Você está na página 1de 12

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal Ratno Samodro*, Doso Sutiyono*, Hari Hendriarto Satoto*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Regional anesthesia is growing and expanding its use, given the variety of benefits offered, such as relatively cheap, minimal systemic effects, produce adequate analgesia and the ability to prevent the stress response is more perfect. Local anesthetic drug is chemically divided into two major categories, namely the class of Amide and ester groups. These chemical differences are reflected in differences in the metabolism of the place, where the ester group is mainly metabolized by the enzyme pseudo-cholinesterase in the plasma while the Amide groups mainly through enzymatic degradation in the liver. This difference is also related to the magnitude of the possibility of allergies, in which the ester group derived from p-amino-benzoic acid has a greater frequency of allergic tendencies. Local anesthetic commonly used in our country for the class of esters are procaine, whereas the Amide groups are lidocaine and bupivacaine. Mechanism of action of local anesthetic drugs to prevent transmission of nerve impulses (conduction blockade) by inhibiting the delivery of sodium ions through selective sodium ion gates in neuronal membranes. Failure of the sodium ion permeability of the gate to increase the speed of depolarization of the slowdown as a potential threshold was not reached so that action potentials are not propagated. Local anesthetic did not alter the resting potential or transmembrane potential threshold. Pharmacokinetics of the drug include absorption, distribution, metabolism and excretion. Complications of local anesthetic is a local side effects can occur at the injection site hematoma and abscess while systemic side effects such as neurological in the central nervous, respiratory, cardiovascular, immunological, musculoskeletal, and hematologic Some local anesthetic drug interactions include coadministration may increase the potency of each drug. decreased metabolism of local anesthetics as well as increase the potential for intoxication.

ABSTRAK Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. 48
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudokolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari p-amino-benzoic acid memiliki frekwensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial. Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi lokal serta meningkatkan potensi intoksikasi.

PENDAHULUAN Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Namun demikian bukan berarti bahwa tindakan anestesi lokal tidak ada bahayanya. Hasil yang baik akan dicapai apabila selain persiapan yang optimal seperti halnya anestesi umum juga disertai
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

pengetahuan tentang farmakologi obat anestesi lokal.1

SEJARAH Carl Koller (1884), seorang ahli mata telah memperkenalkan untuk yang pertama kali penggunaan kokain secara topikal pada operasi mata. Gaedicke (1885) mendapatkan kokain dalam bentuk ester asam benzoat yang diisolasi dari tumbuhan koka (erythroxylon coca) yang

49

Jurnal Anestesiologi Indonesia

banyak tumbuh di pegunungan Andes. Kemudian olah Albert Naiman (1860) dalam bentuk ekstrak. William Halsted (1884), seorang ahli bedah telah menggunakan kokain intradermal dan blok saraf fasialis, pudendal, tibialis posterior dan plexus brachialis. Selanjutnya August Bier (1898), menggunakan 3 ml kokain 0,5% intratekal untuk anestesi spinal dan pada 1908 memperkenalkan anestesi regional intravena (Bier Block). Alfred Einhorn (1904) mensintesa prokain dan pada tahun yang sama digunakan untuk anestesi lokal oleh Heinrich Braun. Penambahan epinefrin untuk memperpanjang aksi anestetik lokal dilakukan pertama kali oleh Heinrich Braun. 1,2,3 Ferdinand Cathelin dan Jean Sicard (1901) memperkenalkan anestesi epidural kaudal dan Frigel Pages (1921) memperkenalkan anestesi epidural lumbal yang diikuti oleh Achille Doglioti (1931). Selanjutnya Lofgren (1943) mensintesa anestesi lokal amide, yaitu lidokain yang menghasilkan blokade konduksi lebih kuat daripada Prokain dan menjadi pembanding semua anestesi lokal. Penggunaan klinis lidokain sejak 1947. Sebelumnya dibukain (1930), tetrakain (1932) dan sesudah itu kloroprokain (1955), mepivakain (1957), prilokain (1960), bupivakain (1963), etidokain (1972). Ropivakain dan levobupivakain adalah obat baru dengan aksi durasi hampir sama seperti bupivacain tetapi kardio dan neurotoksisitasnya lebih kecil.1-4

