Você está na página 1de 20

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Multiple mieloma (mielomatosis) adalah tumor sel plasma yang ditandai proliferasi salah satu jenis limfosit B dan sel sel plasma yang berasal dari limfosit tersebut. Sel sel ini menyebar melalui sirkulasi dan mengendap terutama di tulang, menyebabkan tulang mengalami kerusakan, inflamasi dan nyeri. Lesi dekstruktif akan mengikis tulang sehingga gerakan ringanpun dapat menyebabkan fraktur (Corwin, 2009). Limfosit adalah salah satu komponen sistem imun tubuh. Limfosit dibagi menjadi 2 yaitu limfosit T dan limfosit B. Limfosit B akan merespon infeksi dengan berubah menjadi sel plasma. Sel plasma akan menhasilkan antibodi yang menbantu tubuh melawan infeksi. Pada Multiple mieloma, reaksi inflamasi (tumor) menyerang sumsum tulang lebih dari satu tempat (American Cancer Society, 2011). Multiple mieloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang, terjadi hanya 1 % dari keseluruhan keganasan hematologis. Multiple mieloma didiagnosis dalam jumlah berimbang antara pria dan wanita. Penyakit ini juga lebih sering didiagnosis pada kulit hitam dibandingkan dengan kulit putih, terjadi secara primer pada usia 40 tahun dan puncak insidensi pada usia 60 tahun (Otto , 2005). Di Amerika Serikat, insiden multiple mieloma sekitar 4 kasus dari 100.000 populasi. Pada tahun 2004 diperkirakan ada 15.000 kasus baru multiple mieloma. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada orang Afro Amerika dan pada pria. Penyakit ini biasa dijumpai pada orang lanjut usia, dengan usia rata rata di atas 62 tahun, sedangkan 35 % kasus terjadi di bawah usia 60 tahun (Hoffbrand, 2002). Di Inggris, terdapat angka kematian tahunan rata rata 9 orang per juta penduduk. Di Indonesia lebih dari 60 % pasien multiple mieloma berusia lebiih dari 60 tahun, dengan perbandingan jenis kelamin kurang lebih sama antara

pria dan wanita. Sekitar 50 % pasien bersuku Jawa, dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), dan tidak bekerja (Tadjoedin, 2011). Angka kematian akibat multiple mieloma cukup tinggi. Berbagai komplikasi juga akan dialami pasien multiple mieloma seperti anemia, trombositopenia, leukopenia, gangguan ginjal karena proses filtrasi akan dihambat timbunan kalsium dan antibodi, serta myeloma bone disease yaitu peningkatan resorpsi tulang, kemudian osteoporosis sehingga meningkatkan resiko terjadinya patah tulang. Resiko resiko tersebut harapannya dapat dikurangi untuk mempertinggi angka harapan hidup dan kesejahteraan pasien yang terutama adalah pasien geriatri. B. Tujuan Tujuan dari penulisan referat tentang Multiple Mieloma ini, antara lain : 1. Mengetahui definisi dari Multiple Mieloma. 2. Menjelaskan patofisiologi Multiple Mieloma. 3. Menegakan penegakkan diagnosis Multiple Mieloma. 4. Mengetahui penatalaksanaan penyakit Multiple Mieloma.

BAB II ISI A. Definisi Mieloma multiple adalah diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal dari satu klon (monoklonal) sel plasma, manisfestasinya adalah proliferasi sel plasma imatur dan matur dalam sumsum tulang. Konsekuensi klinis sel plasma abnormal mencakup kerusakan tulang dan penggantian unsur sumsum tulang normal, menyebabkan anemia, trombositopenia, dan leukopenia; perubahan sistem imun, dengan resiko mendapati infeksi meningkat; abnormalitas hemostatik dengan manifestasi perdarahan; dan kriglobunemia dan hiperviskositas yang terkait dengan protein plasma komponen M (Baldy, 2006). B. Epidemiologi Mieloma multipel merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari tumor hematologik. MM merupakan keganasan hematologi tersering yang kedua di Amerika Serikat. Umur median penderita rata-rata 65 tahun, meskipun kadang-kadang MM terjadi pada umur dekade ke dua. Penyakit ini menyebabkan kematian rata-rata 12.000 orang pertahun di Amerika Serikat. Terdapat angka kematian tahunan rata-rata 9 orang perjuta penduduk di Inggris. Kejadian MM dua pertiga lebih tinggi pada laki-laki orang kulit hitam dibandingkan dengan wanit, dengan kejadian yang lebih tinggi secara signifikan pada laki-laki pada setiap populasi di Amerika Serikat. Di Klinik Hematologi Bagian Penyakit Dalam RSCM Jakarta ratarata berumur 52 tahun, berkisar dari 15 tahun sampai usia 72 tahun, lakilaki lebih sering dari pada wanita (Syahrir, 2010). C. Etiologi Kejadian keganasan sel plasma mungkin meupakan suatu proses multi langkah. Faktor ggenetik mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma sebagai prekursor, membentuk klon yang stabil dari sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi

transformasi maligna tepatnya terjadi belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang dapat menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling penting diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan mungkin dalam sel plasma sendiri (Syahrir, 2010). Suatu kelainan genetik yang spesifik belum teridentifikasi. Kromosom yang sering terlibat hanya kromosom 1,13 (13q-) dan 14 (14q+) menimbulkan dugaan bahwa gen-gen yang terlokalisasi pada kromosom ini telah terganggu regulasinya. Antara lain dijumpai kelainan dalam gen supresor Rb yang terletak pada 13 q c-myc-gen dan bcl-1-gen, yang berhubungan dengan t (11;14). Perubahan-perubahan di dalam gen ras dan dalam gen supresor tumor p53 terutama dijumpai dalam stadium lanjut pertumbuhan sel plasma maligna. Laporan-laporan terakhir menunjukkan bahwa pentingnya stimulasi autokrin dari klon ganas oleh IL-6 dan proses aktifasi onkogen dari berbagai stadium penyakit ini. Pertumbuhan dan diferensiasi sel mieloma mungkin diregulasi oleh berbagai sitokin, dengan menggunakan sistem pengaturan autokrin dan parakrin. Terutama IL-6 ternyata merupakan faktor pertumbuhan penting dan sentral untuk sel mieloma in vitro dan in vivo. Konversi dari sel monoklonal stabil yang terkontrol menjadi tidak terkontrol, progresif menjadi tumor ganas MM memerlukan satu atau lebih perubahan tambahan. Predisposisi genetik, paparan radiasi, rangsangan antigenik yang kronis dan berbagai kondisi lingkungan dan pekerjaan

mempengaruhi terjadinya MM ini walau hanya dalam persentasi yang kecil (Syahrir, 2010) D. Patomekanisme Limfosit B dibuat di sumsum tulang dan pindah ke kelenjar getah bening. Saat mereka maju, mereka dewasa dan menampilkan protein yang berbeda di permukaan sel mereka. Ketika mereka diaktifkan untuk mengeluarkan antibodi, mereka dikenal sebagai sel plasma.

Multiple mieloma berkembang dalam limfosit B setelah mereka telah meninggalkan bagian dari kelenjar getah bening yang dikenal sebagai pusat germinal. Garis sel normal yang paling erat terkait dengan sel MM umumnya dianggap baik sebagai sel B memori diaktifkan atau prekursor untuk sel-sel plasma, plasmablast tersebut. Sistem kekebalan tubuh menjaga proliferasi sel B dan sekresi antibodi di bawah kontrol ketat. Ketika kromosom dan gen yang rusak, seringkali melalui penataan ulang, kontrol ini hilang. Seringkali, bergerak gen promotor (atau translocates) ke kromosom mana gen antibodi merangsang terjadinya overproduksi. Mieloma menyebabkan gejala-gejala klinik dan tanda-tanda klinis melalui mekanisme yang bervariasi. Tumor menghambat sumsum tulang memproduksi cukup sel darah. Hal ini dapat menyebabkan masalah kesehatan pada ginjal, saraf, jantung, otot dan traktus digestivus. Meskipun mieloma masih belum bisa diobati, perkembangan terapi yang terbaru, termasuk penggunaan thalidomide dan obat-obatan lain seperti bortezomib dan CC-5013 cukup menjanjikan. Mieloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik (formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin. Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple mieloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk konfirmasi. Pada pasien multiple mieloma , sel plasma berproliferasi di dalam sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 3 kali dari limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan memiliki halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik (Marylin, 2000)

