidak dapat dijelaskan atau gizi buruk yang tidak bereaksi terhadap pengobatan baku Pneumonia pneumosistis Dicurigai infeksi bakteri berat atau berulang (2 atau lebih episode dalam 1 tahun, misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, meningitis, tidak termasuk pneumonia) Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial atau kutaneous selama > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun) Tuberkulosis ekstrapulmonal atau diseminata Sarkoma Kaposi Kandidiasis esophagus Anak < 18 bulan dengan symptomatic HIV seropositif dengan 2 atau lebih dari hal berikut: Oral thrush, +/ pneumonia berat, +/ gagal tumbuh, +/ sepsis berat2 Infeksi sitomegalovirus (CMV) retinitis atau pada organ lain dengan onset > 1 bulan Toksoplasmosis susunan syaraf pusat (di luar masa neonatus) Kriptokokosis termasuk meningitis Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, koksidiomikosis, penisiliosis) Kriptosporidiosis kronik atau isosporiasis (dengan diare > 1 bulan) Infeksi sitomegalovirus (onset pada umur >1 bulan pada organ selain hati, limpa atau kelenjar limfe) Penyakit mikobakterial diseminata selain tuberkulosis Kandida pada trakea, bronkus atau paru Acquired HIV-related recto-vesico fistula Limfoma sel B non-Hodgkins atau limfoma serebral 7

13

Gejala yang menunjukkan kemungkinan infeksi HIV pada anak antara lain: (7)

Infeksi berulang: tiga atau lebih episode infeksi bakteri yang lebih berat (seperti pneumonia, meningitis, sepsis, selulitis) pada 12 bulan terakhir. Thrush: Eritema pseudomembran putih di langit-langit mulut, gusi dan mukosa pipi. Pasca masa neonatal, ditemukannya thrush tanpa pengobatan antibiotik, atau berlangsung lebih dari 30 hari walaupun telah diobati, atau kambuh, atau meluas melebihi bagian lidah kemungkinan besar merupakan infeksi HIV. Juga khas apabila meluas sampai di bagian belakang kerongkongan yang menunjukkan kandidiasis esofagus.

Parotitis kronik: pembengkakan parotid uni- atau bi-lateral selama 14 hari, dengan atau tanpa diikuti rasa nyeri atau demam. Limfadenopati generalisata: terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada dua atau lebih daerah ekstra inguinal tanpa penyebab jelas yang mendasarinya. Hepatomegali tanpa penyebab yang jelas: tanpa adanya infeksi virus yang bersamaan seperti sitomegalovirus. Demam yang menetap dan/atau berulang: demam (> 38 C) berlangsung 7 hari, atau terjadi lebih dari sekali dalam waktu 7 hari. Disfungsi neurologis: kerusakan neurologis yang progresif, mikrosefal, perkembangan terlambat, hipertonia atau bingung (confusion). Herpes zoster. Dermatitis HIV: Ruam yang eritematus dan papular. Ruam kulit yang khas meliputi infeksi jamur yang ekstensif pada kulit, kuku dan kulit kepala, dan molluscum contagiosum yang ekstensif.

Penyakit paru supuratif yang kronik (chronic suppurative lung disease).

Gejala yang umum ditemukan pada anak dengan infeksi HIV, tetapi juga lazim ditemukan pada anak sakit yang bukan infeksi HIV, antara lain: (7) Otitis media kronik: keluar cairan/nanah dari telinga dan berlangsung 14 hari Diare Persisten: berlangsung 14 hari Gizi kurang atau gizi buruk: berkurangnya berat badan atau menurunnya pertambahan berat badan secara perlahan tetapi pasti dibandingkan dengan pertumbuhan yang seharusnya, sebagaimana tercantum dalam KMS. Tersangka HIV terutama pada bayi berumur < 6 bulan yang disusui dan gagal tumbuh.
14

Gejala atau kondisi yang sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV positif, antara lain:
(7)

Pneumocystis pneumonia (PCP) kandidiasis esophagus lymphoid interstitial pneumonia (LIP) atau sarkoma Kaposi.

Keadaan ini sangat spesifik untuk anak dengan infeksi HIV. Fistula rekto-vaginal yang didapat pada anak perempuan juga sangat spesifik tetapi jarang.

3.2 Voluntary Counseling and Testing (VCT) Dalam melakukan layanan VCT pada Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT), kita perlu memperhatikan hal-hal yang akan diuraikan berikut ini. Pada awal pertemuan, harus dijelaskan perlunya menjaga kerahasiaan status HIV sama dengan penyakit lainnya sesuai dengan etika pelayanan pasien. Tetapi karena saat ini masih tingginya stigma dan diskriminasi di masyarakat maka perlu lebih berhati-hati dalam memberikan informasi kepada pasien, keluarga, masyarakat, dan pihak
8

ketiga

sehubungan

dengan

pembiayaan/pekerjaan (misalnya asuransi atau perusahaan).