Penggolongan Obat Anestesi Lokal Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati.1,2,3,4 Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari pamino-benzoic acid memiliki frekuensi kecenderungan alergi lebih besar.3 Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama kerjanya menjadi 3 group. Group I meliputi prokain dan kloroprokain yang memiliki potensi lemah dengan lama kerja singkat. Group II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan lama kerja sedang. Group III meliputi tetrakain, bupivakain dan etidokain yang memiliki potensi kuat dengan lama kerja panjang.2,3 Anestesi lokal juga dibedakan berdasar pada mula kerjanya. Kloroprokain, lidokain, mepevakain, prilokain dan etidokain memiliki mula kerja yang relatif cepat. Bupivakain memiliki mula kerja sedang, sedangkan prokain dan tetrakain bermula kerja lambat.3 Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah

50

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Secara garis besar ketiga obat ini dapat dibedakan sebagai berikut : 1-4
Tabel 1. Jenis anestesi lokal Prokain Golongan Mula Kerja Lama Kerja Metabolisme Dosis maksimal (mg/kgBB) Potensi Toksisitas Ester 2 menit 30 45 menit Plasma 12 Lidokain Amide 5 menit 45 90 menit Hepar 6 Bupivakai n Amide 15 menit 24 jam Hepar 2

menghasilkan blockade konduksi impuls saraf seperti obat anestesi local ester atau obat anestesi amide (Gambar 2). Perbedaan penting antara obat anestesi lokal ester dan amide berkaitan dengan tempat metabolisme dan kemapuan menyebabkan reaksi alergi.2-7

1 1

3 2

15 10

Gambar 1. Obat anestesi local terdiri dari bagian lipofilik dan hidrofilik yang dihubungkan dengan ikaran rantai hidrokarbon.

HUBUNGAN STRUKTUR AKTIVITAS

Anestesi lokal terdiri dari kelompok lipofilikbiasanya dengan cincin bezenedibedakan dari kelompok hidrofilikbiasanya amin tersier berdasarkan rantai intermediat yang memiliki cabang ester atau amida. ). Kelompok hidrofilik biasanya amine tersier, seperti dietilamine, dimana bagian lipofilik biasanya merupakan cincin aromatic tak jenuh, seperti asam paraaminobenzoat. Bagian lipofilik penting untuk aktivitas obat anestesi, dan secara terapeutik sangat berguna untuk obat anestesi local yang membutuhkan keseimbangan yang bagus antara kelarutan lipid dan kelarutan air. Pada hampir semua contoh, ikatan ester (-CO-) atau amide (-NHC-) menghubungkan rantai hidrokarbon dengan rantai aromatic lipofilik. Sifat dasar ikatan ini adalah dasar untuk mengklasifikasikan obat yang

Gambar 2. Obat anestesi local ester dan amide. Mepivacaine, bupivacaine dan ropivacaine adalah obat khiral karena molekulnya memiliki atom karbon asimetris.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

51

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Potensi berkorelasi dengan kelarutan lemak, karena itu merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran, lingkungan yang hidrofobik. Secara umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon pada molekul. Onset dari kerja obat bergantung dari banyak faktor, termasuk kelarutan lemak dan konsentrasi relatif bentuk larut-lemak tidak-terionisasi (B) dan bentuk larut-air terionisasi (BH+), diekspresikan oleh pKa. Pengukurannya adalah pH dimana jumlah obat yang terionisasi dan yang tidak terionisasi sama. Obat dengan kelarutan lemak yang lebih rendah biasanya memiliki onset yang lebih cepat.2,3 Anestesi lokal dengan pKa yang mendekati pH fisiologis akan memiliki konsentrasi basa tak-terionisasi lebih tinggi yang dapat melewati membran sel saraf, dan umumnya memiliki onset yang lebih cepat. Onset dari kerja anestesi lokal dalam serat saraf yang terisolasi secara langsung berkorelasi dengan pKa. Onset klinis dari kerja anestesi lokal dengan pKa yang sama tidak identik. Faktor-faktor lain, seperti kemudahan berdifusi melalui jaringan ikat, dapat mempengaruhi onset kerja in vivo. Lebih lagi, tidak semua anestesi lokal berubah menjadi bentuk terionisasi (contoh: benzocaine) anestesi ini kemungkinan beraksi dengan mekanisme yang bergantian (contoh: memperlebar membran lipid).2,4 Hal yang penting dari bentuk ionisasi dan tak-terionisasi adalah implikasi klinisnya.

