Você está na página 1de 22

Diagnosis Diabetes Melitus Kriteria Diabetes Melitus (DM) berdasarkan the American Diabetes Assocoation (ADA): 1.

Glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11.1 mmol/L) disertai dengan adanya gejala diabetes (yaitu poliuria, polidipsia, penurunan berat badan, penglihatan kabur) . 2. Glukosa plasma puasa (FPG) (tidak ada asupan kalori selama paling sedikit 8 jam) 200 mg/dL 126 mg/dL (7.0 mmol/L) 3. Glukosa 2 jam postprandial (2Hpg) 200 mg/dL (11.1 mmol/L) Diagnosis ditegakkan apabila salah satu dari ketiga kriteria tersebut dipenuhi dan dipertegas dengan kriteia lain pada hari berikutnya.

Pemeriksaan Diabetes Melitus 1. Glukosa Plasma Sewaktu Pengukuran glukosa plasma sewaktu dapat dilakukan menggunakan glukosa meter menggunakan strip yang mengandung enzim, seperti glukosa oksidase atau glukosa dehidrogenase. Setetes darah diletakkan pada strip yang mengandung reagen untuk dilakukan pengujian. Tes ini cenderung dilakukan bersamaan dengan telah adanya keluhan klinik yang mengacu pada diabetes melitus, seperti polidipsi, poliuria, berat badan yang menurun, glukosuria, dan sebagainya. Jika kadar glukosa plasma > 200 mg/dL maka sudah dikatakan positif DM dan penderita tidak perlu lagi melakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa. Namun, jika kadar glukosa plasma sewaktu > 200mg/dL tetapi pasien tidak merasakan gejala DM seperti polidipsi, polifagia, dan poliuria, pasien diharuskan melakukan tes glukosa darah sewaktu di lain hari untuk memastikan diagnose Faktor faktor yang mengganggu pemeriksaan glukosa plasma sewaktu antara lain: a. Perubahan hematokrit b. Ketinggian c. Suhu lingkungan atau kelembaban d. Ketegangan

e. Konsentrasi trigliserida tinggi f. Berbagai obat obatan

2.

Glukosa Plasma Puasa Pemeriksaan kadar glukosa plasma puasa merupakan pemeriksaan untuk DM yang sangat direkomendasikan bagi pasien dewasa yang tidak hamil. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara darah diambil pada pagi hari setelah puasa semalam (tidak ada asupan kalori selama minimal 8 jam selain air minum). Tabel kategori glukosa plasma puasa Klasifikasi diagnosis Normal Impaired fasting glukose (IFG) Diabetes Melitus Glukosa plasma puasa <100 mg/dL (5.6 mmol/L) 100125 mg/dL (5.66.9 mmol/L) FPG 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

3.

Pemeriksaan Glukosa Darah Post Prandial Pemeriksaan glukosa 2 jam postprandial merupakan pengukuran kadar glukosa dalam darah setelah 2 jam pembebanan glukosa yang setara dengan 75 g glukosa. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk evaluasi aktivitas insulin di dalam tubuh. Spesimen darah 2 jam setelah makan pada individu puasa menunjukkan peningkatan yang langka pada individu normal tetapi meningkat secara signifikan pada individu diabetes. Tabel kriteria diagnosis hasil pemeriksaan glukosa plasma post prandial Klasifikasi diagnosis Glukosa plasma 2 jam setelah makan < 140 mg/dL 140-199 mg/dL 200 mg/dL

keadaan penderita Normal IGT* Diabetes

Keterangan: *) IGT = Impaired Glucose Tolerance (terganggunya toleransi glukosa) [Sumber: Departeman Kesehatan RI, 2005, telah diolah kembali]

4.

Tes Toleransi Glukosa (TTGO) Sebelum dilakukan tes, pasien diharuskan berpuasa selama 12 jam, kemudian dilakukan pengambilan sampel darah untuk selanjutnya dibuat kurva. Secara umum sama dengan pemeriksaan GDPP, perbedaannya adalah setelah diambil darah dan urin ke-1 pasien tidak makan tetapi minum glukosa dengan kadar yang telah ditentukan (75%). Terkadang dokter meminta pengambilan darah 3 kali dengan interval 1 jam, jadi pasien diambil darah dan urin puasa, 1 jam dan 2 jam setelah minum glukosa. Pemeriksaan ini dilakukan pada: Kasus hiperglikemia yang tidak jelas, Glukosa sewaktu 140-200 mg/dl, atau Glukosa puasa antara 110-126 mg/dl, atau Bila ada glukosuria yang tidak jelas sebabnya. Diabetes gestasional, dan Ibu hamil dengan riwayat keluarga DM.