Syarat VCT Terdapat konseling sebelum (pre-test) dan sesudah tes HIV (post-test) Dilakukan secara sukarela Terdapat persetujuan tertulis (informed consent) dari klien Dilakukan secara rahasia 8

Tujuan Konseling dan Tes HIV Berperan penting dalam mengidentifikasi perempuan HIV positif untuk memberikan pelayanan kepadanya Memberikan pijakan untuk pengobatan, perawatan, dan dukungan HIV/AIDS yang komprehensif Membantu mengidentifikasi dan mengurangi perilaku-perilaku yang menambah risiko penularan HIV 8

15

Prinsip-Prinsip Pedoman Konseling dan Tes HIV dalam PMTCT

Rahasia (Konfidensialitas): Semua informasi pasien disimpan secara rahasia Informasi hanya dibagi dengan konselor yang terlibat langsung menangani-dan hanya atas dasar hal yang harus diketahui Semua catatan dan daftar medis disimpan dalam tempat yang aman

Izin yang Diberikan (Informed Consent): Menjelaskan maksud, keuntungan, dan kerugian tes Menegaskan pemahaman mengenai proses konseling dan tes Menghargai keputusan klien mengenai tes

Dukungan dan pelayanan pasca-tes: Selalu sampaikan hasil tes secara langsung dan individual Berikan informasi pasca-tes yang tepat Tawarkan konseling atau rujukan 8

Indikasi untuk Konseling HIV

Konseling HIV perlu dilakukan pada situasi berikut:

1. Anak yang status HIV-nya tidak diketahui yang menunjukkan tanda klinis infeksi HIV dan/atau faktor risiko (misalnya ibu atau saudaranya menderita HIV/AIDS) Tentukan apakah akan dilakukan konseling atau merujuknya. Jika anda yang melakukan konseling, sediakan waktu untuk sesi konseling ini. Minta saran dari konselor lokal yang berpengalaman, sehingga setiap nasihat yang diberikan akan konsisten dengan apa yang nantinya akan diterima ibu dari konselor profesional. Jika tersedia, upayakan tes HIV, sesuai pedoman nasional, untuk memastikan diagnosis klinis, mempersiapkan ibu tentang masalah yang berkaitan dengan HIV, dan membahas pencegahan penularan ibu ke anak yang berikutnya. Jika konseling tidak dilakukan di rumah sakit, jelaskan pada orang tuanya alasan mereka dirujuk ke tempat lain untuk konseling.

16

2. Anak dengan infeksi HIV tetapi respons terhadap pengobatan kurang baik, atau membutuhkan penyelidikan lebih lanjut Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling: Pemahaman orang tua tentang infeksi HIV Tatalaksana masalah yang ada saat ini Peran dari pengobatan antiretroviral Perlunya merujuk ke tingkat yang lebih tinggi, jika perlu Dukungan dari kelompok di masyarakat, jika ada.

3. Anak dengan infeksi HIV dengan respons yang baik terhadap pengobatan dan akan dipulangkan (atau dirujuk ke program perawatan di masyarakat untuk dukungan psikologis) Diskusikan hal berikut ini pada saat sesi konseling: Alasan dirujuk ke program perawatan di masyarakat Pelayanan tindak lanjut Faktor risiko untuk sakit di kemudian hari Imunisasi dan HIV Ketaatan dan dukungan pengobatan antiretroviral. 8

3.3 Pemeriksaan Penunjang Seperti yang telah dijelaskan di atas, sebelum melakukan tes HIV kita harus melakukan konseling terlebih dahulu. Berikut ini adalah urutan-urutan yang harus kita lakukan: Konseling sebelum tes (pre-test) Pengambilan sampel tes darah bagi yang setuju dites Sampel darah diproses (pada lokasi atau melalui laboratorium) oleh petugas terlatih dan tersertifikasi. Metode pemeriksaan laboratorium sesuai dengan kriteria dan kebijakan nasional Hasil disampaikan kepada klien oleh konselor. Memberikan konseling pasca tes (post-test), dukungan, dan referensi pasca-tes

17

Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests)

Tes cepat makin tersedia dan aman, efektif, sensitif dan dapat dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak mulai umur 18 bulan. Untuk anak berumur < 18 bulan, tes cepat antibodi HIV merupakan cara yang sensitif, dapat dipercaya untuk mendeteksi bayi yang terpajan HIV dan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak yang tidak mendapat ASI. 7 Diagnosis HIV dilaksanakan dengan merujuk pada pedoman nasional yang berlaku di Indonesia yaitu dengan strategi III tes HIV yang menggunakan 3 jenis tes yang berbeda dengan urutan tertentu sesuai yang direkomendasikan dalam pedoman atau dengan pemeriksaan virus (metode PCR). 7 Tes cepat HIV dapat digunakan untuk menyingkirkan infeksi HIV pada anak dengan malnutrisi atau keadaan klinis berat lainnya di daerah dengan prevalensi tinggi HIV. Untuk anak berumur < 18 bulan, semua tes antibody HIV yang positif harus dipastikan dengan tes virologis sesegera mungkin. Jika hal ini tidak tersedia, ulangi tes antibodi pada umur 18 bulan. 7

