Você está na página 1de 5

PATOFISIOLOGI SEPSIS

Perubahan sistemik yang dapat dialami pasien terjadi pada saat lipopolisakarida binding protein mulai terikat pada struktur yang berasal dari patogen dan dipresentasikan pada tempat pengikatan monosit atau makrofag. Dari kedua jenis sel ini dapat dilepaskan sitokin dan yang primer adalah tumor nekrosis faktor (TNF-), interlekuin 1 (IL 1), IL 6, dan IL 8. Mediator primer ini selanjutnya merangsang pelepasan mediator sekunder seperti prostaglandin E2 (PGE2), Tromboksan A2 (TXA2), platelet activating factor (PAF), peptida vasoaktif seperti bradikinin dan angiotensin, intestinal vasoaktif peptida serta histamin dan serotonin disamping zat-zat lain yang dilepaskan yang berasal dari komplemen.( Aird WC 2003, Riedemann NC 2003,Wheeler AP 2004, Hotchkiss RS 2004)

Sumber : http://www.mirm.pitt.edu/medicaldevices/projects/projects7.asp Sitokin berfungsi untuk mempercepat penyembuhan luka dan penetralan patogen. Respon sitokin harusnya berangsur-angsur dideregulasi untuk akhirnya dapat menghentikan efek yang telah digulirkan. Kesulitan kadang-kadang dapat dialami tubuh untuk mengembalikan homeostasis ini dan bila semua pengendalian hilang suatu reaksi sistemik yang dahsyat akan dialami tubuh sendiri.( Aird WC 2003, Hotchkiss RS 2004)

Lipopolisakarida (LPS) langsung dapat mempengaruhi faktor XII dan memicu pengaktifan sistem koagulasi. Kaskade koagulasi yang berujung pada DIC dan fibrinolisis bersama tissue faktor teraktivasi menyebabkan multiple organ failure mengingat pula bahwa aktivasi neutrofil baik secara langsung oleh LPS maupun sistem kompolemen dapat menyebabkan kerusakan endotel saat terjadi degranulasi, agregasi dan adhesi.(Aird WC 2003) Pelepasan bradikinin yang berujung pada vasodilatasi dan bersama nitric oksida (NO) yang meningkat akibat hipoksemia jaringan berujung pada hipotensi dapat juga diinduksi faktor XII.(Aird WC 2003) Pengaruh yang membahayakan lainnya dari LPS dan produk sejenis adalah terjadinya pangaktifan sistem komplemen yang dapat menyebabkan kebocoran kapiler, edema organ vital dan migrasi/akumulasi serta aktivasi neutrofil. Peran trombosit pada kaskade sepsis belum diketahui pasti, namun diduga pada endotel rusak dapat menginduksi vasokontrikasi dan juga stimulasi netrofil. Pada endotel utuh, zat yang menghasilkan trombosit (ADP, ATP) dan serotonin (5-HT) akan menyebabkan pelepasan Endoteliun Derived Relaxing Factor (EDRF) dan prostasiklin (PGI2). Hal serupa akan tejadi setiap kali terbentuk trombin. EDRF yang dilepas merelaksasi otot polos vaskular dan melebarkan pembuluh sehingga membilas mikroagregat. .( Aird WC 2003) Dalam lumen, EDRF menghalangi agregasi trombosit. Monoamin oksidase (MAO) memecah serotonin dan mengurangi monoamin yang berdifusi menuju otot polos. Dengan kata lain, endotel berfungsi sebagai inhibitor serotonin dan TXA2 untuk mencapai otot polos. Berbagai fungsi yang berbeda ini memainkan peran yang dalam mencegah koagulasi dan episode vasospasme yang tidak dikehendaki. .( Aird WC 2003) Jika sel endotel rusak, peran proteksi endotel akan hilang secara lokal, trombosit beradesi dan beragregasi, diikuti konstriksi seperti terjadi pada hemostasis fase vaskuler. Di jaringan dapat terjadi pelepasan zat yang mendepresi kerja miokard menyebabkan ventrikel berdilatasi dan berkurangnya ejeksi ventrikel kiri. .( Aird WC 2003) Endotoksin dan berbagai sitokin, khusunya IL-1, IFN- dan TNF- menyebabkan pengaktifan reseptor endothelial yang menginduksi influks kalsium kedalam sitoplasma sel endotel, kemudian setelah berinteraksi dengan kalmodulin, akan mengaktifkan Nitric Oxide Synthase (NOS) yang berperan dalam pembentukan Nitirc Oxide (NO) dan menimbulkan pelepasan EDHF (Endithelium Derived Hyperpolarizing Factor). Peningkatan NO menyebabkan relaksasi otot polos dengan mengaktifkan sintesis cyclic-35 Guanosine Monophospate cGNP dan Guanosine Triphospate (GTP) . EDHF menyebabkan hiperpolarisasi dan relaksasi otot polos dengan cara membuka saluran kalium (K+). Hal ini menyebabkan vasodilatasi yang diduga dapat mengakibatkan hipotensi. .( Aird WC 2003)