Banyak di antara ibu-ibu yang sebelum hamil tidak menunjukkan gejala, tetapi menderita gangguan metabolisme glukosa pada waktu hamil. Penting untuk menyelidiki dengan teliti metabolisme glukosa pada waktu hamil yang menunjukkan glukosuria dan juga pada wanita hamil dengan riwayat keluarga diabetes, riwayat meninggalnya janin pada kehamilan, atau riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir > 4 kg. Skrining diabetes hamil sebaiknya dilakukan pada umur kehamilan antara 26-32 minggu. Pada mereka dengan risiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan skrining lebih awal.

Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil laboratorium

Penggunaan obat-obatan tertentu: insulin, kortikosteroid (kortison), kontrasepsi oral, estrogen, antikonvulsan, diuretik, tiazid, salisilat, dan asam askorbat, serta tidak boleh mengkonsumsi alkohol.

Stress (fisik, emosional), demam, infeksi, trauma, tirah baring, obesitas dapat meningkatkan kadar glukosa darah.

Aktifitas berlebihan dan muntah dapat menurunkan kadar glukosa darah. Obat hipoglikemik dapat menurunkan kadar glukosa darah.

Usia. Orang lansia memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi. Sekresi insulin menurun karena proses penuaan.

Asupan nutrisi. Kekurangan karbohidrat, tidak beraktifitas, atau tirah baring dapat mengganggu toleransi glukosa.

Prosedur Selama 3 hari sebelum tes dilakukan penderita harus mengkonsumsi sekitar 150 gram karbohidrat setiap hari. Terapi obat yang dapat mempengaruhi hasil laboratorium harus dihentikan hingga tes dilaksanakan. Protokol urutan pengambilan darah berbeda-beda; kebanyakan pengambilan darah setelah puasa, dan setelah 1 dan 2 jam. Ada beberapa yang mengambil darah jam ke-3, sedangkan yang lainnya lagi mengambil darah pada jam dan 1 jam setelah pemberian glukosa. Yang akan diuraikan di sini adalah pengambilan darah pada waktu jam, 1 jam, 1 jam, dan 2 jam. Sebelum dilakukan tes, penderita harus berpuasa selama 12 jam. Pengambilan sampel darah dilakukan sebagai berikut:

Pagi hari setelah puasa, penderita diambil darah vena 3-5 ml untuk uji glukosa darah puasa. Penderita mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya.

Penderita diberikan minum glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam segelas air (250ml). Lebih baik jika dibumbui dengan perasa, misalnya dengan limun.

Pada waktu jam, 1 jam, 1 jam, dan 2 jam, penderita diambil darah untuk pemeriksaan glukosa. Pada waktu 1 jam dan 2 jam penderita mengosongkan kandung kemihnya dan mengumpulkan sampel urinenya secara terpisah.

Selama TTGO dilakukan, penderita tidak boleh minum kopi, teh, makan permen, merokok, berjalan-jalan, atau melakukan aktifitas fisik yang berat. Minum air putih yang tidak mengandung gula masih diperkenankan.

Nilai Puasa 1 1 jam jam jam : : : : 70 110 120 100 110 170 170 140 mg/dl mg/dl mg/dl mg/dl (3.9 (6.1 (6.7 (5.6 6.1 9.4 9.4 7.8

Rujukan mmol/L) mmol/L) mmol/L) mmol/L)

jam

70

120

mg/dl

(3.9

6.7

mmol/L)

Interpretasi Toleransi glukosa normal Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa darah meningkat dan mencapai puncaknya pada waktu 1 jam, kemudian turun ke kadar 2 jam yang besarnya di bawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L). Tidak ada glukosuria. Gambaran yang diberikan di sini adalah untuk darah vena. Jika digunakan darah kapiler, kadar puasa lebih tinggi 5.4 mg/dl (0.3 mmol/L), kadar puncak lebih tinggi 19.8 30.6 mg/dl (1.1 1.7 mmol/L), dan kadar 2 jam lebih tinggi 10.8 19.8 mg/dl (0.6 1.1 mmol/L). Untuk plasma vena kadar ini lebih tinggi sekitar 18 mg/dl (1 mmol/L). Toleransi glukosa melemah Pada toleransi glukosa yang melemah, kurva glukosa darah terlihat meningkat dan memanjang. Pada diabetes mellitus, kadar glukosa darah di atas 126 mg/dl (7.0 mmol/L); jika tak begitu meningkat, diabetes bisa didiagnosis bila kadar antara dan kadar 2 jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Toleransi glukosa melemah ringan (tak sebanyak diabetes) jika kadar glukosa puasa dibawah 126 mg/dl (7.0 mmol/L), kadar antara di bawah 180 mg/dl (10 mmol/L), dan kadar 2 jam antara 126-180 mg/dl (7.0-10.0 mmol/L). Terdapat glukosuria, walaupun tak selalu ada dalam sampel puasa. Pada diabetes gestasional, glukosa puasa normal, glukosa 1 jam 165 mg/dl (9.2 mmol/L), dan glukosa 2 jam 145 mg/dl (8.0 mmol/L). Pada banyak kasus diabetes, tidak ada puncak 1 jam karena kadar glukosa darah meningkat pada keseluruhan waktu tes. Kurva diabetik dari jenis yang sama dijumpai pada penyakit Cushing yang berat. Toleransi glukosa yang lemah didapatkan pada obesitas (kegemukan), kehamilan lanjut (atau karena kontrasepsi hormonal), infeksi yang berat (terutama staphylococci, sindrom Cushing, sindrom Conn, akromegali, tirotoksikosis, kerusakan hepar yang luas, keracunan menahun, penyakit ginjal kronik, pada usia lanjut, dan pada diabetes mellitus yang ringan atau baru mulai.

