Você está na página 1de 15

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna. Refluk gastroesofageal didefinisikan sebagai gejala atau kerusakan mukosa esophagus akibat masuknya isi lambung ke dalam esophagus.1 Gejala yang timbul adalah akibat keterlibatan esophagus, faring, laring, dan saluran nafas. Refluk gastroesofageal terjadi akibat hilang atau sangat rendahnya perbedaan tekanan antara LES (Lower Esophageal Sphincter ) dan laring, hal ini dapat disebabkan oleh menurunnya kekuatan otot LES yang kadang-kadang tidak diketahui sebabnya. GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena gejalagejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur, penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial. Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta dampak pada aktivitas sehari-hari yang tidak sebanding dengan pasien penyakit kronik lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007). Prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negaranegara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki
1

menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapur prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia.4 1.2 Batasan Masalah Refrat ini mebahas tentang definisi,etiologi,patofisiologi,gejala klinis,diagnose,tatalaksana, dan prognosa GERD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heart burn dan gejala lain. Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosive (esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD.1,2

2.2 Etiologi
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1 1)Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esophagus 2)Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009). Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah: 3 1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier) Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di
3

luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES yang akan memperberat keadaan.Faktor hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES. 2. Mekanisme pembersihan esofagus Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus. Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut. 3. Daya perusak bahan refluks Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis,tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD. 4. Isi lambung dan pengosongannya Refluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi

lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.

2.3 Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD seringkali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya hanya ada di lambung masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus. Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus. Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos sfingter melemas dan makanan masuk ke lambung. Sfingter Esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam esophagus. Akan tetapi, jika spingter melemah atau inkompeten, spingter tidak dapat menutup lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah

(esofagus).Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus. Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dalam keadaan normal, refluks dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang
5

sangat tinggi di sfingter. Sebagai contoh, jika isi lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara bermakna. Kondisi ini dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas. Tekanan abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen.3

2.4 Manifestasi Klinik


Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri, rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrets esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat. Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi, gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk, asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain. Penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal high pressure zon akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES. Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara bersaman.1

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : 1 1. Endoskopi saluran cerna bagian atas Indikasi pemeriksaan endoskopi: 1. Pasien dengan gejala tanda bahaya, antara lain disfagia, berat badan menurun, anemia, perdarahan gastrointestinal untuk menyingkirkan kelainan traktus gastrointestinal atas, metaplasia barret dan komplikasi lain. 2. Pasien yang tidak ada respon dengan terapi medis, pasien yang mengalami gejala lebih dari 5 tahun untuk menilai prognosis dan hasil terapi medis. Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain: a. Klasifikasi Los Angeles Derajat A: Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5mm Derajat B: Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5mm tanpa saling berhubungan Derajat C: Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen Derajat D: Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus) b. Klasifikasi Savarry-Miller Derajat I: Esofagitis erosive dengan ulkus soliter non sirkumferensial Derajat II: Esofagitis erosive dengan ulkus multiple dan confluent (membaur)
7

Derajat III: Esofagitis erosive dengan ulkus sirkumferensial dan membesar Derajat IV: Esofagus Barret 2. Barium esofagogram (kontras ganda) pemeriksaan ini bertujuan untuk:menilai penebalan lipatan mukosa esophagus, adanya erosi atau ulkus menentukan hernia hiatus, mengevaluasi suspek komplikasi GERD, seperti motilitas abnormal atau striktur peptic, sumbatan berupa cincin, selaput, atau keganasan. 3. Tes Bernstein Untuk menentukan ada atau tidaknya kerusakan esophagus akibat refluks, tes perfusi asam (Bernstein) ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selan transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0.1M dalam waktu kurang dari satu jam. Test ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus. 4. Manometri esophagus Manometri merupakan suatu teknik untuk mengukur tekanan otot. Caranya adalah dengan memasukkan sejenis kateter yang berisi sejenis transduser tekanan untuk mengukur tekanan. Kateter ini dimasukkan melalui hidung setelah pasien menelan air sebanyak 5 ml. Ukuran kateter ini kurang lebih sama dengan ukuran pipa nasogastrik. Kateter ini dimasukkan sampai transduser tekanan berada di lambung. Pengukuran dilakukan pada saat pasien meneguk air sebanyak 1015 kali. Tekanan

otot spingter pada waktu istirahat juga bisa diukur dengan cara menarik kateter melalui spingter sewaktu pasien disuruh melakukan gerakan menelan. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui baik tidaknya fungsi esofagus dengan berbagai tingkat berat ringannya kelainan. 5. Pemantauan pH esofagus Pemantauan pH esofagus dilakukan selama 24 jam. Uji ini merupakan cara yang paling akurat untuk menentukan waktu kejadian asidifikasi esofagus serta frekuensi dan lamanya refluks. Prinsip pemeriksaan adalah untuk mendeteksi perubahan pH di bagian distal esofagus akibat refluks dari lambung. Uji memakai suatu elektroda mikro melalui hidung dimasukkan ke bagian bawah esofagus. Elektroda tersebut dihubungkan dengan monitor komputer yang mampu mencatat segala perubahan pH dan kemudian secara otomatis tercatat. Biasanya yang dicatat episode refluks yang terjadi jika terdeteksi pH < 4 di esofagus untuk jangka waktu 15 30 detik. Kelemahan uji ini adalah memerlukan waktu yang lama, dan dipengaruhi berbagai keadaan seperti: posisi pasien, frekuensi makanan, keasaman dan jenis makanan, keasaman lambung, pengobatan yang diberikan dan tentunya posisi elektroda di esophagus.