E. Patafisiologi 1. Manifestasi klinis a. Nyeri, terutama nyeri tulang b. Gejala anemia: letargi, kelemahan, dispenia, pucat, takhikardi c. Infeksi berulang, yang berkaitan dengan penurunan produksi anti bodi. d. Perdarahan abnormal e. Gagal ginjal f. Ganggusn fungsi ginjal dan jantung (Sudoyo, 2009). 2. Patofisiologi a. Nyeri tulang Disebabkan karena lesi litik tulang, dan biasanya adalah di tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast. Seperti IL-1beta, TNFbeta atau IL-6 dimana bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis. Faktor-faktor ini juga menghambat aktifitas

osteoblastik kompensatori. Nyeri lokal dapat juga disebabkan oleh tekanan tumor pada medula spinalis dan saraf-saraf yang keluar dari medulla spinalis. b. Infeksi berulang i. Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum menurun yang sering, sangat menurun. ii. Fungsi sumsung tulang yang menurun. iii. Netropenia. Yang kadang-kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. c. Anemia. Disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian dan inhibisi sumsung tulang secara langsung terhadap

hematopoisis. Perubahan megaloblastik akan menurunkan produksi vitamin B12 dan asam folat. d. Perdarahan abnormal. Disebabkan oleh karena protein mieloma mengganggu fungsi trombosit dan faktor pembekuan. Gagal ginjal disebabkan oleh karena hiperkalsemia adanya deposit mieloid pada glomerulus. Hiperurisemia, infeksi rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan di tubulus ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat yang berlebihan. e. Gangguan fungsi ginjal dan jantung. Disebabkan karena pengendapan rantai ringan dalam benttuk amiloid atau sejenis (Syahrir, 2010). F. Penegakkan Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis Mieloma Multipel (MM) harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik terlebih dahulu yang teliti sebelum melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat. a. Anamnesis Pasien datang dengan keluhan seperti anemia, mual-mual, muntah, dehidrasi, infeksi dan atau mengeluh sering merasakan nyeri hebat yang terus menerus pada tulang tengkorak, vertebrata, sternum, iga-iga, ileum, sacrum, pangkal-pangkal sendi bahu atau panggul. Nyeri bersifat hilang timbul, berpindah-pindah dan menyerupai reumatik, paling sering pada tulang punggung. b. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik pasien memperlihatkan wajah yang pucat, tulang yang lunak, dan terdapat masa jaringan lunak. Pasien dapat memiliki gejala neurologis yang berhubungan dengan neuropati atau kompresi tulang belakang. Ada pula gejala neurologis yang unik berupa ensefalopati hiperkalsemia yaitu bingung, delirium atau koma, mual mual, muntah dan dehidrasi.

Pasien dengan amiloidosis dapat mempunyai lidah yang membesar, neuropati, atau jantung kongestif. c. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis MM ditegakan mulai dari trias diagnostik klasik, sel plasma > 10% + M protein + lesi litik. Protein mono klonal ditemukan dalam serum atau urin atau keduanya dihampir 98% pasien. Protein serum adalah IgG dua pertiganya, IgA satu pertiganya, dan jarang IgM atau IgD dan kasus campuran. Urin mengandung protein Bence - Jones pada dua pertiga kasus, namun pada 15% k Bence Jones ada tanpa paraprotein serum (Syahrir, 2010). Mieloma multiple merupakan keganasan sel plasma yang mempunyai karakteristik adanya destruksi tulang, gagal ginjal, anemia, dan hiperkalsemia. Manifesti klinik mieloma multiple bisa menimbulkan gejala sistemik, sehingga sulit untuk mendiagnosis penyakit tersebut (Bukhoeri, 2010).

Gambar 1. Elektroforesis protein serum pada mieloma multiple menunjukkan parapotein yang abnormal pada region globulin dengan penurunan kadar dasar globulin dan .

Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma meningkat, lebih dari 10% dan biasanya 30%, seiring dengan bentuk abnormal-sel mieloma. Pengujian imunologis menunjukan sifat sel ini adalah monoklonal serum. Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (20%) (Syahrir, 2010).

Gambar 2. Sum-sum tulang pada mieloma multiple menunjukkan sejumlah besar sel plasma, dengan banyak bentuk abnormal. Penelitian tulang rangka memperlihatkan daerah osteolisis atau penipisan tulang merata (generalized bone rarefaction) (20%). Fraktur patologis dapat saja terjadi. Tanpa lesi ditemukan pada 20% pasien (Syahrir, 2010).

Gambar 3. Rotgen tengkorak pada mieloma multiple menunjukkan banyak lesi lubang.

Adapun secara terperinci dalam pemeriksaan penunjang dari Multiple Mieloma untuk proses penegakan diagnosisnya adalah sebagai berikut : i. Adanya anemia normositik atau makrositik. Pembentukan rouleaux menonjol pada sebagian kasus. Neutropenia dan trombositopenia ditemukan pada penyakit lanjut. Sel plasma abnormal nampak pada filamen darah dari 15% pasien dan perubahan leuko-eritroblastik kadang kadang terlihat. ii. iii. Laju endapan eritrosit / LED tinggisering > 100 mm/jam. Peninggian kalsium serum terjadi pada 45% pasien. Terdapat fosfatase lindi serum normal, kecuali terjadi fraktor patologis. iv. Urea darah meninggi diatas 14 mmol/L dan kreatinin serum akan meningkat pada 20% kasus. Deposit berpotein dari proteinuria Bence-Jones, hiperkalsemia, asam urat, amiloid, dan pielonefritis semuanya dapat memperberat daya kerja dari ginjal. v. vi. Albumin serum rendah ditemukan pada penyakit lanjut. CRP merupakan pertanda dari IL-6 yaitu faktor

pertumbuhan dari mieloma multipel. vii. -2 mikroglobulin merupakan indikator prognostik yang akan meningkat pada stadium lanjut dari mieloma multipel. Seringkali meningkat dan kadar yang lebih tinggi berhubungan dengan prognosis lebih buruk. viii. Pada darah perifer ditemukan penurunan CD4 (sel T helper limfosit) dan peningkatan CD8 (sel T suspensor limfosit).

10

ix.

Sumsusm tulang memperlihatkan sel plasma > 10%, seringkali dengan banyak inti dan bentuk abnormal lainnya.

x.

Paraprotein terdiri dari dari IgG 70% ; IgA 20% ; IgM tidak sering ; IgD dan IgE jarang.

xi.

Foto rontagen, CT scan, atau MRI memperlihatkan lesi litik yang biasanya terdapat pada tengkorak dan skeleton aksial dan/atau osteoporosis, sering dengan fraktur patologis. kadang kadang, pasien memiliki deposit sel plasma lokalisata, biasanya pada skeleton aksial

(plasmasitoma multipel atau soliter). xii. Data prognostik meliputi kadar hemoglobin, kadar 2M dalam serum, kreatinin serum, dan luasnya penyakit skeletal (Mehta, 2008). G. Penatalaksanaan Penentuan pengobatan MM tergantung pada kriteria diagnostik , pada penderita yang asimtomatik tidak memerlukan pengobatan, karena pengobatan tidak akan memberikan hasil klinik yang menguntungkan, tetapi pada penderita tersebut harus dimonitor untuk progresivitas penyakitnya, dengan mengevaluasi tiap 3-6 bulan. Selama lebih dari 35 tahun pengobatan standar MM pada penderita yang baru terdiagnosa adalah mephalan dan prednison yang menghasilkan respon rate 50% Dengan pengobatan mephalan-prednisone (MP) angka rata-rata hidup kurang lebih 3 tahun. Melphalan termasuk senyawa alkil, yang bila dalam tubuh termasuk bahan kimia. Dalam tubuh, nanti dia akan berikatan dengan DNA dan menyebabkan perpecahan DNA. Efek samping dari obat ini salah satunya adalah menekan sumsum tulang. Pada penderita yang simtomatik membutuhkan pengobatan yang berupa transplantasi sumsum tulang Hemotopoietic Stem Cell