Larutan anestesi lokal dipersiapkan secara komersial dalam bentuk garam hidroklorida yang larut-air (pH 6-7). Karena epinefrin tidak stabil dalam suasana alkali, maka larutan anestesi lokal yang tersedia, yang mengandung epinefrin, dibuat dalam suasana asam (pH 4-5). Sebagai konsekuensi langsung, sediaan ini memiliki konsentrasi basa bebas yang lebih rendah dan onset yang lebih lambat dibanding dengan epinefrin yang ditambahkan oleh klinisi saat akan digunakan. Hal yang sama, rasio basakation ekstraselular diturunkan dan onset dihambat sewaktu anestesi lokal diinjeksi ke dalam jaringan yang bersifat asam (misal: jaringan yang terinfeksi). Walaupun masih merupakan kontroversi, beberapa peneliti melaporkan bahwa alkalinisasi larutan anestesi lokal (biasanya sediaan komersial, yang mengandung epinefrin) dengan menambahkan sodium bikarbonat (misal, 1 mL 8,4% sodium bikarbonat dalam tiap 10 mL lidokain) akan mempercepat onset, memperbaiki kualitas dari blokade dan memperpanjang durasi blokade dengan meningkatkan jumlah basa bebas yang tersedia. Yang menarik, alkalinisasi juga menurunkan nyeri saat dilakukan infiltrasi pada jaringan.2,3 Durasi kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan lemak. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi memiliki durasi yang lebih panjang, diperkirakan karena lebih lama dibersihkan dari dalam darah.

52

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Mekanisme Kerja Obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf (Butterworth dan Strichartz, 1990). Gerbang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekul obat anestesi local. Penyumbaatn gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi local berkontribusi sedikit sampai hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi local tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial. Lokal anestesi juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor Nmethyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline), meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium. Tidak semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi lokal. Dengan demikian,
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom > sensorik > motorik2,4,6 FARMAKOLOGI KLINIS Farmakokinetik Karena anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan lokasi kerja maka farmakokinetik dari obat umumnya lebih dipentingkan tentang eliminasi dan toksisitas obat dibanding dengan efek klinis yang diharapkan.2,3,6 A. Absorpsi Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap penetrasi anestesi lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang utuh membutuhkan anestesi lokal larut-lemak dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan efek 2 analgesia. Absorpsi sitemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran darah, yang ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini 2,5 1. Lokasi injeksilaju absorpsi sistemik proporsional dengan vaskularisasi lokasi injeksi : intravena > trakeal > intercostal > caudal > paraservikal > epidural > pleksus brakhialis > ischiadikus > subkutaneus. 2. Adanya vasokonstriksi penambahan epinefrinatau yang lebih jarang fenilefrin menyebabkan vasokonstriksi pada tempat pemberian anestesi. 53

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Sebabkan penurunan absorpsi dan peningkatan pengambilan neuronal, sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, dan meminimalkan efek toksik. Efek vasokonstriksi yang digunakan biasanya dari obat yang memiliki masa kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan kualitas analgesia dan memperlama kerja lewat aktivitasnya terhadap resptor adrenergik 2. 3. Agen anestesi lokalanestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan lebih lambat terjadi absorpsi. Dan agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya. B. DISTRIBUSI Distribusi tergantung dari ambilan organ, yang ditentukan oleh faktor-faktor di bawah ini :1,6 1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar, ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat (fase ), yang diikuti redistribusi yang lebih lambat (fase ) sampai perfusi jaringan moderat (otot dan saluran cerna 2. Koefisien partisi jaringan/darahikatan protein plasma yang kuat cenderung mempertahankan obat anestesi di dalam darah, dimana kelarutan lemak yang tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.

3. Massa jaringanotot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal karena massa dari otot yang besar. Metabolisme dan Ekskresi Metabolisme dan ekskresi dari lokal anestesi dibedakan berdasarkan 2,5 strukturnya : 1. Ester-anestesi lokal ester dominan dimetabolisme oleh pseudokolinesterase (kolinesterase palsma atau butyrylcholinesterase). Hidrolisa ester sangat cepat, dan metabolitnya yang larut-air diekskresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi asam paminobenzoiz (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi. Pasien yang secara genetik memiliki pseudokolinesterase yang abnormal memiliki resiko intoksikasi, karena metabolisme dari ester yang menjadi lambat. 2. Amida-anestesi lokal amida dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar. Laju metabolisme amida tergantung dari agent yang spesifik (prilocine > lidocaine > mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine), namun secara keseluruhan jauh lebih lambat dari hidrolisis ester. Penurunan fungsi hepar (misal pada sirosis hepatis) atau gangguan aliran
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

