Você está na página 1de 3

TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom Ovarium Polikistik dan Penggunaan Analog GnRH


Ali Baziad
Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK Sindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome, PCOS) merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan proses ovulasi. Meskipun angka kejadian sindrom ini dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum diketahui. Pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik adalah laparoskopi. Bagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati dengan pemberian pil kontrasepsi kombinasi oral yang mengandung estrogen dan progesteron sintetik. Penggunaan pil kontrasepsi ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium sehingga menurunkan sekresi testosteron. Pengobatan utama bagi semua wanita pengidap PCOS yang kegemukan (overweight) ialah menurunkan berat badan. Dengan cara yang sederhana ini, kadang-kadang proses ovulasi dapat terjadi secara spontan. Dewasa ini, analog GnRH (gonadotropin-releasing hormone) sudah digunakan untuk menekan tingginya kadar LH (luteinizing hormone), tetapi tidak begitu kuat menekan sekresi FSH (follicle stimulating hormone) dan sintesis prolaktin. Kata kunci: sindrom ovarium polikistik, FSH, LH, testosteron, GnRH

ABSTRACT Polycystic ovary syndrome (PCOS) is one of the causes of infertility because of ovulation process failure. The incidence of PCOS is higher in reproductive age, but the etiology is still unknown. The gold standard procedure for PCOS diagnosis is laparoscopy. Women who dont plan to concieve can use oral contraceptives containing combination of synthetic oestrogen and progesterone to suppress ovarii function and therefore reduce testosterone. Main treatment for overweight polycystic ovary syndrome women is bodyweight reduction. This simple way sometimes induced spontaneous ovulation process. Recently, gonadotropin-releasing hormone (GnRH) analogue is used to suppress high LH (luteinizing hormone) level but less suppress FSH (follicle stimulating hormone) secretion and prolactin synthesis. Ali Baziad. Polycystic Ovary Syndrome and GnRH-Analog Use. Key words: polycystic ovary syndrome, FSH, LH, testosterone, GnRH

PENDAHULUAN Apabila seorang wanita pada usia reproduksi sering mengeluh dan mengalami gejala siklus haid tidak teratur, haid yang tidak ada dan kadang hanya sedikit, kegemukan dengan jaringan lemak yang meningkat, timbul jerawat pada bagian wajah atau badan, tumbuhnya rambut yang berlebihan pada wajah atau badan, dan apabila wanita tersebut sudah menikah dan ingin memiliki anak namun sulit menjadi hamil, mungkin wanita ini mengalami gejala/manifestasi klinis yang disebut dengan sindrom ovarium polikistik atau polycystic ovary syndrome (PCOS). Sindrom ovarium polikistik merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan

sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas. Sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%. Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum banyak diketahui. Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan

Leventhal pada sekitar tahun 1935.1 Kelainan atau sindrom ini bukanlah sebuah penyakit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai pada umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea (haid yang sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya rambut berlebihan), adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium.1,2 Sindrom ovarium polikistik ini cukup erat kaitannya dengan peristiwa tidak terjadinya proses ovulasi (anovulasi); setiap kondisi atau keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anovulasi kronis akan menyebabkan terjadinya sindrom ovarium polikistik. Adanya gangguan haid berupa tidak terjadinya haid minimal dalam waktu tiga bulan disebut amenorea, sedangkan bila memiliki jarak menstruasi lebih dari 35 hari disebut oligome-