Transplantation (HSCT) dan kemoterapi. Ada 2 tipe transplantasi sel sumsum tulang yaitu autologous dan allogeneic. Autologous stem cell

11

transplant menggunakan sel sumsum tulang penderita sendiri,cukup aman dan risiko rendah untuk timbulnya komplikasi serius. Allogeneic stem cell transplantation berasal dari orang lain yang merupakan saudara sekandung seperti saudara perempuan atau laki-laki. Pada saat ini telah didapatkan data-data yang mendukung adanya perbaikan dalam harapan hidup dari beberapa obat imunomodulator baru yang diperkenalkan yakni thalidomide, lenalidomide dan penghambat enzim proteasom yaitu bortezomib yang dikombinasi dengan obat lama. Masing-masing obat-obat ini mempunyai banyak mekanisme kerja, dengan target baik melalui intraselular akses maupun lingkungan sekitar tumor. 1.Thalidomide Thalidomide telah dikenal sebagai suatu sedatif sejak tahun1950an dan pada tahun 1961 ditarik dari peredaran, karena kasus teratogenik. Tahun1998 Food and Drug Aministration (FDA) telah menyetujui penggunaan thalidomide untuk pengobatan eritem nodosum lepra. Obat ini juga digunakan untuk pengobatan Acquired Immuno Deciency Syndrome (AIDS) yang berkaitan dengan keadaan kakeksia, aphtousulcers, chronicgraft-versus-host disease dan varian dari solid tumordan tumor penyakit darah. Pada tahun 1999 thalidomide telah diperkenalkan untuk

pengobatan MM oleh Singhal,et al. Yang diduga mempunyai efek anti angiogenik yang diberikan secara oral. Dari beberapa penelitian menyebutkan thalidomide yang dikombinasi dengan dexamethasone meningkatkan harapan hidup penderita MM. Untuk penderita yang baru terdiagnosa, yang sering dipakai sebagai kombinasi adalah mephalan. Mekanisme Kerja : Pada MM masih tidak begitu jelas,diduga sebagai imunomodulator,anti inflamasi dan anti angiogenik. Thalidomide ini mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung dalam mencegah adhesi dan proliferasi sel-sel myeloma, diduga menghambat angiogenesis

12

dengan cara mencegah pembentukan pembuluh darah kecil dengan menghambat pelepasan faktor-faktor pertumbuhan (hepatic growth factor, vascular endothelial growth factor, basic fibroblast growth factor)yang mana semuanya ini mempunyai peran penting dalam angiogenesis dari selsel plasma. Pengaruh secara langsung merangsang apoptosis atau kematian G1 selama siklus sel,yang diaktifasi oleh sitotoxic T (CD8) dan NK sel dan menyebabkan lisisnya sel plasma, menghambat interaksi sel kesel dan menghambat pelepasan IL-6 (yang merupakan faktor pertumbuhan mayor yang menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup sel plasma). Farmakokinetik : Mencapai konsentrasi tertinggi setelah 4 jam pemberian obat. Di distribusi ke jaringan dan organ dengan berikatan dengan protein. Metabolisme dalam tubuh belum jelas. Eliminasi5-7 jam setelahdosis tunggal,tidak dipengaruhi oleh dosis multiple. Thalidomide terutama dieliminasi tidak melalui ginjal, kurang dari 1% dikeluarkan melalui urine,tapi eliminasi yang tepat belum diketahui pada manusia. Dosis awal diberikan 200 mg/hari dengan batasan berkisar dari 200-800 mg perhari, diberikan pada malam hari menjelang tidur,dan dapat ditingkatkan per 200 mg/hari tiap 2 minggu, sampai mencapai dosis maksimum 800 mg per hari. Akan tetapi dosis yang bisa ditoleransi biasanya 400 mg perhari. Efek Samping : yang paling sering dijumpai adalah nausea, konstipasi, ruam, fatigue, somnolen dan neuropati perifer (bila penggunaan jangka panjang), kelemahan otot dan mempunyai

kecendrungan meningkatkan risiko terjadinya Deep Venous Thrombosis (DVT) bila dikombinasi dengan dexamethasone, 6 efek samping yang lain , edema, bradikardia, netropeni, impoten, hipotiroid, tremor. Dosis tinggi thalidomide dapat menyebabkan edema pulmonal, atelektasis, aspirasi pneumonia dan hipotensi yang refrakter.

