Você está na página 1de 19

TINJAUAN PUSTAKA

DEMAM DENGUE PENDAHULUAN 1,2

I.

Dengue merupakan penyakit akut yang disebabkan oleh virus yang dibawa oleh nyamuk, ditandai dengan gejala-gejala demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, petechie, mual dan muntah. Beberapa dari infeksi tersebut menjadi dengue hemorrhagik fever (DHF), sebuah sindroma yang dalam bentuk terburuknya dapat mengancam nyawa pasien, terutama akibat dari peningkatan permeabilitas kapiler dan syok. Kasus-kasus kematian pasien akibat dengue shock syndrome dapat setinggi 44%. ETIOLOGI 3,4,5

II.

Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue, genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. virus DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe yang dominan, namun virus DEN-3 sangat berkaitan dengan kasus berat.

Virus dengue ditransmisikan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti, Aedes albopictus, dan Aedes polynesiensis. Pada negara tropis, A. Aegypti merupakan nyamuk yang paling banyak menggigit pada waktu siang dan sore hari, di musim panas, dan berkembang biak di tempat-tempat yang menampung air bersih dengan jarak terbang 100 m. Hanya nyamuk betina yang menggigit dan menghisap darah serta memilih darah manusia untuk mematangkan telurnya.

Pada saat nyamuk menghisap darah manusia yang kebetulan menderita demam dengue, virus dengue turut masuk ke dalam tubuh nyamuk. Virus yang dihisap masuk ke dalam saluran pencernaan, kemudian sampai di haemocoelom dan kelenjar ludah. Virus memerlukan waktu 8-11 hari untuk dapat berkembang biak 1

dengan baik secara propagatif agar dapat menjadi infektif (masa tunas ekstrinsik). Kemudian nyamuk akan tetap infektif selama hidupnya. Virus tidak ditemukan dalam telur nyamuk, sehingga tidak terdapat penularan secara transovarian.

Jika seseorang digigit nyamuk A. Aegypti maka air liur nyamuk akan masuk ke dalam darah agar tidak membeku, bersama air liur ini virus dengue ikut masuk ke peredaran darah manusia. Apabila orang yang digigit tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus ini, akan terserang penyakit DHF. EPIDEMIOLOGI 3,6

III.

Di Jakarta, kasus DHF pertama kali dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian epidemi mulai terjadi di daerah-daerah propinsi. Sehingga pada tahun 1994 DHF telah menyebar ke seluruh 27 propinsi di Indonesia. Pada saat ini DHF sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah pedesaan.

Sejak tahun 1994 seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DHF, daerah tingkat II yang melaporkan terjadinya kasus DHF terus meningkat dari 2 buah pada tahun 1968 menjadi 227 pada tahun 1995.

Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berusia kurang dari 15 tahun (86 95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan dalam golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia penderita DHF terbanyak ialah anak berumur 5 11 tahun. Proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun sejak tahun 1984 meningkat.

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan suatu spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan, dengue fever, dengue hemorrhagik fever, dan dengue shock syndrom; yang terakhir dengan mortalitas tinggi yang disebabkan syok dan perdarahan hebat. Diperkirakan untuk setiap kasus renjatan yang dijumpai di rumah sakit, telah terjadi 150 200 kasus silent dengue infection. 2

IV.

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS 3,6,7,8

Hingga saat ini patofisiologi DD/DHF masih belum jelas.

