Você está na página 1de 9

Laporan Praktikum Biokimia Klinis

Hari/Tanggal Waktu PJP Asisten

: Selasa/18 Februari 2014 : 08.00-11.00 WIB : Syaefudin, M.Si : Rahmah Dara Ayunda Deva K.K Nazula R.S Dwi Ayu S.

URINALISIS
Kelompok 15 Novi Andrianto Dwi Nugraha F. Uci Sugiman G84110025 G84110057 G84110077

DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PENDAHULUAN Metabolisme yang dilakukan manusia sebagai makhluk hidup

menghasilkan zat-zat yang apabila tidak dikeluarkan akan membahayakan tubuh. Salah satu zat hasil metabolisme yang berbahaya dan harus dikeluarkan adalah urin. Urin mengandung 95% air dan 5% garam-garam, amonia, urea, asam urat, dan kreatinin. Jumlah urin yang keluar dari tubuh tidak tergantung sepenuhnya dari jumlah air yang diminum, tetapi juga tergantung dari garam-garam yang harus dikeluarkan dari tubuh agar tekanan osmosis darah tetap. Perbedaan keadaan urin ini dapat dipengaruhi oleh suhu tubuh, konsentrasi darah, proses metabolisme yang terjadi dalam tubuh, usia, dan jenis kelamin (Koolman dan Roehm 2005). Organ yang berperan dalam sekresi urin adalah ginjal. Fungsi spesifik dari ginjal, yaitu: (1) mengatur volum cairan ektraseluler; (2) mengatur konsentrasi elektrolit anorganik dalam cairan ekstraseluler; (3) mengatur osmolaritas cairan ekstraseluler; (4) membuang limbah-limbah metabolisme; (5) mengekskresikan senyawa-senyawa asing; (6) menjaga keseimbangan asam-basa; (7) produksi hormon dan enzim (Van de Graff dan Rhees 2001). Urin sangat penting fungsinya terkait dengan pengeluaran amonia yang bersifat toksik bagi sel. Amonia berasal dari proses metabolisme protein. Gugus NH3 dari protein harus dipecah dan dibuang sebagian dan diubah menjadi amonia untuk dikeluarkan. Umumnya pada urin dapat ditemukan adanya bilirubin dan urobilinogen. Bilirubin merupakan produk sisa dari degradasi heme. Sel darah merah yang sudah tua akan dipecah gugus hemenya yang kemudian akan dioksidasi pada cincin tetrapirol membentuk biliverdin. Biliverdin kemudian direduksi menjadi bilirubin dan terikat albumin serta larut air utuk menuju hati. Asam glukuronat lalu mengikat bilirubin yang masuk ke hati dan diekskresikan ke empedu sebagai pigmen empedu. Sebagian bilirubin terkonjugasi rusak selama di usus oleh glukoronasidase bakteri. Bilirubin yang terlepas direduksi menjadi

sterkobilinogen. Ketika terjadi degradasi heme dalam jumlah cukup banyak maka sterkobilinogen dapat ditemukan di urin sebagai urobilinogen (Koolman dan Roehm 2005).

Menurut Ganong (1971), urinalisis merupakan suatu metode analisis urin untuk mengidentifikasi penyakit dalam tubuh dengan cara mengidentifikasi zatzat yang tidak seharusnya ada dalam urin baik keberadaan maupun konsentrasinya. Urinalisis terdiri atas analisis kimia dan pemeriksaan

mikroskopik. Analisis kimia terhadap urin meliputi uji tentang identifikasi protein, gula dan badan keton, sedangkan pemeriksaan mikroskopik terhadap urin meliputi identifikasi sel darah merah dan sel darah putih. Percobaan kali ini bertujuan menganalisis secara kualitatif urin melalui urinalisis. METODE PRAKTIKUM Waktu dan Tempat Praktikum ini dilaksanakan pada hari Selasa, 18 Februari 2014, pukul 08.00-11.00 WIB, di laboratorium departemen Biokimia. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan yakni, urinometer, kertas saring, indikator pH universal, water bath, bunsen, tabung reaksi, gelas piala, corong, penangas air, pipet tetes, pipet mohr 10 ml, pipet mohr 5 ml, batang pengaduk, dan bulb. Sementara itu, bahan yang digunakan antara lain, urin sintetik, 2 sampel urin dari probandus, . Prosedur Pemeriksaan Visual dan Fisik. Sampel urin dari dua orang probandus dan urin sintetik diamati warna dan bau. Selanjutnya berat jenis ketiganya diukur dengan urinometer, yang dinyatakan tiga angka desimal. Setelah itu, kadar padatan urin yang dinyatakan dalam gram per 1000 mL urin, dihitung dengan mengalikan dua angka terakhir pada berat jenis dengan koefisien Long (2,6). Kemudian pH ketiganya juga diukur dengan indikator pH universal. Proteinuria. Pengujian dilakukan dalam tiga jenis uji yakni, uji koagulasi, Bang, dan asam sulfosalisilat. Uji koagulasi diawali dengan menyaring ketiga sampel urin kemudian dipipet sebanyak lima mL ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya tabung reaksi dididihkan dalam water bath dan ditambahkan tiga tetes asan asetat 6%. Jika penambahan asam asetat menyebabkan larutan semakin keruh, sampel dinyatakan positif protein. Uji bang diawali dengan mengambil 5