13

2. Bortezomib Dahulu dikenal dengan PS-341 dan merupakan penghambat proteasome pertama dalam penelitian. Obat ini telah disetujui oleh FDA untuk pengobatan MM stadium lanjut sejak bulan Mei 2003. Mekanisme kerja: Bortezomib adalah asam boronat dipeptida yang merupakan penghambat spesifik dari proteasome 26S yang reversibel, yang mempunyai aktifitas sebagai anti proliferatif, proapoptotik (yang berkaitan dengan aktifasi caspase-8/9 dan caspase-3), anti angiogenik,anti tumor. Proteasome adalah kompleks enzim ubiquitous yang berfungsi dalam degradasi protein (dikatalase oleh 3 enzim E1,E2,E3) dan berguna untuk regulasi siklus sel dan menyebabkan proteolisis IkB (suatu inhibitor faktor nuclear kappa beta yang dapat meningkatkan kelangsungan hidup sel, merangsang pertumbuhan, menghambat apoptosis). Pada penelitian terakhir menyebutkan bortezomib mencegah aktifitas dari caveolin-1 sel MM. Caveolin-1 adalah suatu protein yang berfungsi dalam pergerakan sel atau perpindahan sel MM dalam jaringan dan membutuhkan

posporilasi,dalam hal ini bortezomib menghambat posporilasi caveolin-1 oleh Vascular Endothelial GrowthFactor (VEGF) yang merupakan sitokin proangiogenik dan traskripsi NF-kB sehingga dengan demikian

bortezomib menghambat migrasi sel- sel kanker maupun angiogenesis tumor, menghambat nuclear factor kappa B (NF-kB) yang berimplikasi terhadap resisten terapi. Farmakodinamik : Pada penelitian secara farmakodinamik menunjukan penurunan aktifitas 26S proteasome sampai 60-70% sesudah pemberian bortezomib. Konsentrasi puncak dicapai 30menit setelah pemberian obat Dosis:1,3,1 dan 0,7 mg/m, terapeutik indexnya sempit, dan harus diberikan tiap 72 jam. Hampir> 90% obat ini secara cepat masuk plasma. Dengan dosis multiple akan meningkatkan Area Under The Curve Consentration (AUC), tapi tidak menembus sawar otak. Di metabolisme dihati oleh sitokrom P450. Ekskresi (t-eliminasi50-110 jam). Tidak ada informasi klinik yang tersedia pada penggunaan

14

bortezomib pada penderita dengan gagal ginjaldan hemodialisis. Oleh karena itu penderita dengan gangguan ginjal harus dimonitor secara hatihati bila menggunakan bortezomib terutama bilacratinin clearance <30ml/menit. Efek samping : Efek samping yang tersering gejala

gastrointestinal

(nausea,

anoreksia,

muntah

diare,

konstipasi)

trombositopenia yang sifatnya sementara,bila obat dihentikan nilai trombosit akan kembali normal, fatigue, malaisedan neuropatiperifer,

efek samping lain yang jarang yakni demam, ruam, sakit kepala, dan dizzines. Diduga adanya peningkatan reaktifasi insiden Herpes Zoster diantara penderita MM yang mendapat terapi bortezomib, tapi belum ada penjelasan yang bisa menjelaskan hubungan ini, tampaknya tidak ada hubungan langsung efek bortezomib terhadap sel T. Keberhasilan bortezomib pada MM telah membangkitkan minat dalam pendekatan aplikasi obat ini,maupun perkembangan proteasome inhibitor generasi yang baru. Kombinasi pengobatan yang berbasis bortezomib dengan obat dari golongan yang berbeda merupakan kunci yang menarik. 3. Lenalidomid Pada awalnya dikenal dengan CC-5013 dan merupakan suatu derivat thalidomide yang diperkenalkan pada tahun 2004, dan merupakan golongan imunomodulator baru yang disetujui oleh FDA sejak 29 Juni2006 Mekanisme kerja : Meskipun belum jelas, lenalidomide

