Escolar Documentos
Profissional Documentos
Cultura Documentos
Tak ada yang mengingkari bahwa kita selalu hidup bersama orang lain.
Tapi, seperti apakah sebenarnya hubungan Aku dan Liyan itu? Sepanjang sejarah
filsafat Barat, pertanyaan semacam itu jarang sekali diajukan. Hubunganku
dengan Liyan dianggap sebagai sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya
sehingga tak perlu dipersoalkan. Kalaupun dibicarakan, Liyan kerap dipandang
sebagai objek semacam benda-benda di sekelilingku, atau sebagai Aku yang lain
yang sama denganku. Levinas justru mengajukan pertanyaan itu dan mencoba
menjawabnya. Ia mempersoalkan anggapan-anggapan yang umum diterima
mengenai Liyan. Baginya, Liyan tampil sebagai wajah yang telanjang, asing, dan
sepenuhnya berbeda dariku.
Jika belakangan, kita kerap mendengar tentang Liyan dalam perbincangan
mutakhir dalam filsafat—seperti dalam multikulturalisme, sebagiannya berhutang
pada Levinas.
1
Mengikuti Goenawan Mohamad, istilah the Other diterjemahkan dengan kata pinjaman dari
bahasa Jawa, Liyan.
Setamatnya dari Strasbourg, pada 1928-9 Levinas melanjutkan studi ke
Freiburg, Jerman, dan belajar di bawah bimbingan Husserl dan Heidegger. Ia
sangat terpengaruh oleh dua orang fenomenolog ini. Bahkan, dia merupakan salah
satu tokoh awal yang memperkenalkan fenomenologi Jerman ke dalam dunia
filsafat Prancis melalui tesisnya tentang teori intuisi Husserl yang diterbitkan di
Prancis pada 1930. Berikutnya, pada 1931, ia menerbitkan terjemahan Prancis
Cartesianische Meditationen, yakni ceramah Husserl di Sorbonne. Menjelang PD
II, Levinas dipanggil masuk ketentaraan Prancis dan pada 1940 ia menjadi
tawanan perang Jerman hingga perang usai. Sanak saudaranya di Lithuania
dibunuh oleh Nazi, sementara keluarganya di Prancis berhasil menyelamatkan diri
(Bertens, 2001: 279-81; Bergo, 2008).
Karya-karya Levinas memiliki dua alur yang berbeda namun tidak dapat
dipisahkan. Selain karya-karya yang “murni” filosofis, ia juga menulis dan
memberi ceramah mengenai Talmud dan agama Yahudi. Di antara karya-karya
filosofisnya, yang dianggap sangat penting adalah Totalité et infini (1961) dan
kumpulan esai Autrement qu’être ou au-delà de l’essence (1974). Levinas
meninggal 25 Desember 1995 (Bertens, 2001: 281-3; Bergo, 2008).
Selain fenomenologi yang sudah disebutkan, sumber inspirasi yang lain
bagi filsafat Levinas adalah tradisi filsafat Yahudi seperti karya-karya Martin
Buber dan Franz Rosenzweig. Selain itu, Levinas juga melakukan dialog dengan
seluruh sejarah filsafat Barat, terutama Plato, Descartes, Hegel, dan para pemikir
Prancis sezamannya, semisal Alexandre Kojève, Sartre, dan Merleau-Ponty
(Bertens, 2001: 283-5; Desmond, 1994: 128-9).
2
Sebuah ilustrasi, yang diberikan Haryatmoko dalam kuliahnya, barangkali bisa membantu
memperjelas hal ini. Suatu ketika, saat Aku dalam keadaan terburu-buru untuk menyelesaikan
urusanku sendiri, ada seseorang yang sama sekali tak kukenal mengalami kecelakaan di depanku.
Tepat pada saat itulah, sang korban menyapaku, ‘menyanderaku’, dan ‘memaksaku’ untuk
bertanggung jawab membantunya. Dalam kondisi demikian, bisa saja aku berlalu dan memilih
menyelesaikan urusanku sendiri, karena toh Aku bebas untuk melakukannya. Aku tak terikat
kewajiban apa pun pada korban. Namun, kebebasanku justru mendapat legitimasinya ketika aku
bertanggung jawab terhadapnya.
berkait erat dengan bahasa. Menalar—dan dalam arti yang lebih luas, belajar—
bagi Levinas, adalah entah memiliki gagasan ketakberhinggaan (infinity) atau
diajari. Kemungkin pertama jelas tidak mungkin karena struktur dasariah
kesadaran manusia adalah berhingga. Jadi, yang tersisa adalah kemungkinan
kedua, yakni diajari, dalam arti menerima sesuatu yang tidak berada dalam diriku.
Hal ini hanya bisa terjadi dalam perjumpaanku dengan Liyan yang menampilkan
dan memaksakan ke-liyan-annya bagiku. Ini mengakhiri egoismeku dan
imanensiku, keterkungkunganku dalam duniaku. Dengan membuka diri dan
menyambut Liyan, aku memasuki ketakberhinggan, mencapai transendensi,
mengatasi dan melampaui duniaku (Levinas, 1969: 203-4). Begitu juga,
objektivitas dipahami dalam terang yang sama. Dalam menunjuk sesuatu, Aku
menunjukkannya bagi Liyan. Bahasa atau tanda, bagi Levinas (1969: 209),
“memungkinkanku mengubah benda-benda menjadi sesuatu yang bisa
ditawarkan, melepaskannya dari penggunaanku sendiri, mengasingkan mereka,
membuat mereka jadi eksterior.” Hal ini tidak bermakna negatif sebagai Aku
kehilangan sesuatu dari duniaku. Sebaliknya, ia memiliki makna positif, yakni
masuknya benda itu ke dalam wilayah Liyan. Aku menawarkan duniaku bagi
Liyan dalam dan melalui bahasa. Artinya, objektivitas bukanlah suatu kualitas
yang melekat dalam subjek yang terisolasi, melainkan dalam hubungannya
dengan Liyan.