Tes toleransi glukosa yang ditambah dengan steroid dapat membantu mendeteksi diabetes yang baru mulai. Pada pagi dini sebelum TTGO dilaksanakan, penderita diberikan 100 mg kortison, maka glukosa darah pada 2 jam bisa meningkat di atas 138.8 mg/dl (7.7 mmol/L) pada orang-orang yang memiliki potensi menderita diabetes. Penyimpanan glukosa yang lambat Kadar glukosa darah puasa normal. Terdapat peningkatan glukosa darah yang curam. Kadar puncak dijumpai pada waktu jam di atas 180 mg/dl (10 mmol/L). Kemudian kadar menurun tajam dan tingkatan hipoglikemia dicapai sebelum waktu 2 jam. Terdapat kelambatan dalam memulai homeostasis normal, terutama penyimpanan glukosa sebagai glikogen. Biasanya ditemukan glukosuria transien. Kurva seperti ini dijumpai pada penyakit hepar tertentu yang berat dan kadang-kadang para tirotoksikosis, tetapi lebih lazim terlihat karena absorbsi yang cepat setelah gastrektomi, gastroenterostomi, atau vagotomi. Kadangkadang dapat dijumpai pada orang yang normal. Toleransi glukosa meningkat Kadar glukosa puasa normal atau rendah, dan pada keseluruhan waktu tes kadarnya tidak bervariasi lebih dari 180 mg/dl (1.0 mmol/L). Kurva ini bisa terlihat pada penderita miksedema (yang mengurangi absorbsi karbohidrat) atau yang menderita antagonis insulin seperti pada penyakit Addison dan hipopituarisme. Tidak ada glukosuria. Kurva yang rata juga sering dijumpai pada penyakit seliak. Pada glukosuria renal, kurva toleransi glukosa bisa rata atau normal tergantung pada kecepatan hilangnya glukosa melalui urin.

5.

HbA1c Metode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes adalah pengukuran glikat hemoglobin(HbA1c). HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel.

Hemoglobin pada manusia terdiri dari HbA1, HbA2, HbF(fetus). Hemoglobin A (HbA) terdiri atas 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin total. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali dikeluarkan dari sumsum tulang.Selama 120 hari masa hidup hemoglobin dalam eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar gluokosa meningkat diatas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat. Molekul glukosa berikatan dengan HbA1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A. Proses pengikatan ini disebut glikosilasi. Hemogloin yang terikat dengan glukosa disebut hemoglobin terglikosilasi. Dalam proses ini terdapat ikatan antara glukosa dan hemoglobin. Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukan bahwa kadar gluosa darah tinggi selama 4 sampai 8 minggu. Pada penyandang DM, glikolisasi hemoglobin meningkat secara proporsional dengan kadar rata-rata glukosa darah selama 120 hari terakhir, bila kadar glukosa darah berada dalam kisaran normal selama 120 hari terakhir, maka hasil hemoglobin A1c akan menunjukkan nilai normal. Nilai glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang dipakai, namun berkisar antara 3,5% hingga 5,5%. Disarankan untuk menentukan referensi nilai untuk setiap laboratorium. Tes ini merupakan indikator pengontrolan kadar glukosa darah yang cepat dan dapat dipercaya untuk 4 hingga 8 minggu sebelumnya. Kadar HbA1c merupakan kontrol glukosa jangka panjang, menggambarkan kondisi 8-12 minggu sebelumnya, karena paruh waktu eritrosit 120 hari( Kee JL, 2003), karena mencerminkan keadaan glikemik selama 2-3 bulan maka pemeriksaan HbA1c dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan ( Darwis Y, 2005, Soegondo S, 2004). Hasil pemeriksaan hemoglobin A1c merupakan

pemeriksaan tunggal yang sangat akurat untuk menilai status glikemik jangka panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM. Pemeriksaan ini bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan kendali glikemik ( Soewondo P, 2004). Peningkatan kadar HbA1c >8% mengindikasikan DM yang tidak terkendali dan beresiko tinggi untuk menjadikan komplikasi jangka panjang seperti nefropati, retinopati, atau kardiopati, Penurunan 1% dari HbA1c akan

menurunkan komplikasi sebesar 35% (Soewondo P, 2004). Pemeriksaan HbA1c dianjurkan untuk dilakukan secara rutin pada pasien DM Pemeriksaan pertama untuk mengetahui keadaan glikemik pada tahap awal penanganan, pemeriksaan selanjutnya merupakan pemantauan terhadap keberhasilan pengendalian (Kee JL, 2003).