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

573
8/6/2012 3:14:39 PM

CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 573

TINJAUAN PUSTAKA
norea. Mayoritas wanita dengan sindrom ovarium polikistik memiliki masalah kegemukan/obesitas dan mengalami resistensi insulin yang menyebabkan keadaan hiperandrogen (kadar androgen yang tinggi) pada ovarium dengan akibat akan menghambat perkembangan folikel dan memicu terjadinya siklus anovulatorik. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI Penyebab sebenarnya sindrom ovarium polikistik hingga saat ini belum diketahui pasti. diduga faktor penyebabnya terletak pada gangguan proses pengaturan ovulasi dan ketidakmampuan enzim yang berperan pada proses sintesis estrogen di ovarium.2 Pada kebanyakan wanita dengan PCOS, akan dijumpai pengeluaran LH (luteinizing hormone) yang berlebihan; LH menyebabkan terjadinya peningkatan sintesis androgen di ovarium.3 Dijumpai peningkatan rasio LH terhadap FSH (follicle stimulating hormone). Penyebab peningkatan pengeluaran LH dari hipofisis dan peningkatan sintesis hormon steroid seks di ovarium masih belum diketahui. Kadar hormon androgen yang tinggi menyebabkan kapsul ovarium fibrotik, hirsutisme, akne, seboreik, pembesaran klitoris, dan pengecilan payudara. Pada perempuan dengan PCOS, tidak dijumpai gangguan sintesis estrogen, tetapi justru ditemukan produksi estrogen yang tinggi yang meningkatkan risiko terkena kanker endometrium dan payudara. Penelitian terakhir tentang sindrom ovarium polikistik mengungkap adanya hubungan antara hiperinsulinemia dengan peningkatan kadar testosteron plasma.4,5 Pengeluaran insulin memicu sekresi testosteron dari ovarium dan menghambat sekresi sex hormone binding globulin (SHBG) dari hati.6,7 Pada sebagian wanita dengan PCOS dan anovulatorik, ditemukan peningkatan kadar insulin dalam darah. Namun, perlu diketahui bahwa PCOS bukan hanya disebabkan oleh kadar insulin yang tinggi. Para wanita gemuk atau obes, anovulasi serta kadar insulin yang tinggi merupakan faktor risiko terkena penyakit jantung koroner.3,4 Hiperinsulinemia berkaitan cukup erat dengan kadar lipid abnormal dan peningkatan tekanan darah. Kegemukan dan siklus haid yang anovulatorik merupakan faktor risiko terjadinya hiperplasia endometrium yang dapat berubah menjadi keganasan.3 Risiko terkena kanker payudara juga akan meningkat. DIAGNOSIS Perlu dibedakan antara PCOS simtomatik dan PCOS asimtomatik. Pada sindrom ovarium polikistik, selalu dijumpai ovarium yang membesar. Pembesaran ovarium ini dapat dengan mudah dideteksi dengan ultrasonografi/USG (kepekaan 95%). Pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis sindrom ovarium polikistik adalah laparoskopi. Dengan USG, ditemukan PCOS pada sekitar 25% populasi wanita normal.8,9 Analisis pemeriksaan hormonal untuk menentukan apakah itu LH, FSH, prolaktin, atau testosteron, sangat tergantung dari gambaran klinis. Pada wanita dengan amenorea, perlu dilakukan pengukuran kadar FSH dan prolaktin. Kadar FSH yang tinggi mengambarkan adanya kegagalan ovarium, sedangkan kadar prolaktin yang tinggi mengambarkan adanya tumor hipofisis (prolaktinoma). Bila ditemukan kadar FSH dan prolaktin yang normal, perlu dilakukan USG dan uji dengan progesteron (uji P). Hasil uji P akan menjadi negatif pada wanita dengan amenorea hipotalamik dan hasil ultrasonografi menggambarkan adanya ovarium polikistik. PCOS, hasil uji P pada umumnya positif. Pada wanita dengan wajah