Beberapa teori dan

hipotesis yang dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah : 1. Teori virulensi virus 2. Teori imunopatologi 3. Teori antigen antibodi 4. Teori infection enchancing antibody 5. Teori mediator 6. Teori endotoksin 7. Teori limfosit 8. Teori trombosit endotel 9. Teori apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori virulensi virus dan teori infeksi sekunder/ secondary heterelogous infection/ immune enhancement hypothesis merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.6

Teori infeksi sekunder/ secondary heterologous infection/ immune enhancement hypothesis. Pada teori ini mengatakan pasien yang mengalami infeksi sekunder oleh serotipe virus yang heterolog memilki resiko lebih tinggi untuk menderita DHF/DSS. Antibodi dengue heterolog yang sudah terbentuk dalam tubuh pasien mengenali virus yang baru masuk dan membentuk kompleks antigen-antibodi, yang kemudian mengikat virus tersebut dan di bawa oleh reseptor immunoglobulin Fc ke membran sel leukosit, terutama oleh makrofag dimana virus bebas bereplikasi didalamnya. Reaksi Antibody Dependent Enhancement (ADE) ini mempercepat infeksi dan replikasi virus dengue didalam sel-sel mononuklear. Hal ini menyebabkan aktivasi dari CD4 dan CD8 limfosit sitotoksik. Pelepasan sitokin yang cepat disebabkan oleh aktivasi sel-sel T dan monosit terinfeksi yang lisis karena limfosit sitotoksik dapat mengakibatkan perembesan plasma dan perdarahan yang timbul pada DHF, sehingga terjadi hipovolemia dan syok.8

Teori virulensi virus, perubahan genetik pada gen-gen virus meningkatkan daya replikasi virus dan viremia, virulensi, dan potensi epidemi. Sitokin dan mediatormediator seperti Tumor Necrosis Factor (TNF), Interleukin-1 (IL-1),IL-2, IL-6, Platelet Activation Factor (PAF), Complement Activation Product C3a dan C5a, dan histamin juga dapat berperan, akan tetapi diperlukan penelitian yang lebih lanjut. 8

Kedua hipotesis tersebut pada akhirnya menimbulkan infeksi dan sebagai tangggapan terhadap infeksi tersebut terjadi dua patofisiologi utama, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler yang menghasilkan kebocoran plasma dan hal ini menyebabkan hipovolemia, hemokonsentrasi serta syok. Kedua,adanya hemostasis yang abnormal melibatkan perubahan pembuluh darah, trombositopenia, dan koagulopati.

Hemostasis yang abnormal menyebabkan bermacam-macam manifestasi perdarahan. Mediator-mediatov aogd{pat mningkatkan permeabilitas kapiler dan mekanisme perdarahan belum dapat diindentifikasi. Penyebab perdarahan pada DHF sangat komplek dan mungkin melibatkan satu atau lebih dari trombositopenia, kerusakan pembuluh darah kecil, gangguan fungsi trombosit, dan Disseminated Intravascular Disease (DIC). Kerusakan trombosit dapat secara kualitatif maupun kuantitatif. DIC dapat terjadi pada syok berkepanjangan dan berat serta menyebabkan perdarahan hebat dan irreversibel syok dengan prognosis buruk.

Adanya ikatan antigen-antibodi (komplek antibodi-virus) ini dalam sirkulasi darah akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut:7,9

1. Agregasi trombosit yang kemudian dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial, khususnya limpa dan hati, sehingga terjadi trombositopenia. Disamping itu faktor III trombosit,dari membran trombosit, juga mempercepat pembekuan plasma, sehingga terjadi koagulopati konsumtif yang berlebihan. Faktor pembekuan yang menurun memicu terjadinya perdarahan hebat. Trombositopenia juga dapat terjadi akibat dari supresi sum-sum tulang, yang apabila kejadian ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi sel trombosit muda dalam sumsum tulang.

2. Aktivasi koagulasi dengan mengaktifkan faktor Hageman (faktor XII) akan mengakibatkan sistem pembekuan intravaskuler yang sangat luas, dalam proses ini plasminogen menjadi plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi Fibrin Degradation Product (FDP). Disamping itu aktivasi faktor XII menggiatkan sistem kinin yang berperan meningkatkan permeabilitas kapiler. Menurunnya faktor pembekuan yang disebabkan aktivasi sistem pembekuan dan kerusakan hati akan menambah beratnya perdarahan.