mL filtrat urin dan ditambahakan 2 mL pereaksi. Larutan kemudian dicampurkan dan dipanaskan. Hasil uji ini dibandingkan dengan uji koagulasi. Uji asam sulfosalisilat diawali dengan mengambil tiga mL filtrat urin. Pereaksi sebanyak tiga mL dipipet dan ditambahkan ke sampel dengan memeringkan tabung reaksi dan secara perlahan. Kekeruhan yang terjadi di pertemuan antara lapisan asam dan urin setelah satu menit menunjukkan reaksi positif. Glukosuria (uji Benedict). Mula-mula, pereaksi sebanyak lima mL dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan delapan tetes filtrat urin. Tabung kemudian dipanaskan diatas bunsen hingga mendidih lalu didinginkan. Perubahan warna larutan menjadi hijau-kuning-merah bata menunjukkan reaksi positif. Ketonuria. Filtrat urin sebanyak lima mL dipipet dan ditambahkan kristal amonium sulfat sampai jenuh. Setelah itu, larutan natrium nitroprusida 5% sebanyak 2-3 tetes dan 1-2 mL amonia pekat ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Selanjutnya perubahan warna yang terbentuk diamati sebagai hasil reaksi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan urin dapat menunjukkan kondisi klinis seseorang. Berbagai macam penyakit dan gangguan fungsi tubuh dapat dideteksi melalui urinalisis. Sebagai sisa hasil metabolisme urin mengandung berbagai macam zat yang tak lagi dibutuhkan oleh tubuh bahkan bersifat racun. Urin dalam keadaan normal menurut Koolman (1994) mengandung komponen organik dan anorganik. Komponen organik yang terdapat dalam urin antara lain urea, asam urat, kreatinin, dan lainnya. Sementara itu, komponen anorganik terdiri atas kation dan anion. Beberapa kation yang terdapat di dalam urin diantaranya Na+, K+, Ca2+, Mg2+, dan NH4+. Sementara itu, anion Cl-, SO42-, dan HPO42- juga banyak ditemukan dalam urin. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 86% air, 1.5% garam, 2.5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memeberi warna dan bau pada urin (Wirawan 2004). Tabel 1 Uji kualitatif urin
Parameter Warna Bau Volume (mL) Urin sintetik Kuning (+) + 125 Hasil Sampel 1 Kuning (++) + 175 Sampel 2 Kuning (++) + 200

Buih Berat jenis (g/mL) Suhu (oC) Kadar padatan (g/L) pH Uji koagulasi Uji Bang Uji asam sulfosalisilat Uji Benedict Uji Rothera

1,001 24 2,6 10 +

1,004 31,5 10,4 7 + -

+ 1,004 30,5 10,4 8 -

Contoh perhitungan berat jenis : Talat = 20 C Turin = 31.5 C BJ terukur = 1 FK = = = 0.004 BJ terkoreksi = 1 + FK = 1 + 0.004 = 1.004 g/mL

Kadar padatan = 4 x Koefisien Long = 4 x 2.6 = 10.4 g/ L. Tabel 1 menyajikan hasil percobaan urinalisis terhadap 2 sampel urin probandus dan urin sintesis.hasil uji pertama adalah uji visual warna urin. Dari ketiga sampel, urin asli memiliki warna kuning jernih dengan intensitas warna yang lebih pekat dibandingkan dengan urin sintesis. Kemudian uji bau menunjukkan bahwa semua sampel urin berbau khas amonia, hanya saja terdapat perbedaan kadar bau. Perbedaan warna dan kekuatan bau disebabkan karena urin probandus merupakan cerminan asli dari hasil metabolisme tubuh. Besaran fisik lainnya yang diuji adalah pH, bobot jenis, suhu, kadar padatan, dan volume. Seluruh besaran fisik diatas seperti sudah disinggung pada pendahuluan, merupakan besaran-besaran yang sangat berhubungan dengan fungsi organ-organ tertentu dimana bisa menjadi tolak ukur tentang keadaan organ tersebut. pH atau derajat keasaman merupakan besaran yang sangat berkaitan erat dengan fungsi ginjal. Urin yang baik dan sehat secara metabolisme adalah yang bersifat asam karena jika urin bersifat basa artinya kinerja ginjal kurang baik yang menyebabkan senyawa-senyawa bersifat basa dapat lewat begitu saja pada ginjal (Koolman 1994). Nilai pH dari urin sintetik adalah 10, urin sampel 1 adalah 7, dan sampel 2 adalah 8. Nilai pH urin yang diuji cenderung basa, hal ini