Tes virologis

Tes virologis untuk RNA atau DNA yang spesifik HIV merupakan metode yang paling dipercaya untuk mendiagnosis infeksi HIV pada anak berumur < 18 bulan. Sampel darah harus dikirim ke laboratorium khusus yang dapat melakukan tes ini (dirujuk ke RS daerah yang menjadi rujukan untuk program perawatan, dukungan dan pengobatan HIV - PDP). Jika anak pernah mendapatkan pencegahan dengan zidovudine (ZDV) selama atau sesudah persalinan, tes virologis tidak dianjurkan sampai 4-8 minggu setelah lahir, karena ZDV mempengaruhi tingkat kepercayaan tes. 7 Satu tes virologis yang positif pada 4-8 minggu sudah cukup untuk membuat diagnosis infeksi pada bayi muda. Jika bayi muda masih mendapat ASI dan tes virologis RNA negatif, perlu diulang 6 minggu setelah anak benar-benar disapih untuk memastikan bahwa anak tidak terinfeksi HIV. 7

18

BAB IV PENATALAKSANAAN Tata laksana awal adalah memberi konseling pada orangtua kondisi infeksi HIV dan resiko infeksi oportunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV). (7)

4.1 Pengobatan Antiretroviral

Obat Antiretroviral (ARV) makin tersedia secara luas dan mengubah dengan cepat perawatan HIV/AIDS. Obat ARV tidak untuk menyembuhkan HIV, tetapi dapat menurunkan kesakitan dan kematian secara dramatis, serta memperbaiki kualitas hidup pada orang dewasa maupun anak. Resistensi terhadap obat tunggal atau ganda bisa cepat terjadi, sehingga rejimen obat tunggal merupakan kontraindikasi, Oleh karena itu minimal 3 obat merupakan baku minimum yang direkomendasikan.

Obat antiretroviral

Obat ARV terdiri dari tiga golongan utama yaitu: Nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NRTI), Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI), Protease inhibitors (PI)

Baku pengobatan adalah Triple therapy. WHO merekomendasikan bahwa rejimen lini pertama adalah 2 NRTI ditambah satu obat NNRTI. Penggunaan triple NRTI sebagai lini pertama, saat ini dianggap sebagai alternatif kedua. Protease inhibitor biasanya direkomendasikan sebagai bagian dari rejimen lini kedua pada sebagian besar fasilitas dengan sumber daya terbatas. EFV (Efavirenz) adalah pilihan NNRTI untuk anak yang diberi rifampisin, jika pengobatan harus dimulai sebelum pengobatan anti tuberkulosis tuntas diberikan.
7

19

Tabel 4.1 Penggolongan obat ARV yang direkomendasikan untuk anak di fasilitas dengan sumber daya terbatas 7

Nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors (NRTI) Zidovudine Lamivudine Stavudine Didanosine Abacavir ZDV (AZT) 3TC d4T ddI ABC

Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) Nevirapine Efavirenz NVP EFV

Protease inhibitors (PI) Nelfinavir Saquinavir NFV Lopinavir/ritonavir LPV/r SQV

Tabel 4. 2 Kemungkinan Rejimen Pengobatan Lini Pertama Untuk Anak Zidovudine (ZDV) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)/Efavirenz (EFV)1 Stavudin (d4T) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)/Efavirenz (EFV) Abacavir (ABC) + Lamivudine (3TC) + Nevirapine (NVP)/Efavirenz (EFV)

*Berikan Efavirenz hanya untuk anak > 3 tahun Efavirenz merupakan pengobatan pilihan untuk anak yang mendapat rifampisin untuk tuberkulosis