3. Aktivasi sistem komplemen sehingga dikeluarkan zat anafilatoksin yang menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler.

Ketiga faktor tersebut dapat menyebabkan : 1. Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan plasma, hipovolemia, dan syok. 2. Kelainan hemostasis yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni, dan koagulopati, sehingga mengakibatkan perdarahan hebat dan syok.

SECONDARY HETEROLOGOUS DENGUE INFECTION


Virus replication Annamnestic antibody response

Virus antibody complex

Platelet aggregation
Impaired platelet function Platelet removal by res Thrombocytopenia Platelet factor III release

Coagulation activation
plasmin

Complement activation

Activated hageman factor

Consumptive coagulopathy

Kinin system Kinin

Anaphylatoxin

Clotting factors FDP

Vascular permeability

EXCESSIVE HEMORRHAGE

SHOCK

Gambar Patogenesis Perdarahan Pada DHF

Pada infeksi virus dengue, setelah melalui masa inkubasi akan terjadi viremia. Viremia ini berjalan singkat mulai 2 hari sebelum panas dan mencapai puncaknya pada hari ke 2 panas, dan menghilang setelah 6 7 hari bersamaan dengan munculnya antibodi. Pada penderita yang baru pertama kali terinfeksi dan belum pernah

terinfeksi golongan flavivirus, maka antibodi yang pertama kali muncul adalah IgM dan baru dapat dideteksi setelah hari ke 5 6 sakit atau pada saat suhu tubuh turun, kemudian naik selama 1 3 minggu dan bertahan sampai 60 90 hari. IgG baru muncul setelah hari ke 14 sakit.7

Sedangkan pada kasus dengan infeksi sekunder yaitu pada penderita yang pernah mendapatkan infeksi, antibodi yang pertama kali terbentuk adalah IgG. Di sini IgG sudah dapat dideteksi sejak awal sakit atau sekitar hari ke-2 sakit dan dapat bertahan lama seumur hidup. IgM bila terdeteksi kadarnya rendah dan biasanya tidak melebihi kadar IgG.7

Respon Imun terhadap Infeksi Dengue

TINGKAT ANTIBODI

IgG

IgM IgG
virus virus

IgM hari 5
Awal Timbul Gejala Infeksi Sekunder

5
Awal

10

15

Timbul Gejala Infeksi Primer

V.

GEJALA KLINIS Masa tunas berkisar antara 3 5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal penyakit

biasanya mendadak, disertai gejala prodomal seperti nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh , anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota abdan , dan timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-1 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar keanggota gerak dan muka.5,6 Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul mendadak. Disertai dengankenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata, pungggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap patognomonik. 5,6 Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering ditemukan. Pada stadium dinis erring timbul perubahan dalam indra pengecap. Gejal aklinis yang lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran, suara serak, batuk, epiktaksis, dan disuria. Demam menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 66-67% kasus. Bentuk pendarahan lain yang dilaporkan ialah 7

menoragi dan menstruasi dini, abortus atau kelahiram bayi berat badan lahir rendah, mungkin sekali akibat pendarahan uterus. 5,6 DIAGNOSIS 1,4,8,12

VI.