Metoda Pemeriksaan HbA1c Sampel: darah vena dengan antikoagulan (EDTA, heparin, oksalat) Pengambilan sampel untuk pemeriksaan HbA1c pada penderita DM biasa dilakukan bersamaan dengan pengambilan sampel pemeriksaan glukosa. Metoda pemeriksaan yang dipakai ;
1.

Metode Ion-exchange chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC yang bisa memberikan hasil negatif palsu.

2.

Metode HPLC (high performance liquid chromatography): prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi.

3.

Metode Electroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.

4.

Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.

5.

Metode Affinity chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC.

6.

Metode Analisis kimiawi dengan Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun

glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.

Ada beberapa kondisi dimana pemeriksaan kadar HbA1c akan sangat terganggu dan tidak akurat, misalnya : a. Specimen ikterik (kadar bilirubin>5.0mg/dl), Warna kekuningan pada serum akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh yang menandakan terjadinya gangguan fungsi dari hepar( Widmann, 2004) b. Specimen hemolisis Pada destruksi Eritrosit , membran sel pecah sehingga Hb keluar dari sel, hemolisis menunjukkan destruksi eritrosit yang terlalu cepat , baik kelainan intrinsik maupun proses ektrinsik terhadap eritrosit dan serum berwarna merah atau kemerahan( Widmann, 2004) c. Penurunan sel darah merah (Anemia, talasemia, kehilangan darah jangka panjang) akan menurunkan kadar HbA1c palsu Anemia didefenisikan sebagai berkurangnya kadar Hb darah, penurunan kadar Hb biasanya disertai penurunan Eritrosit dan Hematokrit ( Kee JL, 2003) Pengukuran HbA1C dapat digunakan untuk: 1. Mengetahui kepatuhan penggunaan obat dari pasien DM 2. Mengetahui sudah berapa lama keadaan hiperglikemia dari seseorang yang baru didiagnosa DM 3. Memonitor keberhasilan dari terapi yang sedang berjalan

Tabel Kadar glikat hemoglobin pada diabetes Normal/ kontrol glukosa Nilai normal Kontrol glukosa baik Kontrol glukosa sedang Kontrol glukosa buruk Glikat hemoglobin (%) 3,5 5,5 3,5 6,0 7,0 8,0 Lebih dari 8,0

Tabel konversi HbA1c menjadi kadar glukosa dalam darah HbA1C (%) 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata Gula Darah (mg/dl) 135 170 205 240 275 310 345

Alasan mengapa tes HbA1c ini dilakukan adalah karena pengukuran kadar glukosa darah hanya memberikan informasi mengenai homeostasis glukosa yang sesaat dan tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi pengendalian glukosa jangka panjang (mis. beberapa minggu sebelumnya). Untuk keperluan ini dilakukan pengukuran hemoglobin terglikosilasi dalam eritrosit yang dapat menggambarkan kadar gluokosa darah 4-8 minggu sebelum pemeriksaan glukosa darah. Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium :

Anemia dapat menyebabkan hasil uji yang rendah Hemolisis spesimen dapat menyebabkan hasil uji yang tidak akurat Terapi heparin dapat menyebabkan temuan palsu hasil pengujian. Setelah transfuse darah hasil pembacaan HbA1C mungkin berubah. Kenaikan kadar HbF pada talasemia dapat menyulitkan interpretasi.
dapat menaikkan pembacaan tes HbA1C.

HbF

6. Badan Keton Benda keton terdiri dari 3 senyawa, yaitu aseton, asam aseotasetat, dan asam -hidroksibutirat, yang merupakan produk metabolisme lemak dan asam lemak yang berlebihan. Benda keton diproduksi ketika karbohidrat tidak dapat digunakan untuk menghasilkan energi yang disebabkan oleh: gangguan metabolisme karbohidrat (mis. diabetes mellitus yang tidak terkontrol),