Perkembangan paling mutakhir dalam masalah sepsis meliputi pengenalan sinyal terhadap mikroba dari sistem imun yang dapat memberi respon melalui apa yang disebut dengan tolllike receptor (TLRs). Mutasi pada reseptor ini pada hewan percobaan dapat mengakibatkan kematian pada sepsis yang berhubungan dengan mutasi pada gen 4 TLR. Gen ini juga ditemukan pada manusia sehingga kemungkinan kerentanan terhadap infeksi dan sepsis akan dapat dialami pasien yang memiliki ciri genetik ini.(Hotchkis RS 2003,Aird WC 2003) Teori yang menyebutkan bahwa kematian yang disebabkan sepsis adalah peran dari overstimulasi sistem imun berdasarkan penelitian pada hewan yang tidak menggambarkan gambaran klinik pada manusia. Penelitain-penelitian ini menggunakan dosis endotoksin dan bakteri yang besar; sebagai konsekuensinya kadar sitokin yang bersirkulasi seperti tumor necrosis faktor (TNF-) lebih tinggi pada hewan dibandingkan pada pasien dengan sepsis. Pada penelitian ini hewan mati karena badai sitokin, dan gabungan dan makromolekul yang menghambat mediator ini peningkatkan survival..(Hotchkis RS 2003) Pada bentuk yang pasti dari sepsis -contohnya, meningococcemia- TNF yang bersirkulasi tinggi dan berhubungan dengan mortalitas. Dari 55 anak-anak dengan infeksi purpura yang berat (32 diantaranya dengan infeksi Neisseria meningitidis), 91 persen didapatkan kadar TNF- sirkulasi yang meningkat. Debet et al melaporkan bahwa hanya 11 dari 43 pasien dengan sepsis terdeteksi TNF di sirkulasinya (batas kadar terdeteksi 5 10 pg per milliliter). Pada penelitian yang lain pasien dengan sepsis, kurang dari 10 persen terukur TNF- atau interlekuin-1.(Hotchkis RS 2003) Walaupun sitokin dianggap jahat, tetapi juga mempunyai manfaat pada sepsis. Penelitian pada hewan dengan peritonitis memperlihatkan bahwa penghambatan TNF- memperburuk survival. Imunoterapi kombinasi melawan TNF- dan reseptor interlekuin-1 fatal pada model sepsis neutropeni. Pada percobaan klinis antagonis TNF meningkatkan angka kematian. Peran dari TNF- dalam memerangi infeksi telah digarisbawahi dengan penemuan bahwa sepsis dan komplikasi infeksi lain berkembang pada pasien dengan rematoid artritis yang diobati dengan antagonis TNF.(Hotchkis RS 2003)

Meningkatnya pengetahuan tentang sinyal sel pathway sebagai mediasi respon terhadap mikroba memperlihatkan bahwa konsep untuk menghambat endotoksin sebagai usaha untuk mencegah komplikasi infeksi septik mungkin terlalu sederhana. Sel-sel dari sistem imun mengenali mikroorganisme dan menginisiasi respon melalui pola pengenalan reseptor yang disebut toll-like receptor (TLRs). Melihat peranan TLRs dalam memerangi infeksi telah dibuktikan dalam penelitian pada tikus. yang resisten terhadap endotoksin karena mutasi dari pada gen reseptor toll-like 4 (TLR4).Walaupun resistensinya terhadap endotoksin, mortalitas tikus ini meningkat dengan sepsis yang otentik. Mutasi TLR4 telah diidentifikasi pada manusia dan menyebabkan seseorang lebih mudah terkena infeksi. Jadi walaupun endotoksin mempunyai efek yang buruk, penghambatan total terhadap endotoksin dapat mengganggu. (Hotchkis RS 2003, Aird WC 2003)

Kegagalan Sistem Imun


Pasien dengan sepsis mengalami imunosupresi, termasuk kehilangan atau terhambatnya hipersensitifitas, kemampuan menbersihkan infeksi, dan sebagai predisposisi terhadap infeksi nosokomial. Satu alasan kegagalan dari strategi anti inflamasi pada pasien dengan sepsis adalah perubahan sindroma dari waktu ke waktu. Awalnya sepsis mempunyai karakteristik dengan menigkatnya mediator inflamasi, tetapi bila sepsis menetap, terjadi pergeseran pada keadaan antiinflamasi imunosepresif. Terdapat bukti bahwa imunosupresi pada sepsis pada penelitian memperlihatkan bahwa darah yang distimulasi oleh lipopolisakarida pada pasien sepsis melepaskan sejumlah kecil sitokin inflamasi TNF- dan interlekuinpada pasien kontrol. Sekuele dari sepsis yang diinduksi imunosupresi dikembalikan dengan pemberian interferonproduksi makrofag TNF- dan memperbaiki survival. .(Hotchkis RS 2003)