mempunyai efek antiangiogenik, menghambat sekresi sitokin proinflamasi dan meningkatkan sekresi sitokin anti-inflamasi dari sel-sel mononuklear darah tepi, menghambat prolifersi sel, menghambat ekspresi cyclooxigenase-2(COX-2), menyebabkan apoptosis dan menurunkan ikatan sel myeloma degan sel-sel stroma dalam sumsum

tulang,meningkatkan efek sitotoksik melalui sel-sel Natural Killer (NK). Diduga mekanisme kerja dari lenalidomide pada MM adalah sitotoksisitas melalui apoptosis (A) menghambat adhesi molekul sel seperti Intercellular

15

Adhesion Molecule 1 (ICAM-1) dan Vascular Cell Adhesion Molecule 1 (VCAM-1)yang menurunkan signal pertumbuhan dari sel-sel MM (B) menghambat signal pertumbuhan untuk meningkatkan angiogenesis sumsum tulang seperti VEGF, TNF-A, dan IL-6. Menstimulasi sel T helper yang meningkatkan produksi IL-2 dan IFN-y dan dengan demikian memperbaiki aktifasi sel NK dan sel NK yang tergantung pada sitotoksisitas. Lenalidomide ini mempunyai potensi 50.000 kali

dibandingkan thalidomide dalam hal menghambat TNF-A dan efek samping yang ditimbulkan lebih rendah. Beberapa penelitian menunjukan lenalidomide yang dikombinasi dengan dexamethason pada penderita yang relaps atau refrakter lebih superior dibandingkan pengobatan lama yang hanya menggunakan dexametason. Efek samping : Efek samping dari lenalidomide antara lain menyebabkan Venous Thrombo Embolism (VTE),menurut Bennet,et al. Penderita MM yang mendapat terapi thalidomide atau lenalidomide yang dikombinasi dengan dexametason, mephalan atau doxorubisin mempunyai risiko tinggi untuk timbul VTE (dengan median 14% ,rerata 3-75%), penderita tersebut dianjurkan untuk diberikan profilaksis dengan aspirin, dan ternyata dijumpai risiko untuk terjadi VTE lebih rendah. Oleh karena mempunyai struktur kimia yang mirip dengan thalidomide dianggap mempunyai efek teratogenik, efek samping lain gangguan gastrointestinal (diare, konstipasi, nausea, muntah, mielosupresi terutama netropeni) dan trombositopeni, yang mana dapat diatasi dengan menurunkan dosis (Sudoyo, 2010). H. Prognosis Faktor prognosis yang berpengaruh pada penyakit Multiple Mieloma adalah sebagai berikut: a. Umur Umur penderita Multiple Mieloma berpengaruh terhadap prognosis. Semakin muda maka kondisinya akan lebih baik dan ketahanan hidupnya lebih lama (Sudoyo, 2010).

16

b. Status kebugaran Semakin tinggi status kebugaran yang dimiliki oleh penderita Multiple Mieloma maka semakin baik prognosisnya. Sebaliknya jika semakin rendah status kebugarannya maka prognosisnya semakin buruk (Sudoyo, 2010). c. Beta 2 mikrolobulin dan C-reactive Protein (CRP) Semakin tinggi kadar beta 2 mikrolobulin dan C-reactive Protein (CRP) dari pemeriksaan darah rutin maka prognosisnya semakin buruk. Jika kadar beta 2 mikrolobulin dan CRP kurang dari 6 mg/l maka ketahanan hidup rata-rata sebesar 54 bulan. Sedangkan jika kadar beta 2 mikrolobulin atau CRP lebih dari 6 mg/l maka ketahanan hidup rata-rata sebesar 27 bulan. Untuk kadar beta 2 mikrolobulin dan CRP lebih dari 6 mg/l maka ketahanan hidup rata-rata sebesar 6 bulan (Sudoyo, 2010). d. Serum albumin Semakin rendah kadar serum albumin dalam tubuh penderita Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010). e. Serum creatinin Semakin rendah kadar serum creatinin dalam tubuh penderita Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010). f. Laktat Dehidrogenase (LDH) Semakin tinggi kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dalam tubuh penderita Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin rendah kadarnya maka prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010). g. Hemoglobin