20

Tabel 4.3. Dosis Obat ARV ZDV (AZT) (Zidovudine, Retrovir*) Pediatrik (rentang dosis 90 mg-180mg/m2 LPB) Oral 160 mg/m2 LPB tiap 12 jam 6-7 mg/kg/1xl Adolesen 3x200 mg/200mg/ hari, atau 2x300 mg/hari 3TC (Lamivudine, Viracept*) Pediatrik 4 mg/kg, 2x sehari dosis terapi Adolesen BB <50 kg: 2 mg/kg, 2x sehari BB 50 kg: 2x150 mg/hari NFV (Nevirapine, Viramune*) Pediatrik 20-30 mg/kg, dapat sampai 45 mg/kg, 3x sehari Aldolesen 2x1250 mg/hari, 3x750 mg/hari NVP (Nevirapine, Viramune*) Pediatrik -14 hari pertama: inisial 5 mg/kg sekali sehari (max.200 mg) -14 hari kedua dosis 5 mg/kg/dosis 2 kali sehari -selanjutnya dosis 7 mg/kg/dosis 2 kali sehari untuk anak <8 tahun >8 tahun-aldolesen -dosis inisial 1x200 mg sehari selama 14 hari kemudian naikkan menjadi 2x200 mg bila tidak terdapat rash atau reaksi simpang obat lain. Stavudin (d4T/Stavir*) Efavirenz (Sustiva*) 1 mg/kg/dosis diberikan 2 kali sehari Anak 3 tahun : 10-<15 kg:200mg; 15-,20 kg:250mg; 20-<25kg: 300mg; 25-32,5

kg:350mg, 32,5-<40kg:400 mg TMP/SMX (Kotrimoksasol) untuk pneumocytis carinii Profilaksis: 2,5 mg TMP/kg, 2x sehari, 3 kali seminggu Pengobatan (setelah 5 mg zidovudin); 810mg mg/kg/hari dalam 2 kali pemberian setiap hari
21

Rekomendasi WHO untuk memulai pemberian ARV pada bayi dan anak

Bayi dan anak yang diagnosis infeksi HIV sudah tegak harus segera diberi ARV bila: Bila dalam stadium 4 WHO atau kategori C CDC (tidak memperhatikan nilai CD4) Stadium 3 WHO atau kategori B CDC (tanpa memperhatikan nilai CD4 meskipun dapat membantu Untuk anak >12 tahun dengan infeksi TB paru dan lymphocyticntersitial pneumonia atau oral hairy leukopenia atau trombositopenia, bila pemeriksaan CD4

memungkinkan, pemberian ARV dapat ditunda bila nilai CD4 di atas ambang indikasi ARV (>15%) Stadium 2 WHO tau kategori A CDC dan CD4 15% Satdium 1 WHO atau N/A CDC dan nilai CD4 pada ambang batas atau dibawahnya

Bayi dan anak umur <18 bulan dengan hasil tes antibodi positif dan mungkin dilakukan uji virologik dan konfirmasi, harus diberi ARV bila secara klinis didiagnosis HIV yang berat. 7

Pengobatan Lini Kedua Jika tidak tersedia CD4 rutin atau pemeriksaan virologi, keputusan tentang kegagalan pengobatan harus dibuat berdasarkan: Kemajuan klinis Penurunan CD4 sebagaimana ditunjukkan pada tabel di atas.

Pada umumnya, pasien harus menerima ART selama 6 bulan atau lebih dan masalah kepatuhan harus diatasi sebelum menentukan kegagalan pengobatan dan mengubah rejimen ARV. Keadaan memburuk karena immune reconstitution syndrome (IRIS), bukan merupakan alasan untuk mengubah pengobatan. Obat yang digunakan adalah Abacavir ditambah didanosine ditambah Protease inhibitor: Berikan lopinavir/ritonavir atau Nelfinavir atau Saquinavir jika BB 25 kg

22

Pemantauan Setelah pemberian ARV, pasien diharapkan datang setiap 1-2 minggu untuk pemantauan gejala klinis, penyesuaian dosis, pemantauan efek samping, kepatuhan minum obat, dan kondisi lain. Setelah 8 minggu, dilakukan pemantauan yang sama tetepi dilakukan 1 bulan sekali Pemeriksaan laboratorium yang diulang adalah darah tepi, SGOT/SGPT, CD4 setiap 3 bulan, dapat lebih cepat bila dijumpai dengan kondisi yang mengindikasikan untuk dilakukan. 9

Tabel 4.3. Efek samping yang umum dari obat ARV Obat
Lamivudine 3TC

Efek Samping
Sakit kepala, nyeri perut, Pancreatitis

Komentar
Mudah ditoleransi

Stavudine

d4T

Sakit kepala, nyeri perut, neuropati besar,

Suspensi dalam jumlah kapsul dapat dibuka. Jangan gunakan dengan d4T (efek antiretroviral antagonis)

Zidovudine

ZDV (AZT)

Sakit kepala, anemia

Abacavir

ABC

Reaksi hipersensitivitas demam, mukositis, ruam

hentikan pengobatan

Didanosine

ddI

Pankreatitis, neuropati perifer, diare dan nyeri perut

Beri

antasid

pada

lambung yang kosong

Efavirenz EFV

Mimpi aneh, mengantuk, ruam

Minum pada malam hari, hindari minum obat dengan makanan berlemak

Nevirapine NVP

Ruam, keracunan hati

Pemberian bersamaan dengan rifampisin, tingkatkan dosis NVP 30%, atau hindari penggunaannya.