bergantung pada faktor fakor metabolisme dan kesehatan tubuh probandus. Volume urin bergantung pada kondisi tertentu seperti aktivitas, suhu dan asupan air. Uji terhadap bobot jenis urin memperlihatkan hasil yang tidak terlalu berbeda dan masih pada ambang normal yaitu 1.001 untuk sintetik dan 1.004 untuk urin asli. Tortora (2006) menyebutkan bobot jenis urin berkisar antara 1.001 g/mL sampai 1.035. g/mL Bobot jenis yang melebihi 1.040 g/mL menunjukkan adanya kerusakan pada ginjal (Aisyah 1989). Adanya perbedaan bobot jenis ini disebabkan oleh adanya zat yang terlarut dalam cairan tersebut. Semakin besar bobot jenis, maka zat yang terlarut semakin banyak. Kenaikan bobot jenis urin dapat disebabkan oleh demam, berkurangnya air yang masuk atau dehidrasi, muntah, diare, luka bakar stadium awal, dan insufisiensi ginjal. Sedangkan penurunan bobot jenis urin dapat disebabkan oleh nefritis intertra, pengobatan intravena yang berlebihan, diabetes inspidus, dan lainnya (Girindra 1989). Adapun untuk suhu, dan kadar endapan pada urin, semuanya menghasilkan nilai yang berbeda yang diakibatkan karena urin asli seperti yang dijelaskan sebelumnya bergantung pada metabolisme tubuh seseorang. Suhu urin asli mengikuti suhu tubuh. Tabel 1 menyajikan hasil uji kualitatif aitu uji koagulasi, uji Bang, uji asam sulfosalisilat, uji Benedict, rothera. Ketiga uji awal (uji koagulasi, Bang dan asam sulfosalisilat), digunakan untuk mengidentifikasi adanya protein dalam urin. Hasil ketiga uji ini adalah negatif untuk semua sampel baik sintetik maupun asli. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua jenis urin sampel tidak mengandung protein. Pereaksi yang digunakan dalam uji Bang ialah larutan bufer asetat pH 4.7. Larutan ini dapat mengendapkan albuminat alkali atau albuminat asam (Aisyah 1989). Sementara itu, pada uji asam salisilat, protein dapat terendapkan akibat adanya penambahan asam salisilat pada urin yang mengandung protein (Aisyah 1989). Prinsip ketiga uji keberadaan protein pada urin adalah dengan reaksi pengendapan protein melaui reagen yang digunakan. Apabila urin mengandung protein maka akan terbentuk endapan putih keruh setelah pemanasan. Pemanasan sendiri berfungsi untuk mempercepat reaksi. Uji proteinuria yang paling baik adalah uji