kurangnya asupan karbohidrat (kelaparan, diet tidak seimbang : tinggi lemak rendah karbohidrat), gangguan absorbsi karbohidrat (kelainan gastrointestinal), atau gangguan mobilisasi glukosa, sehingga tubuh mengambil simpanan asam lemak untuk dibakar. Peningkatan kadar keton dalam darah akan menimbulkan ketosis sehingga dapat menghabiskan cadangan basa (mis. bikarbonat, HCO3) dalam tubuh dan menyebabkan asidosis. Pada ketoasidosis diabetik, keton serum meningkat hingga mencapai lebih dari 50 mg/dl. Keton memiliki struktur yang kecil sehingga dapat diekskresikan ke dalam urin. Namun, kenaikan kadarnya pertama kali tampak pada plasma atau serum, kemudian baru terlihat pada urin. Ketonuria (keton dalam urin) terjadi akibat ketosis.Benda keton yang dijumpai di urine terutama adalah aseton dan asam asetoasetat.

Indikasi untuk pengujian keton Indikasi umum: skrining untuk ketonuria sering dilakukan untuk pasien rawat inap, pasien presurgical, wanita hamil, anak-anak, dan orang dengan diabetesglikosuria.

Indikasi khusus: a. pengujian untuk keton diindikasikan untuk setiap pasien menunjukkan peningkatan urin dan darah gula b. ketika pengobatan sedang beralih dari insulin untuk agen hipoglikemik oral , pengembangan ketonuria dalam waktu 24 jam setelah penarikan insulin menunjukkan resppne miskin untuk agen hipoglikemik oral. c. urin pasien diabetes yang diobati dengan obat hipoglikemik oral harus diuji secara teratur untuk glukosa dan keton karena agen hipoglikemik oral seperti insulin, tidak mengontrol diabetes ketika terjadi komplikasi akut seperti infeksi berkembang. d. pengujian keton dilakukan untuk membedakan antara koma diabetik dan syok insulin

Prosedur pengujian keton Kumpulkan spesimen urine secara acak (urin random atau urin sewaktu). Urin harus segar dan ditampung dalam wadah tertutup rapat. Pengujian harus segera dilakukan karena penundaan pengujian lebih lama dapat menyebabkan temuan negatif palsu.Hal ini dikarenakan keton mudah menguap. Uji ketonuria dapat dilakukan dengan menggunakan tablet Acetest, atau strip reagen (dipstick) Ketostix atau strip reagen multitest (mis. Combur, Multistix, Arkray, dsb). Uji ketonuria dengan tablet Acetest digunakan untuk mendeteksi dua keton utama, yaitu aseton dan asam asetoasetat. Letakkan tablet Acetest di atas kertas saring atau tissue, lalu teteskan urin segar di atas tablet tersebut. Tunggu selama 30 detik.Amati perubahan warna yang terjadi pada tablet tersebut. Jika berubah warna menjadi berwarna lembayung terang gelap, maka uji keton dinyatakan positif. Uji ketonuria dengan strip reagen (Ketostix atau strip reagen multitest) lebih sensitif terhadap asam asetoasetat daripada aseton. Celupkan strip reagen ke dalam urin. Tunggu selam 15 detik, lalu amati perubahan warna yang terjadi. Bandingkan dengan bagan warna.Pembacaan dipstick dengan instrument otomatis lebih dianjurkan untuk memperkecil kesalahan dalam pembacaan secara visual.

Nilai Rujukan Dewasa dan anak : uji keton negatif (kurang dari15 mg/dl)

Masalah Klinis Uji keton positif dapat dijumpai pada : Asidosis diabetic (ketoasidosis), kelaparan atau malnutrisi, diet rendah karbohidrat, berpuasa, muntah yang berat, pingsan akibat panas, kematian janin. Pengaruh obat : asam askorbat, senyawa levodopa, insulin, isopropil alkohol, paraldehida, piridium, zat warna yang digunakan untuk berbagai uji (bromsulfoftalein dan fenosulfonftalein).

Faktor yang Dapat Mempengaruhi Hasil Laboratorium

Diet rendah karbohidrat atau tinggi lemak dapat menyebabkan temuan positif palsu.

Obat tertentu Suhu penyimpanan sampel urin dalam suhu ruangan Adanya bakteri dalam urin dapat menyebabkan kehilangan asam asetoasetat Anak penderita diabetes cenderung mengalami ketonuria daripada penderita dewasa.

1.