Hal lain yang juga ditekankan Levinas adalah hubungan Aku dan liyan
tidaklah ditandai oleh resiprositas maupun simetri. Sudah kita lihat bahwa bahasa,
makna, penalaran, dan objektivitas bersumber dari Liyan. Karena itu, Liyan tampil
bagiku dari ‘ketinggian’. Ia adalah ‘guru’ dan ‘tuan’ bagiku. Hubungan Aku dan
Liyan ditandai oleh asimetri. Aku bertanggung jawab atas perbuatanku padanya,
tetapi aku tidak bisa menuntut pertanggungjawaban serupa darinya. Bahkan, aku
bertanggung jawab atas perbuatannya (Bertens, 2001: 294-5; Desmond, 1994:
136). Inti dari subjektivitas, atau kesubjekanku, adalah tanggung jawabku. Bagi
Levinas, bukan lagi ‘aku berpikir, maka aku ada’, melainkan ‘aku bertanggung
jawab, maka aku ada.’
Beberapa Catatan
Bergo (2008) mencatat bahwa etika Levinas tidak bisa dipahami sebagai
etika tradisional, yakni kebebasan atau legislasi-diri rasionalistik ala deontologi,
kalkulasi kebahagiaan ala utilitarian, atau pengembangan keutamaan. Memang
benar, seperti dikemukakan Derrida (dalam Bergo, 2008), Levinas tidak
mengemukakan seperangkat aturan atau prinsip moral. Levinas, lanjut Derrida,
menulis etika tentang etika (ethics of ethics), yakni eksplorasi syarat-syarat
kemungkinan adanya minat terhadap tindakan dan hidup yang baik.
Lebih jauh, Wyschogrod (2000: 231) mengajukan simpulan bahwa etika
Levinasian adalah etika heteronomi yang merupakan pembalikan dari etika
Kantian yang mendasarkan bangunannya pada otonomi subjek. Bagi Kant,
moralitas berlandaskan pada rasio yang universal. Bertindak sesuai dengan
tuntutan hukum moral dengan memperturutkan kecenderungan afektif, bagi Kant
tidak cukup untuk membuat tindakan itu disebut bermoral; untuk menjadi
bermoral, tindakan harus semata dilandasi rasa kewajiban. Karena itulah, dalam
etika Kantian afeksi justru merupakan penghalang bagi tindakan moral.
Sebaliknya, bagi Levinas, moralitas justru lekat dengan afeksi. Dalam
pandangannya, afektivitas merupakan modus moralitas. Dengan begitu Levinas
memadukan kembali motif dan kewajiban yang dipisahkan oleh Kant. Moralitas
tidak lagi menjadi semata aturan kewajiban yang kering dan kaku, melainkan
sebuah pengalaman hidup yang dihayati dengan segala kepenuhannya.
Hal lain yang juga sering dikritik pada pemikiran Levinas adalah asimetri
Aku dan Liyan dan pernyataan bahwa tanggung jawabku bukan hanya atas
tindakanku tapi juga atas tindakan Liyan. Desmond (1994: 136) menilai klaim ini
sebagai hiperbolis. Bahkan, ia menyebutkan “secara ironis, hal ini bisa mengarah
pada kecongkakan etis, di mana Aku menempatkan diriku dalam peran Yang
Mutlak, menempatkan diriku sebagai pengganti Tuhan.”
Namun demikian, terlepas dari kritik di atas, ruang yang diberikan Levinas
bagi kelainan Liyan dan kritiknya terhadap tendensi totalisasi sangat relevan bagi
kenyataan kontemporer. Seringkali kita jumpai gerakan-gerakan pembebasan
yang justru memberangus Liyan, sesuatu yang berbeda dengan dirinya, atas nama
kebebasan itu sendiri. Tak gerakan Marxis, tak kapitalisme neo-liberal, dan tidak
pula gerakan-gerakan keagamaan, dengan pretensi pembebasan manusia,
semuanya justru kerap menindas dan menyeragamkan. Dan Levinas telah
mengingatkan kita bahwa di sana, pada wajah, dalam diri Liyan, ada sesuatu yang
menghimbau, menolak, dan mengelak untuk dikuasai dan diseragamkan.
Daftar Pustaka
Bergo, Bettina, 2007, “Emmanuel Levinas”, dalam Edward N. Zalta (Ed.),
Stanford Encyclopedia of Philosophy, [http://plato.stanford.edu/
entries/levinas/], revisi terakhir 18 Maret 2007, diakses pada 20 Desember
2008.
Bertens, Kees, 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama), cet. ke-3, edisi perluasan.
Desmond, William, 1994, “Philosophies of Religion: Marcel, Jaspers, Levinas”,
dalam Richard Kearney (ed), Routledge History of Philosophy Vol. VIII:
Twentieth-Century Continental Philosophy, (London: Routledge).
Levinas, Emmanuel, 1969, Totality and Infinity: An Essay on Exteriority, terj.
Alphonso Lingis, (The Hague: Duquesne Univ. Press).
Peperzak, Adriaan Theodoor, 1997, Beyond: The Philosophy of Emmanuel
Levinas, (Illinois: Northwestern Univ. Press).
Wyschogrod, Edith, 2000, Emmanuel Levinas: The Problem of Ethical
Metaphysics, (New York: Fordham Univ. Press).