Melalui anamnesis kita tanyakan pada pasien atau orang terdekat pasien, meliputi: 1. Kapan mulai timbulnya demam? Bagaimana sifatnya, naik-turun atau tinggi terus menerus? 2. Adanya manifestasi perdarahan? 3. Keluhan sakit perut, terutama di ulu hati? Nyeri jika ditekan atau raba? 4. Kapan tangan dan kaki mulai terasa dingin, terlihat pucat dan kebiruan? Setelah masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari), gejala prodomal yang tidak khas seperti nyeri kepala, sakit tulang belakang, dan perasaan lelah. Tanda khas dari DD adalah peningkatan suhu mendadak,kadang-kadang disertai menggigil, sakit kepala, dan flushed face. Dalam 24 jam , terasa nyeri pada belakang mata terutama pada pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot serta sendi. Gejala lain yang dapat dijumpai adalah anoreksia, konstipasi, nyeri perut/kolik, nyeri tenggorokan dan depresi. Gejala tersebut biasanya menetap untuk beberapa hari. Demam, suhu pada umumnya antara 39-40 dapat bersifat bifasik, menetap antara 5-7 hari. Pada awal fase demam muka, leher, dada dan akhir fase demam(hari ketiga atau keempat) ruam akan menjadi makulopapular. Selanjutnya pada fase penyembuhan atau awal suhu turun timbul petekiae yang menyeluruh biasanya pada kaki dan tangan, diantara petekiae dapat dijumpai area kulit normal berupa bercak keputihan, kadang-kadang dirasakan gatal. Pendarahan kulit pada DD terbanyak adalah uji tourniquet positif dengan atau tanpa petekiae. Derajat penyakit sangat bervariasi berbeda untuk tiiap individu dan pada daerah epidemic. Perjalanan penyakit biasanya pendek, tetapi dapat memanjang terutama pada dewasa sampai beberapa minggu. Demam dengue yang disertai dengan manifestasi pendarahan harus dibedakan dengan DBD. Manifestasi klinis DD menyerupai berbagai virus (termasuk demam chinkungunya) , bakteri, ricketsia, dan infeksi parasit. Untuk membedakan secara klinis antara satu dengan yang lain hampir tidak mungkin. Diagnosis dapat dibantu dengan pemeriksaan isolasi virus atau serologis.

Indikasi rawat: Adanya tanda-tanda syok Sangat lemah sehingga asupan oral tidak dapat mencukupi Perdarahan Hitung trombosit <100.000/uL dan/atau peningkatan hematokrit > 20% Mengantuk, lemah badan, tidur sepanjang hari ketika penurunan suhu Nyeri abdominal akut hebat Tempat tinggal yang jauh dari rumah sakit

Indikasi pulang: Tidak demam 24 jam tanpa antipiretik Secara klinis tampak perbaikan Nafsu makan baik Trombosit 50.000/uL

VII.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium:

Hematologi: 12,13,14,17 Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relatif (>45% dari total leukosit) disertai dengan adanya limfosit plasma biru >15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok akan meningkat. Trombosit: trombositopenia (< 100.000 /uL) pada hari ke 3 8. Hemostasis: dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.. Fungsi hati: peningkatan SGOT/SGPT Fungsi ginjal: ureum/kreatinin apabila terdapat gangguan ginjal. Elektrolit: sebagi parameter pemberian cairan. Golongan darah dan Cross match (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau komponen darah. Immunoserologi: IgG dan IgM dengue

VIII. PENATALAKSANAAN 7,11,15 Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah

Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 15 mg/KgBB/kali.8 Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama masih demam.8 Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 5 yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.8 Cairan intravena diperlukan apabila : 1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral 2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 10

jam. Selanjutnya evaluasi 12 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam. Bila terdapat asidosis, dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 8 %) seperti tertera pada tabel dibawah ini. Tabel 2. Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 8 %) Berat Waktu Masuk (Kg) < 7 Kg 7 11 Kg 12 18 Kg > 18 Kg Jumlah Cairan tiap hari 220 ml/KgBB/hari 165 ml/KgBB/hari 132 ml/KgBB/hari 88 ml/KgBB/hari

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan bersama koloid 10 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah.8 Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 20 ml/KgBB maksimal 11

30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.8 Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :8 1. Dekstan 2. Gelatin 3. Hydroxy Ethyl Starch (HES) 4. Fresh Frozen Plasma (FFP) Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.8 Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC). Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar 12

hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi. Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:1

Gambar 8. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD.

13

Gambar 9. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue.