54

Jurnal Anestesiologi Indonesia

darah ke hepar (misal gagal jantung kongestif, vasopresor, atau blokade reseptor H2) akan menurunkan laju metabolisme dan merupakan predisposisi terjadi intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat yang diekskresikan tetap oleh ginjal, walaupun metabolitnya bergantung pada bersihan ginjal. Komplikasi obat Anestesi lokal. 1.Efek samping lokal Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup besar, atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembekuan darah, maka akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk abses Apabila tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas. Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila telah terjadi abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri dilakukan anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang memerlukan tindakan nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.9-10

mengejutkan jika anestesi lokal dapat menyebabkan intoksikasi sistemik. 2,4,5,7,11 A. Neurologis Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi dari anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala overdosis pada pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem saraf pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi menyebabkan kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen anestesi dengan potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan pemaparan obat, benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang terjadinya kejang karena anestesi lokal. Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat menghentikan kejang. Ventilasi dan oksigenasi yang baik harus tetap dipertahankan. Lidokain intravena (1,5 mg/kg) menurunkan aliran darah otak dan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang biasanya timbul pada 55

2. Pengaruh Pada Sistem Organ Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh tubuh, sehingga bukan hal yang
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

intubasi pasien dengan penurunan komplians intrakranial. Lidokain dan prokain infus selama ini digunakan sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum, karena kemampuannya menurunkan MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%. Dosis lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari neurotoksik (sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui keteter bore-kecil pada anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling obat di kauda ekuina, yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang permanen. Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada pemberian berulang melalui intratekal bahwa lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine. Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal dengan berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi pada radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya adalah penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien. B. Respirasi Lidokain mendepresi respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis dan nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu setelah pemaparan langsung anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot

polos bronkhus. Lidokain intravena (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk memblok refleks bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain diberikan sebagai aerosol dapat sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien yang menderita penyakit saluran nafas reaktif. C. Kardiovaskular Umumnya, semua anestesi lokal mendepresi automatisasi miokard (depolarisasi spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode refraktori. Kontraktilitas miokard dan kecepatan konduksi juga terdepresi dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh ini menyebabkan perubahan membran otot jantung dan inhibisi sistem saraf autonom. Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan otot polos, yang sebabkan vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan hipotensi dapat mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat sebabkan kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama anestesi regional mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular, irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti takikardi ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis respiratorik merupakan faktor predisposisi. Ropivacaine memiliki banyak kesamaan dalam psikokimia dengan bupivacaine kecuali bahwa sebagian dari ropivacaine
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

56

Jurnal Anestesiologi Indonesia

adalah larut-lemak. Waktu onset dan durasi kerja sama, namun ropivacaine memblok motorik lebih rendah, yang sebabkan potensi lebih rendah, ditunjukkan dalam beberapa penelitian. Yang paling menjadi perhatian, ropivacaine memiliki index terapi yang besar karena 70% lebih sedikit menyebabkan intoksikasi kardia dibandingkan dengan bupivacaine. Ropivacain dikatakan memiliki toleransi terhadap sistem saraf pusat yang lebih besar. Keamanan dari ropivacaine ini mungkin disebabkan karena kelarutan lemaknya yang rendah atau availibilitasnya sebagai isomer S(-) yang murni, yang bertolak belakang dengan struktur dari bupivacaine. Levobupivacaine, merupakan isomer S(-) dari bupivacain, yang tidak lagi tersedia di Amerika Serikat, dilaporkan memiliki efek samping terhadap cardiovaskular dan serebral yang lebih kecil dari pada struktur campuran; penelitian mengatakan bahwa efeknya terhadap kardiovaskular hampir menyerupai efek ropivacaine. D. Imunologi Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokalyang bukan intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihanmerupakan hal yang jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat ester yaitu asam paminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan komersial multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur kimia mirip dengan PABA. Bahan
Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap sebagian besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon inflamasi karena pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam lysophosphatidic dalam mengaktivasi neutrofil. E. Muskuloskeletal Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi), anestesi lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine. F. Hematologi Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural. Interaksi Obat Anestesi lokal meningkatkan potensi blokade otot non-depolarisasi. Suksinil kolin dan anestesi lokal ester bergantung 57