Mekanisme Supresi Imun Pada Sepsis Sebuah pergeseran ke sitokin antiinflamasi


Sel-sel T CD4 yang diaktifasi diprogram untuk mensekresi sitokin dengan salah satu dari dua profil yang berbeda dan antagonis.T sel mensekresi sitokin dengan sifat inflamasi (Sel T helper tipe 1[Th1]), termasuk TNF-, interferon-, dan intrlekuin-2, atau sitokin dengan sifat antiinflamasi (Sel T helper tipe-2 [Th2]), contohnya interlekuin-4 dan interlekuin 10. Faktorfaktor yang menentukan apakah Sel T CD4 mempunyai respon Th1 atau Th2 tidak diketahui tetapi mungkin dipengaruhi tipe dari patogen, ukuran dari inokulum bakteri dan, tempat infeksi. Sel-sel mononuklear dari pasien luka bakar atau trauma mengurangi kadar sitokin Th1, tetapi meningkatkan kadar sitokin Th2 interlekuin-4 dan interlekuin-10, dan penigkatan dari respon imun Th2 meningkatkan survival pada pasien sepsis. Penelitian lain memperlihatkan bahwa kadar interlekuin-10 meningkat pada pasien dengan sepsis dan kadar tersebut memprediksikan mortalitas.(Hotchkis RS 2003)

Anergi
Anergi adalah keadaan dari tidak responsif terhadap antigen. Sel T adalah anergi pada saat gagal untuk berproliferasi atau mensekresi sitokin sebagai respon terhadap antigen spesifiknya. Heidecke et al memeriksa fungsi sel T pada pasien dengan peritonitis dan menemukan bahwa terjadi penurunan fungsi Th1 tanpa peningkatan produksi sitokin Th2, dimana konsisten dengan anergi. Ploriferasi dan sekresi sitokin sel T yang tidak sempurna berhubungan dengan mortalitas. Pasien dengan trauma atau luka bakar berkurang kadar sel T bersirkulasi, dan sel T yang tersisa adalah anergi.( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003) Kematian sel apoptosis dapat mencetuskan sepsis yang diinduksi anergi. Walaupun secara konvensional dipercaya bahwa sel mati karena nekrosis, penelitian terakhir memperlihatkan bahwa sel dapat mati dengan apoptosis-program kematian sel secara genetik. Pada apoptosis sel-sel melakukan bunuh diri dengan aktivasi protease yang menghancurkan sel. Meknisme potensial dari apoptosis limfosit mungkin diinduksi dengan pelepasan glukokrtikoid endogen.

Tipe dari sel mati menentukan respon imunilogi dari sel imun. Apoptosis sel menginduksi anergi atau sitokin antiinflamasi yang mengganggu respon terhadap patogen, dimana sel nekrosis menyebabkan stimulasi imun dan meningkatkan pertahanan antimikroba. ( Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)

Kematian sel-sel imun


Pada otopsi pasien yang meninggal karena sepsis diungkapkan adanya kehilangan sel-sel yang menginduksi apoptosis yang progresif dari system imun yang beradaptasi.alaupun tidak terdapat kehilangan sel -sel T CD8, natural killer sel, atau makrogfag, sepsis secara nyata mengurangi kadar dari sel B, T sel CD4 dan sel-sel dendritic folicular. Kehilangan limfosit dan sel-sel dendrit sangat penting, karena hal ini terjadi pada infeksi yang mengancam jiwa. ( Hotckiss RS 2003) Besarnya induksi apotosis pada limfosit selama sepsis terlihat pada pemeriksaan hitung limfosit dalam sirkulasi. Pada suatu penelitian, 15 dari pasien dengan sepsis mempunyai jumlah limfosit lebih rendah dari batas bawah. Kehilangan sel-sel B, Sel-sel T CD4, dan selsel dendrit mengurangi produksi antibodi, aktivasi makrofag, dan presentasi antigen. (Imboden JB 1994, Hotckiss RS 2003)

Protein C Teraktivasi
Respon inflamasi dan prokoagulan host terhadap infeksi sangat berhubungan. Sitokin inflamasi, yaitu TNF, interlekuin 1 , dan interlekuin-6, sanggup mengaktivasi koagulan dan menghambat fibrinolisis, dimana trombin peokoagulan dapat menstimulasi pathway inflamasi multipel.. Hasil akhirnya adalah cedera endovaskuler yang difus, disfungsi multiorgan, dan kematian. Protein C teraktivasi, sebuah protein yang memfasilitasi fibrinolisis dan menghambat trombosis dan inflamasi, adalah modulator yang penting dari koagulasi dan inflamasi yang berhubungan dengan sepsis berat. Protein C teraktivasi dikonversi dari prekursor inaktif, protein C, dengan penggabungan trombin dan trombomodulin dengan sitokin inflamasi. Pengurangan kadar protein C ditemukan pada mayoritas pasien dengan sepsis dan meningkatkan resiko kematian. (Bernard GR 2001)

Você também pode gostar