HDL (High Density Lipoprotein) HDL merupakan lipoprotein protektif yang berperan menurunkan resiko penyakit jantung koroner. Efek protektifnya diduga karena mekanisme HDL mengangkut kelebihan kolesterol di jaringan perifer yang dibawa menuju hati untuk dimetabolisme. Studi epidemiologi membuktikan bahwa peningkatan HDL berbanding terbalik dengan penurunan resiko timbulnya penyakit jantung koroner. Berdasarkan guideline dari NCEP (National Cholesterol Educational Program), Kadar HDL kolesterol <40 mg/dl merupakan faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Sementara itu, kadar HDL kolesterol 60 mg/dl menunjukkan tidak memiliki faktor resiko, dan kondisi ini merupakan kondisi ideal. Kadar HDL akan menurun pada penderita kegemukan, perokok, pasien diabetes yang tidak terkontrol dan pada pemakai kombinasi estrogen-progestin. Memperbanyak olahraga dan menghentikan kebiasaan merokok adalah dua hal yang direkomendasikan bagi pasien dengan kadar HDL rendah. Pengukuran HDL kolesterol dapat dilakukan melalui pemisahan HDL dari sampel dengan metode sentrifugasi. Untuk pengukuran ini dapat digunakan sempel serum maupun plasma-EDTA. Jika menggunakan sampel plasma-EDTA maka jumlah sampel plasma-EDTA perlu dikalikan 1.03 agar nilainya ekuivalen dengan jumlah serum. Secara singkat, metode sentrifugasi untuk memisahkan HDL dilakukan dalam 3 tahap, yaitu: 1. Ultrasentrifugasi 1,006 g/ml untuk menghilangkan lipoprotein kaya trigliserida (VLDL) 2. Presipitasi lipoprotein yang mengandung apo B (IDL, LDL, dan Lp (a)) dari ultracentrifugal infranatant dengan heparin dan MnCl2. 3. Mengukur jumlah kolesterol dalam supernatan menggunakan metode Abell-Kendall Konsentrasi HDL kolesterol dalam darah sangat dipengaruhi oleh faktor gaya hidup seperti diet, konsumsi alkohol, perubahan berat badan, aktifitas fisik dan merokok. Hormon dan pemakaian obat-obatan juga mempengaruhi konsentrasi HDL kolesterol.

2.

LDL (Low Density Lipoprotein) LDL merupakan lipoprotein pengangkut kolesterol terbesar pada manusia (70% total). Partikel LDL mengandung trigliserida sebanyak 10% dan kolesterol 50%. LDL berperan dalam pengangkutan kolesterol pada jalur endogen, yaitu jalur pembentukan kolesterol dari dalam tubuh. Trigliserida dan kolesterol yang disintesis oleh hati diangkut secara endogen dalam bentuk VLDL (very low density lipoprotein) kaya trigliserida dan mengalami hidrolisis dalam sirkulasi darah oleh lipoprotein lipase menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil yaitu IDL (intermediate density lipoprotein) kemudian menjadi LDL (low density lipoprotein). Beberapa LDL yang berada di sirkulasi darah akan masuk ke dalam celah subendotel arteri kemudian teroksidasi dan ditangkap makrofag lalu menjadi sel busa (foam). Mekanisme pembentukan sel busa inilah yang menyebabkan terjadinya atherosklerosis. Oleh karena itu, peningkatan LDL dan total kolesterol berperan dalam peningkatan resiko terjadinya penyakit arteri koroner. Penderita hiperlipidemia perlu mengontrol kondisi kolesterol, trigliserida, LDL, dan HDL untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi berupa penyakit jantung koroner dan komplikasi lainnya dengan terapi farmakologi maupun non farmakologi. Berikut ini adalah tabel klasifikasi data laboratorium yang digunakan dalam pemeriksaan hiperlipidemia: Kadar (mg/dl) Kolesterol total <200 200-239 240 Keterangan Kondisi yang diinginkan Batas atas Tinggi

LDL

<100 100-129 130-159 160-189 190

Optimal Mendekati optimal Batas atas Tinggi Sangat tinggi

HDL

<40 60

Rendah Tinggi

Trigliserida

<150 150-159 200-499 500

Normal Batas atas Tinggi Sangat tinggi

Pada penderita yang memiliki resiko tinggi terkena penyakit jantung koroner direkomendasikan untuk melakukan perubahan gaya hidup dan mendapatkan terapi obat untuk menurunkan kadar LDL hingga <100mg/dl. Kadar LDL dapat diperkirakan dari pengukuran trigliserida, kolesterol total, dan kolesterol HDL dengan pendekatan Friedewald sebagai berikut: LDL = kolesterol total HDL (trigliserida:5) Metode di atas dapat digunakan jika kadar trigliserida <400 mg/dl. Untuk pasien dengan kadar trigliserida >400 mg/dl, perhitungan kadar LDL dengan metode di atas tidak menghasilkan nilai yang akurat. Diperlukan metode

ultrasentrifugasi kompleks. Penderita yang mengalami peningkatan trigliserida secara signifikan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. KOLESTEROL DAN TRIGLISERIDA

Kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid merupakan komponen lipid mayor dalam tubuh yang ditransportasikan sebagai kompleks lipid dan protein atau lipoprotein.Permukaan plasma lipoprotein mengandung fosfolipid dalam jumlah yang besar dan bebas kolesteroldan protein sedangkan intinya terdiri dari trigliserida dan kolesterol ester. Lipoprotein terdiri dari 3 komponen mayor yaitu Low density lipoprotein (LDL), high density lipoprotein (HDL), dan very low density lipoprotein (VLDL).VLDL dibawa dalam sirkulasi berupa trigliserida dan dapat diperkirakan jumlahnya lipoprotein dengan dapat membagi menyebabkan konsentrasi prediposisi trigliserida/5.abnormalitas koronari, plasma dan

cerebrovaskuler,

peripheralvascular arterial disease yang merupakan salah satu factor resiko CHD (Dipiro 2008). Dewasa Total Kolesterol (mg/dl) et al.,

1. Total Kolesterol Kolesterol berperan sebagai precursor asam empedu dan hormone steroid. Kolesterol disintesis dalam sel melalui sintesis intraselluler atau uptake dari sirkulasi sitemic. Dalam tiap sel kolesterol disintesis melalaui berbagai proses biokimia dimana sebagian besar dikatalisis oleh enzim. Tahapan pertama dan yang paling penting dalam sintesis kolesterol adalah konversi hidroksimetilglutaril-koenzim A (HMG-CoA) menjadi asam mevalonat yang dikatalisis oleh enzim HMG-CoA reduktase Kolesterol intraselluler disimpan dalam bentuk tersetrifikasi. Kolesterol bebas diubah dalam bentuk ester oleh enzim acetil CoA asetil transferase (ACAT). Sehingga, inhibisi enzim ACAT dapat mereduksi absorpsi kolesterol, sekresi kolesterol oleh hati, dan uptake kolesterol oleh inflammatory cell pada dinding arteri (Koda-Kimble et al.,2009 ).. Jumlah total kolesterol dalam darah digunakan sebagai salah satu indicator dalam identifikasi hiperlipidemia. Hiperkolesterolemia dapat menyebabkan deposit plak pada arteri koroner, yang berkontribusi pada terjadinya infark miokard (MI) (Kee, 2005). Kadar kolesterol yang tinggi dapat disebabkan oleh adanya factor genetic (hereditas), obstruksi empedu, dan atau dietary intake atau konsumsi obatobatan seperti Aspirin, Kortikosteroid, steroid, kontrasepsi oral, epinephrine, nor epinephrine, Phenothiazin, trifluoperazin, Vitamin A dan D, sulfonamide dan Phenitoin (Kee, 2005). Adapun klasifikasi total kolesterol menurut NCEP ATP III dapat dilihat pada Tabel 1.

<200 200-239 240 Infant 90-130 130-170 Anak-anak 171-184 >185

Normal Moderate Risk High Risk Normal Normal Moderate Risk High Risk

Kolesterol diukur secara enzimatis dalam serum atau plasma berdasarkan reaksi hidrolisis kolesteril ester dan oksidasi gugus 3-OH pada kolesterol. Dari reaksi tersebut dihasilkan peroksida H2O2, selanjutnya H2O2 diukur secara kuantitatif melalui reaksi katalisis proksidase yang dapat menghasilkan warna, absorbansi diukur pada panjang gelombang 500 nm. Intensitas warna yang dihasilkan berbanding secara proporsional terhadap kolesterol. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :
KOlesteril ester hidrolase

Kolesteril ester + H2O


Kolesterol oksidase

KOlesterol + asam lemak

Kolesterol +O2 2H2O2 + 4-Aminophenazon + fenol monoimino)-fenazon + 4H2O

Kolest-4-en-3-on + H2O2
Peroksidase

4-(p-benzokuinon-

Elevasi kadar kolesterol dapat meningkatkan risiko terhadap coronary heart disease (CHD). Pengukuran kolesterol dilakukan untuk membantu assessment status risiko pasien dan progress terapi pasien dalam penurunan kadar kolesterol. Prosedur pengukuran kadar total kolesterol adlah sebagai berikut (Kee, 2005) : a. Pasien harus NPO (Non per os / nothing by mouth) atau berpuasa terhadap makanan, cairan kecuali air dan obat-obatan selama 12 jam. b. Ambil 3-5 ml darah vena dalam red-top tube, hinadri hemolisis. Hal-hal yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran :

a.

Aspirin dan kortison, dapat menyebabkan peningkatan dan penurunan kadar kolesterol dalam serum.

b.

Diet tinggi kolesterol sebelum pengukuran dapat menyebabkan elevasi kadar kolesterol serum.

c. d.

Hipoksia akut dapat menyebabkan elevasi kadar kolesterol serum. Hemolisis specimen darah dapat menyebabkan elevasi kadar kolesterol serum.