Jurnal Anestesiologi Indonesia

pada pseudokolinesterase untuk metabolismenya. Pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masingmasing obat. Dibucaine, anestesi lokal amida, menghambat pseudokolinesterase dan digunakan untuk mendeteksi kelainan genetik enzim. Inhibitor pseudokolinaesterase dapat menyebaban penurunan metabolisme dari anestesi lokal ester. Cimetidine dan propanolol menurunkan aliran darah hepatik dan bersihan lidokain. Level lidokain yang lebih tinggi dalam darah meningkatkan potensi intoksikasi. Opioid (misal, fentanil, morfin) dan agonis adrenergik 2 (contoh: epinefrin, klonidin) meningkatkan potensi penghilang rasa nyeri anestesi lokal. Kloroprokain epidural dapat mempengaruhi kerja analgesik dari morfin intraspinal.2-5 RINGKASAN Anestesi regional semakin berkembang dan meluas pemakaiannya, mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, diantaranya relatif lebih murah, pengaruh sistemik yang minimal, menghasilkan analgesi yang adekuat dan kemampuan mencegah respon stress secara lebih sempurna. Secara kimiawi obat anestesi lokal dibagi dalam dua golongan besar, yaitu golongan ester dan golongan amide. Perbedaan kimia ini direfleksikan dalam perbedaan tempat metabolisme, dimana golongan ester terutama dimetabolisme oleh enzim 58

pseudo-kolinesterase di plasma sedangkan golongan amide terutama melalui degradasi enzimatis di hati. Perbedaan ini juga berkaitan dengan besarnya kemungkinan terjadinya alergi, dimana golongan ester turunan dari p-aminobenzoic acid memiliki frekwensi kecenderungan alergi lebih besar. Obat anestesi lokal yang lazim dipakai di negara kita untuk golongan ester adalah prokain, sedangkan golongan amide adalah lidokain dan bupivakain. Mekanisme kerja obat anestesi local mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membrane saraf. Kegagalan permeabilitas gerbang ion natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial. Farmakokinetik obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Komplikasi obat anestesi lokal yaitu efek samping lokal pada tempat suntikan dapat timbul hematom dan abses sedangkan efek samping sistemik antara lain neurologis pada Susunan Saraf Pusat, respirasi, kardiovaskuler, imunologi ,muskuloskeletal dan hematologi Beberapa interaksi obat anestesi lokal antara lain pemberian bersamaan dapat meningkatkan potensi masing-masing obat. penurunan metabolisme dari anestesi

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

Jurnal Anestesiologi Indonesia

lokal serta intoksikasi.

meningkatkan

potensi

6.

DAFTAR PUSTAKA
1. Marwoto, Primatika DA. Anestesi lokal/Regional. Dalam : Soenarjo, Jatmiko DH. editor. Anestesiologi. Semarang : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas kedokteran UNDIP, 2010: 309-22. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. In: Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books, 2006 : 151-52, 263-75. Brown DL, Factor DA. Regional Anesthesia and Analgesia. Philadelphia :WB Saunders, 1996 : 188 205. Miller RD. Anesthesia. 5th edition . Philadelphia : Churchill & Livingstone, 2000 : 491 515. Stoelting R Hillier SC. Pharmacology and Physiology in Anesthetics Practice. 4th ed. Philladelphia : JB Lippincott Raven, 2006: 179 - 83.

2.

3.

4.

5.

Gaiser RR. Pharmacology of Local Anesthetic. In : Longnecker DE, Murphy SL, ed. Introduction to Anaesthesia. Philadelphia : WB Saunders Company, 1997 : 201-14. 7. Longnecker DE , Murphy FL . Introduction to anesthesia . 9th edition .Philadelphia : WB Saunders , 1997 : 201 14 8. Marwoto, Mudzakkir. Komplikasi anestesi lokal dan penanganannya. Majalah Ilmiah PKMI Mantap. Penerbit : Perkumpulan Kontrasepsi Mantap.Indonesia, No. 2 Tahun XII, April Juni 1992 : 44-9 9. Raj Prithvi P. Local Anaesthetics In : Ross A, editors. Textbook of regional anesthesia. Philadelphia : Elsevier Science. 2003 :120-27. 10. Sweitzer B. Local Anaesthetics. In : Davidson JK, Eckhardt WF, Perese DA. Clinical Anaesthesia Procedure of the Massacluisets General Hospital, 4th ed, Little Brown & Co Boston, Toronto, London 1993 : 197 205.

11. Mehrkens

H, Geiger MP. . Local Anaesthetics. In : Peripheral regional Anaesthesia. 3rd. ed. Ulm 2005 : 16-9.

Volume III, Nomor 1, Tahun 2011

59

Você também pode gostar