Lopinavir/ritonavir a LPV/r

Diare, mual 23

Minum bersama

makanan, rasa pahit Nelfinavir NFV Saquinavir a SQV Diare, muntah, ruam Diare, rasa tidak enak di perut Minum bersama makanan Minum dalam waktu 2 jam setelah makan

4.2 Penanganan Lain Pada Anak HIV Positif

Imunisasi Seorang anak dengan infeksi HIV atau diduga dengan infeksi HIV tetapi belum menunjukkan gejala, harus diberi semua jenis vaksin yang diperlukan (sesuai jadwal imunisasi nasional), termasuk BCG. Berhubung sebagian besar anak dengan HIV positif mempunyai respons imun yang efektif pada tahun pertama kehidupannya, imunisasi harus diberikan sedini mungkin sesuai umur yang dianjurkan. Jangan beri vaksin BCG pada anak dengan infeksi HIV yang telah menunjukkan gejala. Berikan pada semua anak dengan infeksi HIV (tanpa memandang ada gejala atau tidak) tambahan imunisasi Campak pada umur 6 bulan, selain yang dianjurkan pada umur 9 bulan.

Pencegahan dengan Kotrimoksazol Semua anak yang terpapar HIV (anak yang lahir dari ibu dengan infeksi HIV) sejak umur 4-6 minggu (baik merupakan bagian maupun tidak dari program pencegahan transmisi ibu ke anak = prevention of mother-to-child transmission [PMTCT]). Setiap anak yang diidentifikasi terinfeksi HIV dengan gejala klinis atau keluhan apapun yang mengarah pada HIV, tanpa memandang umur atau hitung CD4. Jika diberi ARTKotrimoksazol hanya boleh dihentikan saat indicator klinis dan imunologis memastikan perbaikan sistem kekebalan selama 6 bulan . Dosis yang direkomendasikan 68 mg/kgBB Trimetoprim sekali dalam sehari. Bagi anak umur < 6 bulan, beri 1 tablet pediatrik (atau tablet dewasa, 20 mg Trimetoprim/100 mg sulfametoksazol); bagi anak umur 6 bulan sampai 5 tahun beri 2 tablet pediatrik (atau tablet dewasa); dan bagi anak umur 6-14 tahun, 1 tablet
24

dewasa dan bila > 14 tahun digunakan 1 tablet dewasa forte. Gunakan dosis menurut berat badan dan bukannya dosis menurut luas permukaan tubuh. Jika anak alergi terhadap Kotrimoksazol, alternatif terbaik adalah member Dapson.

Nutrisi Anak harus makan makanan yang kaya energi dan meningkatkan asupan energi mereka. Orang dewasa dan anak dengan infeksi HIV harus dianjurkan untuk makan berbagai variasi makanan yang menjamin asupan mikronutrien.

4.3 Tatalaksana Kondisi yang Terkait Tuberkulosis

Pada anak tersangka atau terbukti infeksi HIV, diagnosis tuberkulosis penting untuk dipertimbangkan. Diagnosis tuberkulosis pada anak dengan infeksi HIV seringkali sulit. Pada infeksi HIV dini, ketika kekebalan belum terganggu, gejala tuberculosis mirip pada anak tanpa infeksi HIV. Obati tuberkulosis pada anak infeksi HIV dengan obat Anti Tuberkulosis yang sama seperti pada anak tanpa infeksi HIV, tetapi gantikan Thioacetazone dengan antibiotik lain. 7

Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)

Buat diagnosis tersangka pneumonia pneumosistis pada anak dengan pneumonia berat atau sangat berat dan terdapat infiltrat interstisial bilateral pada foto toraks. Pertimbangkan kemungkinan pneumonia pneumosistis pada anak, yang diketahui atau tersangka HIV, yang tidak bereaksi terhadap pengobatan untuk pneumonia biasa. Pneumonia pneumosistis sering terjadi pada bayi dan sering menimbulkan hipoksia. Napas cepat merupakan gejala yang sering ditemukan, gangguan respiratorik tidak proporsional dengan tanda klinis, demam biasanya ringan. Umur umumnya 46 bulan. Segera beri Kotrimoksazol (trimetoprim (TMP) secara oral atau lebih baik secara IV dosis tinggi: 8 mg/kgBB/dosis, sulfametoksazol (SMZ) 40 mg/ kgBB/dosis 3 kali sehari selama 3 minggu. Jika terjadi reaksi obat yang parah pada anak, ganti dengan pentamidin (4 mg/kgBB sekali sehari) melalui infus selama 3 minggu.
25
7

Lymphoid interstitial pneumonitis (LIP)