2.6 Diagnosa Banding


a. Dispepsia Dispepsia adalah sekumpulan gejala yang berasal dari saluran pencernaan atas. Bisa berhubungan dengan makan atau minum dan diantaranya berupa rasa terbakar pada jantung dan nyeri pada perut atas / dada bawah, kembung, anoreksia, muntah, bersendawa, cepat kenyang, perut keroncongan hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa
9

juga menjadi kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus menerus. b. Esofangitis kerosif Esofagitis korosif adalah peradangan di daerah esofagus yang disebabkan oleh luka bakar karena tertelannya zat kimia yang bersifat korosif misalnya asam kuat, basa kuat , dan zat organik Esofagitis mempunyai keluhan sakit ketika menelan, muntah, dan sakit di lambung. c. Angina Pektoris Angina pektoris merupakan suatu gejala klinik yang disebabkan oleh iskemia miokard yang sementara. Ini adalah akibat dari tidak adanya keseimbangan antara kebutuhan oksigen miokard dengan kemampuan pembuluh darah koroner menyediakan oksigen secukupnya untuk kokntraksi miokard. Gejalanya adalah sakit dada sentral atau retrosentral yang dapat menyebar ke salah satu atau kedua tangan, leher atau punggung. Angina pectoris dijadikan diagnosis banding karena GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri di dada yang kadangkadang disertai rasa seperti kejang yang menjalar ke tengkuk, bahu atau lengan sehingga menyerupai keluhan seperti angina pectoris. Keluhan ini timbul sebagai akibat rangsangan kemoreseptor pada mukosa.

2.6 Tatalaksana
Modifikasi gaya hidup tidak direkomendasikan sebagai pengobatan primer GERD. Modifikasi gaya hidup dapat mengurangi episode refluks individual, pasien yang mengalami eksaserbasi gejala refluks yang berhubungan dengan makanan atau minuman tertentu dapat direkomendasikan untuk menghindari makanan atau minuman bersangkutan. Untuk mengontrol gejala dan penyembuhan esofagitis pada GERD erosif, saat ini PPI merupakan pilihan yang

10

paling efektif. menyebabkan relaksasi sfingter esofagus bagian bawah ataupun mengurangi pajanan asam pada esophagus. Terapi Medikamentosa 1 Dengan 2 pendekatan yaitu step up dan step down, 1. Metode step up menggunakan obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2 ) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan terapi lebih lama (penghambat pompa proton/ PPI ). 2. Metode step down pengobatan dimulai dengan PPI dan apabila berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antasid. Berikut ini adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa : Antasid Golongan obat ini cukup efektif dan aman, dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian bawah tapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis Antagonis reseptor H2 Sebagai penekan sekresi asam, golongan ini efektif dalam pengobatan GERD jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus, golongan ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. (1) Simetidin : 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg

11

(2) Ranitidin : 4 x 150 mg (3) Famotidin : 2 x 20 mg (4) Nizatidin : 2 x 150 mg Obat-obat prokinetik : (1) Metoklopramid : 3 x 10 mg (2) Domperidon : 3 x 10-20 mg (3) Cisapride : 3 x 10 mg Sukralfat ( aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat ) Obat ini tidak punya efek langsung terhadap asam lambung, obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu, cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal Dosis 4x1 gram. Penghambat pompa proton / PPI Golongan ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD, obat ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung. - Omeprazole : 2 x 20 mg. - Lansoprazole : 2 x 30 mg. - Pantoprazole : 2 x 40 mg.
12

- Rabeprazole : 2 x 10 mg. - Esomeprazole : 2 x 40 mg.

2.7 Prognosis 1,5


Gejala GERD biasanya berjalan perlahan -lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian). Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barrets Esofagus dan pada akhirnya Ca.

13

BAB III KESIMPULAN GERD adalah gangguan berupa regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heart burn dan gejala lain. Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosive (esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD. Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri, rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007 2. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009 3. Hadi, Sujono, Gastroenterologi, ed VII. Bandung: Penerbit PT Alumni. h 113;2002 4. Jung, H.K, Epidemiology of Gastroesophageal Reflux Disease in Asia: A

systematic Review, Journal Neurogastroenterol Motil;17:14-27, 2011


5. http://www.medindia.net/patients/patientinfo/gerd-treatment.htm tanggal 25 agustus 2009 diunduh pada

15

Você também pode gostar