dan badan yang ditumbuhi rambut (hirsutisme), dianjurkan melakukan pemeriksaan testosteron dan dehidroepiandosteron sulfat (DEAS) untuk mengetahui apakah terdapat tumor di ovarium dan suprarenal. Kadar DEAS yang tinggi menggambarkan adanya tumor di kelenjar suprarenal. Kadang-kadang, perlu juga dilakukan pemeriksaan hormon 17-alfa hidroksi progesteron; kadarnya yang tinggi menandakan adanya hiperplasia adrenal kongenital (defisiensi enzim 21-hidroksilase). PENGOBATAN Bagi wanita yang belum ingin memiliki anak, cukup diobati dengan pil kontrasepsi kombinasi oral, yang di Indonesia terkenal dengan sebutan pil KB. Pil KB yang sering digunakan adalah jenis pil kombinasi yang mengandung estrogen dan progesteron sintetik. Penggunaan pil KB ini bertujuan untuk menekan fungsi ovarium, sehingga sekresi hormon testosteron menurun. Komponen estrogen yang terdapat dalam pil kontrasepsi akan memicu terjadinya produksi SHBG di hati. Hormon SHBG yang tinggi tersebut akan mengikat lebih banyak lagi testosteron di dalam darah. Komponen progesteron yang terdapat dalam pil kontrasepsi akan mencegah terjadinya hiperplasia endometrium. Pada wanita dengan gejala dan tanda hirsutisme, lebih dianjurkan pemberian pil kontrasepsi yang mengandung hormon antiandrogen siproteron asetat (SPA); siproteron asetat dapat juga diberikan tidak dalam bentuk pil kombinasi. Siproteron asetat termasuk jenis hormon progestogen alamiah yang sangat kuat efek antiandrogeniknya. Namun, di negara seperti Indonesia, kaum perempuan masih menganggap bahwa pil kontrasepsi banyak efek sampingnya sehingga penggunaannya kurang disukai. Pengobatan utama pada semua wanita dengan sindrom ovarium polikistik yang kegemukan adalah menurunkan berat badan. Dengan cara yang sederhana ini kadang-kadang proses ovulasi dapat terjadi secara spontan. Bila dengan menurunkan berat badan tetap tidak terjadi proses ovulasi, perlu diberi obat-obat pemicu ovulasi, seperti klomifen sitrat, atau FSH murni. Pada semua wanita yang ingin mempunyai anak, pengobatannya adalah pemberian obat-obat pemicu proses ovulasi. Namun, selama kadar LH masih tinggi, akan sangat sulit terjadi proses ovulasi, apalagi kehamilan. Dewasa ini, mulai dicoba pengobatan sindrom ovarium polikistik dengan analog gonadotropin-releasing hormone (GnRH).10 Cara ini adalah cara pengobatan yang dapat menekan tingginya kadar LH dalam waktu relatif cepat. Selain itu, pemberian analog GnRH menekan fungsi ovarium dengan kuat sehingga produksi testosteron di ovarium tertekan. Keuntungan lain penggunaan GnRH analog adalah bahwa hormon ini tidak begitu kuat menekan pengeluaran FSH (follicle-stimulating hormone) dan sintesis prolaktin. FSH sangat dibutuhkan untuk pematangan folikel di ovarium, sedangkan prolaktin dibutuhkan untuk membantu sintesis progesteron di korpus luteum. Penurunan kadar progesteron darah yang signifikan sering menyebabkan terjadinya keguguran (abortus). Tidak dijumpai adanya perbedaan angka kejadian kehamilan yang bermakna pada semua jenis pengobatan yang diuraikan di atas. Tindakan pembedahan atau operatif berupa eksisi baji sudah mulai ditinggalkan dan diganti dengan tindakan elektrodiatermi pada setiap folikel yang terlihat (drilling). Cara ini dapat dilakukan dengan teknik laparoskopi. Namun, dalam konteks terjadinya proses kehamilan, ternyata tidak dijumpai perbedaan bermakna antara penggunaan obat-obat pemicu proses ovulasi maupun penggunaan analog GnRH. Tindakan drilling pada ovarium