Tersangka LIP: foto toraks menunjukkan pola interstisial retikulo-nodular bilateral, yang harus dibedakan dengan tuberkulosis paru dan adenopati hilar bilateral Anak seringkali tanpa gejala pada fase awal, tetapi selanjutnya terjadi batuk persisten, dengan atau tanpa kesulitan bernapas, pembengkakan parotis bilateral, limfadenopati persisten generalisata, hepatomegali dan tanda lain dari gagal jantung dan jari tabuh. Beri percobaan pengobatan antibiotik untuk Pneumonia bacterial. sebelum mulai dengan pengobatan prednisolon. Mulai pengobatan dengan steroid, hanya jika ada temuan foto toraks yang menunjukkan lymphoid interstitial pneumonitis ditambah salah satu gejala berikut: Napas cepat atau sukar bernapas Sianosis Pulse oxymetri menunjukkan saturasi oksigen < 90%.

Beri prednison oral, 12 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Kemudian kurangi dosis selama 2-4 minggu bergantung respons terhadap pengobatan. 7

Kandidiasis Oral dan Esofagus

Obati bercak putih di mulut (thrush) dengan larutan nistatin (100 000 unit/ml). Olesi 12 ml di dalam mulut sebanyak 4 kali sehari selama 7 hari. Jika tidak tersedia, olesi dengan larutan gentian violet 1% Jika hal ini masih tidak efektif, beri gel mikonazol 2%, 5 ml 2 kali sehari, jika tersedia. Tersangka (suspect) Kandidiasis esofagus jika ditemukan: kesulitan atau nyeri saat muntah atau menelan, tidak mau makan, saliva yang berlebihan atau menangis saat makan. Kondisi ini bisa terjadi dengan atau tanpa ditemukannya oral thrush. Jika tidak ditemukan thrush, beri pengobatan percobaan dengan flukonazol (36 mg/kgBB sekali sehari). Beri flukonazol oral (36 mg/kg sekali sehari) selama 7 hari, kecuali jika anak mempunyai penyakit hati akut. Beri amfoterisin B (0.5 mg/kgBB/dosis sekali sehari) melalui infus selama 1014 hari dan pada kasus yang tidak memberikan respons terhadap pengobatan oral, tidak mampu mentoleransi pengobatan oral, atau ada risiko meluasnya kandidiasis (misalnya pada anak dengan leukopenia). 7

26

4.4 Tindak Lanjut

Pemulangan dari Rumah Sakit

Anak dengan infeksi HIV mungkin memberi respons lambat atau tidak lengkap terhadap pengobatan yang biasa. Anak mungkin menderita demam yang persisten, diare persisten atau batuk kronik. Apabila keadaan umumnya baik, anak ini tidak perlu tetap tinggal di rumah sakit, tetapi dapat dapat diperiksa secara teratur sebagai pasien rawat jalan 10

Rujukan

Jika rumah sakit tidak mempunyai fasilitas, pertimbangkan untuk merujuk anak dengan tersangka infeksi HIV: Untuk tes HIV dengan konseling pra- maupun pasca-tes Ke rumah sakit lain untuk pemeriksaan lebih lanjut atau pengobatan lini kedua, jika respons terhadap pengobatan sangat minimal atau tidak ada Ke konselor terlatih untuk HIV dan konseling pemberian makan bayi, jika petugas kesehatan lokal tidak dapat melakukan hal ini Ke program pelayanan komunitas/keluarga atau ke pusat konseling dan tes sukarela yang berbasis masyarakat/institusi, atau program dukungan sosial berbasis masyarakat untuk konseling lebih lanjut atau melanjutkan dukungan psikososial. 10

Tindak lanjut klinis

Anak yang diketahui atau tersangka infeksi HIV yang tidak sakit, harus mengunjungi klinik bayi sehat seperti anak lain. Sebagai tambahan, mereka juga membutuhkan tindak lanjut klinis secara teratur di fasilitas kesehatan tingkat pertama minimal 2 kali setahun untuk memantau: Kondisi klinis Pertumbuhan Asupan Gizi Status imunisasi Dukungan psikososial 10
27

4.5 Perawatan Paliatif dan Fase Terminal

Beri perawatan fase terminal jika: Penyakit memburuk secara progresif Semua hal yang memungkinkan telah diberikan untuk mengobati penyakitnya.

Mengatasi Nyeri Tatalaksana nyeri pada anak dengan infeksi HIV mengikuti prinsip yang sama dengan penyakit kronis lainnya seperti kanker. Obat yang dapat diberikan seperti anastesi lokal, analgetik yang kuat seperti opium. 7

Tatalaksana Anoreksia, Mual dan Muntah Hilangnya nafsu makan pada fase terminal dari penyakit, sulit ditangani. Doronglah agar pengasuh dapat terus memberi makan dan mencoba: memberi makan dalam jumlah kecil dan lebih sering, terutama pada pagi hari ketika nafsu makan anak mungkin lebih baik makanan dingin lebih baik daripada makanan panas menghindari makanan yang asin atau berbumbu.