sulfosalisilat. Uji ini mendeteksi protein lebih baik karena pengendapan oleh asam salisilat lebih peka terhadap konsentrasi protein yang sedikit pada urin. Selain uji keberadaan protein dilakukan uji keberdaan gula menggunakan uji Benedict. Uji Benedict bekerja berdasarkan kemampuan glukosa mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ dalam larutan basa, jika kandungan glukosa melebihi 300 mg/100 mL maka akan terlihat endapan berwarna merah, kuning, atau kehijauan (Aisyah 1989). Hasil yang diperoleh adalah positif pada sample 1 dan negatif untuk kedua sampel. Hasil positif menunjukkan adanya gula pada sampel urin 1. Pada keadaan normal urin tidak mengandung glukosa, hasil positif ini dapat disebabkan oleh hiperglikemia atau karena kurang bersihnya tabung reaksi yang digunakan. Hasil uji Rothera pada urin sampel dan urin sintetik menunjukkan nilai yang positif pada urin sintetik dan negatif untuk kedua jenis sampel urin. Berdasarkan ini dapat diketahui urin kontrol mengandung keton. Hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan warna kedua jenis sampel urin menjadi merah muda keunguan atau lavender. Menurut Aisyah (1989), warna lavender yang ditimbulkan akibat uji ini menunjukkan adanya aseton dalam urin akibat adanya reaksi dengan nitroprusida. Uji Rothera ialah salah satu uji yang digunakan untuk mengidentifikasi badan keton yang terlarut dalam urin. Uji urobilin, bilirubin dan urobilinogen untuk kali ini belum dilakukan. Ketiga uji tersebut bertujuan untuk mengetahui keberadaan pigmen-pigmen empedu dalam urin. Menurut Aisyah (1989), adanya bilirubin dalam urin yang telah ditambahkan alkohol akan menyebabkan adanya perubahan warna larutan menjadi merah eosin akibat adanya reaksi dengan pereaksi Diazo. Perubahan warna larutan juga dipengaruhi pH suatu urin yang terlalu asam maupun yang terlalu basa. Adanya bilirubin 0.05-1 mg/dL urin akan memberikan hasil positif dan keadaan ini menunjukkan kelainan hati atau saluran empedu (Wirawan R, Immanuel S, Dharma R 1983). Adanya kandungan urobilin dan urobilinogen dapat ditunjukkan dengan berpendarnya larutan berwarna hijau dibawah lampu UV. Penambahan Zn-asetat jenuh dalam alkohol ke dalam urin akan mengendapkan semua zat selain urobilin dan urobilinogen (Aisyah 1989). Urin dalam keadaan normal memiliki kadar urobilinogen berkisar antara 0.1-1.0 Ehrlich unit per dL urin. Peningkatan ekskresi urobilinogen urin mungkin

disebabkan oleh kelainan hati dan saluran empedu atau proses hemolisa yang berlebihan didalam tubuh (Wirawan R, Immanuel S, Dharma R 1983). Seperti telah disinggung sebelumnya, urin dapat digunakan sebagai tolak ukur kesehatan. Adanya kandungan gula dalam urin mengindikasikan kondisi hiperglikemia yaitu keadaan kelebihan gula disekresikan lewat urin karena batas reabsorbsi gula di ginjal terlampaui. Kemudian keberadaan protein dalam urin memperlihatkan kondisi proteinuria. Hal ini bisa disebabkan rusaknya kantung glomerulus pada ginjal. Keberadaan buih pada urin dapat mengindikasikan keberadaan protein. Kencing berbusa sangat mungkin mewakili jumlah besar protein dalam urin (proteinuria) (Utama 2011). SIMPULAN Urinalisis meliputi analisis fisik dan kimiawi dari urin. Analisis fisik meliputi pengamatan pada warna, bau, volume, pH, BJ, suhu, dan kadar padatan yang terdapat pada urin. Hasil analisis fisik terhadap urin praktikan, yaitu berwarna kuning jernih, berbau ammonia, volumenya 125 mL dan 200 mL, berpH 7 dan 8, berat jenis 1.004 g/mL untuk keduanya, suhunya 31 oC, dan kadar padatannya 10.4 g/L dan 9.4 g/L. Uji kimiawi pada urin praktikan, yaitu negatif terhadap protein, positif untuk badan keton sampel urin sintetik, dan positif untuk glukosa pada sampel urin 1. Uji urobilinogen, urobilin dan bilirubin belum dilakukan. Urinalisis dapat digunakan sebagai pendeteksi kondisi klinis. DAFTAR PUSTAKA Aisyah G. 1989. Biokimia Patologi. Bogor: IPB Press Ganong WF. 1971. Review of Medical Physiology. California: Lange Medical Publications. Koolman J dan Roehm KH. 2005. Color Atlas of Biochemistry, 2nd Edition. New York: Thieme Stuttgart. Tortora GJ dan Derrickson B. 2006. Principles of Anatomy and Physiology. New Jearsey: Von Hoffmann Press Inc. Utama IH, Hutagalung EM, Laxmi IWPA, Erwan IGM, Widyastuti SK, Setiasih LE, Berata K. 2011. Urinalysis using two kind of dipsticks in Bali cattle. Jurnal Veteriner. 12(2): 107-112. Van de Graff, Rhees RW. 2001. Human Anatomy and Physiology. New York: The McGraw-Hill Companies

Wirawan R, Immanuel S, Dharma R. 1983. Penilaian hasil pemeriksaan urin. Cermin Dunia Kedokteran 30: 35-38. Wirawan R, Dalima AWA, Enny. 2004. Evaluasi pemeriksaan sedimen urin secara kualitatid menggunakan sistem Shih-Yung. Jurn. Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran. 36(3): 58-62.

Você também pode gostar