574
CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 574

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

8/6/2012 3:14:39 PM

TINJAUAN PUSTAKA
perempuan dengan sindrom ovarium polikistik ini mulai diperdebatkan di kalangan ahli. Banyak dilaporkan kasus menopause dini akibat kerusakan folikel saat tindakan drilling. Karena itu, perlu kehati-hatian dan kompetensi operator yang cukup dalam melakukan tindakan drilling ini. Cara lain untuk menekan produksi testosteron di folikel-folikel kecil ialah dengan memberikan preparat analog GnRH yang mempunyai efek sangat kuat menekan sintesis testosteron dan hampir tidak pernah menyebabkan komplikasi klinis berupa menopause dini. Seorang perempuan yang didiagnosis mengalami menopause dini sudah pasti akan sulit mendapatkan keturunan. Perempuan tersebut juga harus diberi terapi sulih hormon jangka panjang, dengan risiko kanker payudara. DAMPAK PSIKOLOGIS PCOS Kegemukan dan hirsutisme membuat para pengidapnya menjadi malu bergaul. Rasa kurang percaya diri dan tertekan akibat belum memiliki keturunan serta akibatnya akan sering menyebabkan gangguan siklus haid. Kadar testosteron yang tinggi dapat meningkatkan libido sehingga menimbulkan rasa malu, berdosa, atau frustrasi. Hal ini perlu mendapat perhatian bagi kalangan dokter dalam menangani kasus sindrom ovarium polikistik. Pemberian preparat analog GnRH hampir tidak pernah menyebabkan gejala psikologis pada perempuan dengan sindrom ovarium polikistik karena estrogen masih tetap tersedia dalam jumlah cukup di dalam darah. PENUTUP Wanita dengan sindrom ovarium polikistik (PCOS) memerlukan pemeriksaan seksama dan menyeluruh agar dapat dilakukan penatalaksanaan yang tepat untuk hasil yang optimal. Secara prinsip, penanganannya adalah dengan perangsangan proses ovulasi melalui obat-obatan, seperti metformin (untuk mengatasi terjadinya resistensi insulin) dan perubahan gaya hidup pasien untuk mengatasi kegemukan atau obesitas. Proses penebalan pada dinding ovarium dapat diatasi dengan tindakan pembedahan, seperti laparoskopi, guna membantu terjadinya ovulasi. Kegemukan atau obesitas sebaiknya diatasi/dihindari; tidak adanya obesitas berdampak baik terhadap upaya menurunkan kadar insulin dan membantu proses pematangan sel telur (ovum).

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Stein IF, Leventhal ML. Amenorrhea associated with bilateral polycystic ovaries. Am J Obstet Gynecol 1935:29:181-91 Matthiessen SH. Gynakologie und Gebursthilfe. F.K Schattauer Verlag. Stuttgart New-York, 1976:10-11 Eden JA. The polycystic ovary syndrome. Aust NZ J Obstet Gynecol 1989:29:67-72. Norman J,Masters SC, Hague W.Metabolic approaches to the subclassification of polycstic ovary syndrome. Fertil Steril 1995:63:329-35 Birdsall MA,Farquar CM, White HD. Association between polycystic ovaries and extend of coronary artery disease in women having cardiac catherization. Ann Intern Med 1977:126:32Crulet H, Hecart AC,Delemer B. Roles of LH and insulin resistance in lean and obese polycystic ovary syndrome. Clin Endocrinol 1993:38:621-6. Nestler JE, Powers LP, Mat DW. A direct effect of hyperinsulinemia on serum sex hormone-binding globulin levels in obese women with the polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab 1991:72:83. 8. 9. Polson DW, Adams J. Polycystic ovaries_a common finding in normal women.Lancet 1998:1:870. Edden JA.Polycystic ovary syndrome: Diagnostic and clinical aspects. Gynaecology Forum 1997:2:5-7 10. Genazzani AD, Petraglia F, Battaglia C, Gamba O, Volpe A, Genazzani AR. A long-term treatment with gonadotropin-releasing hormone agonist plus a loe-dose oral contraceptive improves the recovery of the ovulatory function in patients with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril. 1997;67:463-8.

CDK-196/ vol. 39 no. 8, th. 2012

575
8/6/2012 3:14:40 PM

CDK-196_vol39_no8_th2012 ok.indd 575

Você também pode gostar