Jika terjadi mual dan muntah yang sangat, beri metoklopramid secara oral (12 mg/kgBB) setiap 24 jam, sesuai kebutuhan. 7

Pencegahan dan Pengobatan dari Luka Akibat Dekubitus Ajari pengasuh untuk membalik badan anak paling sedikit sekali dalam 2 jam. Jika timbul luka tekan, upayakan agar tetap bersih dan kering. 7

Perawatan Mulut Ajari pengasuh untuk membersihkan mulut setiap kali sesudah makan. Jika timbul luka di mulut, bersihkan mulut minimal 4 kali sehari dengan menggunakan kain bersih yang digulung seperti sumbu dan dibasahi dengan air bersih atau larutan garam. Bubuhi gentian violet 0.25% atau 0.5% pada setiap luka. Beri parasetamol jika anak demam tinggi, atau rewel atau merasa sakit. Potongan es dibungkus kain kasa dan diberikan kepada anak untuk diisap, mungkin bisa mengurangi rasa nyeri. Jika anak diberi minum dengan botol, nasihati pengasuh untuk mengganti dengan sendok dan cangkir. Jika botol terus digunakan, nasihati
28

pengasuh untuk mencuci dot dengan air setiap kali akan diminumkan. Jika timbul thrush, bubuhi gel mikonazol pada daerah yang sakit paling sedikit 3 kali sehari selama 5 hari, atau beri 1 ml larutan nistatin 4 kali sehari selama 7 hari, dituang pelan-pelan ke dalam ujung mulut, sehingga dapat mengenai bagian yang sakit. 7

Tatalaksana Jalan Napas Jika orang tua menghendaki anaknya meninggal di rumah, tunjukkan pada mereka cara merawat anak yang tidak sadar dan cara menjaga agar jalan napas tetap lancar. Jika terjadi gangguan napas saat anak mendekati kematian, letakkan anak pada posisi duduk yang nyaman dan lakukan tatalaksana jalan napas bila perlu. Memprioritaskan agar anak tetap nyaman, lebih baik daripada memperpanjang hidupnya. 7

Dukungan Psikososial Membantu orang tua dan saudaranya melewati reaksi emosional mereka terhadap anak yang menjelang ajal, merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam perawatan fase terminal penyakit HIV. Cara melakukannya bergantung pada apakah perawatan diberikan di rumah, di rumah sakit atau di rumah singgah/penampungan. Di rumah, sebagian besar dukungan dapat diberikan oleh keluarga dekat, keluarga dan teman.7

4.6 Tempat Perawatan Perawatan di Rumah Perawatan yang di berikan pada pasien di tempat tinggal sendiri. Perawatan tersebut bisa berupa perawatn fisik, dukungan psikososial, spiritual danpaliatif 10 Masyarakat Dengan melibatkan masyarakat dalam perawatan tersebut maka kualitas hidup pasien akan ditingkatkan. Perawat dan petugas sosial dapat memiliki peranan penting dalam menarik partisipasi masyarakat setempat dalam menerima dan memberikan dukungan kepada pasien.
10

29

Pusat Kesehatan Masyarakat Perawatan bisa diberikan di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Puskesmas Pembantu. 10 Rumah Sakit Pelayanan kesehatan lanjutan bagi pasien tersedia di rumah sakit kabupaten di mana tersedia tenaga dokter,perawat,konselor,pekerja sosial dan sarana pendidik dan pelatih. 11

30

BAB V KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS 5.1 Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi mungkin disebabkan karena infeksi oportunistik, yang sering diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Pneumonia Pneumocystis carinii Digunakan kotrimoksasol 4-5 mg/kg/hari dibagi 2, pemberian sebanyak 3 kali seminggu.

2. Tuberculosis Secara aktif mencari kemungkinan kontak erat dengan penderita TB aktif, dan melakukan uji tuberkulin bila terdapat kemungkinan, pemberian profilaksis INH masih diperdebatkan untuk negara endemis TB.(9)

3. Infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi Bila kemungkinan (setelah pengobatan ARV mencapai 6 bulan, klinis baik dan hitung CD4 >15%) dilakukan imunisasi untuk melengkapi jadwal yang belum terpenuhi. Tidak dengan vaksin hidup, kecuali campak. (9)

5.2 Prognosis Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya cara yang efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif hingga prognosisnya umumnya buruk.