17

Semakin rendah kadar hemoglobin dalam tubuh penderita Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010). h. Trombosit Semakin rendah kadar trombosit dalam tubuh penderita Multiple Mieloma maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin tinggi kadarnya maka prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010). i. Labeling indeks sel plasma Semakin tinggi indeks sel plasma dalam tubuh penderita Multiple Mieloma yang diukur pada pemeriksaan khusus maka semakin buruk prognosisnya. Sebaliknya jika semakin rendah maka prognosisnya semakin baik (Sudoyo, 2010). Beberapa faktor prognosis berhubungan dengan masa sel myeloma, yang dapat ditentukan berdasarkan banyaknya

paraprotein total yang diproduksi pada pasien selama 24 jam dibagi dengan banyaknya paraprotein yang diproduksi per sel normal dalam waktu yang sama (Sudoyo, 2010). Harapan hidup rata-rata adalah 3 4 tahun dengan harapan hidup 5 tahun sebesar 20 % dengan pemberian kemoterapi. Walaupun demikian, keadaan ini dapat diperbaiki dengan transplantasi autolog. Peningkatan kadar 2- mikroglobulin adalah suatu gambaran prognostic yang buruk (Hoffbrand, 2007).

18

BAB IV KESIMPULAN 1. Mieloma multiple merupakan diskrasia sel plasma neoplastik yang berasal dari satu klon (monoklonal) sel plasma. 2. Patofisiologis dari nyeri tulang diisebabkan karena lesi litik tulang, dan biasanya adalah di tulang punggung. Keadaan ini disebabkan oleh aktifitas yang berlebihan dari faktor pengaktif osteoklast. Lalu Infeksi berulang dikarenakan konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum menurun yang sering, sangat menurun. Anemia yang disebabkan Disebabkan oleh karena tumor menyebabkan penggantian dan inhibisi sumsung tulang secara langsung terhadap hematopoesis. 3. Untuk menegakkan diagnosis Mieloma Multipel (MM) harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik terlebih dahulu yang teliti sebelum melakukan pemeriksaan penunjang yang tepat. Salah satunya pada gambaran laboratorium didapatkan anemia normokrom normositer, LED yang meningkat, pada gambaran darah tepi dijumpai gambaran roeleaux, kadang-kadang sel plasma, kadang-kadang gambaran leukoeritroblastik. 4. Terapi terbaru untuk multiple mieloma: a. Talidomitini b. Analog Talidomit : Revimid/Actimid c. Bortezomib (velcade, sebelumnya PS-341) d. Arsenic Trioxide (ATO/Trisenox) e. Genasense BCI-2 antibody.

19

Daftar Pustaka

American Cancer Society. 2011. Multiple Myeloma. Available at: http//:www.cancer.org. Baldy, Catherine M. 2006. Patofisiologis Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC. Bukhoeri, Ahmad. 2010. Perbedaan Kadar Hemoglobin Pasien Mieloma Multipel Pada Berbagai Stadium. Program Pendidikan Sarjana Kedokteran, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang. Corwin, J.Elizabeth.2009.Buku Saku Patofisiologi.Jakarta.EGC Hoffbrand, A,V. 2007. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta : EGC Mansjoer A, Triyanti K, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta: Media Aesculapuis Marylin. E. Doenges. Dkk. 2000. Nursing Care plan Edisi III. Jakarta : Penulis Buku Kedokteran EGC Mehta A.B, Hoffbrand A.V. 2008. At a Glance Hematologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Otto, E.Shirley. 2005. Pocket Guide to Oncology Nursing .Jakarta:EGC. Sudoyo, W. Aru. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Suega, Ketut. 2010. Seorang Penderita Dengan Leukimia Mieloid Kronik Dan Mieloma Multipel. Divisi Hematologi Onkologi Medik, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Syahrir, Mediarty. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Ed.5. Jakarta: Interna Publishing. Tadjoedin, Hilman ,dkk.2011. Multiple Myeloma in Indonesia.Jakarta:SMF Hematologi dan Onkologi RS Kanker Dharmais.

20

Você também pode gostar