Gambar 10. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

14

Gambar 11. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS. Kriteria memulangkan pasien antara lain:8 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik 2. Nafsu makan membaik 3. Tampak perbaikan secara klinis 4. Hematokrit stabil 5. Tiga hari setelah syok teratasi 6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat 7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis). i. Prognosis Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki laki. Penyebab kematian tersebut antara lain (Rampengan, 2008) :9 1. Syok lama 2. Overhidrasi 3. Perdarahan masif 15

4. Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok j. Komplikasi a. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok, cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. untuk mengurangi edema otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan >60 mg/dl, mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, makaa untuk mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100 mg/kgbb/hari + kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.1 b. Kelainan Ginjal Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgbb dapat diberikan. Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP (central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan selanjutnya.1 c. Edema paru Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat 16

penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru.1

X.

PENUTUP

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vektor nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini mempunyai spektrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD), mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).

Dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat, pemahaman mengenai perjalanan infeksi virus dengue harus dikuasai dengan baik. Pemantauan klinis dan laboratoris berkala merupakan kunci tatalaksana DBD. Akhirnya dalam menegakkan diagnosis dan memberikan pengobatan pada kasus DBD perlu disesuaikan dengan kondisi pasien. Penanganan yang cepat tepat dan akurat akan dapat memberikan prognosis yang lebih baik.

17

DAFTAR PUSTAKA 1. http://www.bhj.org/journal, Dengue, Dengue Hemorrhagic Fever, Dengue Shock Syndrome, Bombay Hospital journal, Mumbai. Diunduh 29 januari 2014. 2. Andayani, Pudji, BNP Arhana, Lab Ilmu Kesehatan Anak FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar, Karakteristik Penderita Sindrom Syok Dengue, Majalah Kedokteran Udayana, vol. 33 No. 116, April, 2002. 3. Hadinegoro, SRS,Soegijanto S., Wuryadi S, Suroso T. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD.Hal 65-42 Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2004. 4. Nelson LJ, Schneider E, Wells CD, and Moore M.Nelson Textbook of Pediatrics. Section XVI Infectious Disease : Chapter 246: Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Hal 102-114 17th edition. Philadelphia: W.B.Saunders Company, 2004 5. Tierney, Lawrence M., Current: Medical Diagnosis and Treatment 2001: Chapter 32: Infectious Disease: Viral & Rickettsial: Dengue hal 78-86 edisi 40, Lange Medical Books/McGraw Hill. 6. Hassan, R., Alatas, H., Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2: Infeksi.Hal 133-142 Edisi 10. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002. 7. Soegijanto, Soegeng, Ilmu Penyakit Anak: Diagnosis dan Penatalaksanaan,Hal 34-40 Penerbit Salemba Medika, 2002. 8. http://www.pediaindia.net/archive/, Dengue Shock Syndrome, Februari, 2001. Diunduh 29 Januari 2014. 9. Price, Sylvia A., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit: BAB 19: Gangguan Koagulasi hal 293 306, edisi 6 vol.1, EGC, 2006. 10. http://home.coqui.net/myrna/pbindex.htm, Dengue Fever, Dengue Hemorrhagic Fever, & Dengue Shock Syndrome diunduh 29 Januari 2014. 11. Soedarmo, Soemarmo S.P., dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis, Hal 155-180 edisi 1, IDAI, Jakarta, 2012.. 12. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Hal 36-40, Jakarta, Februari, 2005. 13. http://www.eMedicine.com, Hagop Isnar,MD., Dengue, November 9, 2006, diunduh 29 Januari 2014. 18

14. Soedoyo, Aru W, Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam, Hal 2773-2785. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI, 2006. 15. Simposium Penanganan DBD Terkini, RS Persahabatan, Jakarta, 3 Maret 2004. 16. Mansjoer, Arif, Kapita Selekta Kedokteran,hal 48-51 edisi 3, Indonesia, 2000, Jakarta,
17. http://www.balipost.co.id/balipostinside/redaksi.html, Budiyasa, Gede N., dr.,

Diagnosis Laboratorium Demam Berdarah Dengue, diunduh 29 januari 2014.

19

Você também pode gostar