31

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Saran Berikut ini adalah saran untuk mencegah penularan HIV dari ibu yang terinfeksi kepada anaknya. 1. Cara terbaik untuk memastikan bahwa bayi tidak terinfeksi dan tetap sehat adalah dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Perempuan terinfeksi HIV di seluruh dunia sudah memakai obat antiretroviral (ARV) secara aman waktu hamil lebih dari sepuluh tahun. ART sudah berdampak besar pada kesehatan perempuan terinfeksi HIV dan anaknya. Oleh karena ini, banyak dari mereka yang diberi semangat untuk mempertimbangkan mendapatkan anak. 2. Penatalaksanaan selama kehamilan Center for Disease Control and Prevention (1998) menganjurkan untuk menawarkan terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi pada wanita hamil. Petunjuk ini diperbarui oleh Perinatal HIV Guidelines Working Group (2000,2001). Working Group merekomendasikan pemeriksaan hitung CD4+ limfosit T dan kadar RNA HIV kurang lebih tiap trimester, atau sekitar setiap 3 sampai 4 bulan. Hasil pemeriksaan ini dipakai untuk mengambil keputusan untuk memulai terapi ARV, mengubah terapi, menentukan rute kelahiran, atau memulai profilaksis untuk pneumonia Pneumocystis carinii. 3. Penatalaksanaan Persalinan Seksio Sesarea American College of Obstetricians and Gynecologists (2000) menyimpulkan bahwa seksio sesarea terencana harus dianjurkan bagi wanita terinfeksi HIV dengan jumlah RNA HIV-1 lebih dari 1000 salinan/ml. Hal ini dilakukan tanpa memandang apakah pasien sedang atau belum mendapat terapi ARV. Persalinan terencana dapat dilakukan sebelum 38 minggu untuk mengurangi kemungkinan pecahnya selaput ketuban.

32

Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu: (11) a) b) c) Prong 1 Prong 2 Prong 3 : : : Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif; Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif; Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi

yang dikandungnya; d) Prong 4 : Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu

HIV positif beserta bayi dan keluarganya.

6.2 Kesimpulan HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). HIV merupakan virus yang termasuk dalam familia retrovirus yaitu kelompok virus berselubung (envelope virus) yang mempunyai enzim reverse transcriptase, enzim yang dapat mensintesis copy DNA dari genon RNA. Di Indonesia Lebih dari 90% kasus anak yang terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak.Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, pada saat persalinan, dan selama menyusui.(3) Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel Thelper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi. Kriteria klinis untuk infeksi HIV pada anak-anak kurang dari 13 tahun. Kategori N : pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu bentuk kelainan berdasarkan kategori A. Kategori A : pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk kategori B atau C :

33

Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-gejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada pasien AIDS. Gejala klinis yang sesuai dengan penjelasan sebelumnya, pada bagian manifestasi klinis. Sedangkan untuk diagnostik pasti dikerjakan pemeriksaan laboratorium yaitu Tes antibodi (Ab) HIV (ELISA atau rapid tests) dan Tes virologist. Tata laksana awal adalah membri konseling pada orangtua kondisi infeksi HIV dan resiko infeksi oporunistik, pemberian nutrisi yang cukup, pengawasan tumbuh kembang, imunisasi, dan pemberian awal obat anti retroviral (ARV).

Infeksi HIV pada umumnya berjalan progresif akibat belum ditemukannya cara yang efektif untuk menangulanginya, maka pada umumnya penyakit berjalan progresif hingga prognosisnya umumnya buruk. Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan secara komprehensif dengan menggunakan empat prong.

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Prof. Subowo, dr. Msc.Phd. 2010.Imunologi Klinik.CV. SAGUNG SETO. P.177.Jakarta 2. Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Laporan perkembangan situasi HIV dan AIDS di Indonesia, Triwulan II, 2011. Jakarta:Kementerian Kesehatan, 2011.

3. Direktorat Bina Kesehatan ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. 2013 4. Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Human Imunodeficiency Virus. Dalam: Soedarmo S S, Garna H, Hadinegoro S R, Satari H I. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. 243 247. 5. Greenwood D, Slack R, Peutherer J, Barer M. Medical microbiology: a guide to microbial infections: pathogenesis, immunity, laboratory diagnosis and control. Edisi ke-17. UK: Churchill Livingstone; 2007. 6. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat. Faktor risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Dalam: Pratomo H. et al. (eds). Pedoman pencegahan penularan HIV dari ibu dan bayi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2006; 13-16. 7. Pedoman pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/ WHO ; alihbahasa, TimAdaptasi Indonesia. Jakarta : WHO Indonesia, 2008 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Modul Pelatihan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak.Jakarta: Depkes RI,2008: 75-80. 9. Ram Yogev, Ellen GC. Aquired Immunodeficiancy Syndrom (Human Immunodefisiency Virus). In Nelson Text Book of Pediatrics, 19th Ed. Philadelphia, 2011 10. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan Bagi ODHA. Jakarta:Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2003; 13. 11. Jaringan pencegahan HIV dari ibu ke anak. Kebijakan PMTCT Indonesia: PMTCT.net; 2008. h.1
35

Você também pode gostar