2. Trigliserida Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa kadar trigliserida berhubungan dengan terjadinya insiden CHD meskipun identifikasi dengan kadar trigliserida bukan factor resiko indipenden terhadap CHD. Metabolisme lipoprotein berhubungan secara integral sehingga elevasi kadar serum trigliserida dapat dikacaukan dengan adanya korelasi yang signifikan dengan total LDL dan HDL kolesterol. Factor resiko nonlipid seperti obesitas, hipertensi, diabetes, dan perokok juga berinterelasi dengan trigliserida sebagai beberapa factor resiko yang sering muncul (resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan prothombotic state) (Koda-kimble et al.,2009). Oleh karena itu, pasien yang mengalami elevasi trigliserida juga meningkatkan factor resikonya terhadap CHD. Adapun klasifikan kadar trigliserida serum menurut NCEP ATP III dapat dilihat pada Tabel 2. Penyebab elevasi trigilserida adalah sebagai berikut : a. Obesitas b. Inaktivitas fisik c. Perokok d. Alkohol berlebihan e. Diet tinggi karbohidrat (>60% total energy) f. Penyakit lainnya (DM tipe II, gagal ginjal kronik, sidrom nefrotik) g. Obat-obatn tertentu (Kosrtikosteroid, inhibitor protease untuk HIV, betaadrenergic blocking agent, estrogen) h. Faktor genetika

Usia 12-29 th 30-39 th 40-49 th >50 th

Trigliserida normal (mg/dl) 10-140 20-150 30-160 40-190

CD risk Normal risk Borderline risk High risk Very high risk

Trigliserida level (mg/dl) <150 150-199 200-499 >500

Trigliserida diukur secara enzimatik dalam serum atau plasma melalui reaksi hidrolisis trigliserida membentuk gliserol. Kemudian gliserol dioksidasi menggunakan gliserol oksidase, dan H2O2 yang dihasilkan diukur dengan metode yang sama dengan pengukuran total kolesterol. Absorbansi diukur pada pajang gelombang 500 nm. Adapun reaksinya adalah sebagai berikut :
Lipase

Trigliserida + 3H2O
Gliserol kinase

Gliserol + asam lemak

Gliserol + ATP

Gliserol-3-fosfat +ADP
Gliserol fosfat oksidase

Gliserol-3-fosfat + O2 H2O2 + 4-aminofenazon + 4-klorofenol monoimino)-fenazon + 2H2O +HCl

dihidroksiaseton fosfat +H2O2


Peroksidase

4-(p-benzoqinon-

Pengukuran trigliserida bertujuan untuk memonitor kadar trigliserida dan sebagai perbandingan dengan hasil pengukuran VLDL untuk identifikasi hiperlipidemia. Adapun prosedur pemeriksaan trigliserida adalah sebagai berikut (Kee, 2005) : a. Pasien harus NPO terhadap makanan, minuman kecuali air serta obtaobatan, setelah pukul 6 malam sebelum pemeriksaan.

b. Ambil 3-5 ml darah vena. c. Diet tinggi karbohidrat dan alcohol dapat menyebabkan elevasi kadar serum trigliserida. d. Tidak diperbolehkan konsumsi alkohol selama 24 jam sebelum test e. Catat berat badan pasien jika mengalami peningkatan atau penurunan

Daftar pustaka American Diabetes Association. 2010. Standards of Diabetes. Diabetes Care 33:S11-S61. Ronal A, Sacher, Richard A McPherson. 2004.Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Ed 11. Jakarta : EGC The National Academy of Clinical Biochemistry.2011. Guidelines and Recommendations for Laboratory Analysis in the Diagnosis and Management of Diabetes Mellitus. http://labkesehatan.blogspot.com/2010/03/badan-keton-urin.html patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit. Price &Wilson , volume 2, edisi 6, Penerbit buku kedokteran EGC , Jakarta Soewondo, 2004. Pemantauan Pengendalian DM. FKUI Jakarta Medical Care in

Kee JL, 2003. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik.Jakarta EGC

Darwis Y,W, dkk, 2005. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium untuk penyakit DM. Direktorat Laboratorium Kesehatan Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI.

Men Kes RI., 2011. Pedoman Pemeriksaan Kimia Klinik. Kementrian Kes RI Direktorat Jendral Bina Upaya Kes.DirektoratBina Pelayanan Penunjang Medik dan Sarana kesehatan

Widmann, MD F, 2004. Tinjauan Klinis atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Buku Kedokteran EGC Kee, Joyce leFever. 2005. Laboratory and Diagnostic Test with Nursing Implication 7th Edition. New Jersey : Pearson Prentice Hall.

1. Baca tetnang c peptide dapat membedakan dm tipe 1 atau tipe 2 2. Cari tentang apolipoprotein 3. Apo a 1 spesifik hdl 4. Apo b spesifik ldl 5. Sementara apo yg lain tidak spesifik

Você também pode gostar